OPINI
Jokowi Akan Menjadi Sekjen PBB?
Oleh M. Rizal Fadillah Pemerhati Politik dan Kebangsaan PRESIDEN Jokowi ke luar negeri lagi. Kali ini ke Ukraina dan Rusia dengan didahului ikut dalam pertemuan KTT G-7 di Jerman. Konon ke Ukraina dan Rusia tujuannya adalah mendamaikan kedua negara yang sedang berperang. Sebagai presidency G-20 rute perjalanan ini boleh terbilang menarik, akan tetapi kunjungan tersebut ternyata sepi dari pemberitaan dunia. Mungkin dianggap perjalanan piknik. Piknik karena di samping berangkat bersama istri bu Iriana juga dengan basis keraguan publik. Ragu akan kemampuan Jokowi untuk menjadi penengah. Presiden Jokowi yang di dalam negeri saja gagal mendapat simpati rakyat apalagi dipercaya penuh baik oleh Ukraina maupun Rusia. Bertemu dengan Presiden Volodymyr Zelenskiy di Kiev. Pembicaraan antara lain soal kepedulian Indonesia terhadap perdamaian, siap sampaikan pesan ke Putin, kran impor pangan, serta undangan pertemuan G-20 November di Bali. Ketika bertemu Presiden Rusia pesan Zelensky tersebut konon telah disampaikan. Jokowi mengundang Putin ke G-20 dan Putin sejak awal telah menyatakan siap hadir. Zelensky akan hadir tetapi melihat kondisi dalam negeri dahulu katanya, demikian juga akan melihat komposisi peserta pertemuan di Bali tersebut. Sebagaimana diketahui Amerika dan sekutunya menyatakan tidak akan hadir jika Putin diundang. Jokowi tentu pusing. Tiga hal menarik dari perjalanan Jokowi dan Iriana ini, yaitu : Pertama, tampilan \"Islami\" Ibu Iriani berjilbab tertutup. Padahal pertemuan G-7 maupun Rusia-Ukraina tidak berhubungan dengan langkah keagamaan. Politisi PDIP Efendi Simbolon mengaitkan dengan \"G-3\" soal keinginan Jokowi untuk jabatan 3 periode. Kedua, langkah \"luar\" yang gencar adalah untuk menutupi situasi \"dalam\" yang ambyar. Sebenarnya keduanya juga ambyar. Komunikasi global Jokowi tidak lancar. Penghargaan dunia internasional atas Presiden Jokowi lebih pada basa basi ketimbang apresiasi. Ketiga, efekivitas kunjungan masih disangsikan. Misi penengah perdamaian perang Rusia dan Ukraina adalah \"mission impossible\". Rusia menyerang Ukraina atas dasar \"kill or to be killed\" ada NATO dan kepentingan Barat di Ukraina. Perdamaian terjadi jika ada kesepakatan antara Putin dengan Biden bersama NATO. Itu yang semestinya diarah oleh Jokowi. Pertanyaan mendasar dari misi Jokowi adalah kepentingan mana yang lebih dominan luar negeri atau domestik. Semakin sering bergerak ke luar negeri sebenarnya Jokowi sedang lari dari masalah dalam negeri. Mencoba mengalihkan diri melalui performance sebagai tokoh internasional. Sesuatu yang dianggap ilusi karena Jokowi sendiri gagap dalam berkomunikasi. Sangat berlebihan ungkapan anggota DPR bahwa upaya-upaya mendamaikan Rusia dan Ukraina akan membawa Jokowi mendapat hadiah perdamaian Nobel dan membuka jalan untuk jabatan Sekjen PBB. Mungkin ada netizen yang bergembira dan berujar bahwa lebih baik Jokowi menjadi Presiden dunia daripada menjadi Presiden Indonesia. Biar dunia pun ikut merasakan betapa nikmatnya banyak dibohongi oleh janji dan ocehan Jokowi. Bandung, 1 Juli 2022
Apa Itu Negara Indonesia
Apakah kita sadar dengan keadaan negara ini? Apa kita masih berdebat lagi soal Presidential Threshold 20 %? Apa tidak sebaiknya kita kembali ke UUD 1945 dengan sistem sendiri atau sistem MPR melalui demokrasi konsensus? Oleh: Prihandoyo Kuswanto, Ketua Pusat Studi Kajian Rumah Pancasila SEJAK UUD 1945 diganti dengan UUD Reformasi 2002, maka apa itu negara Indonesia sudah tidak lagi ada. Negara dengan Uniknya Bangsa dilahirkan baru negaranya dibentuk yang kemudian Indonesia adalah negara Kebangsaan. Perjuangan para pendiri negeri ini dinistakan oleh para pengamandemen UUD 1945. Fudamental negara berdasarkan Pancasila dirobohkan, dicabut, diganti dengan Individualisme, Liberalisme, Kapitalisme. Padahal, negara ini melalui proses panjang dalam pembentukannya dan melalui konsensus untuk meletakkan dasar negara, Philisophy groundslag bukan sesuatu yang asal comot tetapi melalui pemikiran yang bersumber dari akar budaya bangsa yang ribuan tahun sudah ada di dasar sejarah bangsa Indonesia. Pemikiran paradikmatika Philisophy tentu membutuhkan perenungan yang sangat fundamental. Mengganti UUD 1945 yang para komprador menyebutnya amandemen itu tak lebih dari penipuan terhadap bangsa ini. Nyatanya yang diamandemen adalah Ideologi Pancasila diganti dengan individualisme, liberalisme, dan kapitalisme. Lebih aneh lagi PDIP dan BPIP masih mengunya-ngunya Pancasila. Padahal ideologi negara berdasarkan Pancasila sudah dibuang. BPIP tidak akan mampu bicara ideologi Pancasila yang disetubuhkan dengan individualisme, liberalisme, kapitalisme. Bagaimana mungkin ajaran Soekarno tentang imperalisme justru mau disetubuhkan dengan liberalisme kapitalisme. Jadi tujuan bernegara masyarakat adil dan makmur tidak mungkin terwujud jika diletakkan pada sistem Kapitalisme Liberalisme. Padahal Keadilan Sosial Bagi seluruh rakyat Indonesia itu adalah Protes Bung Karno terhadap ajaran individualisme. Pertanyaan besarnya apakah Megawati Soekarnoputri dengan BPIP mengerti bahwa sejak UUD 1945 diganti dengan UUD Reformasi 2002 negara ini sudah tidak berideologi Pancasila lagi? Apa tidak mengerti yang dimaksud dengan ideologi negara berdasarkan Pancasila itu adalah UUD 1945? Yang lebih aneh lagi visi-misi negara yang tertuang di Pembukaan UUD 1945 diganti dengan visi-misi Presiden karena alasan sistem Presidensial. Visi Negara Republik Indonesia di dalam Pembukaan dituliskan Merdeka, Bersatu, Berdaulat, Adil, dan Makmur. Misi Negara Republik Indonesia ada pedoman, jang dalam Pembukaan sendiri ditentukan sebagai tudjuan dan tugas bekerdjanja Negara dalam kalimat keempat: bersifat nasional, ialah ”melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memadjukan kesedjahteraan umum serta mentjerdaskan kehidupan bangsa”; bersifat internasional, ”ialah ikut melaksanakan ketertiban dunia jang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial”. Dua pedoman tersebut apabila dipersatukan, maka merupakan perwujudan daripada matjam-matjam kepentingan jang mendjadi tugas pemeliharaan Negara tidak tjuma bangsa Indonesia dalam keseluruhannja harus dilindungi, djuga suku bangsa, golongan warga negara, keluarga, warga negara perseorangan; Tidak tjukup ada kesedjahteraan dan ketinggian martabat kehidupan umum bagi seluruh bangsa, djuga harus ada kesedjahteraan dan martabat kehidupan tinggi bagi setiap suku bangsa, setiap golongan warga negara, setiap keluarga, setiap warga negara perseorangan. Dengan lain perkataan harus ada keadilan sosial, jang pemeliharaannja baik diselenggarakan oleh Negara maupun oleh perseorangan sendiri, tidak