Kapolri Undur Diri, Itu Baru Presisi
Oleh Yusuf Blegur | Mantan Presidium GMNI
KETIKA terlontar pernyataan ikan busuk mulai dari kepalanya, maka sekarang menjadi relevan buat kapolri membuktikan komitmen dan konsistensi pada ucapannya sendiri.
Sebagai pemimpin institusi Polri, Jenderal Sigit sulistyo bukan hanya berwenang mengendalikan dan menentukan performans korps Bayangkara itu. Ia juga harus bertanggungjawab terhadap baik-buruknya kinerja kepolisian. Tak ada kegagalan dan kesalahan anak buah, kecuali berasal dari ketidakmampuan pemimpinnya.
Terlepas adanya konstelasi yang menggunakan istilah perang bintang dan peran mafia dalam polri. Kasus Ferdy Sambo seperti menjadi puncak krisis dan kekisruhan yang menjadi aib bagi lembaga yang sejatinya melindungi, mengayomi dan melayani masyarakat. Polri seakan mencapai klimaks dari runtuhnya kepercayaan publik. Meski tak bisa dipungkiri, masih banyak polisi jujur dan baik yang setia kepada rakyat dan negara. Sulit membangun citra Polri yang mengalami distorsi dan terdegradasi secara struktural, sistemik dan berlangsung masif sejak lama.
Karakter yang coba dimunculkan melalui slogan prediktif, responsibility, transparan dan berkeadilan (presisi). Patut dihargai dan diapresiasi publik sebagai langkah progressif revolusioner dalam memulihkan dan mereformasi Polri. Dengan tugas berat menciptakan keamanan dan ketertiban masyarakat serta fungsi penegakan hukum di satu sisi, di lain sisi Polri mendapat tantangan yang tidak mudah dalam membenahi jajaran internalnya baik secara personal maupun institusional. Ada "good will" dan "political will" dari Polri memperbaiki lembaga negara yang langsung di bawah presiden itu, meski pada akhirnya menjadi hegemoni sekaligus korban politisasi dari kepentingan kekuasaan. Kasus Ferdi Sambo menggelinding menjadi titik nadir kenistaan Polri.
Polri pernah menjadi fenomenal sekaligus historis karena Pak Hoegeng, mantan kapolri yang jujur dan berwibawa. Polri juga sempat mendapat kritik, satir dan sinis dari Gusdur yang pernah menjadi presiden RI, dengan menyebut hanya ada tiga polisi yang baik yaitu Pak Hoegeng, patung polisi dan polisi tidur.
Seharusnya, stigma dan stereotif itu menjadi cambuk juga effort bagi perubahan Polri yang lebih baik. Layaknya jargon revolusi mental yang digaungkan Jokowi, yang dianggap dekat dan memberikan kewenangan tak terbatas dalam sosial hukum, sosial politik, sosial ekonomi dan sosial keamanan kepada Polri.
Alih-alih tampil trengginas, Polri justru tampil geragas gagal memafaatkan previlage dan menjadi anak emas presiden. Boleh jadi tereduksinya Polri menjadi representasi Jokowi yang penuh ironi dalam memimpin negara ini.
Kini, Polri seperti harus menghadapi situasi dan kondisi yang berada pada "point of no return", untuk menyelamatkan institusi, rakyat, negara dan bangsa.
Tak cukup sekedar operasi bersih-bersih diri dari polisi bertabiat penghianat dan yang menjadi irisan mafia atau oligarki. Polri yang telah menjadi bagian dari sindikasi penjahat yang membajak konstitusi dan memengaruhi politik kekuasaan. Tidak ada pilihan lain, selain merombak total personal dan sistem yang ada pada polri. Begitupun negara dan semua kewenangan yang kompeten terhadap Polri, termasuk presiden dan DPR harus berani membuang orang jahat dan menyelamatkan orang baik secara terintegrasi dan komprhensif di kesatuan korps kepolisian yang ada tanpa terkecuali.
Jika ingin mendapatkan, setidaknya melihat ada peluang untuk "blessing in the sky" dalam rangka menghidupkan dan mengembalikan nama baik Polri di mata rakyat. Sepatutnya, Ferdi Sambo dan komplotannya, semua yang bersentuhan dengan domain interest dan konflik kepentingan internal, serta akses dan sumber cengeraman oligarki harus diamputasi. Termasuk semua petinggi Polri yang terkontaminasi dan memainkan peran "the invicible hand". Jika terbukti dan valid data keterlibatannya, para mantan kapolri termasuk kapolri yang menjabat sekarang dimana kasus Ferdy Sambo menguak, mutlak diambil tindakan tegas.
Khususnya Kapolri yang mustahil tidak berkomunikasi, berkoordinasi dan berkonsolidasi selama ini, dimana konspirasi kejahatatan yang menjangkiti Polri bukanlah terjadi dengan proses yang singkat dan berdiri sendiri.
Demi keselamatan Polri serta demi keselamatan rakyat, negara dan bangsa Indonesia. Seandainya ilustrasi hewan yang tak bermoral itu bisa dipakai, bahwasanya ikan busuk dimulai dari kepala.
Menjadi kehormatan, martabat dan harga diri sekaligus pertanggungjawaban moral, bagi kapolri untuk undur diri dari jabatannya.
Karena kapolri undur diri, itu baru presisi.
Rasa -rasanya terlalu lama menunggu hingga Jokowi undur diri.
Munjul, Cibubur - 24 Agustus 2022.