OPINI

Saat Rocky Gerung, Said Didu, dan Syahganda Nainggolan Bisa Bungkam

Makanan berlimpah di atas meja tadi pun sudah diangkat. Apa yang terjadi? Rupanya seremoni penjemputan tadi salah wesel. Acara itu disiapkan untuk rombongan Presiden Megawati yang semula akan mendarat darurat di Banjarmasin. Oleh: Ilham Bintang, Ketua Dewan Kehormatan PWI (Persatuan Wartawan Indonesia) Pusat INI momen langka. Mungkin bagi aktivis dan pemikir sekelas Rocky Gerung, Said Didu, Syahganda Nainggolan, Ahmad Yani, dan Ferry Juliantono, bisa beberapa jam berkumpul tanpa orasi yang seperti biasa dengan analisis tajam menyelami kedalaman masalah-masalah aktual. Hari itu mereka “puasa” bicara politik. Hanya ngobrol \"ngalor ngidul\" disertai derai dan gelak tawa panjang dari siang sampai sore, menjelang Maghrib. Peristiwa itu terjadi Sabtu, 2 Juli 2022, siang di \"Kebonnya Oma\", Kompleks Taman Villa Meruya, Jakarta Barat. Saya mengistilahkan, lima sahabat itu sedang menikmati momen-momen \"memanusia\" atau menikmati hidup secara \"normal\". Lepas dari rutinitas yang menjadikannya seperti  \"mesin\", sebagai konsekwensi sekian tahun konsisten mendengungkan perubahan ke arah lebih baik segala aspek kehidupan di tanah air. Sekitar lima jam mereka tertawa lepas, terpingkal-pingkal \"dibungkam\" Anwar Fuady yang ber-stand up comedy, melakonkan dirinya dalam beberapa episode kehidupan yang lalu. Sekedar mengingatkan, Anwar Fuady adalah aktor film legendaris Indonesia. Dia seniman pertama yang sampai sekarang masih satu-satunya yang pernah mengajukan diri menjadi calon presiden pada 2004 lewat Konvensi Partai Golkar. Saat ini Anwar Fuady politikus Partai Hanura dan Ketua Umum Koordinator Nasional Jokowi Centre. Ihwal pertemuan di \"Kebonnya Oma\" dimulai Ahad lalu, ketika saya bertemu Rocky Gerung di acara Indonesia Lawyers Club (ILC). Ia \"menagih\" bersantap lagi di rumah dengan menu Gulai Kepala Ikan Resto Medan Baru. Roger – begitu panggilan akrab pengamat politik terkenal itu – setiap kali berkunjung ke rumah saya jamu dengan menu utama yang sama sejak awal: gulai kepala ikan kakap. Sabtu (2/7/2022) siang tagihan itu saya tunaikan. Menu lezat tentu tidak seru kalau cuma dinikmati hanya dua tiga orang. Maka, saya kontaklah beberapa teman dan sahabat untuk bersantap bersama di rumah. Ada sebagian yang berhalangan. Seperti Karni Ilyas, yang pas hari itu harus menghadiri promosi Doktor Brigita Manohara, presenter TVOne, di kampus Universitas Indonesia. Juga aktor Deddy Mizwar yang tak bisa hadir karena mendadak ada acara keluarga. Satu lagi: da\'i kondang Ustaz Das\'ad Latif yang masih di Kalimantan. Tamu yang memenuhi undangan aktor Anwar Fuady, wartawan senior Marah Sakti Siregar, CEO Group Media Republik Merdeka Teguh Santosa, produser film sekjen PPFI Zairin Zain.  Selain gulai kepala ikan, menu lezat lainnya, seperti yang disebut tadi, adalah perbincangan \"ngalor ngidul\" dengan derai dan gelak tawa panjang, yang telah  berlangsung sejak siang hingga menjelang Maghrib. Humor segar aktor Anwar Fuady yang heboh mengalahkan komedian stand up comedy manapun. Itu alasan yang tepat mengapa waktu serasa berjalan begitu cepat. Beruntung Tak Jadi Presiden  Episode kehidupan Anwar Fuady yang paling menarik, tentulah ketika dia itu memutuskan maju menjadi calon presiden RI di dalam Konvensi Partai Golkar pada 2004. Saat mendaftar di kantor Partai Golkar, ia diantar oleh tiga bus aktor artis film dan sinetron. Puluhan infotainmen memberitakan acara itu berhari-hari di seluruh televisi. Hari-hari selanjutnya, adalah liputan televisi memberitakan bagaimana Anwar Fuady harus bersaing dengan tokoh-tokoh politik nasional yang sudah kampiun, seperti Akbar Tanjung, Jusuf Kalla, Surya Paloh, Prof Muladi, Tuty Alawiah, Marwah Daud, dan sederet nama lainnya. “Saya bersyukur juga tidak terpilih,” kata Anwar Fuady. Lho? \" Mungkin satu jam setelah dilantik saya mati, dikeroyok lebih 2000 orang yang saya janjiin jabatan. Untuk jabatan Wapres saja, saya tawarkan kepada 48 orang, yang saya sendiri pun lupa nama-namanya,” kenang Anwar yang direspons gelak tawa panjang spontan para tamu. S Saya baru pertama kali melihat tawa Rocky Gerung, Said Didu, Syahganda Nainggolan, dan Ferrry Julianto, pecah.   Anwar bercerita lagi. Kisah sewaktu menghadiri Kongres PWI di Palangka Raya, Kalimantan Tengah, delapan belas tahun lalu. “Ini ada Pak Ilham saksinya. Kami bersama Surya Paloh menumpang private jet Ketum Parpol Nasdem itu menghadiri Kongres PWI yang dibuka oleh Presiden RI, Megawati Soekarnoputri, \"ujarnya. Menjelang Palangka Raya. Surya Paloh mengumumkan pesawat tidak bisa mendarat karena awan tebal. Dia menawarkan pilihan landing sementara di Pangkalan Bun atau Banjarmasin. Saya mengusulkan yang terakhir. Pesawat pun mendarat di Bandara Banjarmasin. Pemandangan menakjubkan ketika pintu pesawat dibuka. Digelar karpet merah, pemuda-pemudi berpakaian adat menyambut dengan membawa karangan bunga untuk dikalungkan kepada tamu VVIP. “Waktu itu saya membisiki Surya Paloh. Luar biasa ini, baru capres konvensi saja sambutan sudah begini, bagaimana nanti kalau sudah presiden,” ujar Anwar. Tidak sampai di situ. Di ruang VVIP sambutan lebih meriah, berlimpah makanan disajikan. “Saya melirik komandan pangkalan, saya bilang kepada yang bersangkutan siap-siap jadi KSAU. Siap, sahutnya dengan sikap tegap menghornat. Hari itu saya menjajikan jabatan kapada sekitar 20 orang. Termasuk menjanjikan jabatan Kapolda dan Kapolri, hehehe,” jelas Anwar. Tidak tahan lihat ulah Anwar, saya pamit ke toilet. Terus terang saya tak kuat menanggung tawa geli yang menyebabkan otot perut sakit. Masya’ Allah dari mana Anwar menyerap ilmu prank itu. Apakah prank sudah menjadi adab para politikus kita? Sekitar lima belas menit waktu saya butuhkan untuk menstabilkan diri, baru masuk kembali ke ruang tunggu yang mendadak senyap. Saya memperhatikan para penjemput tamu tadi, petugas yang mengalungkan kembang, dan menggelar tarian sudah tidak ada. Makanan berlimpah di atas meja tadi pun sudah diangkat. Apa yang terjadi? Rupanya seremoni penjemputan tadi salah wesel. Acara itu disiapkan untuk rombongan Presiden Megawati yang semula akan mendarat darurat di Banjarmasin. Juga karena alasan cuaca yang tak bersahabat di atas Palangka Raya. Namun, pendaratan di Banjarmasin batal karena ternyata cuaca telah membaik dan pesawat presiden pun mendarat dengan selamat di Palangka Raya. Konsewensinya, sesuai protokol, pesawat yang kami tumpangi harus menunggu satu jam di bandara baru boleh take off. “Ya, waktu itu kami hanya bisa saling memandang,” ucap Anwar. Tawa tamu kembali pecah. Rocky Gerung tampak seperti tertawa guling-guling. Juga Said Didu, Ferry Juliantono, Syahganda Nainggolan, Ahmad Yani, dan semua tamu. Lahirlah kesimpulan bahwa pertemuan “memanusia” seperti itu perlu rutin diselenggarakan. Disepakati pertemuan berikutnya dua pekan yang akan datang.  Rocky Gerung mengusulkan nama komunitasnya “Partai Kepala Ikan”. Semua setuju. Apapun namanya, gathering berbincang ngalor-ngidul diiringi ledakan derai tawa memang perlu untuk memelihara semangat dan daya juang di masa serba sulit dan rumit seperti sekarang. Anda berminat ikut? (*)