dengan atau dengan bantuan Negara. Amandemen UUD 1945 adalah UUD 2002, berbeda dengan UUD 1945. Artinya UUD 2002 adalah UUD yang tidak berdasarkan Pancasila, UUD yang tidak ada hubungannya dengan Pembukaan UUD 1945, bahkan tidak ada hubungannya dengan Proklamasi 17 Agustus 1945. Negara kita ini sudah dikudeta oleh mereka yang mengatakan dirinya reformis yang jelas-jelas bertolak belakang dengan negara Pancasila mempunyai sistem sendiri yang disebut sistem MPR, kita menciptakan sendiri sistem yaitu sistem sendiri atau sistem MPR. Jadi, negara yang berdasarkan Pancasila itu sistemnya MPR, di mana seluruh elemen bangsa terwakili di lembaga tersebut. Karena negara ini semua buat semua, bukan buat sebagian orang yang merasa menang dalam pemilu. Bukan hanya golongan politik saja maka dari itu anggota MPR adalah selain DPR dari golongan politik juga utusan golongan, utusan daerah, sehingga di MPR lah kedaulatan tertinggi itu terwujud, kemudian tugas MPR menyusun GBHN dan mengangkat presiden untuk menjalankan GBHN. Maka Presiden adalah Mandataris MPR. Kita telah terjerumus dengan penipuan dan kebohongan bahwa UUD 2002 masih dikatakan UUD 1945. Padahal tidak ada hubungannya, sama sekali berbeda dan tidak ada hubungannya dengan Negara Proklamasi 17 Agustus 1945. Apakah negara Indonesia itu? Negara, jang – begitoe boenjinja – negara jang melindoengi segenap bangsa Indonesia dan seloeroeh toempah darah Indonesia dengan berdasar persatoean, dengan mewoedjoedkan keadilan bagi seloeroeh rakjat Indonesia”. Ini terkandoeng dalam pemboekaan. Tadi soedah saja katakan, oleh karena itoe kita menolak bentoekan negara jang berdasar individualisme dan djoega kita menolak bentoekan negara sebagai klasse-staat, sebagai negara jang hanja mengoetamakan satoe klasses, satoe golongan, oempamanja sadja, negara menoeroet sistem sovjet, jang ada sekarang, ialah mengoetamakan klasse pekerdja, proletariaat, klasse pekerdja dan tani, – itoe jang dioetamakan, maka itoe poen kita tolak dengan menerimanja pemboekaan ini, sebab dalam pemboekaan ini kita menerima aliran, pengertian negara persatoean, negara jang melindoengi dan melipoeti segenap bangsa seloeroehnja. Apakah kita sadar dengan keadaan negara ini? Apa kita masih berdebat lagi soal Presidential Threshold 20 %? Apa tidak sebaiknya kita kembali ke UUD 1945 dengan sistem sendiri atau sistem MPR melalui demokrasi konsensus? Apa kita akan terus berdebat dengan oligarki, sementara kita terus masuk dalam cengkeramannya tanpa bisa menyelesaikan persoalan bangsa ini? Sadarlah hanya kembali kepada UUD 1945 dan Pancasila, maka bangsa ini akan selamat. (*)
Presiden Jokowi Dalam Jebakan Maut
Riak-riak terdengar bahwa misi Presiden Jokowi adalah misi guna membujuk. Apalagi menghentikan perang Moskow dan Ukraina tersebut ibarat “pungguk merindukan bulan” (soos die agterkant van die maan ontbreek). Oleh: Sutoyo Abadi, Koordinator Kajian Politik Merah Putih DALAM pertemuan G7 di Jerman, ada pemandangan menarik yang bisa diulas dan menjadi tebakan politik, itu biasa dalam alam jurnalistik kontemporer. Ada foto yang kemarin sempat viral, kelihatan Presiden Joko Widodo seolah-olah menyandarkan kepalanya di bahunya Presiden AS Joe Biden. Dan foto lainnya ketika Jokowi sedang bercakap dengan Presiden Ukraina Volodymyr Oleksandrovych Zelenskyy. Karena tidak ada info resmi, maka banyak netizen was-was apa yang sedang mereka bicarakan. Semua mengetahui Jokowi memiliki kelemahan mendasar lemahnya penguasaan bahasa Inggris sebagai alat komunikasi internasional. Prof. Dr. Soffian Effendi, BA, MA, MPIA, PhD: “yang penting ada foto, aku komunikasi pake boso sukmu, alias bathin”. (dalam candaan politik di Grup WA Konstitusi). Di samping kendala berkomunikasi juga Presiden datang ke Ukraina dan Moskow, menjadi teka-teki misi apa yang akan dilakukan, karena Indonesia adalah negara yang lemah, baik militer maupun ekonominya. Profil dan potensi Jokowi sangat lemah dalam kemampuan berdiplomasi di kancah internasional. Jangankan diplomasi internasional, diplomasi dalam negeri saja sangatlah lemah, selain tebar pesona saja. Terdengar isu lagi bahwa Presiden Jokowi punya tema untuk menghentikan ketegangan perang antara Ukraina dan Moskow, itu nggak mungkin karena orang anggap bahwa anak kecil kok ngatur-ngatur orang dewasa atau negara yang lemah akan ngatur negara adidaya, isue itu langsung terpental oleh akal sehat. Gambar terlihat dalam foto tadi, dirangkul oleh Biden, mungkin Joe Biden sedang mangatakan “sudahlah, nggak usah sok jadi pendamai, kita memang mau perang kok, seraya mengatakan dengan berbisik – Saya dulu sudah bilang lo, mereka yang memihak pada China dan Moskow itu artinya melawan kami, kami harus paham ucapan saya, kami harus paham”. Sangat terlihat ketika Jokowi ketemu Joe Biden. Presiden AS memperlakukan Presiden Jokowi seperti anak kecil. Kata Rocky: “Joe Biden mengerti sebagai orang yang sudah senior sekali, dia tahu psikologi presiden Indonesia. Jadi, istilah Indonesia dia dirangkul, sudah tenang saja, manuto ojo rewel (nurutlah jangan usil)”. (Dalam analisa imajinasi Rocky) Joe Biden sedang mengatakan: “Kamu saat ini dalam pengaruh dan kendali China. Tidak mau ikut juga tidak apa-apa – Pak Jokowi kalau tidak mau ikut dengan proksi Amerika juga nggak apa-apa. Sudahlah selesaikan dulu masalah dalam negeri Anda, nggak usah terlalu sibuk untuk menyelesaikan soal Eropa”. Ini tafsir yang biasa dalam jurnalisme karena tidak ada point informasi resmi apa-apa yang mereka bicarakan. Tebakan politik lain bahwa Joe Biden menganggap tidak ada yang serius dengan Presiden Indonesia. Maka Biden hanya bercanda saja dengan Pak Jokowi. Karena Pak Jokowi juga pasang wajah yang sama tanpa kita tahu apa sebetulnya isi komunikasinya. Mungkin memang nggak ada komunikasi dan tidak ada yang penting. Presiden Jokowi sebenarnya dalam permainan dan jebakan para penasihat politiknya dan skenario yang menjerumuskan, karena memang Jokowi dengan kapasitasnya sangat mudah untuk dijerumuskan. Meminjam teori Graham Allison dengan tiga teori pendekatan dalam proses pengambilan kebijakan luar negeri: Model Aktor Rasional, Model Proses Organisasi dan model Model Politik Demokratik. Misi yang dilakukan Jokowi jauh dari standar tersebut. Juga terperangkap dengan teori Thucydides Trap, Prof. Bilveer menegaskan peran China sebagai kekuatan super power baru yang akan menggoyang keberadaan Amerika Serikat sebagai negara Super Power. Fakta, Jokowi dalam genggaman dan kendali China gara-gara utang untuk infrastruktur dan utang lainnya. Jokowi sadar atau tidak ada di posisi pilihan akan berpihak ke China atau Amerika, watak dua muka tidak mungkin bisa dilakukan. Bagi Amerika garisnya sangat