Strategi Mewaspadai Dalang Gerakan Islamophobia di Indonesia
Kolaborasi maksudnya memainkan sebaik-baiknya strategi dalam melihat kapan bekerjasama dengan kekuatan global barat maupun China, kapan meninggalkannya?
Oleh: Dr. H. Syahganda Nainggolan, Sabang Merauke Circle
(Disampaikan dalam Kongres Umat Islam Sumut ke Dua di Asrama Haji, Medan, 27 Agustus 2022)
Pengantar
MEMBAHAS dalang Islamophobia, sebagaimana diminta panitia dalam judul yang diberikan kepada saya cukuplah rumit. Sebab, hal itu dapat bergeser menjadi kajian politik konspirasi, di mana objektivitas mengalami degradasi. Saya ingin membahas dalang ini dalam konsep yang utuh, mempunyai basis teori yang jelas.
Pertama, Islamophobia harus didekati dengan perang peradaban yang lama antara Islam dan barat, sepanjang 250 tahun Kapitalisme eksis. Kedua, Islamophobia harus dikaitkan dengan kepentingan China di Indonesia dalam bagian strategi Belt and Road Initiative, sebuah langkah China untuk menjadi superpower baru di dunia.
Ketiga kita akan melihat bagaimana situasi sosiologis bangsa kita sendiri, untuk melihat kemungkinan munculnya Islamophobia itu dari dalam tubuh bangsa itu sendiri.
Anti Islamophobia, Sebuah Dekonstruksi
Islamophobia merupakan penamaan atas berbagai upaya, baik pikiran, maupun tindakan yang dilakukan perorangan maupun sekelompok masyarakat, bahkan sebuah negara, yang berusaha memojokkkan Islam sebagai sebuah ajaran, dan pengikutnya, sebagai kekuatan jahat yang dapat merusak norma sosial, maupun kekerasan sosia di masyarakat.
Pendifinisian ini mengalami kesulitan pengertian akibat spektrum yang dicakup dalam persoalan yang dibahas. Ilhan Omar, anggota DPR AS, ketika mencoba membuat draft UU Anti Islamophobia membuat cakupan sebagai berikut:
(A) acts of physical violence against, or harassment of, Muslim people, and acts of violence against, or vandalism of, Muslim community institutions, including schools, mosques, and cemeteries; (B) instances of propaganda in government and nongovernment media that attempt to justify or promote racial hatred or incite acts of violence against Muslim people; (C) the actions, if any, taken by the government of the country to respond to such violence and attacks or to eliminate such propaganda or incitement; (D) the actions taken by such government to enact and enforce laws relating to the protection of the right to religious freedom of Muslim people; (E) the efforts of such government to promote anti-bias and tolerance education.
Secara global, Ilhan Omar menjadi pembicaraan penting terkait Islamophobia ini, karena dia menginisiasi pertarungan anti-Islamophobia di Amerika dengan spektrum global. Spektrum global maksudnya, arah Gerakan anti-Islamophobi yang dia lakukan berkeinginan mencakup seluruh dunia, melalui tangan Amerika.
Hal ini penting diberi catatan karena selama ini, justru Amerika, merupakan simbol barat dalam melakukan propaganda anti Islam di seluruh dunia.
Pada saat Ilhan memulai debut pertarungan terkait isu ini, Ilhan memantik beberapa dekonstruksi isu penting, 1. definisi teroris, 2. Mensetarakan Israel, Taliban dan Hamas dan 3. Sifat Islamophobi yang global. Pada definisi teroris, Ilhan membangun wacana baru tentang pemboman twin tower WTC NewYork, 9/11/2021.
Amerika, Israel dan Barat selama ini membuat “landmark” puncak terorisme dunia dengan serangan 9/11 tersebut, karena simbolis serangannya pada pusat Kapitalisme dunia, dan memakan korban jiwa yang sangat besar Namun, Ilhan mengatakan bahwa serangan itu adalah “some people dis something”. Lengkapnya dia mem-post dalam Tweeter-nya “CAIR was founded after 9/11 because they recognized that some people did something and that all of us were starting to lose access to our civil liberties”.
Definisi terorisme dan ekstrimisme di seluruh dunia, kecuali China, umumnya mengatakan bahwa terorisme dan ekstrimisme itu adalah bentuk kebiadaban Islam dalam mengadapi barat, baik negara maupun masyarakat. Kelompok-kelompok Islam ekstrem mengorganisasikan diri secara global untuk menghancurkan aset-aset vital negara barat dan bahkan menyerang manusianya.