Parpol: Organisasi Paling Berbahaya

Contoh terakhir adalah kesombongan Anggota DPR RI Effendi Simbolon dari partai Bantheng yang mengkritik Kedua DPD AA LaNyalla Mahmud Mattalitti yang akhir-akhir ini bersuara keras mengkritisi PT 20%. Oleh: Daniel Mohammad Rosyid, Guru Besar ITS Surabaya, @Rosyid College of Arts SEJAK Reformasi telah mengganti UUD 1945 menjadi konstitusi palsu UUD 2002, partai politik bertumbuh menjadi organisasi yang makin berbahaya bagi kehidupan berbangsa dan bernegara. Jika Mahfud MD pernah mengatakan bahwa malaikat bisa berubah menjadi iblis jika masuk ke jembatan timbang, maka partai politik bisa mengubah presiden menjadi petugas partai yang tunduk pada petinggi partai. Pada saat biaya politik makin tinggi, pejabat publik – di cabang eksekutif atau legislatif – kini harus tunduk pada para taipan yang menyediakan logistik bagi partai politik dan petinggi-petingginya untuk meraih kekuasaaan. Jika pejabat publik sekelas presiden pun bisa turun kelas menjadi petugas partai, maka publik pemilih hanya menjadi jongos politik setelah Pemilu berakhir. Tidak mengherankan jika pemilu selalu berakhir dengan kepiluan masal seperti antrian minyak goreng dan harga kebutuhan pokok yang makin membubung tinggi. Prof. Noam Chomsky dari MIT bahkan mengatakan bahwa organisasi yang paling berbahaya di planet ini adalah Partai Republik AS saat di bawah Donald Trump, bukan Al Qaedah atau Hamas, apalagi FPI atau HTI. Sejak reformasi, walaupun pemerintahan Republik ini presidensial, peran dari partai politik merambah ke hampir semua sudut kehidupan penting negeri ini. Hampir seperti CO2 yang mengotori atmosfer, jejak Partai Politik ada di semua tempat yang telah menjadi racun kehidupan berbangsa dan bernegara. Di Indonesia dahulu, organisasi yang paling berbahaya itu PKI, lalu kemudian Golkar menjelang reformasi. Saat ini, organisasi yang paling berbahaya adalah  parpol berlogo bantheng, sehingga hampir semua parpol terpaksa mbantheng agar aman-aman saja. Jika tidak berteman dengan bantheng, para elit parpol itu banyak yang akan disaduk dan dipenjarakan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Sifat racun parpol itu bisa dijelaskan secara berikut dengan menggunakan analogi gula dan sekolah. Baik sekolah maupun parpol itu sebenarnya dibutuhkan bagi kehidupan yang sehat. Seperti tubuh membutuhkan gula. Namun jika kadarnya berlebihan, bahkan memonopoli secara radikal, maka gula akan menyebabkan diabetes. Sekolah yang memonopoli sistem pendidikan juga telah merusak pendidikan dengan cara melemahkan keluarga dan masyarakat dalam mendidik warga muda. Wajib belajar disamakan dengan Wajib Sekolah, padahal belajar bisa dilakukan di mana saja. Akibatnya pendidikan menjadi barang langka yang mahal. Parpol saat ini telah memonopoli politik sehingga melumpuhkan partisipasi publik dalam menyediakan polity as public goods. Politik menjadi barang langka mahal yang hanya disediakan oleh parpol. Persis seperti monopoli radikal sekolah dalam Sisdiknas telah merusak education as public goods. Sudah lama persekolahan secara radikal memonopoli pendidikan sejak persekolahan dikerdilkan menjadi sekedar instrumen teknokratik untuk menyediakan buruh yang cukup trampil untuk menjalankan mesin-mesin pabrik sekaligus cukup dungu untuk setia dan patuh pada pemilik modal. Persekolahan sejak Orde Baru tidak pernah dirancang untuk mencerdaskan kehidupan bangsa, apalagi menjadi strategi untuk menyediakan syarat-syarat budaya bagi bangsa yang merdeka. Persekolahan hingga hari ini tak pernah dimaksudkan untuk menjadi fasilitas belajar merdeka, sekalipun kini ada wacana Merdeka Belajar dan Kampus Merdeka. Template kehidupan mahasiswa saat ini adalah lulus tepat waktu dengan predikat cum laude, lalu bekerja di BUMN atau MNC. No more no less. Begitupun kebanyakan parpol saat ini. Saat politik sebagai kebajikan publik telah dikerdilkan menjadi jual-beli kekuasaan, maladministrasi publik marak terjadi di mana berbagai aturan perundangan (sengaja) dibuat bukan untuk kepentingan publik, tapi untuk melayani elit parpol dan para taipan. Seperti UU Omnibus Law alias Cipta Kerja, aturan ini membuka lebar proses penjongosan bangsa ini oleh para investor, terutama asing. Partai-partai politik yang berkuasa bukannya memastikan Pilpres yang hemat biaya dan efektif merekrut pejabat publik yang kompeten, masyarakat justru digiring parpol untuk sibuk memikirkan sosok capres. Padahal dengan arsitektur legal saat ini, para capres sudah ditentukan oleh para elit parpol berkuasa dan Taipan. Dengan aturan presidential threshold saat ini, partai politik sudah membajak kedaulatan rakyat. Contoh terakhir adalah kesombongan Anggota DPR RI Effendi Simbolon dari partai Bantheng yang mengkritik Kedua DPD AA LaNyalla Mahmud Mattalitti yang akhir-akhir ini bersuara keras mengkritisi PT 20%. Jika tidak terjadi penataan ulang perpolitikan nasional untuk mengakhiri monopoli parpol, maka kita akan menyaksikan kehidupan politik yang makin jauh dari kebajikan publik.  Gunung Anyar, 3 Juli 2022. (*)