jelas, mau berhenti main-main dengan China atau kita anggap sebagai musuh. Jadi, jebakan Tucisides ini akan berlaku pada Indonesia sebetulnya, karena Amerika cemas, Indonesia masih di dalam proksi Cina. Pada saat yang sama dihadapkan pada pilihan ketika ketemu Putin pasti akan diberi pilihan, disuruh memilih, mau pilih blok Amerika atau blok Rusia, dalam teori politik realis to be or not to be, tidak ada lagi alternatif pilihan lain. Posisi Presiden Jokowi dan Indonesia yang masih lemah secara militer dan ekonomi datang ke Eropa, Ukraina, dan Moskow, jelas merupakan jebakan maut. Riak-riak terdengar bahwa misi Presiden Jokowi adalah misi guna membujuk. Apalagi menghentikan perang Moskow dan Ukraina tersebut ibarat “pungguk merindukan bulan” (soos die agterkant van die maan ontbreek). Semoga Presiden Jokowi kembali dengan selamat, tidak perlu lagi melakukan hal-hal yang di luar jangkauan dan kemampuannya. Bisa kembali lagi menata Indonesia yang sedang mengalami banyak masalah dan bisa saja mengancam posisinya. Indonesia itu rentan terbelah, dan riil sedang mengalami kesulitan. Indonesia untuk masuk di dalam percaturan politik global masih sangat lemah. Kondisi politik dan ekonomi di Indonesia sangat rentan diintervensi asing. Itu sangat rentan. Kelemahan demokrasi kita hari ini bermasalah menyebabkan politik bisa berubah. Multi problem termasuk carut-marut ekonomi dengan macam-macam masalah di dalam negeri, harus diatasi. (*)
Sebaiknya Anies Baswedan Waspadai Beragam Manuver!
Makanya, sebagai rakyat jelata, rasanya tidak salah kalau kita mengingatkan supaya Anies waspada dengan manuver Surya Paloh, dan Sunny Tanuwidjaja yang sudah jelas-jelas pernah membawa duit untuk Teman Ahok. Oleh: Mochamad Toha, Wartawan Forum News Network (FNN) DIBERITAKAN berbagai media, Sunny Tanuwidjaja dikabarkan mundur dari jabatannya sebagai Sekretaris Dewan Pembina Partai Solidaritas Indonesia (PSI). Diduga, kemunduran Sunny berkaitan dengan sikap politiknya yang mendukung sosok Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan. Kabar tersebut dikonfirmasi langsung oleh Ketua DPP PSI Isyana Bagoes Oka. Ia mengatakan Sunny keluar dari PSI sejak tahun lalu. Sunny saat ini disebut mendukung sosok Anies. “Bro Sunny Tanuwidjaja telah mundur dari jabatan sebagai Sekretaris Dewan Pembina PSI sejak setahun lalu karena berbeda jalan politik,” kata Isyana saat dikonfirmasi, Selasa malam (28/6/2022). Wakil Ketua Dewan Pembina PSI Grace Natalie menyebut Sunny Tanuwidjaja yang mundur dari PSI sebagai gentleman. Grace mengatakan, Sunny mengaku mendukung Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan, sehingga harus melepas jabatannya sebagai Sekretaris Dewan Pembina PSI. “Bro Sunny gentleman mengakui akan men-support Anies dan untuk itu beliau mengundurkan diri,” ujar Grace saat dimintai konfirmasi Kompas.com, Selasa (28/6/2022). Menurut Grace, Sunny tahu persis bahwa PSI tidak akan pernah mendukung Anies pada Pilpres 2024. “Beliau tahu persis sikap PSI terhadap Anies sangat clear, tidak akan menoleransi politik identitas yang dimainkan Anies untuk meraih kekuasaan,” kata dia. Isyana menambahkan, saat ini posisi Sekretaris Dewan Pembina diisi oleh Raja Juli Antoni. Meski mundur dari Dewan Pembina PSI, ia tetap berstatus pendiri PSI. “Statusnya sebagai pendiri tentu tidak bisa diubah,” ujarnya. Nama Sunny Tanuwidjaja sempat mendapat sorotan pada 2018 lalu. Sunny diketahui pernah menjadi staf khusus Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok saat itu masih menjabat sebagai Gubernur DKI Jakarta. Dia diplot untuk bidang politik. Namun dalam kenyataannya dia menjadi perpanjangan tangan Ahok untuk mengurusi sejumlah proyek, salah satunya proyek reklamasi teluk Jakarta. Sunny juga diketahui pernah berkali-kali berurusan dengan KPK pada medio 2016. Hal itu tak lepas dari penyidik yang mengagendakan pemeriksaan terhadap Sunny sebagai saksi, baik untuk tersangka suap reklamasi saat itu, yakni Sanusi maupun Direktur PT Agung Podomoro Land (APL), Ariesman Widjaja. Konon, Sunny diperiksa KPK karena tersangkut korupsi reklamasi, yang bawa duit Rp 30 miliar dari pengembang ke Teman Ahok, mantan peneliti CSIS. Jadi bagaimanapun identitasnya tetap sebagai kelompok Taipan Hitam. Jangan sampai ketika Sunny benar-benar bergabung mendukung Anies, bisa saja ia mengulang kembali apa yang pernah dilakukan saat mendukung Ahok: membawa uang Taipan Oligarki untuk “Teman Anies”. Jika ini sampai terjadi, dapat saya pastikan, Anies bakal dibuli habis-habisan oleh lawan-lawan politiknya. Dan, Anies bakal dapat predikat sebagai “Teman Oligarki”. Masih mau terima Sunny sebagai pendukung Anies? Jebakan Oligarki Yang perlu diwaspadai Anies Bawesdan lainnya adalah Konvensi Ala NasDem yang pada akhirnya dimenangkan Anies dengan suara terbanyak. Menyusul kemudian, Ganjar Pranowo, dan Andika Perkasa. Ketum Partai NasDem Surya Paloh sempat menawarkan untuk memasangkan Anies dengan Ganjar kepada Presiden Joko Widodo. Namun, sinyal Jokowi ke arah Puan Maharani yang “ditugaskan” di Ibu Kota Baru (IKN) Nusantara. Sinyal Jokowi ke Ketua DPR RI, putri Ketum PDIP Megawati Soekarnoputri, ini seakan menjawab keretakan hubungan antara Jokowi dengan Megawati yang terjadi belakangan ini terkait dengan Pilpres 2024 mendatang. Ganjar sendiri saat Rakernas PDIP pada 21-23 Juni 2022 lalu, terlihat pasrah. Apakah dia nanti bakal dipasangkan dengan Puan atau malah cuma menjadi Jurkam Puan saat Pilpres 2024 nanti. Hingga akhir Rakernas pun, Megawati yang punya hak prerogatif, belum juga menentukan siapa nama yang bakal dimajukan sebagai Capres-Cawapresnya. Apakah dipasangkan dengan Anies Baswedan, seperti keinginan Jusuf Kalla. Seperti diketahui, belakangan ini mantan Wapres itu gethol menawarkan nama Anies untuk dijodohkan dengan Puan Maharani. Puan sendiri pernah menyatakan, dia tidak pernah ada masalah dengan Anies. Secara komunikasi politik, ini bisa diartikan, Puan siap bekerja sama dengan Anies. Termasuk jika Puan harus digandeng Anies pada Pilpres 2024 nanti. Dalam gelaran Formula E di Jakarta International E-prix Circuit di Ancol pada Sabtu, 4 Juni 2022, Puan tampak begitu akrab dengan Anies. Bahkan, Puan sempat pula berswafoto dengan Anies. Presiden Jokowi yang ada di sebelah kanan Puan itu seolah dicuekin. Bahkan, terkesan dianggap “tidak ada” oleh Puan. Puan sendiri tampak nyaman berada di samping Anies. Apalagi, Anies bukanlah seorang “tukang bakso”. Maka bisa dipastikan, Megawati akan menerima dengan senang hati karena calon menantunya itu bukanlah “tukang bakso”, tapi seorang Gubernur DKI Jakarta yang elektabilitasnya lebih tinggi ketimbang nama lainnya. Nama kedua tokoh ini belakangan memang santer diberitakan