OPINI

Teman Jokowi Itu Jin?

Oleh M. Rizal Fadillah Pemerhati Politik dan Kebangsaan TERINGAT saat buku \"Saatnya Mundur\" terbit artikel pertama yang ada dalam buku tersebut berjudul \"Inaugurasi Horor\". Kisah penghelatan politik yang heboh dan mencekam pada tanggal 20 Oktober 2019 saat Jokowi dilantik. Adalah Ki Sabdo yang mengundang Nyi Roro Kidul, Nyi Blorong hingga Jin Kahyangan untuk menjaga suksesnya inaugurasi Jokowi sebagai Presiden. Pengakuan Ki Sabdo undangan menghadirkan berbagai dedemit tersebut adalah atas perintah Jokowi.  Mbah Yadi paranormal asal Pati menyatakan bahwa sosok gaib pelindung Jokowi bukan asal-asalan. Nyi Roro Kidul penguasa laut selatan disebutnya, begitu juga sosok khadam Soekarno. Ada pula burung Garuda yang berputar-putar mengawasi Presiden Jokowi dari hal-hal gaib yang akan mencelakai. Pasukan Prabu Siliwangi juga  bersenjata tombak, keris, dan pedang adalah leluhur yang menjaga.  Menurut Mbah Yadi \"Bapak Presiden Jokowi ini dari sisi pakar di bagian Pemerintahan beliau ahli laku spiritual\" Ia menambahkan \"Presiden ditemani tokoh-tokoh gaib dilihat dari sehari-harinya\". Kesukaan pada penggunaan baju adat berbagai suku berhubungan dengan leluhur ini.  Saat ritual kendi di IKN Penajam Kalimantan makhluk gaib yang tak lain para Jin itu berseliweran \"bukan hanya manusia yang hadir, tetapi juga sosok tidak kasat mata\", kata Mbah Mijan. Paranormal yang berkomentar soal makhluk makhluk di IKN ini, di samping Mbah Mijan juga Ki Surau, Ki Bedul Sakti, dan Gus Fatah ketua Persatuan Dukun Nusantara (Perdunu). Jokowi sebagai \"inspektur upacara\" ritual mistik Kendi Nusantara juga harus berkemah di tengah hutan.  Semua ini menjadi pertanyaan bahwa benarkah teman-teman Jokowi adalah Jin ? Jika demikian maka rezim oligarki saat ini bukan saja terdiri dari elemen taipan atau politisi tetapi juga Jin dedemit.  Ketuhanan Yang Maha Esa tekah berubah menjadi Kehantuan Yang Sok Kuasa.  Jika \"fatwa-fatwa gaib\" ikut menentukan pengambilan keputusan politik, maka bahaya sekali pola penyelenggaraan negara ini. Dukun-dukun ikut menjadi pembisik.  Jin itu memang ada tetapi berlindung pada Jin adalah sesat.  \"Wa annahu kaana rijaalun minal insi ya\'uudzuuna birijaalin minal jinni fazaaduuhum rohaqan\"  (dan sesungguhnya ada beberapa laki-laki dari kalangan manusia meminta perlindungan kepada Jin, maka Jin itu membuat mereka bertambah sesat)--QS Jinn 6. Bangsa Indonesia yang ber-Ketuhanan YME sesuai sila Pancasila tidak boleh dipimpin oleh orang-orang yang sesat apalagi menyesatkan.  Nah pak Jokowi, segera bertaubatlah sebab akan berat urusan akherat nanti. Bandung, 29 Juni 2022

Politisi Telepon Koin

Akibat kekuatan koin seringkali, pemimpin negara ini diasosiasikan ucapan, peran, dan sikapnya dikendalikan orang lain. Saat manggung, dikendalikan peran panggungnya oleh sutradara (oligarki). Oleh: Sutoyo Abadi, Koordinator Kajian Politik Merah Putih TELEPON umum koin adalah jenis telepon umum yang menggunakan koin atau uang koin sebagai alat pembayarannya. Lama pembicaran yang tersedia bagi pengguna tergantung pada nominal koin yang dimasukkan. Perintah telepon koin sangat efektif bicara terbatas dengan instruksi singkat dan jelas dampak dan akibatnya bisa bermacam macam, dari tingkah laku para pionir yang menerima pesan dan harus dilaksanakan dengan tepat waktu dengan pengawasan yang sangat ketat. Pengamat politik Dr. Mulyadi Opu Andi Tadampali pada tahun 2017 telah memperkenalkan Teori Oligarki kembar tiga: Oligarki Politik (Badut politik), Oligarki Ekonomi (Bandar politik), dan Oligarki Sosial (Bandit politik). Teori ini telah melahirkan politisi bahkan intelektual telpon koin, yaitu politisi atau intelektual sejenis bandit politik, belakangnya oligarki politik dan oligarki ekonomi dengan target jangka pendek guna meruntuhkan institusi penjelmaan politik rakyat indonesia. Andi Tadampuli menjelaskan lebih lanjut bahwa target jangka panjang oligarki ingin: (1) kuasai presiden Indonesia dengan cara menghilangkan kata asli; (2) kuasai ekonomi Indonesia dengan cara adu kuat usaha pribumi dengan usaha konglo taipan melalui demokrasi ekonomi, yaitu ekonomi kerakyatan versus ekonomi kapitalisme; dan (3) kuasai politik Indonesia dengan cara kuasai politisinya melalui gabungan partai alias \"kolisi kumpul kebo\". Politisi telepon koin saat ini bersenyawa dengan kaum intelektual. Telepon koin itu memiliki sifat enjoy life (kekinian) yang menyimpang dari kepribadiannya, yang semestinya memburu kebenaran demi kemaslahatan bersama, dan menjadi pencipta bahasa dalam menyampaikan yang benar kepada penguasa, dengan berpegang teguh pada prinsip-prinsip kemanusiaan dan keadilan – justru hanya berperan sebagai pembenar penguasa. ( Edward Said, 1996 ) Remote politik oligarki selalu mulus ketika memesan UU dan berbagai macam kebijakan yang harus dilakukan oleh pelaksana teknis atau seringkali disebut sebagai rezim boneka itu terbaca dengan sangat jelas. Semua berjalan dengan pesanan telepon koin yang diterima atau dengan tekanan resiko hutang koin yang telah diterimanya. Bung Hatta Taliwang (aktivis pergerakan 98) dengan nada jengkel mengatakan bahwa para dalang telah berhasil menyeret sebagian besar dari kita ke dalam pembahasan yang akan membuat kita to be or not to be terbawa arus sistem sekarang yang akan membawa kita suka atau tidak suka, harus menerima hasil kompromi para oligarki dan lagi-lagi kita akan dipimpin “boneka” baru. Kekuatan koin benar-benar telah membuat petinggi negara kesurupan, In the struggle, I\'m selling my self more often  than not on the highest bidder purely for thrill and money (Dalam berjuang, saya lebih sering menjual diri saya pada penawar tertinggi semata-mata untuk kesenangan dan uang), membabi buta tidak peduli akibat/dampak kebijakannya akan menimbulkan kesengsaraan rakyat. Akibat perilaku politisi telepon koin, Ir. Prihandoyo Kuswanto (Ketua Pusat Studi Rumah Pancasila) mengatakan bahwa: bangsa ini telah terhipnotis dengan berbagai cara sehingga tidak sadar, bahwa negara ini sudah tidak lagi negara yang diproklamasikan 17 Agustus 1945, negara yang didasarkan Pancasila telah dibuat oleh pendiri negeri ini sesuai dengan alinea ke-4 pembukaan UUD 1945. Akibat kekuatan koin seringkali, pemimpin negara ini diasosiasikan ucapan, peran, dan sikapnya dikendalikan orang lain. Saat manggung, dikendalikan peran panggungnya oleh sutradara (oligarki). Semua berperan seperti jongos politik. Wajar Prof Daniel M Rosyid berpesan stop menjadi jongos ekonomi dan politik. Karena oligarki sungguh riil sebagai pengendali politik dan ekonomi negara ini dengan kekuatan koin yang sangat besar dan pergerakan sangat taktis dengan kekuatan telepon koinnya. (*)