Presiden Terkena Batunya

Gaya kepemimpinan yang sering mencla-mencle sangat berbahaya. Solitudinem faciunt pacem appellant (mereka menciptakan kehancuran dan menyebutnya perdamaian), celakanya ini terjadi dalam percaturan diplomasi global. Oleh: Sutoyo Abadi, Koordinator Kajian Politik Merah Putih BERBOHONGLAH ketika sudah pintar, jangan coba-coba berbohong di atas kedunguan. Memanipulasi informasi politik untuk mobilisasi cari dukungan politik, itu pekerjaan khas orang-orang dungu. Kurang cerdas bisa diperbaiki dengan belajar, kurang cakap bisa dihilangkan dengan pengalaman. Namun, tidak jujur sulit diperbaiki. Pengamat politik Rocky Gerung menjelaskan bahwa jika sebuah negara ingin menjadi penengah bagi negara lain yang sedang berkonflik, maka dia harus memiliki moral standing yang kuat. Sebagian rakyat Indonesia, merasa was-was ketika Presiden Joko Widodo melakukan kunjungan ke luar negeri. Resonansi akhir yang didapat selalu berakhir menjadi berita dan kesan negatif. Skenarionya selalu gagal dan berantakan. Kalau jujur, faktor-faktor yang mempengaruhinya sangat komplek mulai dari kemampuan dan kapasitas diri sang Presiden sendiri sampai para penasehat politiknya yang ngawur sama-sama konyolnya. Pantas juga menjadi renungan bersama kritik Cliffort Geertz, ahli antropologi asal Amerika (AS), yang mengatakan: “Ya Indonesia sudah berubah menjadi “negara panggung” alias theater state”. Simbolisme, persepsi, narasi, dan drama lebih penting ketimbang realitas. Selanjutnya kita coba pahami saat kunjungan Presiden Jokowi ke Ukraina dan Rusia atas inisiatifnya sendiri yang berakhir menjadi tertawaan para pengamat politik, dan bahkan rakyat biasa pun ahirnya mengetahui bahwa yang terjadi meski dibungkus dan dikemas seperti apapun, akhirnya memberi kesan hanya dagelan. Bersumber info dari Nikiforov mengatakannya kepada media lokal Ukrainska Pravda. Komentarnya juga dikutip media Rusia TASS. Bahwa Nikiforov lebih lanjut mengatakan, topik pembicaraan utama saat Jokowi ke Ukraina adalah blokade pelabuhan Ukraina yang membuat ekspor biji-bijian terganggu. Dan, “Indonesia adalah salah satu pengimpor biji-bijian terbesar dari Ukraina, fokus utama pembicaraan antara kedua presiden (Indonesia dan Ukraina) di Kyiv”. Inilah yang dibicarakan secara rinci dengan Joko Widodo,” kata Nikiforov. Topik ini kata Nikiforov, Rusia bertanggung jawab atas terganggunya ekspor biji-bijan Ukraina itu ke Indonesia, begitu pun dengan wilayah lain di dunia. Jangankan direspon positif yang terjadi langsung mentok dicegat Presiden Vladimer Putin. Pada kesempatan sebelumnya Jokowi mengatakan bahwa ke Ukraina pada Rabu (29/6/2022) dengan menawari Zelensky jika ingin titip pesan ke Putin, yang akan dia kunjungi keesokan harinya. Pada kesempatan berikutnya saat Jokowi di Rusia, Presiden Indonesia itu mengatakan bahwa sudah menyampaikan pesan Zelensky ke Putin. Jokowi mungkin terbawa kebiasaan menyampaikan bohong di dalam negeri. Lupa sedang dalam percaturan politik internasional. Tiba-tiba muncul info: Serhii Nikiforov, Sekretaris Pers Kantor Kepresidenan Ukraina berujar, sebenarnya jika Zelensky ingin mengucapkan sesuatu ke Putin, dia bisa melakukannya secara terbuka dalam pidato harian. Tidak ada pesan apapun dari Zelensky terkait dengan perang Ukraina dan Rusia kepada Putin. Zelensky hanya menyatakan bahwa menghargai misi perdamaiannya. Putin pun tidak mengapreasi pesan damai yang dibawa Jokowi. Putin hanya membahas rujukan mengenai hubungan ekonomi RI-Rusia, itupun terlihat gesturnya direspon dengan angin-anginan. Putin sama sekali tidak menyebut mengenai misi perdamaian dan yang dirujuk hanya mengenai hubungan ekonomi Indonesia-Rusia dan juga mengenai jika tidak salah ada mengenai ekspor gandum Ukraina. Jadi tidak sama sekali merujuk pada misi perdamaian Presiden Jokowi. Tidak ada sama sekali terobosan dalam misi damai yang dibawa Jokowi. Semua pengamat sudah mengetahui ini hanya dagelan konyol. Kalau misi perdamaian itu ada konsep perdamaian diterima oleh kedua pihak, baik Ukraina maupun Rusia, dan saat masing-masing kepala negara ketemu sudah siap dan tidak perlu lagi banyak basa basi, yang sia sia. Maka wajar dan benar kalau Internasional Ukraina membantah Zelensky titip pesan untuk Putin lewat Jokowi. Bahkan, Presiden Rusia nampaknya tidak mau dikotori dari kesan ecek-ecek oleh kedatangan Presiden Jokowi yang jauh dari level dengan Presiden Rusia. Begitu selesai pertemuan, Ukraina digempur kembali. Dan, bahkan bekas pertemuan Zelensky dan Jokowi juga dirudal. Artinya, setelah kedatangan Jokowi itu malah yang lebih fatal. Kebohongan Jokowi bukan saja akan membawa kesan buruk terhadap negara juga menjadi preseden buruk yang terus-menerus diulang-ulang. Bisa terjadi kepercayaan luar negeri terhadap kemampuan diplomasi Indonesia merosot, dan tidak dipercaya lagi? “Orang yang berani berkata terus terang adalah orang yang mendidik jiwanya sendiri untuk merdeka. Orang yang berani menerima perkataan terus terang adalah orang yang membimbing jiwanya kepada kemerdekaan.” (Buya Hamka). Gaya kepemimpinan yang sering mencla-mencle sangat berbahaya. Solitudinem faciunt pacem appellant (mereka menciptakan kehancuran dan menyebutnya perdamaian), celakanya ini terjadi dalam percaturan diplomasi global. Presiden suka atau tidak suka harus menerima kenyataan dan akhirnya kena batunya. Karena terbiasa melakukan perilaku politik berbeda yang diucapkan dan realitasnya. Dan berbohong dikira tidak terdeteksi apalagi dalam diplomasi internasional. Hitungan detik semua akan terbongkar dan tidak akan ada tempat untuk membela diri dan bersembunyi. (*) 

