Kasihan Kapolri, Dipuja-Puji Anggota Komisi III DPR RI
Komisi III seakan menutup mata dalam RDP kemarin. Ini bukan semata soal Sambo melainkan soal kultur kekuasaan yang amat mengerikan. Kasus Duren Tiga hanya dampak atau “by product” dari kultur kekuasaan itu. Sebab, sudah mengakar lama.
Oleh: Ilham Bintang, Ketua Dewan Kehormatan PWI (Persatuan Wartawan Indonesia) Pusat
KASIHAN Kapolri! Wajah Jenderal Listyo Sigit Prabowo kelihatan tirus dan pucat. Matanya tampak lelah seperti kurang tidur ketika menghadiri Rapat Dengar Pendapat (RDP) dengan Komisi III DPR RI, di Senayan, Rabu, 24 Agustus 2022.
Rapat itu berlangsung sekitar 10 jam. Dari pagi hingga lepas waktu Isya’. Puja dan puji hampir seluruh anggota Komisi III tentu tidak bisa menghiburnya. Saya khawatir malah semakin membebaninya. Seakan pujian itu “pesanan dia” seperti ramai disinyalir netizen di media sosial.
Hari itu sudah lebih 40 hari kasus “Polisi Tembak Polisi” menjadi sorotan rakyat. Kasus itu menyeret Irjen Pol Ferdy Sambo dan istri, Putri Candrawathi sebagai tersangka pembunuhan berencana Brigadir Yoshua, 8 Juli lalu. Tempat kejadian perkara itu pun di rumah dinas mantan Kadiv Propam (Kepala Divisi Profesi dan Penhamanan) Polri tersebut. Semula mau disesatkan seolah kejadian biasa. Dengan skenario tembak-menembak antar ajudan lantaran salah satunya melecehkan Putri Candrawathi.
Seluruhnya 97 perwira Polri terperiksa. Perwira pertama, menengah, dan tinggi, bintang satu dan dua. Mungkin itu peristiwa kolosal pertama dalam sejarah Polri, dalam hal jumlah yang terlibat maupun bobot.
Menjadi tersangka dengan ancaman hukuman mati lima orang. Termasuk Sambo dan Putri. Tiga lainnya, dua ajudan dan satu supir merangkap pembantu rumah tangga. Sambo sendiri sudah ditahan sejak 9 Agustus lalu, dan 25 Agustus kemarin hasil sidang Kode Etik Polri telah memberhentikan dengan tidak hormat ayah empat anak itu.
Adapun tersangka Putri Candrawati hari ini diperiksa dan diramalkan bakal dikenakan penahanan pula. Masih ada 35 perwira menghadapi pemeriksaan etik, 16 di antaranya sudah "ditempatkan khusus" menunggu pemeriksaan lanjutan.
Kasus Duren Tiga, disebut juga begitu, jelas sudah puluhan hari menguras tenaga, pikiran dan batin Kapolri dan jajarannya. Korban dan pelaku itu seluruhnya keluarga besar Polri. Tidak ada pihak lain. Listyo Sigit Prabowo adalah pucuk pimpinan, penanggung jawab tertinggi di lingkungan penegak hukum itu.
Dalam dunia militer dan polisi kita tahu ada konvensi tak tertulis, 'Tidak ada prajurit yang buruk, melainkan komandan.' Dengan Sambo, Listyo hanya berjarak dua tingkat di atasnya. Prajurit yang bersalah dua tingkat di atasnya lazim ikut bertanggung jawab.
Sambo tidak hanya tersangkut kasus Duren Tiga. Dalam kedudukannya sebagai Ketua Satgassus (Satuan Tugas Khusus) 'Merah Putih' Polri (diangkat Kapolri Listyo, 1 Juli lalu), Sambo juga ditengarai berkelindan di banyak pusaran kasus yang disorot rakyat. Seperti judi konvensional maupun online, narkoba, peristiwa KM 50, illegal logging, mafia tanah, dan banyak kasus lainnya yang kini "ditagihkan" kepadanya dan Kapolri tanggung jawabnya. Penagihnya terbesar adalah rakyat yang di media sosial dinamai Netizen. Yang 24 jam bergemuruh menggunjing itu.
Khusus kasus judi, Kapolri sudah menginstruksikan seluruh jajarannya agar kegiatan haram itu ditumpas sampai ke akar-akarnya. Kasus-kasus lain pun dijanjikan akan dia selesaikan. Termasuk pengusutan kembali kasus KM 50 jika (tewasnya anggota FPI) ada novum (bukti) baru.