dan disodorkan sebagai Capres dan Cawapres pada Pilpres 2024. Anies sebagai Capres, Puan Cawapresnya. Anies mewakili umat Islam, Puan Nasionalis. Supaya “perjodohan” Anies-Puan ini bisa terealisasi, mantan Wapres JK yang juga dikenal sebagai tokoh Golkar sampai harus turun gunung. JK dan Anies diketahui sangat dekat. Keduanya sama-sama alumni Himpunan Mahasiswa Islam (HMI). Keduanya juga jadi petinggi di Korps Alumni HMI (KAHMI). JK menjadi sosok penting yang meloloskan pencalonan Anies jelang Pilkada DKI Jakarta 2017. Ketika itu, JK, yang menjadi wapresnya Jokowi, sampai telepon Ketum Gerindra Prabowo Subianto agar mengusung Anies saat Pilkada DKI melawan Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok. Boleh dikata, JK berani “membelot” dari Jokowi, yang saat itu disebut-sebut mendukung Ahok. Apakah rencana perjodohan Anies-Puan seperti keinginan JK itu bisa terwujud pada Pilpres 2024? Dan pertanyaan lainnya, apakah Surya Paloh yang sudah mengklaim sebagai “pengusung” Anies pada Pilpres 2024? Apalagi, Susilo Bambang Yudhoyono, pendiri Partai Demokrat dan Ketumnya Agus Harimurti Yudhoyono telah pula bertemu dengan Surya Paloh. Sejak pertemuan itu, muncullah wacana pasangan Anies – AHY. Persoalannya, jika Anies menerima pinangan Puan maupun AHY, ini sama halnya Anies juga pasrah dengan ketentuan presidential threshold (PT) 20 persen. Karena, PDIP dan NasDem hingga kini masih mendukung PT 20 persen. Padahal, PT 20 persen itu sejatinya “mainan” para Oligarki yang masih ingin mengendalikan kekuasaan Indonesia. Sudah bukan rahasia lagi, kalau Surya Paloh adalah kolega James Riyadi yang dianggap sebagai Oligarki. Makanya, sebagai rakyat jelata, rasanya tidak salah kalau kita mengingatkan supaya Anies waspada dengan manuver Surya Paloh, dan Sunny Tanuwidjaja yang sudah jelas-jelas pernah membawa duit untuk Teman Ahok. Benar kata seorang wartawan senior, pilpres itu butuh dana. Dan yang punya dana untuk itu adalah oligarki. Apalagi, di kalangan wartawan, JK itu dikenal pelit. Apakah mungkin JK mau membiayai Anies Baswedan? Jika akhirnya gugatan PT 0 (nol) persen itu dikabulkan Mahkamah Konstitusi (MK), maka Anies Baswedan tidak harus diusung oleh parpol manapun. Biaya pun bisa mandiri dengan membuka “Kotak Peduli Anies”. Jadi, kalau Anies masih terima pinanan Surya Paloh, ini sama saja dengan dia diusung Oligarki Aseng. Untuk hindari oligarki aseng, pribumi harus berani membiayai Anies sehingga tidak ada dana seperpun dari Oligarki ke Anies. Misalnya, kalau pendukung Anies ada 50 juta dan @orang sumbang Rp 100 ribu saja, sudah bisa terkumpul Rp 5 triliun. Konon, biaya pilpres itu minimal Rp 10 triliun. Jika dikalikan 24 bulan, maka terkumpul Rp 24 triliun. Banyak pengusaha pribumi yang kaya raya. Mereka pasti akan gelontorin dana untuk kemenangan Anies. Kalau ada 10 ribu pengusaha pribumi Muslim yang masing-masing sumbang Rp 1 miliar saja, angkanya bisa capai Rp 10 triliun. Jika dikalikan dengan 24 bulan (jelang Pilpres 2024), maka akan terkumpul Rp 24 triliun. Dan, jika semua dikumpulkan, maka akan ada dana dari Kotak Peduli Anies itu sebanyak Rp 48 triliun. Saya rasa dana sebesar itu bisa untuk membiayai Anies. Jika Anies akhirnya terpilih jadi Presiden, maka dia akan “berhutang” pada rakyat. Mungkin saya salah hitung. Jika ada pakar ekonomi atau akuntan yang bisa bantu dengan cermat menghitung untuk membiayai Anies maju Pilpres 2024, dengan senang hati saya terima. Silakan bantu menghitungnya. (*)
Munculnya Guru Besar Rasa Buzzer
Oleh Ady Amar Kolumnis Buzzer naik pangkat. Tidak cuma diisi para pengangguran semata, tapi sekelas guru besar bergelar profesor pun nyambi jadi buzzer. Begitu lezatnya buzzer itu, membuat sang guru besar mesti rela turun kelas mengais rezeki di sana. Seharian kemarin beredar twit Prof Saiful Mujani, owner lembaga survei SMRC, yang menanggapi kawannya entah siapa, dengan nada kebencian yang dipaksakan. Memang tidak menyebut siapa yang disebutnya \"gubernur yang rela memakan babi jika itu memastikan mengantarnya menjadi presiden\". Sang kawan membeberkan, bahwa seorang gubernur yang tadinya eksklusif tapi saat ini menjadi inklusif. Memang tidak menyebut siapa nama gubernur yang dimaksud. Lalu, Saiful Mujani perlu membatalkan pikiran positif sang kawan tadi dengan komen yang khas buzzer. Begini twit-nya: teman yg komunitasnya sering jadi sasaran intoleransi bilang: \"gubernur itu sekarang inklusif terhadap berbagai kelompok agama.\" saya bilang: \"kl ga ngerti bodoh aja. orang itu jangankan nyabanin greja, disuruh makan babi pun akan dia makan kalau bisa jamin dia jadi presiden.\"🙏 Memang tidak disebut di sana nama gubernur dumaksud. Tapi netizen beragam yang mengomentari twit sang profesor itu menyebut satu nama: Anies Baswedan. Twit itu ditujukan menyerang Anies, khas buzzer. Bicara tidak perlu pakai data. Yang penting buat narasi kasar, jika perlu pakai fitnah segala. Menjadi sulit membedakan, mana guru besar mana \"tukang bakso\" versi Megawati. Maka, netizen seharian kemarin menyatakan lebih kurang demikian: bagaimana bisa mempercayai lembaga survei demikian, jika pemiliknya punya kebencian irrasional pada Anies Baswedan. Menjadi sulit dipercaya rilis surveinya, yang selalu menempatkan Anies di posisi 3. Sulit bisa mempercayai lembaga survei yang tidak membuka siapa penyandang dananya. Menyerang Anies dengan bertubi-tubi, sampai tukang survei kawakan pun perlu men-twit model fitnah begitu, itu pertanda elektabilitas Anies sudah sulit terkejar. Maka, segala cara menjatuhkan Anies, meski harus menanggalkan nalar pun dilakukan. Guru besar rasa buzzer patut disematkan tidak saja pada sang profesor, tapi juga pada polster lainnya yang menggunakan nalar buzzer. Sebelumnya, Hasan Nasbi, pendiri lembaga survei Cyrus Network pun perlu meyakinkan publik dengan memilih jalan taruhan. Menurutnya, Anies tak akan dapat tiket sebagai Capres. Ia meyakini, bahwa Anies paling top hanya dapat tiket sebagai Cawapres. Karenanya, ia berani taruhan mobil Alphard atu-atunya yang dimiliki dengan siapa saja. Jika Anies mendapat tiket Capres, maka Alphard itu akan diserahkannya. Ia sebutkan, bahwa sudah ada yang menantangnya, meski ia tidak menyebut nama sang penantang taruhan. Hasan Nasbi seperti sudah kehilangan nalar. Merasa tidak cukup lagi publik diyakinkan dengan rilis hasil surveinya. Tapi juga perlu mengeluarkan \"jurus mabuk\", dan taruhan jadi pilihannya. Padahal Islam melarang bertaruh atau taruhan, tapi ya itu tadi ia ingin meyakinkan publik dan itu dengan taruhan. Segala cara dipakai. Semua mendadak memilih jadi buzzer untuk menjegal Anies Baswedan. Duh, kok sampai segitunya. (*)
Demokrasi Konsensus vs Demokrasi Mayoritas, Pilih Mana?