Dukung Anies Tutup Holywings

Oleh M. Rizal Fadillah Pemerhati Politik dan Kebangsaan  BLUNDER iklan Holywings berakibat fatal. Reaksi keras umat Islam atas promosi minuman keras dengan melabel atau menggratiskan orang yang bernama \"Muhammad dan Maria\" telah menyeret 6 karyawan Holywings ke proses hukum. Polres Jakarta Selatan cepat menetapkan keenamnya sebagai tersangka. Titel tuduhannya adalah ujaran kebencian, menimbulkan keonaran dan penistaan agama. Desakan agar ada tindakan lebih jauh atas promosi outlet di bawah PT Aneka Bintang Gading milik Eka Wijaya dan Ivan Tanjaya dengan tiga produk Holywings Club, Holywings Restaurant, dan Holywings Bar yang tersebar di berbagai tempat di Jakarta, Bekasi, Bandung, Surabaya, Medan hingga Makasar ini berbuah hasil. Gubernur DKI Anies Baswedan memelopori penutupan seluruh outlet di Jakarta.  Berdasarkan atas rekomendasi Dinas Pariwisata dan Ekonomi Kreatif (Disparekraf) dan Dinas Perindustrian, Perdagangan, Koperasi dan UKM (DPPKUKM) maka Gubernur DKI Anies Baswedan mencabut izin usaha 12 outlet Holywings di Jakarta. Alasan hukumnya adalah di samping tidak memiliki Sertifikat Standar KLBI 56301Jenis Usaha Bar terverifikasi, juga melanggar penjualan minuman beralkohol yang hanya bisa dibawa pulang. Tidak diminum di tempat.  Pencabutan izin usaha atau penutupan outlet Holywings di Jakarta patut didukung karena Gubernur DKI mengambil langkah cepat dan tanggap merespon keluhan masyarakat terhadap perilaku pengusaha Holywings yang telah membuat keonaran akibat penistaan agama. Diharapkan muncul sikap serupa di berbagai daerah yang lain. Model Holywings tak layak hidup.  Nikita Mirzani yang katanya salah satu pemegang saham, mengkritisi pencabutan izin oleh Anies sebagai menutup hak hidup ribuan pekerja Holywings.  Mirzani lupa bahwa hal itu di samping konsekuensi dari usaha jorok juga sebenarnya banyak hak hidup pekerja pribumi yang jumlahnya ribuan atau ratusan ribu pun telah diambil oleh TKA asal China. Dan Nikita diam saja.  Bagi muslim yang memiliki kesadaran keagamaan yang baik tentu tidak akan bekerja di restoran atau bar yang membuka peluang untuk perilaku mabuk-mabukan. Minuman keras beralkohol adalah barang haram.  Dukungan kepada Anies itu penting, sekurangnya untuk tiga hal  : Pertama, agar perlawanan terhadap kebijakan konsisten Gubernur DKI tidak menciptakan kegaduhan atau kekacauan. Sikap melawan hukum harus diredam dengan ketegasan dan sanksi yang memberi efek jera.  Kedua, dukungan adalah kristalisasi dari rasa keadilan yang dirasakan masyarakat khususnya umat Islam. Adalah zalim siapapun termasuk pemerintah yang membiarkan penistaan agama itu marak atau masif.  Ketiga, dengan dukungan nyata dari masyarakat maka Anies Baswedan akan semakin kuat untuk menjalankan amanat sebagaimana sumpah jabatannya. Menerobos kultur dusta dan khianat yang merajalela di kalangan para pejabat kita.  Jangan beri kesempatan kelompok anti agama atau nir-moral untuk terus menerus mengganggu dan menciptakan instabilitas melalui keberanian untuk menyentuh aspek-aspek peka keagamaan. Musuh agama adalah musuh negara. Musuh ideologi bangsa.  Setelah penutupan Holywings di Jakarta, maka tutup semua outlet Holywings di seluruh Indonesia.  Sayap suci palsu itu telah menodai kesucian ibu pertiwi.  Bandung, 28 Juni 2022

Rakyat Menuntut MK (2): Batalkan UU IKN No.3/2022, Tunjukkan MK Bebas Moral Hazard

Oleh Marwan Batubara, PNKN Pada tulisan pertama PNKN telah menguraikan berbagai alasan objektif, logis, dan faktual mengapa UU IKN No.3/2022 harus dibatalkan. Proses pembentukan tidak sesuai konstitusi dan kaidah hukum berlaku. Karena itu, PNKN telah meminta MK memutus Permohonan Uji Formil UU IKN yang diajukan PNKN, terregistrasi sebagai Perkara No.25/PUU-XX/2022 sesuai tuntutan, yakni membatalkan UU IKN. PNKN telah mengingatkan MK untuk bersikap adil, independen, konsisten, objektif, transparan, demokratis, serta taat hukum dan konstutusi. Jika prinsip-prinsip bernegara ini dijadikan pedoman, maka PNKN sangat yakin bahwa MK *otomatis* akan membatalkan UU IKN, karena proses pembentukannya inskonstitusional.  Jika akhirnya putusannya justru meloloskan UU IKN, maka PNKN yakin ada masalah besar dengan MK dan Para Yang Mulia Hakim-Hakim MK. Tulisan ini sedikit mengungkap sebagian isu yang diduga terjadi seputar hakim-hakim tersebut. Tapi tulisan ini sekaligus ingin mengingatkan Para Yang Mulia untuk memutus Perkara No.25 sebagaimana seharusnya. Pada tanggal 20 Juni 2022, MK telah menolak Permohonan Uji Formil & Materil UU MK No.7/2022. Putusan MK atas uji formil dan materil UU MK tersebut merujuk pada Putusan Perkara-perkara No.90, 96, 100/PUU-XVII/2020 dan No.56/PUU-XX/2022. Dari putusan tersebut, minimal publik perlu paham dan mendapat sedikit gambaran tentang siapa, serta bagaimana sepak terjang dan “profil” Para Yang Mulia Hakim MK. Dalam perkara *Permohonan Uji Formil UU MK No.7/2020*, Para Yang Mulia telah menyatakan menolak tuntutan para pemohon. Prinsipnya, Para Yang Mulia menyatakan UU MK No.7/2020 tetap berlaku, dengan berbagai alasan dan argumentasi tidak relevan. Padahal proses pembentukan UU MK berlangsung melawan konstitusi dan kaidah hukum yang berlaku. Pembentukan UU MK tidak dapat dipertanggungjawabkan secara akademis dan tidak pula didukung naskah akademik yang seharusnya dipersiapkan sesuai perintah UU No.12/2011.  Revisi UU MK tidak memenuhi syarat carry over dan azas pembentukan peraturan yang baik. Bahkan, diduga terjadi penyelundupan hukum, memasukkan norma yang sebelumnya tidak dibahas dalam RUU, dengan dalih menindaklanjuti putusan MK. Penyeludupan norma hukum  ini diduga terjadi karena didorong kepentingan pragmatis para penguasa oligarkis. Proses pembentukan UU MK berlangsung tertutup, tergesa-gesa, dan memanfaatkan kondisi masyarakat yang sedang mengalami pandemi Covid-19, para pemegang kekuasaan seolah bertindak seperti mengail di air keruh. Pembentuk UU telah merampas hak-hak konstitusional rakyat, mengabaikan koridor formil, melanggar konstitusi dan merampas hak partisipasi publik. Tampaknya pembentuk UU telah bertindak otoriter dan prilaku sarat moral hazard. Dalam perkara Permohohonan Uji Materil UU MK No.7/2020, norma-norma yang digugat antara lain termaktub dalam  Pasal 15 ayat (2) huruf d, Pasal 22 jo Pasal 23 ayat (1) huruf d jo Pasal 26 ayat (1) huruf b, dan Pasal 87 huruf a dan b.  Khusus Pasal 87 huruf a yang digugat adalah norma tentang masa jabatan ketua dan wakil ketua MK, sedang *Pasal 87 huruf b yang digugat adalah norma batas usia hakim*, akhir masa jabatan hakim MK sampai usia 70 tahun atau paling lama menjabat 15 tahun. Terkait Pasal 87 huruf a, mayoritas hakim MK mengabulkan permohonan uji material UU MK, bahwa ketua dan wakil ketua MK tidak bisa otomatis melanjutkan masa jabatan hingga lima tahun. Dengan putusan MK ini, maka ketua dan wakil ketua MK harus dipilih kembali paling lama 9 bulan sejak putusan dibacakan. Sebelum berubah menjadi lima tahun (dalam UU No.7/20202), masa jabatan ketua/wakil Ketua MK dalam UU No.24/2003 adalah 2,5 tahun. Kita tidak yakin akhirnya akan terjadi perubahan pimpinan MK, jika kepentingan sempit berpran lebih dominan. Terkait Pasal 87 huruf b, semua hakim MK, kecuali hakim Wahiduddin Adam, telah menolak gugatan para pemohon. Artinya, meskipun bermasalah, mayoritas Yang Mulia Hakim MK tersebut setuju dan jusru mendukung norma atau “fasilitas” menguntungkan yang diatur dalam UU MK No.7/2020. Mereka akan mendapat kenikmatan, bisa menjabat hingga mencapai usia 70 tahun, atau paling lama menjabat hingga 15 tahun. Padahal mestinya masa jabatan hakim MK adalah lima tahun, sebagaimana berlaku untuk jabatan presiden dan wakil presiden atau anggota DPR. Karena aspek politik dalam lingkup tugas sangat dominan, dan mayoritas hakimnya dipilih lembaga politik (Presiden dan DPR), maka sangat relevan membatasi jabatan hakim MK selama lima tahun dan bisa dipilih satu periode lagi.  Terlepas dari persoalan lingkup tugas MK, pada dasarnya seperti disinggung di atas, masalah “fasilitas” peningkatan batas usia jabatan hakim MK sejak semula memang tidak dibahas atau tercantum dalam naskah akademik UU MK. Norma tersebut, out of the blue, tiba-tiba masuk dalam RUU. Telah terjadi penyeludupan norma hukum yang tampaknya sengaja direkayasa: memberi fasilitas kepada para hakim MK dengan tujuan agar MK terpengaruh, dapat dikendalikan atau berhutang-budi kepada pemberi fasilitas, sehingga berpotensi gagal bersikap independen.  Rakyat bisa saja menilai telah terjadi suap-menyuap atau gratifikasi jabatan atau tindakan menghalalkan segala cara guna mencapai tujuan. Dengan adanya kenikmatan/gratifikasi yang diperoleh, Para Yang Mulia Hakim MK bisa terpengaruh, sehingga gagal membuat putusan-putusan yang adil, objektif, konstitusional, dan sesuai kepentingan rakyat. Namun pada saat yang sama, putusan tersebut akan menguntungkan para oligarki kekuasaan, karena tampaknya itulah tujuan gratifikasi atau norma peningkatan usia masa jabatan tersebut. Faktanya, meskipun proses pembentukannya cacat konstitusional dan diduga sarat moral hazard dan conflict of interest, secara sadar MK telah menolak Permohonan Uji Formil UU MK No.7/2020 yang. MK menyatakan UU MK No.7/2020 tetap berlaku. Tampaknya MK sangat menikmati fasilitas yang disediakan para pembentuk UU yang diduga sarat kepentingan oligarki tersebut. Sikap MK yang berwenang mensahkan aturan untuk diri sendiri ini, meskipun sarat conflict of interest, bukan saja menyangkut aspek kenegarwanan, tetapi yang jauh lebih penting adalah menyangkut aspek moralitas.  Apakah “nasib” Permohonan Uji Formil UU IKN No.3/2020 sama seperti Uji Formil UU MK No.7/2020, akhirnya akan ditolak MK? Apakah MK akhirnya akan menerbitkan putusan yang akan menyatakan UU IKN No.3/2020 akan tetap berlaku? Jawabannya kemunginan besar YA! Meski demikian, sebelum putusan diambil, kami dari PNKN ingin mengingatkan Para Yang Mulia Hakim MK untuk menyadari bahwa mayoritas rakyat sudah paham “what is going on”, apa yang terjadi. Para Yang Mulia Hakim MK harus ingat akan Sumpah Jabatan, memihak kepentingan rakyat dan adanya pengadilan sesudah kematian. Tulisan kami dari PNKN ini lebih ditujukan untuk berfungsi sebagai pengingat: friendly reminder.[] Jakarta, 28 Juni 2022.