"Anjing Penjaga" Oligarki Itu Mulai Menyalak

  DPR sudah tidak berfungsi justru membangun oligarki dengan membuat barier Presidential Threshol 20%. Hal demikian yang ditentang habis-habisan oleh Ketua DPD RI tersebut. Karena jelas bertentangan dengan UUD 1945 dan mengamputasi kehendak rakyat. Oleh: Prihandoyo Kuswanto, Ketua Pusat Studi Kajian Rumah Pancasila EFFENDI Simbolon, anggota DPR RI dari Fraksi PDIP, telah membela Oligarki dengan menyerang Ketua DPD RI AA LaNyalla Mahmud Mattalitti. Jelas apa yang dilakukan LaNyalla itu, setiap langkahnya selalu mendapat sambutan dari rakyat di mana-mana di negeri ini. Keresahan rakyat semakin membuncah itu ditumpahkan kepada LaNyalla. Karena, ada harapan yang ingin dinarasikan oleh rakyat yang selama ini terkungkung oleh ketidak-adilan dan semakin semena-menanya pengusa terhadap rakyatnya. Pasalnya, DPR sudah tidak menjadi harapan. Sebab, tidak pernah memikirkan kebutuhan rakyat, bak dahaga di tengah gurun, tiba-tiba ada LaNyalla dengan berani menentang arus politik elit yang sudah bukan isapan jempol, membela dan “bersetubuh” dengan Oligarki. Perjuangan LaNyalla inilah yang membuat Simbolon kebakaran jenggot. Sebab peran DPR yang seharusnya memperjuangkan kehendak rakyat justru mereka membuat UU yang menyengsarakan rakyat dan malah merugikan masa depan negara bangsa. Coba saja kita buka berbagai UU, mulai UU Omnibuslaw, UU Minerba, tentang persoalan agraria, persoalan minyak goreng, DPR tidak tanggap, tidak mampu membela kepentingan rakyat. Justru mereka ikut membelenggu kepentingan rakyatnya. Begitu juga dengan isu Islamophobia, stikma radikal, teroris yang disematkan pada Islam, justru DPR tak pernah bersuara, soal LGBT malah mick dimatikan Ketua DPR Puan Maharani (dari Fraksi PDIP juga) ketika ada yang bersuara. DPR sudah tidak berfungsi justru membangun oligarki dengan membuat barier Presidential Threshol 20%. Hal demikian yang ditentang habis-habisan oleh Ketua DPD RI tersebut. Karena jelas bertentangan dengan UUD 1945 dan mengamputasi kehendak rakyat. Timor Leste dengan penduduk yang tidak banyak calon presidennya 16 orang. Justru Indonesia yang penduduknya 270 juta pemilihan presiden (pilpres), lu lagi, lu lagi. Apa yang dituduhkan Simbolon pada LaNyalla sangat tendensius. Memangnya LaNyalla sendirian, tentu saja tidak. Di belakangnya ada rakyat dari aktivis dan akar rumput riil mendukungnya. Sebab, perubahan kembali ke jati diri bangsa kembali ke UUD 1945 dan Pancasila sudah sangat meluas. Simbolon adalah simbol “politikus kardus” yang tak mampu membaca geliat rakyatnya akan perubahan, mengaku sebagai anak ideologis Soekarno justru mengkhianati ajaran Soekarno, membiarkan persatuan bangsanya terkoyak- koyak akibat keserakahan oligarki. Simbolon justru bagian dari oligarki, maka sebagai “anjing herder” penjaga oligarki akan menyalak jika ada kepentingan oligarki terusik. Rupanya genderang perubahan telah ditabuh oleh LaNyalla yang membuat rakyat terbangun dari tidurnya, yang bisa menatap lagi matahari masa depan. (*)  

Anies Radikal, Anies Pro-Oligarki

Oleh Asyari Usman, Jurnalis Senior FNN  HANYA di tangan buzzer bayaran, minyak dan air bisa bercampur. Inilah yang terjadi ketika para buzzer itu menuduh Anies Baswedan radikal sekaligus pro-oligarki. Percampuran radikal dan pro-oligarki di dalam diri Anies adalah persenyawaan mustahil antara minyak dan air. Tapi, bagi buzzer bayaran, percampuran yang aneh itu tidak masalah sepanjang itu dinisbatkan kepada Anies. Anies dilabel oleh buzzer sebagai figur radikal lantaran menutup 12 gerai Holywings di wilayah provinsi DKI Jakarta. Kata mereka, Anies mencabut izin Holywings atas permintaan seorang narapidana. Hampir pasti ini maksudnya Habib Rizieq Syihab.  Kemudian, Anies dilabel berpihak kepada, atau menjadi kaki tangan dari, oligarki cukong. Tak jelas dasar labelisasi ini. Pokoknya bagi buzzer bayaran apa saja bisa. Harus bisa. Ada kemungkinan yang dimaksud para buzzer itu adalah dukungan baru-baru ini dari salah seorang pengusaha besar untuk pencapresan Anies. Nah, sekarang bagaimana cara agar percampuran antara paham Islam radikal dan pro-oligarki di dalam diri Anies menjadi valid? Apa yang harus dilakukan agar tidak cacat logika? Satu-satunya cara yang konstruktif-akomodatif untuk ini adalah menghapus teori logika konvensional tentang “minyak dan air tidak akan bercampur”. Teori ini harus dibatalkan demi labelisasi “Anies radikal, Anies oligarki” yang digaungkan oleh kelompok buzzer cuan.  Kontradiksi, tak masalah. Illogical, biarkan saja. Toh, kaum buzzer bayaran memang tidak mengenal logis atau tak logis. Mereka telah membuang elemen isi kepala yang berfungsi untuk analisis buruk-baik. Jadi, tidak ada lagi pikiran analitis yang dimiliki manusia normal. Kaum buzzer adalah “robotical human being” (manusia robotik) yang berbasis perintah berbayar. Aktivasi otak mereka ada dalam kekangan pengguna (user) yang lumrah dijuluki sebagai pembina.[]