Sejak paska 9/11, Amerika membangun “Global War on Terroris”, termasuk operasi mereka di Indonesia, yang “dititipkan” pada Densus 88 Polisi (sebelum 9/11 pernah ada Densus 81 Kopassus). Dengan tema baru Anti Islamophobia, tema “War on Terror” pimpinan Amerika yang berusia 20 tahun lamanya, mulai meredup.
Pada isu kedua, Ilhan meminta agar akuntabilitas dalam penindasan terhadap masyarakat, yang dilakukan rezim otoriter, harus dilakukan sama terhadap Taliban, Hamas, Israel dan Amerika, Ilhan mem-posting hal ini, ditautkan kepada mitra kerjanya, Blinken, Menteri Luar Negeri Amerika.
Terjadi dekonstruksi pada statement ini, karena selama ini Amerika dan Israel melihat Hamas dan Taliban adalah teroris, sedangkan Ilhan melihatnya sama saja. Dan ketiga, Ilhan menyoroti semua penindasan dan kebencian terhadap Islam, baik yang dilakukan negara, seperti India, China, Myanmar, dlsb., kepada minorotas muslim di sana, maupun non negara, seperti kebencian kulit putih di beberapa negara barat terhadap orang muslim.
Kemampuan Ilhan melakukan dekonstruksi dan pemilihan diksi maupun definisi, dan tentu saja keberaniannya, telah membangun simpati yang terkonsolidasi. Ilhan berhasil menggagas UU “Combating International Islamopobia” yang akhirnya disetujui DPR AS, pada 14/12/21 (saat ini menunggu persetujuan senat). Sebagai anggota DPR dari Partai Demokrat, partai penguasa, kita bisa memaknai, bahwa pemerintah yang berkuasa saat ini di Amerika mendukung sepenuhnya Gerakan anti-Islamophobia.
Penguasa di Amerika, jika dikendalikan oleh Partai Demokrat, memang memandang “War on Terror” versi Goerge Bush, paska 9/11, akan lebih hati-hati dan cenderung tidak ingin menampilkan permusuhan pada Islam. Hal itu telah dimulai oleh pemerintahan Obama, yang mengarahkan perang pada terorisme, menyasar lebih kepada organisasi terror, bukan pada negara.
Misalnya, Obama membuat kebijakan penarikan pasukan Amerika dari berbagai daerah pendudukan, seperti Irak dan Afganistan. Pada era pemerintahan Joe Biden, saat ini, fokus Amerika tidak lagi pada dunia Islam, sebagai ancaman strategisnya, melainkan kepada China dan Rusia.
Dengan demikian, cepat atau lambat, kekuatan operasi militer Amerika, dan aliansinya, kurang ditujukan pada isu-isu ekstrimisme Islam dan terorisme. Jika pemerintahan Joe Biden bertahan Panjang, maka justru sebaliknya operasi anti-Islamophobia dapat berkembang di seluruh dunia, karena kemungkinan besar UU Anti Islamophobia itu didukung atau diloloskan oleh senat. Jika itu demikian adanya nantinya, maka UU itu mewajibkan Amerika membuat kontor tambahan di semua kedutaannya di seluruh dunia untuk mengawasi dan melawan Islamophobia.
Pembahasan kita sejauh ini tentang Islamophobia dan Anti Islampobhia bersifat global. Beberapa negara barat mengikuti langkah Amerika, beberapa lainnya, mengalami kebuntuan karena besarnya isu migrasi, khususnya di eropa, akibat perang dan berbagai kekerasan di jazirah Arab, Afrika dan terakhir di Ukraina. Orang-orang migran terkini di eropa umumnya beragama Islam.
Dalam situasi ekonomi yang sulit, baik paska pandemic covid-19, maupun perang Ukraina-Rusia, kehadiran mereka (imigran) dilihat lebih sebagai beban ekonomi dan sosial dari pada tenaga kerja murah potensial. Untungnya, PBB (Persatuan Bangsa-Bangsa) telah mengeluarkan resolusi Anti Islamophobia yang dapat menjadi rujukan negara-negara di dunia, untuk tidak memusuhi Islam.
Benturan Peradaban Islam vs. Barat: Akankah Berakhir?