Setelah Mega, Anies Bakal Menghadapi Tragedi Demokrasi Konstitusi

Hanya Soekarno dan Soeharto yang mampu menampilkan demokrasi yang bersumber dari pikiran, ucapan dan tindakannya sendiri. Dua figur pemimpin besar yang menjabat presiden Indonesia itu, bahkan menjadi superior di atas konstitusi dalam proses penyelenggaraan kedaulatan rakyat. Soekarno dengan demokrasi terpimpin, Soeharto identik dengan demokrasi semu. Pun demikian, sejarah melukiskan kedua  pemimin sipil dan militer itu, cenderung sama-sama memiliki karakter anti demokrasi. Mereka merupakan putra-putra terbaik Indonesia yang berhasil menaklukkan sekaligus menjadi korban demokrasi konstitusi. Oleh: Yusuf Blegur Mantan Presidium GMNI  PASCA kepemimpinan Soekarno dan Soeharto, terutama di ujung berakhirnya kekuasaan orde baru. Politik Indonesia berupaya menampilkan transisi kekuasaan yang otoriterian menuju kehidupan rakyat yang lebih demokratis. Selain karena tekanan politik, ekonomi, hukum dan keamanan, geliat perubahan mengemuka juga dipengaruhi oleh bangkitnya  kesadaran dan gerakan \"civil society\". Isu HAM, demokratisasi, penerapan Pancasila dan UUD 1945 serta tema-tema strategis lainnya, begitu deras mengalir hingga bermuara pada kelahiran era reformasi. Banyak catatan historis dan ideologis yang mewarnai kehidupan rakyat, negara dan bangsa Indonesia terutama setelah lepas dari cengkeraman orde baru dan orde lama. Meskipun pada akhirnya rakyat merasakan betapa iklim reformasi tak luput mengalami distorsi. Apa yang kemudian diperjuangkan terkait penyelenggaraan negara yang bersih dan berwibawa, bebas dari praktek-praktek KKN, supremasi hukum, profesionalitas birokrasi dan militer.  tanpa eksplotasi sumber daya alam yang berlebihan dll. Ternyata tak lebih baik dapat diwujudkan dalam era reformasi. Bahkan kecenderungan semakin merosotnya kualitas dan kuantitas kehidupan rakyat, terlihat begitu kentara. Rezim reformasi jauh lebih bengis dan lebih buruk ketimbang  pelbagai gugatan dan perlawanan rakyat yang pernah dilakukan pada era orde lama dan ode baru. Simbol Perlawanan Rakyat Suka atau tidak suka, senang atau tidak senang, biar bagaimanapun sejarah pernah menjadi saksi bahwasanya kehudupan demokrasi di Indonesia pernah menghadirkan Megawati Soekarno Putri seorang figur yang gigih memperjuangkannya. Mega sedikit pemimpin di jamannya yang mampu bersikap tegas dan mengambil posisi berseberangan dengan kekuasaan rezim saat itu. Sebagai pegiat demokrasi dan pemimpin partai politik, Mega telah melewati masa-masa sulit dan mengambil  beragam resiko dari pandangan dan sikap politiknya. Putri sulung Bung Karno itu harus mengalami teror, intimdasi, hujatan dan fitnah langsung dari rezim dan anasir kekuasaannya. Bukan hanya diselimuti rasa permusuhan dan kebencian. Mega juga ditempatkan sebagai lawan berbahaya pemerintahan dan telah menjadi musuh negara versi rezim. Begitupun dengan Anies Rasyid Baswedan, tak pernah lepas  dari pengalaman-pengalaman yang sama yang pernah dialami Megawati Soekarno Putri. Baik Anies yang lebih banyak menyelami dunia pendikan, maupun Mega yang lebih intens dengan partai politik. Keduanya tak pernah bisa menghindari pusaran politik yang memikul beban hajat hidup orang banyak. Secara empiris, keduanya bisa dibilang matang bersentuhan dengan dunia politik dan birokrasi di Indonesia. Menariknya,  antara Mega dan Anies memiliki irisan yang kuat yang berkorelasi erat dengan dinamika dan konstelasi politik nasional. Mega sebagai ketua umum PDIP yang menjadi \"the rolling party\" dan memiliki kader  sebagai presiden Indonesia sekaligus petugas partai. Di lain sisi, Anies sebagai figur pemimpin masa depan yang memangku jabatan  gubernur Jakarta dan capres potensial yang tidak memiliki partai politik. Mega dan Anies seperti sebuah hubungan sosial yang saling kenal, tidak jauh tapi tidak dekat juga, sewaktu-waktu bisa intim  dan tidak berjarak untuk bertemu dan saling berinteraksi. Pada akhirnya bukan hanya \"inner circle\" Mega dan Anies, lebih dari itu seluruh rakyat Indonesia akan menanti sejaumana episode hubungan  keduanya. Apakah sebatas hubungan politik praktis kontemporer yang hanya bisa jenghasilkan koalisi atau oposisi semata di antara keduanya, atau akan ada hubungan antar dua figur negarawan. Mega dan Anies akan bertemu dalam konstelasi dan konfigurasi pilpres 2024.  Akankah karakter sejati keduanya bertemu dalam hubungan yang hangat dan mesra menjadi sinergi dan harmoni. Menjadi kedua kekuatan politik yang bukan sekedar berkolaborasi, akan tetapi mendorong  Mega dan Anies sebagai faktor penting dan berengaruh menghasilkan solusi problematika negara dan bangsa. Mega yang pernah menjadi harapan dan simbol perlawanan rakyat terhadap kedzoliman rezim, akankah berubah setelah memiliki kekuasaan. Sanggupkah Mega melihat figur Anies seperti dirinya sendiri  yang pernah berjuang untuk tegaknya demokrasi dan kehidupan rakyat Indonesia yang lebih baik. Mungkinkah Mega menjadi ahistoris dan kontra revolusioner, terus memelihara dendam sejarah dan dendam sosial ke panggung politik nasional. Akankah Mega terjebak pada demokrasi konstitusi yang pernah menjadi tragedi dalam kehidupan pribadi dan rekam jejak politiknya.Kalau itu tak akan terjadi, besar kemungkinan karakter simbol perlawanan rakyat tak akan hilang dan tetap diwariskan kepada generasi penerus bangsa. Siapa pemegang estafetnya yang mumpuni dan layak mengemban amanat itu?. Tak harus biologis yang penting ideologis, sebagai pemimpin rvolusioner bagi kepentingan nasional dan internasional. Setidaknya nilai-nilai dan kepribadian itu ada pada Anies yang ideologis Soekarno, dan bisa saja Puan yang biologis Mega yang  mendampinginya. Keduanya mungkin saja menjadi pilihan terbaik dari yang terburuk yang ada pada etalase kepemimpinan nasional. Minimal mampu menghindari tirani dan tragedi demokrasi konstitusi atau pseudo demokrasi. Terlihat samar-samar dalam lampu temaram republik,  rakyat Indonesia belum punya kemampuan mengambil keputusan politik dan masa depannya sendiri. Kecuali hanya bisa pasrah dan menyerahkan nasibnya pada takdir sejarah. Wallahu a\'lam bishawab. Munjul-Cibubur, 28 Juni 2022.