Ah, Amburadul Semua

Di negeri para bedebah, negeri ketika para bajingan menguasai pemerintahan. Maka kedzoliman menjadi menu sehari-hari. Hanya ada  santapan buat tuan-tuan borjuis yang diolah dari keringat, airmata dan darah rakyat. Unjuk kekuasaan  menjadi atraksi saban hari, dimana yang kuat menindas dan membunuh yang lemah. Kebenaran menjadi sesuatu hal yang tabu dan begitu menakutkan. Karena kedaulatan rakyat semakin tergerus oleh intimidasi, teror dan ancaman maut dari manusia-manusia durjana. Para penjahat pemilik kekuasaan yang digaji oleh negara dan  berasal dari uang rakyat sendiri. Oleh: Yusuf Blegur Pemerhati Politik dan Kebangsaan  KALAU bangsa ini selalu bangga  pada slogan-slogan moralitas dan spiritualitas. Begitu kuat menjunjung tinggi nilai-nilai luhur dan warisan kebaikan nenek moyang. Terkesan sangat tekun mempelajari sejarah dan menghargai jasa para pahlawan serta berlimpah kecintaannya pada tanah air. Kemudian begitu gencar mengagungkan Pancasila, UUD 1945 dan NKRI.  Lalu mengapa saat ini, negara sedang tidak baik-baik saja?, kenapa negara semakin dalam terpuruk?. Mengapa keberadaban semakin hilang di negeri ini?. Bagaimana mungkin pula  republik ini terus-menerus  melahirkan para pejabat dan pemimpin yang tuna susila?. Sumber daya alam semakin menipis dikuras bangsa asing, kekayaan negara terus digerogoti oleh segelintir bangsanya sendiri. Atas nama konstitusi dan demokrasi, pemerintah berhasil memperkosa kedaulatan rakyat. Rezim kekuasaan leluasa berkali-kali merampas kesadaran dan harapan rakyat untuk hidup layak. Tak peduli rakyat kecil, orang dewasa atau manula, lelaki atau perempuan dan anak-anak atau balita. Rakyat yang lemah dan tak berdaya itu, berangsur-angsur secara masif telah menjadi korban kejahatan negara yang terstruktur dan sistematik. Kebijakan pemerintahan yang berorientasi memuaskan nafsu syahwat para oligarki korporasi, partai politik  dan birokrasi. Hanya menghasilkan semakin suburnya kelompok marginal dan meningkatnya angka  kemiskinan. Situasi dan kondisi yang demikian menjadi cermin dari penderitaan hidup rakyat karena kehilangan pekerjaan,  terancam kelaparan dan bahkan memicu kematian. Kecenderungan hal tersebut semakin terlihat dari banyak indikator, termasuk beberapa realitas terkait kebijakan ekonomi, politik dan hukum yang meniadi denyut nadi kehidupan rakyat. Rakyat sebagai pemiliki kedaulatan harus menerima dampak dari praktek-praktek distorsi kepemimpinan dan kesewenang-wenangan penyelenggaraan negara. Dalam krisis ekonomi baik yang disebabkan oleh pandemi maupun bobroknya mental aparatur pemerintahan. Para hipokrat dan penghianat negara itu secara terbuka dan angkuh memamerkan kejahatannya kepada rakyat. Mereka memperkaya diri dengan semakin  menumpuk harta dan aset yang sejatinya milik rakyat. Seiring itu, rakyat terus dihimpit kesulitan bahkan hanya untuk memenuhi kebutuhan pokok hidupnya. Harga sembako dan bahan pangan melambung tinggi, diikuti pelbagai kenaikan sektor fundamen kehidupan rakyat seperti naiknya pajak, tarif listri, harga bbm, biaya pulsa dsb. Utang negara yang ugal-ugalan dan serampangan hanya jadi ajang proyek rente dan tak bermanfaat, tak bisa dinikmati namun menjadi beban berat rakyat.  Kenyataan itu bukan saja mengakibatkan kemampuan  daya beli rakyat semakin menurun, melainkan juga rakyat terancam gagal memenuhi kebutuhan untuk melangsungkan hidupnya secara umum. Sepertinya ada upaya memiskinkan rakyat dengan cara menghapus subsidi untuk membayar utang dan  membiayai gaya hidup mewah para pejabat, sembari terus memeras rakyat melalui  upeti dengan cara-cara membajak konstitusi dan berkedok demokrasi. Sementara korupsi tetap terus mewabah di semua sektor dan  institusi pemerintahan. Jadilah rakyat harus menerima kenyataan pahit, negara telah mempertontonkan yang kaya makin kaya, yang miskin makin miskin. Para pejabat dan pucuk pimpinan pengambil keputusan, tanpa rasa malu dan bersalah hidup mewah serta tak sungkan lagi mencuri dan merampok uang rakyat secara telanjang. Untuk menutupi dan melindungi rantai kejahatannya, penguasa memanfaatkan negara dan aparaturnya menghukum rakyat yang kritis dan sadar untuk peduli dan menyelamatkan hari ini, esok dan masa depan Indonesia. Negara hanya hanya menjadi kumpulan populasi manusia antara predator dan rantai makanan, ada penguasa yang buas dan rakyat yang siap menjadi mangsa. Entahlah, apakah kejahatan yang begitu terorganisir tak mampu dikalahkan oleh semangat menegakkan kebenaran yang belum terkonsolidasi?. Mungkinkah riak-riak gerakan perubahan di dalam negeri yang sakit dan dikuassi rezim yang dzolim akan sia-sia?. Bisa ya bisa tidak, selain upaya yang seadanya, rakyat Indonesia tak cukup hanya menumpahkan keringat, darah dan nyawa melawan penguasa. Terkadang butuh sejarah dan  takdir yang akan bicara dan menuliskan guratannya. Tapi setidaknya, untuk saat ini dan mungkin beberapa tahun ke depan. Bagi rakyat, negara dan bangsa Indonesia, tak perlu berpikir keras dan menganalisa dengan tajam. Betapa situasi dan kondisi sekarang, begitu kroditnya hingga layak disebut \"ah amburadul semua\". Masihkah rakyat  membutuhkan kehadiran  negara?. Masihkah rakyat perlu keberadaan pemerintah?.  Apakah Pancasila, UUD 1945 dan NKRI masih penting untuk diharapkan?. Sampai kapan agama dijadikan komoditas?, hingga  bisa tetap dipakai untuk dinista sekaligus dimanfaatkan?. Haruskah negeri ini menunggu amuk massa, menunggu momen yang tepat  munculnya pemberontakan?. Akankah republik ini akan melahirkan revolusinya sendiri?. Tak ada yang tahu, coba kita tanyakan pada hutan yang ditebang, koruptor yang menghilang dan para pemimpin yang keahliannya hanya bisa  jual tampang dan bergaya tanpa isi kepala.  \"Ah amburadul semua, semuanya memang amburadul?\" (*)

Effendi Simbolon Omong Besar

Oleh M. Rizal Fadillah Pemerhati Politik dan Kebangsaan PERNYATAAN politisi PDIP Effendi Simbolon yang menyerang LaNyalla Mattalitti dapat menyeret peperangan antara DPR lawan DPD. Meski masih personal tetapi serangan sudah mengarah institusi. Effendi Simbolon adalah kader PDIP vokal. Partai dengan suara terbanyak di DPR RI. LaNyalla Mattalitti adalah Ketua DPD RI.  La Nyalla Mattalitti bersemangat untuk memperkuat posisi DPD sebagai penyambung aspirasi daerah dan orang daerah yang artinya juga rakyat di daerah. Berdasarkan aspirasi yang diterima tentu disampaikan ke instansi yang kompeten. Sebagai anggota yang dipilih langsung oleh seluruh rakyat, maka kewenangan DPD semestinya jauh ebih besar daripada yang di atur saat ini.  Effendi Simbolon mempermasalahkan Ketua  DPD yang berkeliling daerah dan meminta bantuan Kapolri untuk menegur. Sebaiknya Simbolon introspeksi pada kerja DPR dan orang-orang DPR dalam melaksanakan tugas sebagai wakil-wakil rakyat, sejauh mana serius atau benar-benar berjuang demi rakyat  ?  Demikian juga perlu pemeriksaan keuangan atas penggunaan dana APBN yang bernuansa penghambur-hamburan uang rakyat oleh anggota DPR. Banyak kegiatan yang bersifat seremonial, dibuat-buat atau tidak bermanfaat. Belum lagi gaya hidup hedonis yang menyakitkan hati rakyat. Tidak empati pada kesulitan hidup rakyat akibat berbagai kebijakan yang sangat memberatkan.  LaNyalla sering menyatakan akan mengawal pemerintahan hingga akhir meskipun banyak aspirasi pemakzulan dalam forum pertemuan di daerah maupun yang beraudiensi ke DPD. Rupanya Effendi Simbolon justru ketakutan sendiri, mungkin karena dukungan atas Jokowi tiga periode yang bakal terganggu.  Effendi gelagapan saat ditanya soal dukungan Capres. Sebagai kader sulit untuk tidak menyebut Puan, sementara simpati pada perjalanan Jokowi ke Rusia dan Ukraina membuatnya semangat untuk mendorong agar Jokowi dapat menjabat tiga periode. Pujian berlebihan pada langkah \"piknik\" Jokowi.  Warga tertawa sendiri karena pasca bertemu Putin, Putin \"memotong telinga\" sang kurir dengan cara membombardir lebih dahsyat Ukraina. Pujian Effendi atas langkah Jokowi hanya tontonan kebodohan dan omong besar.  Serangan Simbolon kepada DPD yang menggugat PT 20 % bukti omong besar dan tidak berdasar. Alasan ribuan calon akan muncul jika PT 0 % diberlakukan adalah ocehan hiperbolis. Partai politik peserta Pemilu saja tidak mungkin ada seribu. Gugatan DPD justru membantu suara aspirasi rakyat yang faktanya terus dibantai oleh MK dengan kekalahan gugatan. MK adalah penyambung lidah kekuasaan bukan penegak suara keadilan.  Simbolon harus faham akan hal ini. Jika beradu kualitas demokrasi, DPD tentu lebih demokratis. Anggotanya dipilih langsung oleh rakyat sedangkan anggota DPR harus melalui pilihan partai. Anggota DPD lebih leluasa menyuarakan secara personal sedangkan Anggota DPR \"terkungkung\" oleh kebijakan Fraksi. Tuntutan ke depan sebaiknya Pemilu untuk keanggotaan DPR dilakukan dengan sistem distrik.  Nah Simbolon tidak perlu meminta Kapolri untuk menegur LaNyalla karena itu tidak relevan dan bukti hanya omong besar tanpa dasar pengetahuan hukum, justru sebaiknya Puan Maharani yang harus menegur anggotanya yang bernama Effendi Simbolon. Dua hal yang mendasarinya, pertama karena Simbolon telah mendorong Jokowi menjabat untuk tiga periode, p uupsstttadahal Puan adalah kandidat Capres 2024.  Kedua, ujaran Effendi dapat menyeret perang DPR lawan DPD bagai memindahkan perang Rusia-Ukraina. DPD yang membuktikan kesolidannya akan menyerang balik DPR dengan membongkar berbagai perkeliruan DPR baik produk perundang-undangan maupun perilaku anggota dalam berbagai konspirasinya.  Rakyat akan lebih percaya pada DPD jika masuk ke ruang pilihan. Belum ada suara yang meminta DPD dibubarkan akan tetapi untuk DPR suara itu sudah banyak. Terlalu banyak.  Bandung, 2 Juli 2022

