Pimpinan Komisi III DPR RI Pimpin Sidang Bergaya Sambo

Raker Kapolri dengan Komisi III DPR RI.

Dengan waktu terbatas dan tidak semuanya diberikan kesempatan untuk membuat statements dan mengajukan pertanyaan adalah atas kesepakatan bersama demi efektifitas hasil kerja persidangan menjadi maksimal.

Oleh: Sutoyo Abadi, Koordinator Kajian Politik Merah Putih

SAAT berlangsungnya Rapat Kerja Komisi III dengan Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo berlangsung suasana framboyan, semilir saling menyampaikan sanjungan puja-puji apresiasi untuk Kapolri dengan resonansi irama yang sejuk, sesekali suara genit.

“Bapak telah bertindak cepat dan tepat. Pekerjaan Bapak sangat berat, semoga Tuhan memberkati atas kerja kerasnya dan atas nama anggota Komisi III DPR RI menyampaikan terima kasih”. Begitu kira-kira ucapannya.  

Memang tidak semua berisi sanjungan sekalipun tetap saling jaga perasaan demi kebersamaan terdengar usulan yang substansial ditunggu masyarakat, tentang di mana Sambo saat ini, harus dihukum seberat-beratnya, bagaimana keterlibatan FS dengan bandar judi online 303, narkotika, dan kaitan dengan peristiwa KM 50.

Rapat Kerja DPR RI dengan mitra kerjanya Kapolri sesungguhnya sudah ada dalam ketentuan konstitusi yang ketat: berupa dengar pendapat legislatif, pengawasan, investigasi dan konfirmasi. Terpantau lebih kuat pada fungsi pertama, fungsi lainnya terpantau melemah dan terdengar lebih kuat berupa kisi-kisi sanjungan dan puji-pujian.

Fungsi pengawasan, investigasi, dan konfirmasi sangat minim, bahkan ketika fungsi itu muncul kelakar dan tetap saja diakhiri dengan sanjungan, terkesan sangat hati-hati kalau sampai melukai perasaan Kapolri dengan timnya.

Kejadian fatal sidang yang dipandu Ketua Komisi ketika akan merumuskan rekomendasi komisi III untuk Kapolri, bukan hanya terjadi kebingungan menyusun kalimat otomatis substansi hasil pengawasan, investigasi nampak asalasalan.

Celakanya untuk susunan kalimat melalui Pimpinan Sidang dimintakan pendapat kepada Kapolri untuk memperbaiki, dan Kapolri spontan tengok Kabareskrim untuk bantu diperbaiki, dan langsung disetujui floor. Ironi dan memalukan tetapi benar-benar terjadi.

Kondisi tersebut memberi petunjuk tidak ada keseriusan dan persiapan yang baik dari Komisi III yang sesungguhnya rekomendasi semestinya sudah tersusun rapi dengan muatan substansi yang pakem sebelum masuk Rapat Kerja dengan Kapolri. Hasilnya semestinya tidak ada kompromi dengan Kapolri selain harus dilaksanakan atas nama rakyat

Sebelum rapat kerja semestinya sudah ada joint hearings antar perwakilan antar partai yang ada di komisi tersebut. Saat rapat kerja hanya untuk konfirmasi mempertajam dari hasil rekomendasi yang sudah disiapkan. Substansi dan kalimat tidak ada kompromi dengan mitra kerja. Apalagi menyerahkan susunan kalimat rekomendasinya ke mitra kerja (staf Kapolri) dari konsep yang anggota Komisi III nampak gagap dan tidak siap.

Demikian pula kejadian memalukan saat berlangsungnya Rapat Kerja, terjadi keributan saling interupsi. Aneh kenapa ini terjadi, apa akibat Pimpinan Sidang yang bergaya Sambo yang super kuasa mengatur jalannya sidang, sampai masuk mencegat hak hak dari anggota dewan.

Kejadiannya menggelikan, aneh dan konyol, akibat Pimpinan Sidang bergaya feodal dan asal-asalan. Prosesi sidang yang lucu, justru membuat jalannya sidang tidak lancar, dan terkesan underdog Pimpin Sidang bersama Kapolri.

Fungsi Pimpinan Sidang itu hanya sebagai mengatur lalu-lintas perdebatan anggotanya (bukan boss perusahaan) pada sidang yang sedang berlangsung agar berjalan tertib, rapi, organized, adil, fair untuk semua members dan tujuan hearing itu tercapai. Pimpinan sidang lupa atau tidak paham bahwa secara konstitutional, semua anggota dewan  adalah setara (equal) dalam hak, tugas, tanggung-jawab. 

Fungsi jabatan sebagai Ketua/Wakil Ketua Komisi yang otomatis sebagai pimpinan sidang tidak boleh mengambil hak istimewa bagi anggotanya yang terdiri dari beberapa fraksi. Mereka sama memiliki one vote di dalam sidang sidang komisi.

Untuk menghindari sidang yang selalu teriak-teriak penuh interupsi, gaduh, ribut, tidak teratur dan semawut , aturan tata-tertib hearing dan persidangan di DPR  perlu ditinjau kembali, diperbaiki dan disempurnakan tentang tatib persidangan.

Semisal sebelum masuk sidang dengan mitra kerjanya, wajib ada persiapan bahan yang harus dilakukan  rapat bersama antar unsur fraksi menyusun statement inti yang harus ditanyakan dan dipertahankan  atas masalah yang akan diperdebatkan.

Sekaligus ada kesepakan juru bicara yang disepakati untuk menyampaikan points yang disampaikan kepada mitra kerjanya, agar masuk proses sidang berjalan rapi, tertib berjalan lancar dan tujuan tercapai dengan baik, terhindar dari interupsi yang tidak perlu, dewan terjaga eksistensi dan kompetensinya.

Dengan waktu terbatas dan tidak semuanya diberikan kesempatan untuk membuat statements dan mengajukan pertanyaan adalah atas kesepakatan bersama demi efektifitas hasil kerja persidangan menjadi maksimal.

Hanya anggota dewan atau yang telah dipilih dan disepakati mewakili semua partai politik itu yang boleh menyampaikan statements dan mengajukan pertanyaan kepada mitra kerja, dengan batasan waktu yang terukur tanpa mengurasi substansi keutuhan materinya.

Interupsi hanya boleh dilakukan oleh anggota sidang justru ketika pimpinan sidang, menyimpang dari fungsi dan tugasnya, seperti tiba tiba mengintervensi hak-hak yang sama sesama anggota sidang atau ngelantur menjadi feodal, bergaya bos dan otoriter seperti gaya Sambo atau melemah mentalnya karena ada gangguan underog di depan Kapolri. (*)

428

Related Post