Merebut Kembali Kedaulatan Rakyat

Karena itu wajar bila Profesor Kaelan dari UGM, dari hasil penelitian akademiknya, menyimpulkan bahwa Amandemen 1999-2002 silam bukanlah Amandemen atas Konstitusi. Tetapi penggantian Konstitusi. Oleh: AA LaNyalla Mahmud Mattalitti, Ketua DPD RI (Disampaikan Dalam Diskusi Publik Simpul Jaringan Umat Institute Sumatera Selatan Koalisi Rakyat Untuk Poros Perubahan, Palembang, 28 Juni 2022) SAYA sampaikan terima kasih kepada Pengurus Lembaga Simpul Jaringan Umat Institute, yang begitu cepat merespon pertemuan di Kota Bandung kemarin, dengan menggelar kegiatan serupa untuk terus menggelorakan semangat merebut kembali Kedaulatan Rakyat dalam menentukan arah perjalanan bangsa ini. Sehingga rakyat tidak hanya menjadi penonton kesibukan para ketua umum partai politik yang saling berkunjung, dan menggelar rapat-rapat tertutup untuk menentukan suksesi kepemimpinan nasional negara ini. Karena pada hakikatnya; Demokrasi harus menjadi alat rakyat. Alat rakyat untuk mencapai tujuan rakyat. Karenanya tidak boleh terjadi, rakyat justru menjadi alat demokrasi. Karena pemilik negara ini adalah rakyat. Sehingga sudah semestinya kedaulatan ada di tangan rakyat. Beberapa hari ini, sudah banyak pertanyaan yang saya dengar dari beberapa kalangan. Baik di grup WhatsApp, maupun di media sosial, yang pada intinya, menanyakan, mengapa LaNyalla akhir-akhir ini kritis dengan narasi-narasi fundamentalnya tentang negara. Dulu-dulu LaNyalla kemana aja? Begitulah inti dari banyak pertanyaan, jika saya simpulkan. Bagi saya pertanyaan-pertanyaan seperti itu wajar. Terutama bagi mereka yang tidak mengikuti perjalanan saya sejak dilantik menjadi Ketua DPD RI pada 2 Oktober 2019 (dinihari), silam. Karena sejak saat itu, saya menyadari betul, bahwa saya telah melakukan transformasi posisi. Dari sebelumnya aktivis organisasi di Ormas, menjadi pejabat negara. Sehingga saya wajib berbicara tentang negara. Karena sebelum menjadi pejabat negara, saya aktif di beberapa organisasi. Tentu saya berbicara dalam skup organisasi tersebut. Seperti saat saya aktif di Kadin, saya bicara dunia Usaha dan Industri. Saat aktif di PSSI, saya berbicara tentang Sepakbola dan Tim Nasional. Begitu juga di Pemuda Pancasila, yang sampai hari ini saya masih menjadi Ketua di Jawa Timur, tentu saya aktif berbicara tentang Pancasila. Tetapi sejak saya dilantik sebagai pejabat negara, saya harus menjalankan sumpah saya sebagai pejabat negara. Sebagai Ketua DPD RI. Sebagai Ketua Lembaga Negara yang mewakili daerah. Maka sejak saat itu, saya putuskan untuk keliling ke semua daerah di Indonesia. Untuk apa? Untuk melihat dan mendengar langsung suara dari daerah. Agar Lembaga DPD RI ini memiliki manfaat sebagai wakil daerah. Apalagi Lembaga ini dibiayai dari APBN. Meskipun jauh lebih kecil dibanding anggaran DPR RI. Hampir satu tahun awal masa jabatan, saya terus berkeliling daerah. Bahkan di masa Pandemi Covid. Dan dari perjalanan turun langsung itu, saya menemukan dua persoalan yang hampir sama. Yaitu; Ketidakadilan yang dirasakan masyarakat dan Kemiskinan Struktural yang sulit dientaskan.   Dari temuan itu, saya simpulkan bahwa dua persoalan tersebut adalah persoalan Fundamental bangsa ini. Tidak bisa diatasi dengan pendekatan karitatif dan kuratif. Ibarat di dunia medis, persoalan tersebut hanya symptom dari sebuah penyakit dalam. Saya berdiskusi dan berdialog dengan banyak orang. Kolega di DPD RI dan sahabat-sahabat saya. Memang benar. Persoalan tersebut ada di hulu. Bukan di hilir. Ini semua tentang arah kebijakan negara. Yang dipandu melalui Konstitusi dan ratusan Undang-Undang yang ada. Sehingga sering saya katakan. Ini bukan persoalan pemerintah hari ini saja. Atau Presiden hari ini saja. Tetapi persoalan kita sebagai bangsa. Oleh karena itu, saat DPD RI menjadi penyelenggara Sidang Tahunan MPR Pada 16 Agustus 2021 lalu, saya mulai menyampaikan persoalan kebangsaan ke muka publik dalam sidang yang dihadiri semua Lembaga Negara saat itu. Termasuk Presiden dan Wakil Presiden. Sejak saat itu, saya terus menerus meresonansikan, bahwa kita harus melakukan koreksi atas arah perjalanan bangsa. Karena negara ini semakin hari, semakin Sekuler, Liberal dan Kapitalis. Karena itu saya juga sampaikan berulangkali. Bahwa saya mengajak semua pejabat negara untuk berpikir dan bertindak sebagai negarawan. Bukan politisi. Karena negarawan tidak berpikir next election. Tetapi berpikir next generation. Saya menyadari betul. Bahwa sebagai pejabat negara saya disumpah untuk menjalankan Konstitusi dan peraturan perundangan yang berlaku. Tetapi sebagai manusia saya dibekali akal untuk berfikir, dan qolbu untuk berdzikir. Sehingga saya selalu memadukan Akal, Pikir dan Dzikir. Saya melihat ada persoalan di dalam Konstitusi kita. Dan ada masalah di dalam perundang-undangan kita. Dimana kedaulatan rakyat di dalam sistem demokrasi perwakilan yang didesain oleh para pendiri bangsa sudah terkikis dan hilang. Bahkan kita telah meninggalkan Pancasila sebagai grondslag negara ini. Dan puncak dari semua itu adalah saat kita melakukan Amandemen Konstitusi pada tahun 1999 hingga 2002 silam. Dengan cara yang ugal-ugalan dan tidak menganut pola addendum. Sehingga kita menjadi ‘bangsa’ yang lain dan tercerabut dari akar sejarahnya. Bangsa yang super majemuk ini tiba-tiba melakukan copy paste sistem demokrasi barat secara murni dan konsekuen. Dan secara sadar dan sengaja, meninggalkan sistem demokrasi Pancasila yang dirumuskan para pendiri bangsa. Karena itu wajar bila Profesor Kaelan dari UGM, dari hasil penelitian akademiknya, menyimpulkan bahwa Amandemen 1999-2002 silam bukanlah Amandemen atas Konstitusi. Tetapi penggantian Konstitusi. Saya tidak pernah mengatakan bahwa pemerintahan Orde Baru itu yang terbaik. Karena Naskah Asli Undang-Undang Dasar 1945 memang harus disempurnakan, untuk memastikan tidak terjadi Abuse of Power. Tetapi bukan diganti total seperti hari ini.   