Agenda Amerika dan barat saat ini lebih terfokus pada kompetisi dan perluasan pengaruh antara mereka dengan poros China-Rusia. Benturan peradaban yang diperkirakan Samuel Huntington awal 90 an, atau berakhirnya perang dingin (Cold War), akan terjadi antara barat dan Islam. Lebih tepatnya dikarenakan dominan kultur yang mampu mengimbangi barat adalah Islam, sebagai pembentuk identitas.
Memang, sejak tahun 90-an, Amerika dan barat focus pada agenda identitas secara global, baik dalam isu demokrasi, hak-hak asasi manusia, dan berbagai kebebasan sipil lainnya, yang diekspor ke seluruh dunia, termasuk dunia Islam, maupun eropa timur serta eks-Soviet. Terjadi pergeseran yang semula kompetisi antara negara barat vs timur, menjadi kompetisi kultur dan identitas.
Namun, situasi terkini, dunia memperlihatkan bahwa China dan Rusia, sebagai negara, dan dalam genggaman pemimpin otoriter, bukan sebagai identitas dan kultur, sebagaimana tesis Huntingtin tentang “Sinic identity”, muncul sebagai competitor Amerika dalam dunia global. Sinic Identity, misalnya, Korea Selatan, Vietnam maupun Singapura, ternyata bukan memihak China, yang diklaim Huntington dalam kultur dan identitas yang sama, melainkan berpihak pada Amerika/Barat.
Kesadaran ini terlihat telah mengantarkan Amerika melakukan konsolidasi kekuatannya bukan dalam agenda “clash of civilization”, melainkan pada kepentingan mereka, khususnya dagang. Pernyataan Blinken, misalnya di UI, dalam kunjungan ke Indonesia tahun lalu, mengatakan bahwa Indo-Pasifik adalah sebuah wilayah dengan kekuatan pasar $ 3 Triliun, yang tidak boleh hanya di dominasi Cina.
Kemudian, tuduhan blok China-Rusia saat Indonesia menggelar Latihan militer Bersama Amerika, Inggris, Australia, Kanada, South Korea, Malaysia, Jepang dan lainnya (Garuda Shield, total 14 negara) bulan lalu, adalah upaya Amerika dan barat membentuk “NATO” di wilayah pasifik. Namun, apakah ketegangan poros Amerika-Barat vs Cina-Rusia akan mengakhiri permusuan barat terhadap Islam?
Umat Islam tidak bisa melihat kecenderungan beberapa saat terkahir ini untuk menyimpulkan apa yang terjadi di depan. Pertama, sejarah 250 tahun kapitalisme adalah sejarah di mana identitas dan kebudayaan telah mendominasi dan bahkan menyingkirkan Islam.
Kedua, isu “War on Terror” yang dilancarkan barat teradap Islam selama beberapa dekade belakangan ini, dilakukan secara biadab, demi penguasaan wilayah dan asset strategis negara Islam. Stiglitz, dalam bukunya “$3 Triliun War”, misalnya menganalisa bahwa Amerika menyerang Irak paska 9/11, bukan utamanya urusan teroris, melainkan penguasaan ladang minyak. Ketiga, apakah di dalam negeri-negeri Islam, pemimpinnya mempunyai agenda kebangkitan Islam sebagai sebuah peradaban?
Peranan China di Indonesia dan Semangat Anti Islam Rezim Jokowi
Dalam era kepemimpinan Jokowi, peranan China sebagai negara sahabat Indonesia berkembang sangat pesat. Muhammad Zulfikar Rahmat, dalam “Growing-ties-between-indonesia-and-china-may-hurt-us-indonesia-relationship”, The Conversation (2020), melukiskan kuatnya peranan China dalam investasi dan perdagangan antar negara.
Hal ini tidak terlepas dari Luhut Binsar Panjaitan, sebagai tokoh penting yang menjahit hubungan itu. Ekspor Indonesia ke China mencapai 16,6 % dan impor kita mencapai sepertiga total impor, serta investasi China di Indonesia naik menjadi nomer dunia terbesar setelah Singapura (2019).
Pemerintah Jokowi mengklaim bahwa trade deficit dengan China semakin kemari semakin kecil. Namun, Reuters mencatat penurunan itu terjadi akibat ekonomi kita yang merosot akibat pandemic. “The deficit shrunk considerably between January to November 2020, falling to $7 billion from $15.4 billion in the same period in 2019, as Indonesia's demand for imported products plunged amid a coronavirus epidemic and its first recession in 22 years.” (Reuters, 13/1/21). Atau sejatinya defisit dagang kita mencapai $15 Milyar, yang menunjukkan ketergantungan Indonesia pada Chian.