Bukan LaNyalla, Justru Simbolon yang Pernah Minta Jokowi Mundur!

Jadi, tudingan Simbolon itu terlalu berlebihan dan mengada-ada. Jika melihat jejak digital, justru Simbolon pernah meminta Jokowi mundur dari jabatannya pada periode pertama pemerintahan Jokowi. Oleh: Mochamad Toha, Wartawan Forum News Network (FNN) TIDAK ada angin, tidak ada hujan, tiba-tiba politisi PDIP DR Effendi Simbolon menyoroti langkah Ketua DPD RI AA LaNyalla Mahmud Mattalitti yang selama ini dianggapnya banyak menggunakan fasilitas, bahlan institusi DPD untuk memperjuangkan kepentingan politiknya. “Kemana-mana bicara politik atas nama DPD RI itu tidak boleh. Misalnya, gugat president threshold (PT) ke Mahkamah Konstitusi (MK) agar dihapus menjadi nol persen. Itu kan untuk kepentingan pribadinya agar bisa nyapres 2024. Itu tidak boleh,” tegas anggota Komisi I DPR RI itu pada wartawan di Gedung DPR RI, Senayan Jakarta, Kamis (30/6/2022). Menurutnya, PT 20 persen itu agar para capres itu terseleksi dengan baik. Sehingga tidak semua orang dengan bebas bisa nyapres. “Kalau nol persen, yang mau nyapres bisa ribuan orang. Itu mau pilpres atau Sipenmaru?” tanya Effendi Simbolon. Kalau memang mau nyapres lanjut Simbolon, ya bikin partai. Apakah nanti partainya dipilih atau tidak oleh rakyat? “Kalau dipilih dan dapat suaranya berapa, itulah kau jadikan mandat amanat rakyat itu untuk maju nyapres. Jangan pakai lembaga DPD RI untuk gugat PT untuk nyapres,” ungkapnya. Apalagi, kata Simbolon, sampai mengumpulkan para aktivis dan tokoh di DPD RI dengan alasan diskusi Kebangsaan, namun isinya debat untuk pemakzulan Presiden demi kepentingan politik pribadinya dan itu dilakukan di Gedung DPD RI, pakai Anggaran DPD RI, dan dibiarkan oleh Sekjen DPD RI dan anggota DPD RI lainnya, ditambah lagi berikut anggaran DPD RI. “Untuk itu saya minta kepada Kapolri agar menegur LaNyalla dan meminta kepada Mensegneg agar memberikan pemahaman fungsi DPD RI kepada Sekjen DPD,” ucapnya. “Mau jadi apa republik ini kalau mau-maunya sendiri. Saya anggota DPR RI dari FPDI-P terikat dengan 9 fraksi DPR RI yang lain. Kalau keluar gedung ini tidak bisa saya membawa-bawa DPR RI,” tambahnya. Ia menilai kesibukan politik LaNyalla tersebut luar biasa. “Pagi ini di sini, siang di situ, sore di sana, dan malam di luar sana. Tulis itu. Lalu, anggota DPD RI yang lain pada kemana? Tidak ada yang berani mengkritisi?” ujarnya. Sebaiknya Effendi Simbolon membaca kembali apa Tuposi DPD tersebut. DPD adalah lembaga negara yang diakui secara konstitusional. DPD itu dibentuk untuk “mewakili aspirasi daerah”. Aspirasi di tingkat daerah akan mempengaruhi pembentukan kebijakan atau pengambilan keputusan politik di tingkat pusat. DPD merupakan wakil DPD yang dipilih melalui pemilu di tiap provinsi di Indonesia. DPD merupakan salah satu lembaga negara yang lahir setelah Amandemen UUD 1945. DPD mengemban tugas dan wewenang yang diatur dalam UUD 1945 dan UU. Kewenangan DPD diatur dalam pasal 22D UUD 1945, yaitu: Berwenang dalam pengajuan Rancangan Undang-undang atau RUU tertentu. Berwenang untuk ikut membahas bersama DPR dan pemerintah atas penyusunan RUU tertentu. Berwenang memberikan pandangan dan pendapat terhadap RUU tertentu; Berwenang memberikan pertimbangan terhadap RUU tentang APBN dan RUU yang berkaitan dengan pajak, pendidikan, dan agama, serta pengawasan atas pelaksanaan Undang-undang atau UU tertentu. Jika mengacu pada Tupoksi dan kewenangan DPD seperti yang diatur dalam pasal 22D UUD 1945, semua yang dilakukan LaNyalla selama ini tidak ada yang menyimpang dan melanggar UU. Perlu ditegaskan kembali, DPD itu dibentuk untuk “mewakili aspirasi daerah”. Tidak salah jika sejak dilantik menjadi anggota DPD dan terpilih sebagai Ketua DPD, LaNyalla mengaku sudah berkeliling ke 34 provinsi dan lebih dari 300 Kabupaten/Kota. “Saya bertemu langsung dengan stakeholder yang ada di daerah. Mulai dari pejabat pemerintah daerah, hingga elemen masyarakat. Baik itu akademisi, agamawan, pegiat sosial dan kerajaan nusantara,” ungkapnya dalam setiap pidatonya yang pernah saya ikuti beberapa kali melalui Zoom Meeting. Menurut LaNyalla, ia menemukan satu persoalan yang hampir sama di semua daerah. “Yaitu Ketidakadilan yang dirasakan masyarakat, dan Kemiskinan struktural yang sulit untuk dientaskan,” tegasnya. “Inilah yang menurut saya persoalan fundamental bangsa ini. Karena tidak pernah bisa diselesaikan dengan pendekatan yang kuratif dan karitatif. Tidak pernah bisa diselesaikan dengan pendekatan parsial dan sektoral,” lanjutnya. Mengapa? Karena, menurut LaNyalla, penyebabnya itu ada di hulu. Bukan di hilir. Yaitu negara ini yang semakin menjadi negara yang sekuler, liberal, dan kapitalistik. Karena itu, LaNyalla mengaku harus memutuskan untuk segera bertindak dan berpijak sebagai Negarawan. “Sehingga saya tidak melihat persoalan ini dalam perspektif sektoral,” tegasnya. Sehingga bagi saya, persoalan konstitusi ini tidak boleh hanya direduksi terbatas kepada penguatan peran kelembagaan DPD RI saja. Tetapi harus lebih fundamental dari itu. Dan, yang perlu dicatat oleh Simbolon, sampai sejauh ini LaNyalla tak pernah melontarkan pernyataan seperti yang dituduhkannya: “debat untuk pemakzulan Presiden”. Yang lebih aneh lagi, apa urgensinya Simbolon minta Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo agar menegur LaNyalla? Soal sederhana hirarki seperti ini saja Simbolon tidak paham. Tidak ada kewenangan Kapolri menegur LaNyalla. Rakyatlah yang berhak menegur LaNyalla dan anggota DPD lainnya. Sebab, mereka ini mendapat amanah langsung dari rakyat. Makanya, ketika DPR “mandul” aspirasi, berbagai elemen masyarakat mengadunya ke DPD RI. Makanya, jujur saja, hingga detik ini saya tidak tahu, mengapa Simbolon punya pikiran LaNyalla melakukan “debat untuk pemakzulan Presiden” itu. Mengucap kata “pemakzulan” saja seingat saya, tidak pernah. LaNyalla sudah berkali-kali menyatakan akan mengawal pemerintahan Jokowi hingga akhir masa jabatannya, 2024. Benar kata Koordinator Kajian Politik Merah Putih, Sutoyo Abadi, “Effendi Simbolon, diduga kuat setiap ada info hanya dibaca judulnya, sehingga berakibat fatal ketika melepas komentarnya ke publik melalui media.” Jika LaNyalla punya niat memakzulkan Presiden, tak mungkn sampai mantan Panglima ABRI dan Wapres Try Sutrisno sampai memberikan semacam Wasiat dan menitipkan kepada LaNyalla untuk menyelamatkan Indonesia. Beruntung LaNyalla bukan seorang Panglima TNI seperti Jenderal TNI Andika Perkasa. Kalau dia menjabat Panglima TNI, dapat dipastikan, LaNyalla akan menyatakan “Siap, Laksanakan!” Dan, entah apa yang terjadi setelah itu. Jadi, tudingan Simbolon itu terlalu berlebihan dan mengada-ada. Jika melihat jejak digital, justru Simbolon pernah meminta Jokowi mundur dari jabatannya pada periode pertama pemerintahan Jokowi. Judul berita yang tayang di Merdeka.com (Rabu, 2015/09/02 12:34 in Politik, Warta): “Effendi Simbolon: Sebaiknya Jokowi Mundur Saja”. Desakan mundur itu terjadi karena Pemerintahan Joko Widodo-Jusuf Kalla tak bisa mengatasi kondisi ekonomi yang saat itu mengalami perlambatan dan nilai tukar rupiah anjlok terhadap dolar (USD). Diberitakan, di tengah persoalan itu, Presiden Jokowi juga menghapus syarat tenaga kerja asing bisa berbahasa Indonesia. Hal ini sontak menuai reaksi dari berbagai kalangan. Menariknya, Effendi Simbolon yang notabene kader PDIP, partai pengusung dan pendukung Jokowi-JK, justru melancarkan kritik keras kepada Jokowi. Tak tanggung-tanggung, anggota Komisi I DPR itu bahkan meminta Jokowi mundur dari jabatan Presiden karena tak bisa mengatasi masalah ekonomi dan menghapuskan syarat bisa bahasa Indonesia bagi tenaga kerja asing. “Lebih baik Jokowi turun tahta karena tidak bisa menyelesaikan masalah ekonomi. Presiden seharusnya mampu menyelesaikannya bukan menterinya,” kata Effendi Simbolon di gedung DPR, Senayan, Jakarta, Selasa (1/8/2015). Jadi, dari jejak digital itu sudah jelas, justru Simbolon yang punya keinginan untuk “menjatuhkan” Presiden Jokowi. (*)