Karena fakta membuktikan. Sejak Amandemen Reformasi kemarin, semakin banyak lahir undang-undang yang menyumbang Ketidakadilan dan Kemiskinan Struktural. Dan itulah yang saya temukan setelah saya berkeliling ke 34 provinsi di Indonesia. Mengapa itu terjadi? Karena kita telah meninggalkan mazhab ekonomi Pemerataan dan meninggalkan perekomian yang disusun atas azas kekeluargaan, dengan membiarkan ekonomi tersusun dengan sendirinya oleh mekanisme pasar. Kita telah meninggalkan ciri utama dari Demokrasi Pancasila dimana semua elemen bangsa ini, yang berbeda-beda, harus terwakili sebagai pemilik kedaulatan utama yang berada di dalam sebuah Lembaga Tertinggi di negara ini. Kita telah meninggalkan Sistem Demokrasi yang paling sesuai dengan watak dasar dan DNA bangsa yang super majemuk ini. Dimana demokrasi dilakukan dengan pendekatan konsensus. Bukan dengan pendekatan mayoritas. Atau menang-menangan yang dihasilkan dari membeli suara, atau melakukan kecurangan pemilu. Dan sejak Amandemen reformasi itu, tidak ada lagi ruang bagi elemen non-partisan untuk ikut menentukan arah perjalanan bangsa ini. Karena hanya partai politik yang pada prakteknya menjadi penentu tunggal perjalanan bangsa ini. Sehingga Pancasila sekarang seperti Zombie. Walking dead. Atau istilah lainnya; Pancasila Not Found. Dan negara ini akhirnya dibajak oleh bertemunya Oligarki Ekonomi dengan Oligarki Politik.   Inilah yang saya sebut dengan kita sebagai bangsa telah Durhaka kepada para pendiri bangsa. Telah Durhaka kepada para pahlawan yang merelakan nyawanya, dengan dua pilihan kata saat itu, yaitu; Merdeka atau Mati ! Sebuah semboyan yang mungkin bagi generasi muda saat ini terasa absurd. Padahal itu semua mereka lakukan demi kemerdekaan. Demi perwujudan kecintaan kepada tanah air. Dan demi satu harapan mulia; ‘Agar tumbuh generasi yang lebih baik’. Tetapi apa yang tumbuh? Yang tumbuh subur hari ini adalah Oligarki Ekonomi yang menyatu dengan Oligarki Politik, yang menyandera kekuasaan agar negara tunduk dalam kendali mereka. Itulah mengapa saya tidak sependapat dengan orang yang mengatakan bahwa untuk membenahi Indonesia yang karut marut dan salah arah ini, harus diawali dengan membenahi hukum, atau membenahi ekonomi, atau membenahi birokrasi dan lainnya, yang bersifat sektoral dan parsial. Bagi saya, untuk memperbaiki Indonesia, harus dimulai dengan memurnikan kembali demokrasinya. Artinya, mengembalikan demokrasi, yang selama ini dibajak kalangan Oligarkis yang rakus, kepada kaum intelektual yang beretika, yang bermoral dan yang berbudi pekerti luhur. Karena kita merdeka oleh kaum intelektual. Kaum yang beretika. Kaum yang bermoral dan berbudi pekerti luhur. Yaitu para pendiri bangsa kita. Kita merdeka bukan atas jasa partai politik. Karena berdirinya partai politik sebagai bagian dari tata negara adalah setelah Wakil Presiden Muhammad Hatta mengeluarkan Maklumat Wakil Presiden pada tanggal 3 November 1945. Maklumat itu pun diberi restriksi yang sangat jelas dan tegas. Bahwa partai politik memiliki kewajiban untuk memperkuat perjuangan mempertahankan kemerdekaan, dan menjamin keamanan rakyat. Sehingga maknanya jelas. Partai politik memiliki kewajiban untuk ikut memperjuangkan visi dan misi dari lahirnya negara ini. Dimana visinya jelas tercantum di Alinea kedua Pembukaan Konstitusi, yaitu untuk menjadi negara yang Merdeka, Bersatu, Berdaulat, Adil dan Mamur. Sedangkan misi negara juga jelas tertulis di Alinea keempat Pembukaan Konstitusi kita, yaitu untuk melindungi segenap bangsa Indonesia dan tumpah darah Indonesia, dan memajukan kesejahteraan umum, dan seterusnya. Saya percaya, masih banyak kader partai politik yang memiliki idealisme untuk membawa Indonesia lebih baik. Tetapi dengan mekanisme pemilihan anggota DPR yang memberikan peluang kepada peraih suara terbanyak, maka mereka yang idealis seringkali tersingkir dalam pemilu karena keterbatasannya dalam membiayai kampanye yang mahal. Sehingga yang terpilih adalah mereka yang mampu ‘memborong’ suara rakyat. Saya juga percaya, masih ada anggota DPR RI yang memiliki idealisme. Tetapi dengan mekanisme satu suara fraksi dan aturan recall serta ancaman PAW, tentu akan melemahkan perjuangan tersebut. Sehingga memberikan kewenangan tunggal kepada partai politik untuk menentukan arah perjalanan bangsa tanpa reserve, dan tanpa penyeimbang dari kekuatan non-partisan adalah kesalahan kita sebagai bangsa. Karena bangsa ini sudah tidak mengerti lagi kedalaman makna dari kata ‘Republik’ yang dipilih oleh para pendiri bangsa sebagai bentuk dari negara ini. Padahal dalam kata Republik tersimpul makna filosofis yang sangat dalam, yakni Res-Publica, yang artinya Kemaslahatan Bersama dalam arti seluas-luasnya. Itulah mengapa kesadaran kebangsaan ini harus kita resonansikan kepada seluruh elemen bangsa ini. Bahwa kedaulatan rakyat harus kita rebut kembali. Karena rakyat adalah pemilik sah negara ini. Saya menyampaikan ini bukan karena keinginan saya menjadi presiden. Saya tidak akan pernah meminta jabatan. Karena bagi saya jabatan bukan urusan saya, tetapi menjadi urusan dan takdir dari Allah SWT. Dan saya sudah sampaikan di Bandung kemarin, jika saya ditakdirkan Allah SWT memimpin bangsa ini, maka pekerjaan besar yang saya lakukan adalah mengembalikan Kedaulatan Rakyat kepada pemilik negara ini, yaitu Rakyat Indonesia Asli. Karena pekerjaan mengembalikan kedaulatan rakyat tersebut kalau dalam terminologi Islam, bersifat Fardu Ain. Bukan Fardu Kifayah. Karena memang Kedaulatan Rakyat itu mutlak untuk diperjuangkan dan dipertahankan. Dan Kedaulatan Rakyat tersebut memang harus dijamin dan dilindungi oleh Konstitusi. Oleh karena itu, perjuangan mengembalikan kedaulatan rakyat melalui Konstitusi adalah langkah yang benar. Sehingga wajib didukung oleh seluruh elemen bangsa. Dan yang tidak setuju atau menolak upaya ini, jelas dia adalah pengkhianat rakyat. Karena secara prinsip, seluruh kekayaan yang luar biasa di negara ini mutlak sepenuhnya untuk kemakmuran rakyat. Bukan untuk segelintir orang yang rakus menumpuk kekayaan dan menyimpan di luar negeri. Jadi, silakan partai politik sibuk menyusun Koalisi. Silakan partai politik bersatu untuk menang. Tetapi Rakyat Bersatu Tak Bisa Dikalahkan. (*)