Dalam sistem Presidensial, Presiden yang menang melantik dirinya sendiri dan menjalankan janji-janji kampanyenya. Kalau tidak ditepati janjinya ya harap maklum. Oleh: Prihandoyo Kuswanto, Ketua Pusat Studi Kajian Rumah Pancasila DEMOKRASI berdasarkan Pancasila adalah Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam Permusyawaratan/perwakilan atau demokrasi konsensus. Dengan kata lain, pemilihan Presiden dilakukan dengan permusyawaratan perwakilan yang dipimpin oleh Hikmat Kebijaksanaan. Artinya, tidak semua orang bisa bermusyawarah yang dipimpin oleh bil Hikmat. Jadi, hanya para pemimpin yang punya ilmu yang bisa bermusyawarah. Sebab musyawarah bukan kalah-menang, bukan pertaruhan, tetapi memilih yang terbaik dari yang baik. Pemilihan didasarkan atas nilai-nilai kemanusiaan, nilai persatuan Indonesia, Permusyawaratan perwakilan yang bertujuan untuk Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia dan semua hasil itu semata-mata untuk mencari ridho Allah atas dasar Ke-Tuhanan Yang Maha Esa. Dengan sistem MPR maka pelaksanaan demokrasi asli Indonesia berdasarkan Pancasila tidak menguras Triliunan rupiah, tidak ada pengerahan masa, tidak ada kampanye, tidak ada pengumpulan massa yang tidak perlu. Sebab yang dipertarungkan adalah pemikiran gagasan, tidak membutuhkan korban yang sampai hampir 900 petugas KPPS meninggal yang tidak jelas juntrungannya. Sistem presidensial basisnya Individualisme. Maka kekuasaan diperebutkan banyak-banyakan suara, kuat-kuatan, pertarungan, kalah-menang. Yang menang mayoritas dan yang kalah minoritas, demokrasi mayoritas jadinya. Demokrasi dengan cara-cara Liberal, Kapitalis, membutuhkan biaya yang besar, menguras dana rakyat Triliunan rupiah, maka membutuhkan bandar- bandar untuk membiayai calon akan diganti dengan kekayaan ibu Pertiwi yang menjadi oligarki. Untuk memilih pemimpin pilkada, pileg, pilpres dengan sistem pemilu yang serba uang bisa kita tebak maka menghasilkan para koruptor , hampir 80% kepala daerah terlibat korupsi. Dan yang lebih miris korupsi seperti hal yang lumrah di negeri ini. Begitu juga dengan petugas KPU-nya, juga bagian dari sistem korup, kecurangan bagian dari strategi pemilu. Demokrasi bisa dibeli geser-menggeser caleg, memindakan suara itu adalah bagian dari permainan KPU. Ini bukan isapan jempol, bukannya sudah dua anggota Komisioner KPU yang dipecat karena terlibat permaian uang. Dalam sistem Presidensial, Presiden yang menang melantik dirinya sendiri dan menjalankan janji-janji kampanyenya. Kalau tidak ditepati janjinya ya harap maklum. Artinya di akhir masa jabatan presiden tidak perlu mempertanggungjawabkan kekuasaannya. Bayangkan, Ketua RT saja di akhir jabatannya mempertangungjawabkan kepemimpinannya pada warganya. Apa masih berharap dengan pemilu? (*)
Gambaran Bentuk Gerakan Perubahan
Maka lahirlah poros perubahan semata untuk menyatukan semua kekuatan, menyamakan pikiran, langkah, dan tindakan bersama untuk bergerak secara bersama. Oleh: Sutoyo Abadi, Koordinator Kajian Politik Merah Putih JOHANN Gottfried Herder merupakan seorang filsuf berkebangsaan Jerman: “percaya bahwa kemajuan sejarah itu tercapai berkat kerjasama antara faktor eksternal dan semangat yang subyektif”. Herder juga berpendapat, “kemajuan sejarah manusia di suatu tempat dan suatu waktu akan terjadi dengan caranya sendiri-sendiri secara alami atau bisa disebut juga sejarah sebagai suatu fenomena alam”. Dalam periode pergerakan, setiap kurun waktu memiliki jiwa pada zamannya sendiri-sendiri. Gambaran situasi di alam kekuasaan Oligarki saat ini sudah sedemikian rupa membutuhkan gerakan rakyat yang benar-benar bergerak melawan situasi kebuntuan yang semua dikendalikan oligarki. Petaka yang terjadi saat ini, masyarakat bawah dan menengah yang terpantau dalam jejaring WA atau keluhan langsung yang kita tangkap itu, mereka terus mengiba, merintih dengan kalimat tolonglah kami, mohon segera… kami tetap berharap... cepatlah bertindak dan bergerak... kami meminta... atasi segera... jangan terlambat... kami sudah menyerah… Mereka pada situasi berharap-harap dan terus dalam penantian lahirnya pemimpin pergerakan yang bisa menggerakkan, menyatukan, dan juga mengkonsolidasikan kekuatan untuk bergerak, melakukan perubahan di Indonesia. Realitas yang terjadi sekarang ini belum ada kekuatan yang bisa menghadapi dan mengatasi kekuatan Oligark yang memang sangat kuat dengan kekuatan strategi dan finansialnya. Bentuk perlawanan masih sebatas artikel dan wacana di media sosial, belum ada tanda tanda terkonsolidasi. Oligarki sangat paham pergerakan masih berserak-serak sebatas ucapan, tak akan bisa muncul karena kekuatan perlawanan dan finansialnya sangatlah terbatas, bahkan sponsor yang mungkin bisa mem-backup, arus keuangan mereka sudah dalam pengawasan oligarki. Apalagi, bank-bank banyak yang dikuasai oligarki. Bahkan, beberapa bank plat merah pun sebagian sahamnya berada dalam kekuasaan Aseng. Akan lebih mudah diketahui, aliran dananya dari siapa. Jadi, kalau ada yang terlibat dalam pergerakan, oligarki bisa langsung bertindak melalui boneka binaan dan asuhannya untuk menjatuhkan siksaaan, ancaman dan bisnis mereka harus di sumbat dan dimatikan. Antar tokoh pergerakan kadang masih muncul saling menjegal satu sama lain, mengkoreksi kelemahan gaya pergerakan lainnya. Pada saat yang bersamaan yang suka mengkoreksi mereka hanya diam di tempatnya. Semestinya saling melengkapi dan memperkuat satu sama lain. Bahkan, terlalu banyak para aktivis yang terkena pengakit sindrom, terus- menerus memunculkan bahwa dirinya angkatan ..77-98 – hanya membela dirinya pernah berjuang dan merasa dirinya hebat, dan merasa paling tahu melakukan gerakan, lupa situasinya sudah berubah. Mantan Panglima TNI Jenderal TNI Purn Gatot Nurmantyo pernah menyebut ciri ciri mereka yang yang hanya meminta dan berharap serta memiliki sifat sindrom. Saat ada gerakan riil – akan terjadi – mereka tetap di tempat, pada situasi krisis dan kritis mereka akan lari dari gelanggang. Situasi saat ini butuh kebersamaan, jiwa besar, negarawan dan kesadaran situasinya tidak bisa diatasi secara parsial masing masing merasa