Simbolon Terperangkap Sendiri!

Tuan Simbolon Yang Terhormat, sebenarnya Anda terjebak karena kapasitas dan kualitasnya sendiri sebagai politisi asal-asalan. Strategi tanpa taktik itu adalah jalan paling lambat menuju kemenangan. Oleh: Sutoyo Abadi, Koordinator Kajian Politik Merah Putih MEMINJAM kata Sun Tzu: “Jika Anda mengenal musuh dan mengenal diri Anda sendiri, Anda tidak perlu takut akan hasil dari ratusan pertempuran. Kenali dirimu, kenali musuhmu. Seribu pertempuran, seribu kemenangan”. Info siapa Ketua DPD RI AA LaNyalla Mahmud Matalitti dengan melimpahnya narasi yang mengalir setiap hari, sangat mudah didapat. Arah dan tujuannya akan ke mana mudah dideteksi. KAMI Lintas Provinsi mem-backup langkah Bung LaNyalla karena arah perjuangannya jelas dan senyawa dengan KAMI untuk menyelamatkan Indonesia. Effendi Simbolon, diduga kuat setiap ada info hanya dibaca judulnya, sehingga berakibat fatal ketika melepas komentarnya ke publik melalui media. Dalam olahraga bola basket itu ada beberapa teknik, mendekatkan seni dan teknik berpolitik, antara lain passing (mengoper) dan catching (menerima) bola dari rekan satu tim, harus ada dan kompak. Simbolon tampaknya bermain politik sendirian tanpa tim. Tidak mampu dan tidak paham membaca, menggiring, dan mengarahkan bola politiknya akan ke mana. Politik dribbling harus memantulkan bola di lantai sambil berjalan atau berlari dengan cepat. Simbolon asal melempar bola. Tidak mampu melihat ke arah depan dan mengontrol bola dengan baik. Sehingga berakibat bola tersebut direbut oleh pemain tim lawan, memantul dan balik kepada dirinya. Dia tidak mampu menguasai teknik shooting untuk menembakkan bola ke arah ring lawan. Politik dribbling bola harus ke arah ring sambil mengunci target. Simbolon asal melepas bola menjadi liar, sehingga tidak sanggup kembali mengendalikannya. Jangankan mendekati ring, masih jauh dari ring saja harus terpental. Tetiba bola memantulkan rekam jejaknya yang berbau korupsi muncul ke media sosial. Simbolon gagal melakukan politik pivot, melakukan gerakan memutar, untuk merebut simpati, bahkan akhirnya energi politiknya membakar dirinya karena serangan balik dari lawan tidak bisa diatasi, karena tidak ada persiapan untuk antisipasi. Akibatnya pertahan dirinya sangat rapuh dan keteteran. Pertahanan diri untuk menerima pantulan balik sama sekali tidak ada karena asal bunyi (asbun). Ketika bola memantul semestinya sikap menangkap dan membuka bola itu dengan melompat. Saat seperti ini Simbolon kebingungan. Politik screen jelas mentah. Jangankan milindungi teman, melindungi dirinya sendiri tidak mampu dan ketika ada serangan balik pertahanan kosong, dan jebol berantakan. Seni politik lay up tidak dikuasai, yaitu menembak lawan dengan jarak jauh. Apalagi akan melakukan tembakan jarak dekat, pasti melesat tanpa arah asal melepas bola. Kalau sudah begini Simbolon akan ke mana. Ketika ada kawan sesama wakil rakyat sedang berjuang karena ada masalah fundamental tentang konstitusi yang membajak kedaulatan rakyat, malah dleming tidak jelas juntrungannya. Sebenarnya apa sih arti dari kata ndleming itu sendiri? Arti ndleming menurut kamus bahasa Jawa-Indonesia adalah Ngomong karepedewe/ngelantur atau dalam bahasa Indonesia mempunyai arti “berbicara tak terkontrol”. Inilah gambaran wakil rakyat yang sedang mempertontonkan kedunguannya. Diduga kuat di DPR banyak “Simbolon” sombong lainnya. Itulah fakta kualitas anggota DPR (Rakyat) yang “terhormat”, bukan anggota DPD (Daerah) seperti Bung LaNyalla yang selalu menghormati dan menghargai aspirasi Rakyat! Tuan Simbolon Yang Terhormat, sebenarnya Anda terjebak karena kapasitas dan kualitasnya sendiri sebagai politisi asal-asalan. Strategi tanpa taktik itu adalah jalan paling lambat menuju kemenangan. Taktik tanpa strategi adalah kebisingan sebelum kekalahan. Politisi tanpa taktik dan strategi bukan saja kekalahan tetapi “politik dungu”. (*)