Maksiat Politik

Negara ini seolah sudah menjadi miliknya dan mereka merasa paling berhak untuk mengatur dan kelola negara ini. Deal-deal politik yang terjadi selama tak ubahnya hanya untuk kepentingan pribadi/keluarga dan kelompoknya. Oleh: Sutoyo Abadi, Koordinator Kajian Politik Merah Putih POROS merupakan salah satu bagian dari elemen mesin yang berputar di mana fungsi untuk meneruskan daya dari satu tempat ke tempat yang lain. Terjadinya fenomena poros koalisi partai politik akibat adanya Presidential Treshold (PT) 20% adalah gambaran sebuah poros yang pengungkit rodanya sudah patah, dari pijakan rakyatlah pemilik kedaulatan negara. Kemacetan proses Pilpres mendatang diakibatkan oleh gerakan serba semu. Elektabilitas hanya bersandar pada survei data palsu, pencitraan, dan tebar pesona, serta politik transaksional yang sudah menyentuh semua lini, yang menjadikan semua serba buram dan semu. Bahkan akhir-akhir ini viral tokoh capres muncul badut-badutan memakai slayer syal identitas umat Islam, mereka sudah tidak malu-malu lagi sedang mempermalukan dirinya sendiri – mereka masuk pada alam alienasi yang mereka sendiri tidak mengenalinya, hanya ingin memburu simpati untuk memanipulasi data dan politik identitas sempit Negara diselimuti praktik suap-menyuap, korupsi saling membagi, saling menjaga dan membentengi diri. Kabur siapa yang harus diawasi/dijaga dan peran siapa yang harus mengawasi dan menjaga. Negara sudah seperti hutan belantara yang terisi makhluk liar, siapa kuat dialah yang akan memenangkan pertarungan. Carut-marut kehidupan berbangsa semakin parah, dan semakin sulit untuk direstorasi ke kondisi semula. Sistem konstitusi palsu menjerumuskan negara menjadi berantakan, seperti bangunan yang sudah melampaui kapasitas elastisnya. Kehidupan negara ini sudah tanpa bentuk, kehidupan masyarakat semakin getas sehingga rapuh. Seperti kaca, bangunan itu rentan untuk pecah dan berantakan yang akhirnya ambruk. Negara masuk ke alam ketidaksadaran diri (kesurupan) tidak mengerti, benar- benar tidak paham, buta dan tidak menyadari bahwa kehidupan berbangsa dan bernegara telah kehilangan kemampuan umpan-balik untuk melakukan koreksi diri. Kewarasan sistem bernegara ini sudah kehilangan arah, buta, tuli, bisu dalam alam gelap, ini negara sedang meluncur menjadi negara maksiat politik. Akibat hampir semua pejabat negara sudah kesurupan masuk perangkap makhluk  Taipan dan Oligarki. Status negara sudah masuk klasifikasi negara gagal dan diperparah terjadinya krisis konstitusi, semua akibat salah kelola tanpa arah dan mengatur negara yang ugal ugalan. Akibat Pemimpin negara yang minim kapasitas, kemampuan dan kering kerontang dari sikap dan watak negarawan. Saat ini episentrum para Capres sudah jatuh pada perilaku dengan berbagai polah tingkah kemaksiatan politik yang serba liar. Bahkan, sampai ada politisi yang wanti-wanti jangan sampai cari pasangan tukang bakso segala. Padahal, dia lupa kalau selama ini, diantara pendukung partainya itu adalah mereka yang mencari nafkah dengan berjualan bakso. Lebih mulia tukang bakso ketimbang tukang malak bansos yang bukan haknya. Mereka pimpinan parpol sejatinya juga telah berbuat maksiat politik dengan memaksakan kehendaknya untuk menyodorkan kadernya menjadi Capres, meski kinerjanya tidak ada prestasi gemilang sama sekali. Negara ini seolah sudah menjadi miliknya dan mereka merasa paling berhak untuk mengatur dan kelola negara ini. Deal-deal politik yang terjadi selama tak ubahnya hanya untuk kepentingan pribadi/keluarga dan kelompoknya. Bisa disebut, negara ini sudah diatur oleh “mafioso politika” yang berkedok atas nama demokrasi. Bisa bisa disebut juga, bagian dari maksiat politik di Indonesia.     Bung Rocky Gerung saat wawancara dengan Bung Hersubeno Arief, sangat indah menggambarkan bahwa kemaksiatan politik akibat para Capres hanya bersandar pada survei data palsu, pencitraan, tebar pesona, terjebak pada PT 20 dan budaya suap-menyuap yang telah merambah di semua sudut praktek kemaksiatan politik. (*)