bisa dan paling tahu. Maka lahirlah poros perubahan semata untuk menyatukan semua kekuatan, menyamakan pikiran, langkah, dan tindakan bersama untuk bergerak secara bersama. Harus ada kesadaran kolektif satu pejuang di depan lebih utama dari ribuan cendekia yang hanya diam di tempat dan tak bergerak. Jangan saling menjegal dan melemahkan. Satukan niat, tekad, dan semangat, untuk tumbuhnya rasa kebersamaan berjuang besama. Dalam konteks gerakan mahasiswa, penguasa telah masuk melakukan politik kampus. Pengawalan isu saat ini harus masuk birokrasi yang ketat dengan ancaman dan segala resikonya sebagai mahasiswa menimpa beberapa gerakan mahasiswa. Membelit kepentingan penguasa untuk mengendalikan gerakan mahasiswa. Memaksa mahasiswa keluar dari kodratnya sebagai melting pot moralitas. Perubahan harus diperjuangkan bukan semata hanya berharap dengan khayalan mistis yang justru akan memperparah keadaan. (*)
Membincangkan Etika Bernegara, Berbangsa, dan Beragama
Adil, jujur, benar, berani, sabar, tawakal, amanah, isiqamah adalah akhlak terpuji (mencakup etika, moral, budi pekerti, sopan santun dll) tuntunan agama. Oleh: Muhammad Chirzin, Guru Besar UIN Sunan Kalijaga Jogjakarta PERBINCANGAN ini bermula dari unggahan seorang teman di grup WA tentang komentar Zulkifli Hasan kepada Prabowo Subianto. Sejumlah nama calon Presiden mulai bermunculan, termasuk Prabowo Subianto. Zulkifli Hasan menyatakan bahwa Prabowo Subianto akan kalah jika Pemilihan Presiden (Pilpres) 2024 berjalan rasional. Ada lima faktor yang akan membuat Prabowo kalah dalam Pilpres. Prabowo sudah berkali-kali maju Pilpres tetapi selalu kalah. “Kalau Pilpres rasional Pak Prabowo kalah. Kenapa? Pertama, tidak ada media yang mendukung Pak Prabowo. Kedua, pengusaha logistik tidak ada yang mendukungnya. Ketiga, operasional tidak mendukung. Keempat, ada sejarahnya. Kelima, berkali-berkali jadi calon kalah,” ujarnya saat Halal Bihalal DPD PAN Sulsel di Hotel Claro Makassar, Jumat (20/5/2022) malam. Zulhas menambahkan, hal sebaliknya jika Joko Widodo (Jokowi) kembali maju. Menurut dia, infrastruktur politik Jokowi sangat mendukung. “Untuk Pak Jokowi, TNI Polri mendukung, pengusaha mendukung, media mendukung, operasional mendukung,” ujarnya. Zulhas menyebut Koalisi Indoneia Bersatu (KIB) dibentuk agar di Pilpres nanti ada lebih dari dua pasangan calon. “Karena ini (syarat Presidential Threshold) 20 persen, supaya menghindari dua (paslon). Nanti kita coba dan dahului supaya ada tiga,” lanjut nya. Ia menyebut jika ada tiga paslon tidak terjadi perpecahan hingga tingkat dusun seperti yang terjadi pada Pilpres sebelumnya. “Kalau bisa calonnya tiga, syukur-syukur bisa lebih. Kita jangan sampai menjual/kampanye untuk pecah belah, tapi menawarkan gagasan, konsep, bagaimana Indonesia maju, swasembada pangan, bagaimana lingkungan Indonesia climate change juga tambah bagus lingkungannya, anak muda dapat kesempatan lapangan kerja yang baik.” Itulah pertimbangan PAN bergabung dengan Golkar dan PPP membangun KIB. Salah seorang teman menanggapinya demikian. “Ini gara-gara UUD Palsu 2002. Mosok, Ketum Partai menilai Ketum Partai lain di depan publik. Belum juga masa kampanye. Parah. Bgmana ...? Saya pun menimpali, Zulkifli Hasan mau bilang, “Hidupkan kembali pasal Presiden bisa 3 periode” saja kok pakai muter-muter. Tiba-tiba salah seorang kawan menulis, “Sudah berubahkah tauhid Prof. Jimly Asshidiqie?” Menurut Prof. Jimly Asshiddiqie di ruang publik sebaiknya kita berbicara etika, bukan agama. Karena etika itu berlaku di ruang publik (universal), sedangkan kepercayaan-kepercayaan agama itu eksklusif, hubungan pribadi dengan sesembahan masing-masing. Ada etika hukum, politik, rekayasa, lingkungan, guru, kedokteran, arsitek dll. Agama hanya untuk ruang private dan hubungan kita dengan sesembahan. (Miky - Forum Asoterika Spiritualis). Nggak salah, Prof Jimly Asshidiqie? Teladan sempurna kita adalah Kanjeng Nabi Muhammad Saw dengan Al-Quran yang hidup dengan segala sunah-sunahnya. Etika/akhlak/budi perkerti, baik personal maupun sosial, bukan justru kerdil jika diperkecil demikian? Nabi Muhammad Saw membangun Kostitusi Madinah/Traktat Kontrak Sosial Madinah, mengatur segala aspek: politik/bernegara, sosial/bermasyarakat, budaya nasional Madinah/kebangsaan Madinah, sistem ekonomi kerakyatan yang berkeadilan Madinah, hukum yang berkeadilan, masyarakat egaliter dengan tata harmoninya, mengintegrasikan suku-suku di Madinah, mengonsolidasikan “demokrasi hikmah kebijaksanaan Madinah, membangun peradaban Madinah” dst-dst. Betapa naif jika Nabi yang berakhlak agung (khuluqin \'azim) sebagai rahmat, maitrea, cinta kasih, welas asih kepada segenap publik/alam (rahmatan lil \'alamin), maqamtingkatan yang paling tinggi (maqam mahfudz) terutama sifat rendah hati, pemurah, mengorbankan diri untuk orang lain, membalas kejahatan dengan berbuat baik, sampai menjadi rahmat bagi segenap alam semesta, jika cuma urusan yang privat berhubungan dengan Sang Pencipta. Yang jelas, kita punya nilai-nilai universal Pancasila sebagai standar dasar untuk dioperasionalkan dengan penjelasan turunannya yang berharkat bermartabat. Sahabat yang lain pun menimpali, “Sumber etika itu dari mana?” Sumber moral dari mana? Di ruang publik yang harus tegak itu etika atau moral? Dengan rujukan apa? Pejabat publik yang tidak jujur, tidak tunduk pada etika atau moral, dengan argumen apa?