Zulfikar Rahmat, dalam “The China Factor in Indonesias New Capital City Plan“, the Diplomat 2/2022, juga menyebutkan keterlibatan besar-besaran RRC dalam membangun ibukota baru Indonesia di Kalimantan Timur. Khisore Mahbubani, dalam “The Genius Jokowi”, The Asean Post, 7/10/2021, keterlibatan Indonesia dalam projek Belt Road Initiative China antara lain adalah projek Kereta Api Cepat Bandung Jakarta (KCIC), zone turis special di Jawa, “the Kayan hydroelectric plant” di Kalimanta Utara, “expansion of the Kuala Tanjung port in Sumatra” dan pembangunan “the Lembeh international airport in Sulawesi”.
Kedekatan Jokowi dengan RRC juga ditunjukkan dengan mem-by-pass aturan perlindungan buruh lokal dari serbuan TKA China. Bahkan dalam masa pandemi, buruh-buruh China datang dengan frekwensi tinggi ke Indonesia, untuk projek-projek yang Indonesia seharusnya memberi peluang pada pekerja sendiri.
Bahkan, projek itu disebutkan telah memberikan upah berkali lipat pada buruh import tersebut. Problemnya, jika perusahaan asal China yang mempekerjakan buruh-buruh impor ini bangkrut atau bermasalah, bagaimana memulangkan mereka ke negerinya.
Misalnya, Tsingshan Industry, pemilik konsesi nikel asal China yang hampir menguasai semua pertambangan nikel kita, sedang mengalami “Short Position” sehingga mengalami kerugian $7 Miliar pada Maret lalu, yang dampaknya mungkin terjadi sampai saat ini.
Alferd Chang and Fachry, dalam Financial Review, 9/3/22, memberi catatan “On Monday, one of Tsingshan’s brokers – a unit of a state-owned Chinese bank – failed to pay hundreds of millions of dollars in . (Untuk mempelajari lebih lanjut persoalan Tsingshan Industry, penguasa tambang nikel Indonesia, dapat dilihat di https://internationalbanker.com/brokerage/the-nickel-short-squeeze-what-happened/. Hal ini penting didalami karena tujuan Presiden Jokowi ke Amerika baru-baru ini bertemu Elonk Musk adalah persoalan bisnis terkait nikel atau batere).
Paralel dengan dekatnya Jokowi dan RRC, Indonesia mengalami keburukan dari sisi demokrasi, kebebasan sipil, hak-hak asasi manusia, ketimpangan sosial dan terakir yang terkait langsung pembahasan kita adalah permusuhan terhadap ulama.
Selama tahun 2020, Amnesty Internasional Indonesia mencatat sebanyak 101 kasus pelanggaran hak atas kebebasan berekspresi dengan menggunakan pasal karet UU ITE. Untuk tahun yang sama, 2020, Yayasan LBH Indonesia mencatat sebanyak 351 kasus pelanggaran hak dan kebebasan sipil dan menyebut Indonesia memasuki negara otoriter.
Sedangkan permusuhan terhadap Islam terjadi secara massif dengan menciptakan ketakutan anti terhadap Islam, melalui isu radikalisme dan terorisme yang tidak pantas, misalnya membiarkan pendukung-pendukung garis keras Jokowi untuk mengolok-olok santri anak-anak sebagai calon teroris. Menciptakan berbagai sosok-sosok vokalis yang selalu menegasi Islam sebagai agama mulia di Indonesia. Menjelek-jelekkan ulama.
Kekuataan anti Islam ini tidak hanya dari masyarakat sendiri yang dikelola pemunculannya, namun juga negara, melalui pemerintah, membuat berbagai narasi yang menyudutkan Islam, seperti memfilterisasi pakaian Muslim untuk PNS, menyebarkan isu bahwa Masjid-masjid di lingkungan pemerintah banyak tersusupi radikalisme, melarang ritual kaum Muslim yang sudah menjadi tradisi, seperti malam takbiran di jalan, dlsb.
Pemerintah sendiri misalnya, melalui Menteri Agama, mencoba mendegrasi eksistensi kebudayaan Islam, seperti Azan Masjid, dengan membandingkannya dengan gonggongan anjing (Seorang diantara pelapor kasus ini ke polisi di Lampung, Bunda Merri, malah dilaporkan balik oleh pendukung Menag, sehingga di penjara dan sedang diadili saat ini).