Glembuk Jokowi Vs Gertak Emak Banteng

Semoga saja glembuk itu tidak ditujukan sekaligus mendapatkan deal dengan Megawati guna menambah masa jabatan presiden tiga priode. Sekurangnya memperpanjang masa jabatan Jokowi 2-3 tahun dengan berbagai alasan.  Dalam tenggang waktu itu, bisa dimanfaatkan menaikkan elektabilitas Puan sambil mereduksi elektabilitas Ganjar Pranowo, Anies Baswedan dan Andhika Perkasa.  Adakah deal itu yang tentu saja dapat dikategorikan  sebagai \"permufakatan jahat\" elit mengkhianati konstitusi bakal menjadi kenyataan.  Catatan Ilham Bintang , Ketua Dewan Kehormatan Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) Pusat.  DALAM talkshow Indonesia Lawyers Club ( ILC) terbaru, yang disiarkan Channel YouTube TVOne Jumat (25/6) malam, saya  menyebut istilah \"Glembuk Jokowi\". Glembuk -- dikenal sebagai strategi politik dalam kultur Jawa -- berhasil digunakan Presiden Jokowi untuk melunakkan Ketua Umum Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P), Megawati Soekarnoputri yang murka pada hari pembukaan Rakernas partainya, Selasa (21/6). Dalam  pidatonya Megawati awalnya menyinggung banyak hal. Mulai dari meminta kader tidak mencoba bermanuver hingga masalah kewenangannya menentukan capres PDI-P. \"Kalian siapa saja yang berbuat manuver-manuver, keluar! Daripada saya pecati. Tidak ada di dalam PDI Perjuangan yang namanya main dua kaki, main tiga kaki, melakukan manuver,\" kata  Megawati lantang.  Dia tidak menyebut nama, tapi rasanya semua orang tahu siapa yang dituju.\" Kalau ada kader yang masih ngomong koalisi, Out!,\" sambungnya lagi dalam _tone_ yang sama lantangnya.  Ekspresinya pun menyokong itu.  Pidato Megawati itulah yang diangkat dalam diskusi ILC yang dipandu wartawan legendaris Karni Ilyas. Temanya, \"Suhu Politik Makin Panas, Sebenarnya Mega Marah Sama Siapa?\" Para pembicara : Rocky Gerung, Adian Napitulu, Prof Tjipta Lesmana,  Ray Rangkuti, Efendy Choiri, Ruhut Sitompul, dan Ilham Bintang.   Diskusi berlangsung Lebih kurang 100 menit. Karni menyusun rapi penampilan pembicara, saya yang diminta mengawali dan Rocky Gerung yang mengakhiri.  \"Saya persilahkan Ilham berbicara pertama karena dia yang hari Rabu langsung menulis komentar tentang Ibu Megawati di Ceknricek.com, \" Karni membuka. Dalam artikel, \"Belum Pernah Saya Melihat Ibu Mega Semurka Itu,\" saya menyayangkan Megawati murka pada acara pembukaan Rakernas PDI-P. Kasihan. Seharusnya, di usia lanjut, 75 tahun (lahir 23 Januari 1947) Mbak Mega hidup tenang. Tinggal duduk manis menikmati buah perjuangannya membesarkan PDI-P. Tinggal memperbanyak ibadah sebagai sikap sebaik-baiknya mensyukuri nikmatNya.\" Artikel tersebut juga dimuat di FNN.co.id. Mega sudah mengantar partainya menang Pemilu,  dan berhasil mengantarkan kadernya menjadi Presiden RI dua periode (Jokowi). Lembaga -lembaga survei tetap  menempatkan PDI-P pada posisi elektabilitas tertinggi. Tak sedikit pun goyah walau beberapa kadernya, bahkan setingkat menteri, menjadi tahanan KPK.  Hasil survei Litbang Kompas teranyar, PDI-P bukan hanya masih  bertengger di puncak rangking, tetapi mengalami kenaikan pesentase jauh meninggalkan parpol kompetitornya di bawah.  Kurang apa lagi? Gelar Doktor (sudah 9 dan menyusul lagi 5, menurut Mega) dan bahkan gelar Professor kehormatan pun sudah diraih. Tak cuma itu. Lihat juga kedigdayaan Megawati dalam pertemuan sebelumnya dengan Jokowi di ruang kerjanya. Presiden Jokowi menghadapnya dalam posisi seperti menghadap Ratu. Dalam video yang sengaja diunggah (entah oleh siapa) Mega  seakan berpesan kepada publik, kepada lawan-lawan politiknya dia lah yang terhebat. Namun,  sayang dalam pidatonya di Rakernas Megawati pun \"jebol\". Tidak bisa menyembunyikan kemurkaannya.  \"Marah kepada siapa,\" tanya Karni.  Ya, kepada banyak pihak. Persis seperti banteng terluka menyeruduk siapa saja yang mengganggu dan menghalangi jalannya. Tetapi, fokusnya kepada Jokowi dan Ganjar Pranowo. Sudah jadi rahasia umum, sejak awal tahun ini hubungan Jokowi dan Megawati renggang. Jokowi mengakui sendiri keadaan itu (hubungan renggang) karena sebagai anak, dia memang kadang nakal kepada ibu (Megawati).  Protes Warga  Perlakuan Mega ketika menerima Jokowi di ruang kerjanya, benar saja : memantik reaksi masyarakat. Pegiat media sosial Ade Armando memprotes  ketika menonton  video viral berisi suasana pertemuan antara Presiden Joko Widodo dengan Ketua Umum PDI Perjuangan, Megawati Soekarnoputri itu.  Ia menyoroti beberapa hal di video viral tersebut. Pertama, dia mengkritik soal kursi yang diduduki  Jokowi pada pertemuan tersebut. \"Tidak pantaslah presiden diberi kursi semacam itu, \" tulis Ade di akun Instagram pribadinya @adearmando1961. Keduanya kemudian dipisahkan sebuah meja. Tampak, Jokowi duduk di kursi kayu, sementara Megawati duduk di kursi hitam yang  empuk. Ade juga menyoroti sikap Puan Maharani yang _selfie_ dengan membelakangi Presiden Jokowi. Pengamat politik senior Abdillah Toha ikut mengecam pertemuan yang terkesan melecehkan Presiden Jokowi.  Soal Ganjar Meski tidak menyebut nama, kemurkaan Megawati jelas ditujukan kepada Ganjar Pranowo. Dia menganggap Ganjar \"melangkahinya\". Melecehkan putusan Kongres PDI-P yang telah memberinya hak prerogatif  memutuskan calon presiden dari PDI-P.  Setelah diam sekian lama, rupanya Megawati turut  terganggu atas hasil survei yang menempatkan elektabilitas kadernya selalu teratas. Juga pada aksi deklarasi relawan \"Ganjar Pranowo RI-1 \".  Terbaru, Ganjar masuk pula dalam daftar bakal capres  2024 Partai Nasdem. Padahal, tidak bisa ditutupi  calon PDI-P adalah Puan Maharani, karena dia representasi trah Bung Karno. Itu dikonfirmasi oleh Puan sendiri ketika ditanya wartawan dalam kunjungannya bersama Jokowi ke Ibu Kota Negara Baru, di Penajam, Kalimantan Timur, tiga hari lalu. Beberapa bulan terakhir ini banyak kader PDI-P  yang sudah lebih dulu secara terang benderang menyerang Ganjar. Dalam konteks itulah saya menyayangkan sikap Megawati yang bukannya menengahi, malah terprovokasi menunjukkan kemurkaannya secara terbuka. Saya khawatir kemarahan yang berlebihan kepada Ganjar bisa menjadi bumerang baginya dan PDI-P. Justru serangan itu dapat mengantarkan Ganjar  ke Istana dan mendudukkannya di kursi presiden. Persis seperti jalan yang dulu dilalui SBY menjadi Presiden RI.  Bagaimana dengan Jokowi?  Saya melihat Megawati  tampak lebih melunak dan bahkan \"lumat\" dibuat oleh Jokowi hari itu. Ayah Gibran dan mertua Bobby Nasution tersebut menggunakan strategi politik Glembuk Jawa. Sebelumnya, Jokowi sambil bercanda - canda  jujur mengakui memang sering nakal.  Puncaknya, pada pembukaan Rakernas PDI-P Megawati dibuat \"meleleh\" dengan Glembuk itu.  Dengarkan pujian Jokowi  di awal sambutannya. \"Sejak pagi saya perhatikan, Ibu Megawati memang sangat cantik sekali dan kharismatis,\" ucapnya.  Dan, Megawati pun merespons lebih banyak memberi pujian kepada Jokowi daripada yang diterimanya. Semoga saja Glembuk itu tidak ditujukan untuk sekaligus mendapatkan _deal_ dengan Megawati untuk menambah masa jabatan presiden tiga priode. Sekurangnya memperpanjang masa jabatan Jokowi 2-3 tahun dengan berbagai alasan.  Dalam tenggang waktu itu, bisa dimanfaatkan untuk menaikkan elektabilitas Puan sambil mereduksi elektabilitas Ganjar Pranowo, Anies Baswedan dan Andhika Perkasa.  Adakah _deal_ itu yang tentu saja dapat dikategorikan  sebagai \"permufakatan jahat\" elit mengkhianati konstitusi bakal menjadi kenyataan. Strategi Glembuk Di dalam tayangan ILC saya tidak sempat mendeskripsikan tentang Glembuk mengingat durasi berbicara yang terbatas. Banyak yang menagih saya penjelasan mengenai Glembuk itu.  Sekarang sedikit saya jelaskan. Dalam literatur, Glembuk dalam kultur Jawa, adalah cara atau tekhnik mengambil dan melunakkan hati kawan maupun lawan dengan cara antara lain merendahkan diri sambil memuji kelebihan kawan. Glembuk juga menjadi strategi merangkul dan menaklukkan musuh.  Sejak mencalonkan diri menjadi Gubernur DKI hingga menjadi Presiden RI strategi itu melekat pada Jokowi.  Mulai dari masuk gorong-gorong, serta penampakan kesederhanaan dalam berpakaian menjadi antitesa umumnya para pejabat. Puncaknya ketika berhasil \"meringkus\" Prabowo Subianto menjadi pembantunya di kabinet, dari sebelumnya sebagai kompetitor dalam dua kali pilpres.  Dalam penelitian Bambang Hudayana, seorang antropolog UGM yang menulis  \"Glembuk, Strategi Politik Dalam Rekrutmen Elite Penguasa di Desa Pulungsari Yogyakarta\" ia mengkonfirmasi bagaimana glembuk bekerja. Glembuk di artikan sebagai suatu cara “halus” untuk membujuk masyarakat atau tokoh memberikan dukungannya saat pemilihan kelak. Bujukan ini bisa diartikan dalam lingkup yang banyak. Bisa berupa memberikan jabatan tertentu atau memberikan berupa “sumbangan” kebutuhan masyarakat atau desa. Dalam glembuk, kata kunci yang tepat adalah sedikit merendah dan dengan sikap halus. Tak peduli itu lawan sekali pun. Menggunakan glembuk berarti juga mencoba merangkul lawan politik agar mau mengalah dan memberikan dukungannya. Tentu ada “imbalan” dalam prosesi ini. Desa Pulungsari yang dijadikan tempat penelitian Bambang Hudaya mengalami arti glembuk yang sebenarnya. Dengan sikap “basa-basi” dan halus, para elit warga yang hendak menjadi pemimpin di desa itu mendatangi para tokoh warga. Memberikan sumbangan dan kebutuhan tertentu, dianggap sebagai balas jasa yang harus dilakukan demi mendapat sebuah restu. Tentu ini menarik, sesuatu yang dianggap politik uang, diterjemahkan menjadi sebuah imbal jasa yang wajar.  Rocky Bintang ILC Rocky Gerung kembali menjadi bintang ILC malam itu. Dalam sehari penayangannya, tercatat ILC ditonton hampir 500.000 orang  dengan komen sebanyak 5.300, yang hampir seluruhnya memuji Rocky. Like ILC 9300 dan nol dislike.   Malam itu, Rocky kembali menyatakan, gegeran tidak akan berhenti dalam dunia politik di Indonesia selama   Presidential Threshold yaitu minimal punya 20% suara/kursi partai di parlemen untuk mengajukan calon presiden, masih berlaku.  \"Selama ketentuan  mengenai  ambang batas pencalonan presiden dan wakil presiden oleh Parpol tidak dibatalkan oleh Mahkamah Konstitusi, jangan berharap ada demokrasi di negeri kita,\" ucap Rocky. Dunia politik Indonesia, sambung Rocky, selamanya hanya akan melahirkan tragedi seperti dalam dramaturqi Yunani. Akan selalu ada pengkhianatan, pembangkangan dan darah. \"Sebab, dengan presidential threshold sebesar itu demokrasi Indonesia hanya menjadi permainan oligarki. Mereka sudah mengantongi tiket untuk kompetisi, sementara banyak parpol masih harus banting tulang seperti anjing yang mengumpulkan tulang-tulang atau remah-remah dari sisa makanan di bawah meja makan pesta oligarki,\" papar Rocky bermetafora.  Oligarki adalah bentuk pemerintahan yang kekuasaan politiknya secara efektif dipegang oleh kelompok elit kecil dari masyarakat, dibedakan menurut kekayaan, keluarga, atau militer. Istilah ini berasal dari kata dalam bahasa Yunani untuk \"sedikit\" dan \"memerintah\".  \"Bung Rocky diberikan kesempatan terakhir berbicara setelah menangkap konsep dan pemikiran para narasumber yang bercerita, berasumsi, beretorika plus sugesti. Dalam kurang dari 10 menit, berhasil memberikan pencerahan pada filosofi demokrasi sebagai executive summary . Klimaks. Terima kasih Bang Karni Ilyas sudah menjadi sutradara drama ini. Dan, para nara sumber lainnya yang sudah berperan apik sesuai perannya masing-masing. \"Sesungguhnya rakyat Indonesia lah atas kekuasaan tertinggi di negara ini. Jadi, siapa pun nanti di atas yang mewakili suara rakyat, jangan ambil peran sebagai komparador-komparador di panggung sandiwara politik ini, \" itu komentar netizen atas nama Indra Maret. Izin komentar itu saya jadikan penutup tulisan ini. (*)

Masih Mungkinkah Prabowo Subianto Menjadi Presiden?