\" Anggota yang lain angkat bicara dalam konteks kehidupan berbangsa dan bernegara dengan mengutip narasi Bung Karno, “Marilah kita menoendjoekkan keberanian kita dalam mendjoendjoeng hak kedaulatan bangsa kita, dan boekan sadja keberanian jang begitoe, tetapi djoega keberanian mereboet faham jang salah di dalam kalboe kita. Keberanian menoendjoekkan, bahwa kita tidak hanja membebek kepada tjontoh2 oendang2 dasar negara lain, tetapi memboeat sendiri oendang2 dasar jang baroe, jang berisi kefahaman keadilan jang menentang individualisme dan liberalisme; jang berdjiwa kekeloeargaan, dan ke-gotong-royongan. Keberanian jang demikian itoelah hendaknja bersemajam di dalam hati kita. Kita moengkin akan mati, entah oleh perboeatan apa, tetapi mati kita selaloe takdir Allah Soebhanahoewataala. Tetapi adalah satoe permintaah saja kepada kita sekalian: Djikalau nanti dalam zaman jang genting dan penoeh bahaja ini, djikalau kita dikoeboerkan dalam boemi Indonesia, hendaklah tertoelis di atas batoe nisan kita, perkataan jang boleh dibatja oleh anak-tjoetjoe kita, jaitoe perkataan: Betoel dia mati, tetapi dia mati tidak sebagai pengetjoet. Jadi, kalau orang masih ngomong pilpres, pemilu kita membebek pada sistem Individualisme, Liberalisme, Kapitalisme, tidak berani mengembalikan UUD 1945 asli, artinya kita pengecut. Anggota grup yang lain pun menimpali, “Agama Islam itu ada di setiap jengkal kehidupan. Ada yang tampaknya seperti etika menurut ilmu pengetahuan, tapi Islam tetap menganggap itu agama. Kita melaksanakan etika/kebaikan, tanpa menghayatinya sebagai agama, maka kebaikan itu tidak terhubung dengan Allah swt, alias ketika kita melakukan sesuatu kebaikan tanpa disadari itu sebagai agama Islam, maka sejenak saat itu kita meninggalkan Tuhan (Allah dalam kehidupan kita, kadang ada kadang tidak ada. (Na\'uzubillah min zalik). Anggota lainnya pun menulis, “Saya setuju itu: Sesungguhnya shalatku, hidup, dan matiku hanya untuk Allah SWT”. Allah Swt mendengar ucapan itu setiap kali dibaca. Tapi apakah itu sesuai dengan tindakan dalam kehidupan sehari-hari? Kepada Allah saja kerap manusia ingkar, apatah lagi kepada sesama manusia. Kita ini kebanyakan antara munafik-matre-takdir sosial buruk dst, yang \'baik-benar\' terseleksi melalui mekanisme \'pasti-imaginasi dan alam rendah (neraka-binatang-hantu-hantu setan kelaparan-hantu-hantu setan raksasa)\'. Di Indonesia formulasi kebenaran terasing dan langka, di alam pasti/mutlak. Dan memimpin mereka seperti bersamanya ke \'animal farm\' seakan menari-nari di atas ular-ular. Penulis lain menyatakan demikian. Sepengetahuan saya, agama samawi, wahyu Tuhan yang diturunkan itu untuk umat manusia, berarti untuk semua manusia, disampaikan terbuka, mengedukasi umat manusia untuk hidup yang baik di dunia dan akhirat, bukan dengan cara glenak-glenik di kamar tidur, cuma dengan istri dan anak doang. Kalau Pancasila diamalkan oleh para politisi dan pejabat politik, tak ada anasir radikalisme. Radikalisme yang diwacanakan oleh penguasa sejatinya adalah respons negatif terhadap Islam politik yang mengontrol kekuasaannya yang menyimpang. Saya sangat yakin bahwa tak akan pernah terdengar radikalisme dari mulut penguasa, andaikata kekuasaan dijalankan secara benar: berdasarkan Pancasila. “Satu idiot adalah salah satu idiot. Dua idiot adalah dua idiot. Sepuluh ribu orang idiot adalah partai politik.” - Frank Kafka. Dalam iklim \"takdir sosial yang buruk\", tapi dalam penghormatan manusia (membunuh satu orang sama membunuh seluruh manusia, menyelamatkan satu orang sama menyelamatkan seluruh manusia) seperti Selandia Baru, Luxemburg, Jepang, Kanada, Inggris, Turki, Chechnya, Iran, negara-negara Skandinavia dkk, semuanya \'indah & islami\', betapa kejamnya \'kuasa kerajaan kegelapan\' betapa indahnya \'iluminasi cahaya\'. Saya pun menutup perbincangan demikian. Di ruang publik maupun di ruang privat muslim senantiasa menggunakan dan menjalankan tuntunan agama. Berketuhanan Yang Maha Esa itu beragama. Berkemanusiaan yang adil dan beradab itu niscaya sesuai dengan tuntunan Tuhan Allah YME, bepersatuan Indonesia dalam bimbingan Tuhan Yang Maha Esa, berkerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan sesuai dengan/mengikuti kehendak Tuhan Allah swt, dan berkeadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia, sebagaimana dikehendaki Allah swt Tuhan Yang Maha Esa. Adil, jujur, benar, berani, sabar, tawakal, amanah, isiqamah adalah akhlak terpuji (mencakup etika, moral, budi pekerti, sopan santun dll) tuntunan agama. “Pengalaman beragama adalah keseluruhan pengalaman hidup setiap orang beragama”. Begitu kata filosof Pakistan Dr. Mohammad Iqbal. (*)
Anies Mengusung Politik Akhlak, Bukan Politik Identitas
Kesadaran dan keinsyafan itu, bukan hanya membuat Anies mampu berdiri tegak pada rasionalitas, moralitas dan spiritualitasnya semata. Lebih dari itu, Anies berhasil menghadirkan Tuhan dalam setiap pikiran, ucapan, dan tindakan keseharian hidupnya. Nilai-nilai religi begitu kental menghiasi kejujuran, bersikap adil dan sebisanya mengangkat harkat hidup rakyat yang dhoif dan fakir. Oleh: Yusuf Blegur, Mantan Presidium GMNI APA yang baik menurut manusia, belum tentu baik di hadapan Allah. Begitupun sebaliknya, apa yang buruk menurut manusia belum tentu buruk di hadapan Allah. Seperti halnya Anies Baswedan yang selalu dalam pandangan buruk konspirasi jahat. Anies justru terus menuai kebaikan rakyat karena politik akhlak yang menyertainya, bukan dari politik identitas. Begitulah sejatinya pemimpin yang selalu menghadirkan Tuhan dalam setiap helaan nafasnya, bukan pada kekuasaan politik manusia yang absurd. Sejak memangku jabatan gubernur DKI Jakarta, Anies merupakan seorang pemimpin yang menjadi langganan framing jahat. Pembentukan opini Intoleran, radikalis, dan fundamentalis, hingga dicap sebagai pengusung politik identitas sampai menjadi anasir teroris, kerapkali bertubi-tubi menerpa Anies. Identifikasi personal yang sangat kentara sebagai upaya pembunuhan karakter figur Anies, begitu gencar dilakukan secara terstruktur, sistematik dan masif. Menghujani dengan isu, intrik, dan fitnah, tak pernah jeda dan membabi-buta ditujukan kepada Anies. Tak kurang mulai dari individu sampai organisasi berlomba-lomba ingin menjatuhkan Anies dengan cara-cara yang tak bermartabat. Sebut saja lakon tetap para buzzer cekak logika spesial recehan, seperti Ade Armando, Ferdinan Hutahaean, Denny Siregar, Eko Kuntadhi, Husin Shihab dan manusia sejenis lainnya. Tak ketinggalan yang paling menonjol dan getol dari Partai Solideritas Indonesia (PSI), yang program utamanya hanya mendiskredikan Anies. Baik para buzzer maupun PSI, keduanya cenderung merupakan pemain bayaran yang mendapatkan uang dan jabatan sebagai kompensasi atas kerja-kerja men-downgreed Anies. Anies sendiri bergeming, menghadapi badai stereotif, baik berupa