Kasus KM 50 adalah peristiwa tewasnya enam anggota Laskar Front Pembela Islam (FPI) yang mengawal Habib Riziieq Syihab menuju Karawang, Jawa Barat. Peristiwa itu terjadi di Jalan Tol Jakarta-Cikampek KM 50.
Puja dan Puji
RDP dengan Komisi III DPR RI niscaya merupakan beban baru bagi Kapolri. Isinya lebih banyak puja dan puji kepada Kapolri yang disampaikan oleh hampir seluruh anggota komisi itu. Kita mencoba menanti pendapat dari anggota gender wanita. Akan tetapi, ya ampun, tidak bermutu. Buang-buang kwota saja gender ini.
Tak pelak pemandangan itu menjadi santapan olok-olok Netizen dan kritik media pers. Sindiran yang pernah dilontarkan Menteri Koordinator Politik Hukum dan Keamanan (Menkopolhukam), Mahfud MD dua pekan lalu seakan terkonfirmasi.
Anggota Komisi III DPR RI dikritik Mahfud karena sekian lama bungkam tak berkomentar apa-apa merespons kasus Duren Tiga. Padahal, peristiwa itu terjadi di lingkungan pengawasannya. Alasan reses sulit diterima. Di era teknologi digital di mana pun anggota berada dapat dijangkau dengan mudah.
Begitu RDP para anggota terhormat itu memang tampak seperti bangun tidur. Isunya ketinggalan kereta. Semua bicara, namun bicaranya mengawang-awang, jauh dari ekspektasi rakyat. Banyak yang kedengaran baru belajar bicara, sebagian kesulitan menyusun pikiran. Makanya pengucapannya bertele-tele. Namun, dalam hal garang, berbanding B sangat terbalik ketika menghadapi Mahfud, dua hari sebelumnya di tempat sama.
Ahli Hukum Tata Negara Bivitri Susanti pun menilai kejanggalan itu. RDP dengan Kapolri sangat berbeda tune-nya dengan saat Komisi III DPR RI berhadapan dengan Mahfud MD. Sangat boleh jadi, sambung Bivitri, seperti dikutip banyak media pers, sebab 82 persen anggota DPR merupakan bagian dari koalisi pemerintah.
Sehingga, tidak dapat dielakkan ‘rumor’ yang menyebutkan adanya simbiosis mutualisme atau relasi saling menguntungkan antara Komisi III DPR dan institusi-institusi penegak hukum.
“Kita yang harus punya wawasan di belakang kepala untuk membaca apa yang terjadi hari ini maupun kemarin,” tambah Bivitri.
Komisi III seakan menutup mata dalam RDP kemarin. Ini bukan semata soal Sambo melainkan soal kultur kekuasaan yang amat mengerikan. Kasus Duren Tiga hanya dampak atau by product dari kultur kekuasaan itu. Sebab, sudah mengakar lama.
Di masa Kapolri Hoegeng di awal 70 an yang terkenal jujur pun, polisi korup sudah merajalela. Sudah terang-terangan melindungi penyelundupan mobil mewah oleh Robby Tjahjadi. Ingat, masa itu lebih setengah abad lalu, Hoegeng dicopot sebagai Kapolri. Hoegeng jatuh karena kasus itu. Dia tidak terlibat, tetapi kejahatan itu terjadi di masa dia berkuasa sebagai Kapolri. Presiden menganggap dia itu bertanggung jawab. Hoegeng tentu saja sedih memikul risiko akibat perbuatan yang tidak dilakukannya.
Maka saat ditawari menadi Dubes (Duta Besar) sebagai pelipur lara, Hoegeng menolak. Masa itu, pejabat-pejabat yang bersalah memang kebanyakan “dibuang”, dijadikan Dubes. Kalau dia menerima jabatan Dubes berarti dia posisi orang bersalah, padahal dia tidak bersalah.
Masalah yang dihadapi Polri perlu penanganan mendasar dan konseptual. Kebutuhannya reformasi total. Tidak bisa cara-cara biasa seperti dalam pikiran dan pandangan yang muncul dalam RDP kemarin.
Kapolri pun mungkin jengah sendiri dipuja-puji sedemikian rupa. Memangnya Kapolri melawan musuh asing? Kapolri perlu bekal penting untuk melawan dirinya dan orang-orang di lingkungannya sendiri.
Mengikuti pandangan-pandangan di RDP sampai kapan pun masalah Polri tidak akan selesai. Pikiran-pikiran yang terlontar hanya mendorong Kapolri mengusung batu ke gunung, seperti perjuangan Sisyphus dalam mitologi Yunani.
Kasihan Kapolri! (*)