UUD 1945 Versus UUD NRI 1945 (2)

Muhammad Chirzin, Guru Besar UIN Sunan Kalijaga Jogjakarta

Ketiga, pemilihan presiden secara langsung oleh seluruh rakyat Indonesia menyimpang dari sila ke-4 Pancasila: Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan.

Oleh: Muhammad Chirzin, Guru Besar UIN Sunan Kalijaga Jogjakarta

PEMBELA UUD NRI 1945 hasil amandemen 1999-2002 umumnya kurang tertarik berdebat filosofis tentang mengapa ada yang disebut Lembaga Tertinggi Negara MPR, mengapa ada sistem Perwakilan Musyawarah.

Saran saya kepada kelompok pendukung UUD 2002, berdebatlah dengan Prof. Kaelan, Prof. Yudhie Haryono, Dr. Mulyadi, Dr. Ichsanuddin Noersy tentang tema tersebut. Tak cukup dengan menyatakan bahwa Lembaga Tertinggi itu sistem Komunis (Prof Jimly dan Mayjen Purn. Saurip Kadi).

Berdebatlah soal Pilpres Langsung sebgai anak kandung UUD 2002 hasil amandemen UUD 1945. Lihat output dari praktik Pilpres langsung yang amburadul. Berdebatlah output dari masuknya asas Kapitalisme dalam pasal 33 UUD 2002 hasil Amandemen UUD 1945 yang membuat rakyat miskin makin membludak dan kesenjangan makin menggila.

Sayangnya, Dr. Refly Harun keluar dari grup Konstitusi; sempat ikut beberapa lama tanpa komentar lalu keluar. Padahal di forum itu banyak orang yang faham konstitusi dan politik negara. Kalau negara mau maju, harus berani diskusi keras dengan siapa pun yang pantas jadi lawan bertukar pikiran.

Menanggapi tulisan Hatta Taliwang tersebut, Chris Komari menulis, “Yang paling sulit adalah mencari compromised version, dan itu mampu dilakukan oleh para founding fathers dengan: (1) Pancasila: (2) Preambule; (3) UUD 1949 asli.

Sebaiknya, kita meminta agar teks asli UUD 1945 hasil compromised version para founding fathers dipisahkan dengan 4x teks amandemen. Dari situ nanti kita perdebatkan, teks amandemen mana yang bertentangan, mengubah dan merusak teks asli UUD 1945 hasil compromised version para founding fathers. Yang harus diperbaiki dan diamademen ke-5 adalah semua teks amandemen 4x itu, bukan teks aslinya.

Saya ingin tahu, Indonesia itu mau mengadopsi sistem pemerintahan yang bagaimana. (a) Demokrasi; (b) Non-Demokrasi; (c) Atau yang bagaimana? Kalau disebut negara Demokrasi Pancasila, atau Demokrasi Terpimpin, atau Demokrasi Sila ke-4 Pancasila, maka konsep sistem ketatanegaraan dan sistem pemerintahannya seperti apa?

Sekarang rakyat Indonesia masih seperti dulu; ada kelompok pro-UUD 1945 asli, ada yang pro-UUD 2002 amademen, ada yang pro-Pancasila, ada yang pro-Demokrasi, ada yang pro-Khilafah, dan ada yang nyrempet-nyrempet neo-communism.

Tidak mungkin kita ngotot dengan versi yang kita inginkan saja. Tugas terberat generasi sekarang adalah mencari jalan tengah (compromised version), seperti para dulu, untuk memperbaiki ruwet dan carut-marut demokrasi lontong sayur yang dibanggakan di Indonesia, tetapi tidak bermanfaat bagi rakyat. Akan tetapi seperti sulit, karena generasi sekarang lebih sok tahu demokrasi dibanding generasi lama, padahal tidak. Generasi dulu itu, jauh lebih menguasai sistem pemerintahan demokrasi dibanding generasi sekarang. Dengan ego yang sok tahu generasi sekarang ini, akan sangat menyulitkan upaya upaya untuk mencari compromised version.