Tak kalah pentingnya, lingkungan kampus pun didorong untuk menyuarakan Gerakan Islamophobi dengan isu bahayanya radikalisme di Kampus (salah satunya adalah Gerakan yang di pimpin Rektor Unila, sebelum ditangkap KPK karena korupsi). Kemudian juga, membubarkan ormas HTI dan FPI, tanpa menunggu bagaimana putusan pengadilan. Dan lain sebagainya yang di masa sebelumnya, paska reformasi, hal seperti digambarkan di atas tidak pernah terjadi.
Hubungan kedekatan rezim Jokowi dan China, serta dampaknya pada Islamophobia di Indonesia, dapat kita perkirakakan berasal dari faham Komunisme rezim Tiongkok. RRC ini, meskipun mereka menjalankan ekonomi kapitalistik, saat ini, mereka tetap saja meyakini doktrin Komunis dan kepemimpinan otoriter dalam politik negaranya.
Korban kekejaman rezim Komunis ini, di RRC, bisa kita lihat dari pembantaian etnis Islam secara massif di Uigur, XinJiang. Selain itu, Islam dipandang sebagai peradaban yang harus dihilangkan dalam pentas politik nasional, agar kedekatan China dan Indonesia dapat bertahan lama.
Sebab, tragedi di masa lalu, seperti kasus G30S/PKI, China kehilangan persahabatan dengan Indonesia, setelah ummat Islam Indonesia bersekutu dengan militer dan barat dalam melawan pengaruh Komunis.
Dugaan yang lebih sederhana lagi adalah rezim Peking lebih merasa efisien berhubungan dengan Indonesia melalui penggalangan kelompok etnis China Konglomerat, dengan membangun oligarki, dan menguasai Indonesia dalam jangka Panjang.
Kita mengetahui bahwa segelintir oligarki kita mempunyai loyalitas ganda, khususnya ketika diperlihatkan oleh banyaknya uang-uang Indonesia yang disimpan di Singapura atau luar negeri lainnya, dan seorang diantaranya viral mengaku bahwa “China adalah ‘ayah kandung’ mereka, sedang Indonesia ayah tiri”. Sebaliknya, Islam, di mata Peking dan pendukungnya, umumnya kaum minoritas, adalah ancaman bagi eksistensi negara sekuler Indonesia.
Beban dan ancaman yang demikian berat yang dilami ummat Islam Indonesia oleh rezim Jokowi, terutama pada kasus pembunuhan yang melanggar hukum (Unlawfull Killing) pada 6 pemuda anggota lascar FPI di KM 50 akhir Desember 21, pemenjaraan Habib Rizeq dkk., penembakan atas demontran pada aksi 21-22 Mei 2019, dan lain sebagainya, telah mengantarkan berbagai ormas Islam menggalang kekuatan anti Islamohobia di era Jokowi.
Banyak orang bertanya, bukankah isu anti Islamophobia itu tepatnya hanya eksis di mana muslim sebagai minoritas? Namun, faktanya, Indonesia yang mayoritas muslim dikendalikan elit yang tidak bersahabat dengan Islam, sebagai sebuah ajaran peradaban, yang diakui oleh ideologi bangsanya, Pancasila.
Tragedi paling terakhir ini, yakni kasus Ferdi Sambo, di mana polisi telah diidentikkan dengan sarang mafia, yang minim moralitas, menunjukkan instrument penindak lawan-lawan politik Jokowi itu, memang berada pada posisi yang sangat diametral berlawanan dengan peradaban Islami.
Merujuk pada kemafiaan polisi ini, di mana mereka sangat dominan sebelum kasus Ferdy Sambo, tentu saja kebiadaban polisi pada ulama bisa dimengerti. Bagaimana membayangkan sebuah negara yang menganut azas demokrasi, memenjarakan ulama besar Habib Rizieq selama dua tahun di penjara bawah tanah? Untuk kesalahan yang tak jelas. Sekali lagi inilah bentuk Islamophobia akut.
Model Pembelahan Sosial di Era Digital dan Islamophobia
Dalam dimensi sosiologis, masyarakat Indonesia disebutkan antropolog Amerika Clifford Gerz mempunyai ketebelahan sebagai berikut, pertama masyarakat dengan kultur santri, kedua, dengan kultur abangan dan ketiga kultur priyayi. Santri merujuk pada ketaatan teradap agama Islam. Abangan merujuk pada kultur animism. Sedangkan priyayi merujuk pada aspek Hindu, yang eksis di Kraton.
