Samboisasi Polisi

Daniel Mohammad Rosyid, Guru Besar ITS, @Rosyid College of Arts

Membayangkannya saja adalah sebuah mimpi buruk. Kini kita menunggu kehadiran seorang Eliot Ness untuk membersihkan kepolisian dari semua cengkraman mafia.

Oleh: Daniel Mohammad Rosyid, Guru Besar ITS, @Rosyid College of Arts

SKANDAL yang kini sedang melalap hampir habis kepolisian Republik ini mengerikan jika bukan memalukan atau memilukan.

Nyaris seperti skandal Al Capone the Untouchables di Chicago di awal abad 20 AS: polisi justru melindungi mafia operator miras, narkoba dan prostitusi.

Namun, Kepolisian Chicago waktu itu masih mending karena tidak sampai memenjarakan atau membunuh tokoh sipil yang kritis terhadap penguasa. Di Republik ini saat ini, polisi-lah yang nyaris memonopoli pengaturan hitam putih berbagai kasus hukum.

Mungkin Laksamana Sukardi, mantan Meneg BUMN era Presiden Megawati, akan menyebut skandal polisi ini sebagai Salah Tata Kelola atau sebut saja misgovernance akibat menempatkan polisi pada posisi yang keliru.

Salah Tata Kelola kepolisian ini dimulai oleh DPR dan Pemerintah yang telah menyusun UU No2/2002 tentang Kepolisian Negara RI. Ini pun dimungkinkan oleh UUD 2002 yang menggantikan UUD 1945 saat UUD 2002 itu memberikan kewenangan besar pada partai politik melalui berbagai UU turunannya, seperti UU Nomor 17/2014 tentang MD3.

Pada saat belum lama ini kita menyaksikan drama Rapat Dengar Pendapat oleh Komisi 3 DPR dengan Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo tentang kasus Sambo ini.

Harus diingat bahwa skandal memalukan ini adalah buah dari kerja ngawur para anggota parpol yang kini menduduki kursi DPR itu. Artinya, samboisasi polisi adalah juga tanggung jawab elit partai politik yang kini menguasai DPR.

Penting dicatat bahwa saat Republik ini kehilangan kemampuannya untuk check and balances lalu meluncur menjadi sebuah police state, ini terjadi by design.

Akibat salah tata kelola ini adalah maladministrasi publik di mana hukum dan regulasi dibuat bukan untuk kepentingan publik, tapi untuk kepentingan elit parpol dan para taipan yang mendukung logistik partai politik itu.

Pemilu adalah mekanisme pemindahan habis hak politik rakyat pemilih ke partai politik. Hak politik rakyat dimulai dan berakhir di bilik suara Pemilu. Sisanya adalah kepiluan massal rakyat.

Yang paling dirugikan oleh samboisasi polisi ini adalah proses demokratisasi sebagai salah satu agenda Refomasi. Proses demokratisasi itu mengandaikan masyarakat sipil yang kuat.

Pada saat polisi makin dilengkapi dengan senjata yang makin militeristik dan mematikan serta kewenangan menkriminalisasi yang makin besar, maka masyarakat sipil akan hidup dalam rasa takut sehingga makin lemah.

Padahal masyarakat sipil, terutama klas menengah terdidik yang kritis dan artikulatif adalah kekuatan demokratik yang penting. Oleh karena itu RUU KUHP harus dihentikan pembahasannya sampai tata kelola kepolisian ini dirombak secara menyeluruh.

Di tangan kepolisian yang masih misgoverned ini, masyarakat sipil yang kini sedang menghadapi kesulitan ekonomi dan lilitan hutang akan semakin kehilangan peran demokratisasinya.

Kini kita menyaksikan polisi yang makin mematikan bagi rakyatnya sendiri. Jika kepala satuan polisinya polisi bisa membunuh anak buahnya sendiri dengan brutal, kita bisa membayangkan kebrutalan jenis apa yang bisa dilakukan polisi atas rakyat biasa.

Membayangkannya saja adalah sebuah mimpi buruk. Kini kita menunggu kehadiran seorang Eliot Ness untuk membersihkan kepolisian dari semua cengkraman mafia.

Samboisasi polisi ini harus segera dihentikan dengan Hugengisasi atau Republik ini ambruk runtuh berkeping-keping.

Kawasan Cawang, 27 Agustus 2022. (*)

367

Related Post