Zulkifli S. Ekomei pun mengunggah tulisannya di  https://bergelora.com/titik-nadir-uud45-palsu/“Titik Nadir UUD 1945 Palsu”.

Setelah Hari Kemerdekaan RI 17 Agustus diperingati, sidang pertama PPKI digelar satu hari sesudah proklamasi kemerdekaan Indonesia, 18 Agustus 1945. Sidang tersebut menghasilkan sejumlah keputusan, yakni: (1) Mengesahkan rancangan UUD sebagai UUD Negara Republik Indonesia tahun 1945; (2) Memilih Sukarno sebagai Presiden dan Mohammad Hatta sebagai Wakil Presiden; (3) Untuk sementara waktu tugas presiden dibantu oleh Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP).

Demikianlah, maka di hari itu, 18 Agustus 1945 itu pula diperingati sebagai Hari Konstitusi. Peringatan Hari Konstitusi RI ini ditetapkan berdasarkan Keputusan Presiden Nomor 18 Tahun 2008.

Hari Konstitusi adalah momentum bersejarah dalam memperingati adanya sistem ketatanegaraan Indonesia, salah satunya UUD 1945 yang menjadi landasan hukum Indonesia.

Lucunya, konstitusi yang telah ditetapkan dengan Tap MPRS itu kini telah diganti dengan UUD 2002 alias UUD 1945 palsu yang dilahirkan tanggal 10 Agustus 2002, maka ini bisa disebut sebagai sebenar-benar kebohongan yang nyata dan pemalsuan yang dilegalkan.

Seperti diketahui UUD 1945 telah diganti oleh para pengkhianat melalui kudeta konstitusi secara senyap, sehingga diberlakukannya UUD NRI 1945, yang lebih dikenal sebagai UUD 2002 atau UUD 1945 palsu tersebut, para pengkhianat ini tidak punya nyali untuk mengatakan ”mengganti”, tetapi ”mengubah”.

Padahal mereka terang-terangan telah melakukan persekongkolan jahat dengan membentuk ”Koalisi Ornop Untuk Konstitusi Baru”, kemudian mereka memakai jasa para preman di Senayan yang tergabung dalam Panitia Ad Hoc 1 MPR 1999-2004 yang melanjutkan proyek kejahatannya dengan membentuk kelompok yang bernama ”Forum Konstitusi” bekerja sama dengan Mahkamah Konstitusi (Lembaga Negara produk UUD 1945 Palsu) yang bertugas mengamankan proyek kejahatan ini.

Alhamdullillah, jika ini akhirnya DPD yang juga adalah produk UUD 1945 Palsu menyadari tentang perlunya kembali ke naskah asli UUD 1945 karya agung para pendiri bangsa.

Dewan Perwakilan Daerah sebagai penjelmaan Utusan Daerah yang dipilih langsung oleh rakyat, di mana setiap anggotanya dipilih oleh rakyat dengan jumlah suara lebih besar dibanding suara yang diperoleh anggota Dewan Perwakilan Rakyat, karena setiap propinsi hanya diwakili oleh 4 orang anggota DPD, sementara untuk anggota DPR setiap propinsi masih dibagi menjadi beberapa daerah pilihan, tetapi dalam praktik ketatanegaraan kewenangan DPD jauh lebih kecil dibanding DPR, kenapa? Karena DPD tidak punya kewenangan membuat Undang-Undang.

Inilah salah satu ketimpangan yang akibat diberlakukannya secara paksa UUD 1945 Palsu. Ketimpangan yang lain adalah UUD 1945 palsu menganut sistem presidensial, tetapi semua pejabat pembantu Presiden harus lolos “fit and proper test” yang dilakukan oleh parlemen, dalam hal ini DPR, dan untuk meloloskan pejabat yang bersangkutan tidak menutup kemungkinan adanya praktik-praktik suap. Dugaan ini terbukti ada beberapa pejabat yang sudah lolos ternyata tersangkut masalah korupsi.