Dhuroruddin Mashad, dalam buku “Politik Kaum Santri dan Abangan”, 2021, menggunakan pembelahan ala Clifford Gerz sebagai awal kajian. Selanjutnya , dia memperinci pengelompokan yang lebih terbelah antara santri perkotaan dan pedesaan. Pembelahan merujuk komitmen pada Islam, terjadi versus antara santri dan abangan.
Pada pembelahan merujuk agama ini, Mashad memasukkan kaum priyayi pada kelompok abangan juga, namun, memberi catatan bahwa, secara kultural, priyayi yang mengalami pendidikan barat, sehingga keterlibatan mereka pada moral elit terjadi. Priyayi dalam ruang publik menjaga etika sosial, sebaliknya kaum abangan kelas bawah, merupakan masyarakat yang terbuka pada praktik anti agama, seperti sabung ayam, pelacuran, dukun, dll. Sehingga dalam kelompok abangan, Mashad membagi abangan dalam abangan sekuleris (kaum priyayi) dan abangan marginalis.
Keempat sub kultur pembentuk identitas masyarakat Indonesia, khususnya di Jawa, telah membawa para ahli meyakini bahwa pembentukan partai politik diantara mereka sesuai mewakili aspirasi sub-kultur mereka tersebut, di awal kemerdekaan, seperti santri modernis membentuk Masyumi, sedangkan santri tradisionalis membentuk partai NU, abangan sekuleris membentuk PNI (Partai Nasional Indonesia) dan abangan marginalis membentuk PKI (Partai Komunis Indonesia).
Tapi, tantangan demi tantangan perjalanan bangsa menunjukkan pembelahan tersebut bersifat dinamis, misalnya, adakalanya kerjasama dan konflik yang dalam terjadi tidak mengikuti kemungkinan logik yang seharusnya. Misalnya, Ketika awal kemerdekaan kelompok santri, baik tradisional maupun modern, keduanya sepakat Islam dijadikan ideologi negara.
Tapi, hal itu tidak pernah terjadi lagi setelahnya. Meskipun, semua kelompok santri percaya bahwa dalam Islam tiak dapat dipisahkan antara agama dan politik. Sebaliknya juga terjadi dikalangan abangan, ketika awal kemerdekaan, berkali-kali diperlihatkan konflik antara kelompok Komunis dengan kelompok Nasionalis.
Pembelahan ala Gerzt ini, sering pula tidak diterima oleh berbagai ahli. Harsja Bachtiar, mengutip kutipan Dhurorudin Mashad, mengatakan bahwa priyayi tidak identic dengan abangan Menurutnya, priyayi mempunyai multi spektrum dalam dirinya seperti melakukan Sholat, puasa namun juga mempraktekkan ajaran mistis ataupun rasionalitas barat.
Irfan Afifi, dalam “Saya, Jawa dan Islam” (2019), menemukan fakta bahwa Islam justru merupakan sumber ikatan budaya bagi orang Jawa. Mengutip Nancy Florida, penulis sejarah colonial dan penerusnya, justru memompakan sejarah palsu sebagai pengingkaran atas berpadunya Islam dan Jawa dalam sejarah kita.
Pengingkaran sejarah ini juga ditunjukkan oleh Mansyur Suryanegra (2019) misalnya, penulis sejarah kolonial menggambarkan kehancuran Kerajaan Hindu Majapahit akibat serangan Raja Islam Demak. Padahal sejatinya peperangan antara sesama kerajaan Hindu yang menghancurkan Majapahit. Menurutnya, itu adalah taktik kolonial untuk menanamkan kebencian orang Jawa yang bernuansa Hindu kepada orang-orang Islam.
Lalu bagaimana kita melihat Islamophobia secara sosologis di Indonesia?
Kita harus meninggalkan model analisis Clifford Gerzt tentang pembelahan kultural itu. Terutama, sepanjang beberapa dekade sebelum era digital, transformasi Indonesia menjadi urban (perkotaan) berlangsung massif, pendidikan dan universitas berkembang pesat, industrialisasi di pulau Jawa masuk ke berbagai pelosok desa.