Oleh Asyari Usman Jurnalis Senior FNN  Anies Baswedan dan Ganjar Pranowo mendominasi percakapan publik terkait pilpres 2024. Singkatnya, salah satu diantara mereka “hampir pasti” akan masuk ke Istana. Premisnya, kalau tidak Anies, pasti Ganjar; kalau tidak Ganjar, pasti Anies. Premis ini didasarkan pada kalkulasi sosial-politik yang ada saat ini. Artinya, peluang serius untuk menjadi presiden pada 2024 itu hanya ada pada mereka berdua. Tetapi, apakah Anies dan Ganjar bisa dikatakan menutup pintu bagi figur-figur lain? Rata-rata pemerhati politik melihat seperti itu. Ini diperkuat oleh hasil survei Polmatrix yang menempatkan Anies di posisi teratas (20.8%), Prabowo (19.3%), Ganjar (18.8%). Nah, bagaimana dengan Prabowo Subianto? Apakah beliau tidak diperhitungkan lagi? Jika dicermati gelagat publik, memang preferensi pemilih tertuju pada figur-figur yang lebih muda. Namun, ini bukan satu-satu faktor. Ada sisi kapabilitas dan integritas. Muda, kapabel, dan berintegritas. Tiga karakter ini yang menjadi tuntutan rakyat.  Jika ini parameternya, masih mungkinkah Prabowo menjadi presiden? Secara normatif, masih mungkin. Beliau bisa maju bersama Ketum PKB Muhaimin Iskandar seperti terlihat dari koalisi dua partai yang mereka bentuk. Bisa saja. Cuma, situasi yang dihadapi Prabowo tak sesuai dengan isyarat yang menjanjikan dari Ketum PDIP Megawati Soekarnoputri. Bu Ketum selama ini mengesankan bahwa Prabowo akan menjadi capres “nomor jadi” untuk 2024. Belakangan ini, itu tidak terlihat lagi. Megawati pelan-pelan meninggalkan Prabowo. Ada agenda lain di kubu Banteng. Seiring dengan ambisi beliau untuk menaikkan Puan Maharani ke, setidaknya, kursi wakil presiden. Artinya, Prabowo akan menghadapi realitas yang jauh lebih menyakitkan dibanding tipu muslihat pilpres 2019. Dia akan melihat betapa figur politik yang sangat ia hormati dan ia harapkan di pilpres 2024, akan kembali memperdaya dirinya.[]

Bersatu Kita Runtuh, Bercerai Kita Teguh

Tak ada kata yang lebih pas dan lebih tepat utuk melukiskan Indonesia,  selain dengan sebutan sebagai negara kontradiksi atau paradoks. Dasar negara dan falsafah hidup bangsanya Pancasila, tapi kehidupan rakyatnya ditopang prinsip-prinsip kapitalisme dan komunisme. Konstitusinya pun secara substansi dan esensi, bahkan  telah berubah dari UUD 1945 menjadi UUD 2002, meski secara tersurat masih menggunakan penamaan lama. Sementara NKRI, menjadi seolah-olah  di tengah dominasi kelompok minoritas, etnis tertentu yang berkuasa penuh  dan begitu maraknya dramatisasi  primordialisme, sektarianisme  serta politik identitas. Oleh Yusuf Blegur - Mantan Presidium GMNI  SEGELINTIR orang kaya terus bertumbuh dan berkembang.  Di lain sisi kebanyakan rakyat semakin terpuruk dalam kemiskinan. Sumber daya alam yang berlimpah yang dikuasai negara, terlanjur diberikan dengan mudah dan cuma-cuma pada kalangan terbatas. Ada pejabat negara, ada politisi dan ada juga korporasi yang menikmati fasilitas dan aset negara secara berlebihan. Mereka semua yang secara perlahan namun cepat, telah menjadi mioritas yang menguasai mayoritas. Meniadi predator kecil yang mampu menerkam mangsa yang besar. Kekuatan oligarki dengan segala persekongkolannya dengan aparatur pemerintahan, secara terstruktur, sistematik, dan konstitusional berhasil menjadi kolonialis baru bagi rakyat, negara dan bangsa  Indonesia. Prose penyelengaraan negara mutlak dirasuki praktek-praktek korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN). Hukum telah menjadi senjata efektif dan mematikan bagi orang-orang berpengaruh. Membutan luka yang menyayat bagi rakyat jelata menjadi obat yang menyembuhkan bagi sakitnya para kelompok lingkar kekuasaan.  Jabatan dan harta telah menjelma menjadi agama baru, disembah dan menghadirkan ritual yang membunuh kemanusiaan. Politik diterjemahkan secara kotor dan keji sebatas siapa yang menguasai dan siapa yang dikuasai. Siapa yang menang dan  siapa yang dikalahkan, juga siapa yang memangsa dan siapa yang dikorbankan. Soal ekonomi, seperti perlombaan merebut sumber daya  makanan dan enegi, harus ada monopoli pasar yang berhak menentukan mana yang harus disuplai dan mana yang boleh ditelantarkan. Siapa saja yang boleh dipertahankan hidup sebagai manusia dan siapa saja yang wajar  harus mati layaknya binatang. Realitas obyektif suatu negara bangsa dimana hanya ada keuangan yang maha kuasa. Betapa mengerikan kehidupan rakyat yang menyerahkan jiwa raga sepenuhnya kepada yang memiliki otoritasa negara. Sepanjang sejarah dan peradabannya, rakyat utamanya yang kecl-kecil dan berada di pinggiran, akan selalu menjadi budak dan korban eksploitasi. Menjadi orang-orang tertindas dan teraniaya, dari jaman kuno hingga jaman modern. Dari kebijakan sistem dan perilaku bangsa asing maupun oleh bangsanya sendiri. Rakyat sepertinya harus rela  dan ikhlas,  menjadi babu di negara lain dan menjadi jongos di negeri sendiri. Hidup sebagai bangsa yang begitu berlimpah kewajibannya namun cekak haknya sebagai warga negara. Kalau sudah begini dan kejadiannya seperti itu, rakyat  negara dan bangsa Indonesia mau apa lagi dan bisa bikin apalagi?. Kemana perginya cita-cita proklamasi yang didengungkan para pendiri bangsa tentang kemerdekaan Indonesia sebagai jembatan emas?. Lalu bagaimana dengan bumi dan air serta kekayaan alam yang terkandung di dalamnya yang dikuasai negara dan dipergunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat, yang dijamin konstitusi?.  Kemudian bagaimana juga dengan persatuan dan kesatuan bangsa, tentang gotong-royong, dan soal-soal keadilan yang ada pada manisnya slogan Pancasila, UUD 1945 dan NKRI?. Kemana semua narasi dan jargon-jargon nasionalisme serta patriotisme yang  begitu memesona dan menggugah?. Di mana letak  tersembunyi kemanusiaan dan Ketuhanan  di negeri yang katanya religius?. Tampaknya, bangsa ini tak bisa lagi berhubungan mesra dengan Tuhan Yang Maha Esa, karena begitu intim dan dalamnya merasakan kehangatan dan kenkimatan  liberalisasi dan sekulerisasi. Begitupun juga  kultur dan semangat persatuan dan kesatuan bangsa, yang telah lama tenggelam, terseret arus deras degradasi dan disintegrasi  sosial. Rakyat begitu mengabaikan  nilai-nilai ideal  dan terasa nyaman menikmati yang tidak ideal. Mungkin individualitas dan egosentris yang telah berkembangbiak lebih subur dalam negara yang masyarakatnya sarat spiritualitas. Boleh jadi yang perlu diprioritaskan selama ini berupa *\'terserah gue dan yang penting gue selamat\'*, telah menjadi nilai-nilai massal dalam masyarakat Indonesia. Hidup berkumpul dalam komuitas besar republik, namun mengambil lakon hidup masing-masing tanpa keharmonisan dan keselarasan. Terlanjur sayang dan larut dalam mabuknya suasana bersatu kita runtuh bercerai kita teguh.  Seakan membawa kenangan polemik klasik saat awal kelahirannya, Republik Indonesia lebih tepat sebagai negara kesatuan atau negara federalis?. Munjul-Cibubur, 27 Juni 2022.