Berbicara masalah korupsi, DPR adalah salah satu lembaga korupsi yang menjadi sarang koruptor terbesar; sudah banyak anggota DPR, bahkan pimpinan DPR yang menjadi terpidana tindak pidana korupsi.

Kelemahan demi kelemahan dari UUD 1945 Palsu mulai terkuak. Selain soal kewenangan DPD dan banyaknya pejabat yang tersandung kasus korupsi, MPR kini tidak lagi menjadi lembaga tertinggi negara, sehingga tidak bisa lagi menerbitkan TAP, apalagi melakukan perubahan terhadap UUD, sehingga beberapa pemikiran mendasar, seperti menghidupkan kembali Garis-garis Besar Haluan Negara menemui jalan buntu. Akhirnya, dilahirkanlah GBHN tiruan atau GBHN palsu yang disebut PPHN.

Namun, soal telah disepakatinya PPHN ini ketua MPR dari Fraksi Golkar bohong, dan dibantah ketua Fraksi Golkar MPR. Jika hal ini benar, maka sinyalemen Habib Rizieq Shihab benar adanya, bahwa Negeri ini sudah dalam posisi darurat kebohongan. Presiden bohong, menteri-menterinya bohong, polisi juga bohong, dan sekarang MPR juga bohong.

Selanjutnya, jika ketimpangan-ketimpangan dan kebohongan semakin banyak, dan tidak terkendali, maka bukan hal yang mustahil jika kemudian terjadi “dead lock” atau dengan kata lain UUD 1945 palsu sampai pada titik nadir. Apakah kondisi ini tidak ada jalan keluarnya? Selama hidup masih dikandung badan, pasti ada jalan! Zulkifli S. Ekomei adalah seorang dokter yang sedang memperjuangkan kembalinya UUD 1945 yang asli.

Zulkifli S. Ekomei menambahkan, bahwa para pendiri negeri ini bukan orang sembarangan. Dengan rahmat Allah dan didorong oleh keinginan luhur berhasil membuat negara lengkap dengan sistem pemerintahannya untuk dilanjutkan oleh generasi penerusnya, dan kalau kurang sempurna boleh disempurnakan.

Maka dalam UUD 1945 ada pasal 37, ada penjelasan, ada aturan peralihan kalau perlu disempurnakan, ada aturan tambahan kalau perlu ada yang ditambahkan; ternyata ada anak bangsa yang terkena “inferior syndrome” kagum kalau melihat bule, sama dengan pelacur-pelacur yang senang kalau dapat pelanggan bule; ke luar negeri 3 bulan, di sana musim dingin, harus pakai jas, pakai sleyer, balik ke Indonesia musim kemarau, nggak mau melepas jas dan sleyernya, karena takut dikatakan ketinggalan jaman.

Demikian juga melihat UUD negaranya, dianggapnya ketinggalan jaman, diobrak-abrik seenaknya. Apa sih sulitnya menjaga warisan, kalau niatnya baik, kalau tidak punya motif lain, menghamba pada bangsa lain, dasar bangsa tempe, jancukan memang!

Menurut hemat penulis, efek empat kali Amandemen UUD 1945 sekurang-kurangnya adalah sebagai berikut.

Pertama, MPR tidak dapat meminta pertanggungjawaban kepada Presiden, karena Presiden bukan mandatarisnya.

Kedua, Presiden menjadi superpower, ditambah lagi sebagai atasan langsung Kapolri.

Ketiga, pemilihan presiden secara langsung oleh seluruh rakyat Indonesia menyimpang dari sila ke-4 Pancasila: Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan.

Keempat, membuahkan Presidential Threshold 20% sebagai produk monopoli partai politik dalam merumuskan Undang-Undang Pemilui Nomor 7 Tahun 1917 Pasal 222, yang mengamputasi hak-hak rakyat untuk mengusulkan calon presiden.

Kelima, Presiden RI tidak harus warga negara Indonesia asli.

Quo Vadis Bangsa Indonesia? (*)

383

Related Post