Artinya terjadi benturan budaya dan transformasi budaya selama itu. Sekarang, dalam era digital dan “Big Data” pengertian desa vs. kota melemah. Era digital menciptakan kecepatan dan percepatan masyarakat berinteraksi dengan data dan informasi. Efeknya adalah kehancuran struktural pada kebudayaan lama, di mana hirarki menjadi keharusan.
Hirarki baru dalam struktur masyarakat baru ditandai dengan penguasaan data dan pengendaliannya. Dunia maya dan atau dunia digital dikendalikan Big Machine, seperti Google, FB, Twitter, Instagram, dll. Kata kuncinya adalah algoritma. Anak-anak muda millenial memahami jebakan algoritma, sehingga mereka tahu mana fake, hoax dan fakta. Mereka semakin kritis, baik di desa, maupun kota.
Kemudian, terjadi kesadaran identitas, tanpa menunggu arahan struktural atau afiliasi. Baceprot, misalnya, kelompok musik tiga gadis Berjilbab asal Garut, tidak masuk dalam jajaran elit musik Indonesia, versi "gaya lama". Tapi, sekarang mereka menjadi salah satu group musik yang meggemparkan medsos dan identitas Islam.
Mereka berkali-kali diundang tour musik meta di Eropa dan lainnya, dengan percaya diri. Di hadapan ribuan pengunjung Konser Metal di Jerman penyanyi Baceprot berteriak lantang, “Kenapa saya pakai Jilbab?” tanyanya. Kemudian dia lanjut menjawab, “karena ini simbol perdamaian dan keindahan”.
Fenomena Baceprot ini adalah fenomena dunia baru, di mana kesadaran perempuan desa versus kota tidak begitu berbeda. Dan semua ini terjadi dalam era digital.
Dalam kasus Ferdy Sambo, misalnya, juga nitizen, seperti yang diuraikan Ismail Fahmi, Drone Emprit, tentang perang medsos, mayoritas nitizen tidak percaya dengan keterangan awal polisi yang berusaha menutupi kasus itu. Bahkan, sebuah anonim, Opposite, membongkar dan mempropagandakan terus menerus berbagai isu terkait kasus ini, membentuk opini perlawanan. Dengan dunia maya, struktur dan hirarki sosiologis lama ala Gerzt kehilangan makna.
Jika pembelahan sosial ala Gerzt tidak lagi dapat diandalkan dalam membaca peta sosial, bagaimana posisi konflik ataupun kolaborasi? Bagaimana peranan agama dan budaya?
Penjelasan yang paling masuk akal atas pembelahan sosial yang mengandung Islamophobia di Indonesia adalah skenario atau desain kelompok kekuatan tertentu, khususnya kaum oligarki, yang memang ingin menghancurkan kekuatan rakyat.
Kekuatan rakyat ini, khususnya jika berbasis Islam, maka akan menjadi benteng melawan ekpansi oligarki menguasai seluruh kekayaan Indonesia. Oleh karenanya, Devide et Impera (pecah belah dan kuasai) adalah agenda yang terencana dari kekuatan oligarki itu.
Secara natural, benturan identitas maupun budaya, tidaklah fenomena eksis, kecuali sekali lagi karena skenario jahat. Rakyat Indonesia dan atau umat Islam dapat membangun kolaborasi dan harmoni, jika tidak dirusak oleh kaum oligarki.
Penutup
Dalang gerakan Islamophobia dapat didalami dengan melihat kepentingan global barat, kepentingan RRC dan kepentingan oligarki Indonesia. Melihat fenomena Islamophobia tersebut hanya bisa lebih presisi melalui pendekatan kepentingan mereka.
Kepentingan mereka untuk menguasai Indonesia akan berbenturan dengan Islam maupun umat Islam yang ideologinya untuk kepentingan sebanyak-banyaknya ummat manusia. Sebuah kebalikan dari kepentingan asing maupun oligarki lokal.
Untuk melawan kepentingan mereka, maka konsolidasi umat Islam harus mampu membangun kolaborasi yang paling sedikit mudharatnya (the lesser evil).
Kolaborasi maksudnya memainkan sebaik-baiknya strategi dalam melihat kapan bekerjasama dengan kekuatan global barat maupun China, kapan meninggalkannya?
Kapan menekan oligarki lokal dan kapan berkolaborasi? Semuanya harus dilakukan secara terdesain oleh kekuatan Islam yang terkonsolidasi dan dalam spirit anti Islamophobia. (*)