narasi maupun manuver kekuasaan politik yang menyerangnya. Anies lebih memilih menghadapi semua itu dengan sikap tenang, penuh senyuman dan tidak meninggalkan sedikitpun adab dan sopan santun. Kesabaran, keuletan, fokus pada pekerjaan dan tanggungjawabnya sebagai gubernur Jakarta, selalu menjadi jawaban Anies terhadap pandangan \"under estimate\", pola agitasi dan propaganda serta semua sikap-sikap merendahkan yang mengarah kepada dirinya. Sikap rendah hati dan ketulusan Anies sebagai pemimpin membuahkan kinerja dan prestasi yang membanggakan bukan hanya bagi warga Jakarta, melainkan untuk seluruh rakyat Indonesia. Tentu saja, fakta dan realitas keberhasilan Anies membuat para buzzer, partai sempit iman, dan kaum kesadaran pendek serta tipis akal, semakin kejang-kejang menampilkan kesetanan pada jiwa raganya. Mungkin saja fenomena itu menjadi pelajaran dan hikmah tersendiri bagi Anies khususnya dan para pemimpin lain pada umumnya. Sebagai manusia hendaknya jangan melakukan intervensi apalagi sampai mengambil alih peran Tuhan Yang Maha Esa. Bahwasanya setiap jodoh, maut dan rezeki itu ranahnya Illahi, di luar itu manusia boleh saja berkreasi dan melakukan improvisasi. Jangan sampai memaksakan diri dan memaksakan kehendak pada orang lain. Tugasnya manusia yaitu tetap bertahan sekuat daya menjadi manusia, jangan merubah dirinya karena kepentingan apapun termasuk menjadi tidak manusiawi. Pentingnya memahami kekuasaan yang sejati dan hakiki itu hanya milik Allah Yang Maha Besar. Anies sepertinya menyadari, tanpa jabatan apapun, sesungguhnya ia telah menjadi pemimpin. Setidaknya pemimpin bagi dirinya, bagi keluarganya dan mungkin yang lebih luas bagi komunitasnya, jika belum sampai pada kemampuan memimpin masyararakat, negara dan bahkan dunia. Kesadaran dan keinsyafan itu, bukan hanya membuat Anies mampu berdiri tegak pada rasionalitas, moralitas dan spiritualitasnya semata. Lebih dari itu, Anies berhasil menghadirkan Tuhan dalam setiap pikiran, ucapan, dan tindakan keseharian hidupnya. Nilai-nilai religi begitu kental menghiasi kejujuran, bersikap adil dan sebisanya mengangkat harkat hidup rakyat yang dhoif dan fakir. Anies menjadikan kepemimpinan itu sebagai pertaruhan hubungan manusia dengan Ketuhanannya. Ketaatan dan ketaqwaan itu selayaknya lebih dulu hadir saat manusa tidak memiliki kekuasaan atas dirinya sendiri maupun pada orang lain. Dengan demikian segala motivasi dan tujuan kepemmpinannya, tidak lebih dan tidak bukan hanya karena dan untuk Sang Khalik. Bukan karena uang, populeritas dan jabatan, bukan pula karena pencitraan dan perangai menghalalkan segala cara. Anies sepertinya bersetia dan teguh dengan karakter pemimpin yang mengusung politik akhlak, bukan politik identitas. Munjul-Cibubur, 29 Juni 2022. (*)
Penghinaan dan Intoleransi
Karenanya kejadian ini menjadi pembuka mata bagi semua. Tapi lebih khusus lagi untuk pemerintah agar segera meraktifikasi Resolusi PBB Maret 2022 lalu tentang Islamophobia. Oleh: Imam Shamsi Ali, Presiden Nusantara Foundation SERINGKALI orang mencoba mengelabui opini publik dengan melemparkan cara pandang yang kotor namun berselimut keindahan. Salah satunya adalah konsep toleransi yang tertunggangi intoleransi, bahkan kebencian. Baru-baru ini sebuah club di Jakarta membuat iklan bir dengan dua nama figur keagamaan yang sangat mulia. Yang pertama dengan nama Muhammad, nama nabi terakhir yang mulia. Dan kedua dengan nama Maria, nama Ibu nabi mulia Isa AS yang juga sangat dimuliakan baik oleh Islam maupun Umat Kristiani. Penamaan atau pengiklanan minuman keras dengan dua nama itu jelas merupakan penghinaan terhadap dua sosok atau figur dua agama yang sangat dimuliakan. Dan karenanya mengundang reaksi keras tidak saja dari kalangan umat Islam. Tapi juga dari sebagian kalangan umat Kristiani. Seperti yang sering saya sampaikan bahwa tindakan pengecut seperti ini sama sekali tidak mengurangi kemuliaan dan kehormatan baginda nabi (dan juga Maryam). Tapi umatnya yang mencintainya begitu dalam akan sangat tersinggung dan marah. Dan, karenanya memang perlu disikapi oleh semua pihak secara jelas dan tegas. Para Ulama harus menyuarakan resistensi sesuai koridor hukum yang ada. Rakyat luas juga perlu menyikapi sesuai batasan hukum yang ada. Mengenkspresikan resistensi tanpa melakukan hal-hal yang destruktif dan merusak. Tapi yang terpenting dari semua itu adalah urgensi pemerintah untuk menyikapinya secara jelas dan tegas sesuai hukum yang ada. Jika pemerintah mendiamkan maka boleh jadi timbul kesalah-pahaman, jangan-jangan ini menjadi bagian dari phobia yang sedang dipiara. Jika peristiwa ini kita kaitkan dengan Islamophobia maka seharusnya mengingatkan kita, khususnya pemerintah, untuk segera menyikapi Resolusi SMU-PBB tentang anti Islamophobia bulan Maret lalu. Bahwa dengan disahkannya Resolusi itu pemerintah tidak lagi ada alasan dengan malu-malu kucing untuk merektifikasi dan menindak lanjutinya dalam bentuk perundang-undangan. Saya mengapresiasi sikap tegas dan kebijakan Pemerintah Daerah DKI yang menghentikan izin operasi seluruh outlets Holywings di Jakarta. Ini bukan masalah toleransi dan intoleransi. Tapi ini masalah keadilan dan penegakan hukum. Pemerintah memang seharusnya hadir untuk menghadirkan kepastian hukum. Sehingga masyarakat tidak meraba-raba, apalagi main hukum sendiri. Saya yakin semua Umat tidak ingin tokoh-tokoh agamanya dikaitkan dengan hal-hal yang jelas dilarang dalam agama itu. Mungkin alkohol tidak dilarang dalam agama Kristiani. Tapi Saya yakin mengaitkan nama figur terhormat, Maria atau Maryam, itu sangat melecehkan. Karena haram ataupun tidak dalam ajaran agama (kristiani) common sense mengatakan alkohol itu sering jadi jalan keburukan. Karenanya kejadian ini menjadi pembuka mata bagi semua. Tapi lebih khusus lagi untuk pemerintah agar segera meraktifikasi Resolusi PBB Maret 2022 lalu tentang Islamophobia. Dan secara khusus lagi tertantang untuk jeli dan sigap dalam mengambil sikap untuk menjaga kehormatan agama dan me memelihara sensitifitas pemeluknya. Thank you, Pak Gubernur. Allah keep and bless you! Soekarno Hatta, 29 Juni 2022. (*)