Partai Politik Menjadi Penentu Masa Depan Bangsa: Saat Ini Cenderung Membawa Kehancuran

Oleh: Anthony Budiawan – Managing Director PEPS (Political Economy and Policy Studies) “Power tends to corrupt, and absolute power corrupts absolutely”, kalimat Lord Acton yang terkenal mengandung kebenaran yang tidak bisa dibantah. “Kekuasaan cenderung korup, dan kekuasaan mutlak pasti korup”. Karena itu, kekuasaan Eksekutif atau Presiden harus dibatasi. Melalui pengawasan ketat agar tidak menyimpang dan berkembang menjadi kekuasaan absolut, kekuasaan tirani, kekuasaan sewenang-wenang, yang pasti korup. Lembaga yang mengawasi Eksekutif dinamakan Parlemen, terdiri dari berbagai kelompok masyarakat yang menyebut dirinya ‘perwakilan rakyat’. Kelompok tersebut diberi identitas Partai Politik. Parlemen yang terdiri dari perwakilan Partai Politik tersebut mempunyai dua fungsi utama, yaitu fungsi pengawasan dan fungsi membuat undang-undang sebagai lembaga Legislatif. Parlemen harus mengawasi Presiden agar roda pemerintahan berjalan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Parlemen juga harus mengawasi penggunaan anggaran (fiskal) negara, untuk kepentingan masyarakat luas, untuk mencapai keadilan sosial. Selain itu, Parlemen juga wajib membuat undang-undang yang berpihak kepada kepentingan bangsa, dan mengawasi pemerintah agar selalu patuh terhadap perintah undang-undang tersebut. Semua itu menjelaskan betapa pentingnya fungsi Parlemen sebagai kekuatan penyeimbang kekuasaan Presiden, khususnya di dalam sistem presidensial di mana Presiden mempunyai kekuasaan sangat besar. Kalau fungsi Parlemen ini dijalankan dengan benar dan jujur maka praktis sebagian besar permasalahan bangsa sudah terselesaikan dengan sendirinya, dengan memberlakukan dan melaksanakan peraturan dan undang-undang yang adil dan berpihak kepada kepentingan bangsa.  Sebagai contoh, peraturan dan undang-undang anti-monopoli diberlakukan untuk menciptakan persaingan pasar sempurna (prefect market competition) yang adil bagi semua pelaku pasar. Kalau undang-undang anti-monopoli tersebut dijalankan dengan benar, maka dengan sendirinya akan tercipta industri yang lebih efisien, alokasi faktor produksi lebih baik, dan pertumbuhan ekonomi lebih tinggi dan merata. Sebaliknya, apabila undang-undang dibuat untuk kepentingan golongan tertentu, tidak adil, dan bertentangan dengan kepentingan bangsa, maka undang-undang tirani tersebut dapat memicu kekacauan, memicu perpecahan bangsa, menuju jurang kehancuran. Misalnya, UU KPK atau UU Cipta Kerja, yang ditengarai banyak pihak tidak pro kepentingan bangsa, sempat memicu protes dan demo dari berbagai kelompok masyarakat, bahkan menelan korban. Apa jadinya kalau undang-undang yang membatasi kebebasan berpendapat, atau undang-undang anti-demokrasi, diberlakukan? Apakah bangsa ini akan menjadi lebih baik, atau malah membawa negara ini menjadi negara tirani menuju jurang kehancuran? Artinya, Parlemen mempunyai peran kritikal dalam menentukan nasib bangsa di masa depan, menentukan kesejahteraan masyarakat dan keadilan sosial. Semua ini tergantung dari Partai Politik, apakah dapat mengendalikan Parlemen dan membuat undang-undang yang pro-rakyat, apakah dapat mengawasi Presiden secara efektif, atau malah mendukung Presiden menjalankan roda pemerintahan secara tirani? Kalau Parlemen menjalankan fungsinya secara benar, maka fungsi Presiden menjadi tidak terlalu penting lagi. Pemilihan Presiden (Pilpres) bukan lagi merupakan peristiwa istimewa. Pilpres menjadi lebih sederhana, hanya fokus kepada calon presiden yang mampu taat hukum berdasarkan rule-of-law, serta bermoral dan beretika tinggi. Permasalahan kementerian teknis dapat dengan mudah diselesaikan oleh para teknokrat dalam bidangnya masing-masing. Karena, tugas utama Presiden hanya menjalankan peraturan dan undang-undang yang berlaku. Apabila Presiden tidak taat dan menyimpang dari peraturan dan undang-undang tersebut, maka Parlemen wajib menegur, kalau perlu memberhentikan Presiden dalam hal terjadi pelanggaran berat, misalnya pelanggaran konstitusi, pelanggaran HAM atau pelanggaran berat lainnya. Karena itu, Partai Politik tidak perlu memagari kekuasaannya dengan menetapkan ambang batas pencalonan presiden (presidential threshold) menjadi 20 persen. Sebaliknya, semakin banyak calon presiden, semakin baik bagi bangsa ini, dan semakin besar kemungkinan mendapat calon presiden yang taat hukum dan bermoral tinggi, yang dapat menjalankan peraturan dan undang-undang secara adil. Partai Politik tidak boleh menjadikan Presiden sebagai ‘Petugas Partai’. Setiap orang yang menjadi Presiden wajib membebaskan dirinya dari identitas Partai Politik. Mereka harus bersumpah untuk taat pada semua peraturan dan undang-undang, serta konstitusi. Partai Politik yang menyatakan Presiden (dan Kepala Daerah) sebagai ‘Petugas Partai’ secara jelas berniat melanggar konstitusi. Karena, Partai Politik secara konstitusi mengendalikan Parlemen, dan kini juga berniat mengendalikan Presiden sebagai ‘Petugas Partai’, melanggar fungsi Parlemen sebagai pengawas Presiden, dan menciptakan tirani Partai Politik. Penyatuan fungsi Eksekutif dan Parlemen oleh Partai Politik sedang berlangsung sangat cepat di era reformasi, terus berkembang dan memburuk sejak 2014 ketika pengusaha ikut mengatur calon presiden. Karena itu, demi masa depan Bangsa Indonesia, rakyat wajib menuntut Partai Politik kembali kepada fungsi sebenarnya. Sebagai tahap awal, Partai Politik wajib menghapus presidential threshold menjadi nol persen.