Indonesia Kehilangan Asas Berbangsa dan Bernegara
Bahtera Indonesia terobang-ambing karena kepentingan-kepentingan hawa nafsu partai politik sehingga lahir Oligarki.
Oleh: Prihandoyo Kuswanto, Ketua Pusat Studi Kajian Rumah Pancasila
MENGGANTI UUD 1945 dengan UUD 2002 ternyata bukan soal menambah dan mengurangi pasal-pasal saja, tetapi telah dicabut aliran pemikiran ke-Indonesia-an.
Aliran pemikiran ke-Indonesia-an itu diimplentasikan di dalam asas berbangsa dan bernegara.
Tentunya para pendiri bangsa sudah melakukan kajian dan pendalaman yang luar biasa.
Indonesia adalah sesuatu yang unik bangsanya dulu dilahirkan 28 Oktober 1928. Kemudian 17 Agustus 1945 bangsanya merdeka melalui proklamasi. Baru pada 18 Agustus 1945 negaranya dibentuk.
Sebagai sebuah kesepakatan, Pancasila menjadi dasar negara Indonesia Merdeka yang oleh pendiri dan perumus Pembukaan UUD 1945 diletakkan pada alenea ke-IV Pembukaan UUD 1945.
Pendjelmaan (pelaksanaan objektif) Pembukaan Undang-undang Dasar 1945 dalam Undang-undang Dasar 1945 dan Uraian ideologi Pancasila di dalam batang tubuh UUD 1945.
Udjud pelaksanaan objektif mengenai asas kerohanian Negara (Pantjasila) adalah sebagai berikut:
1. Asas “ke-Tuhanan Jang Maha Esa” tersebut dalam Bab XI hal Agama, pasal 29 dari Undang-undang Dasar 1945.
2. Asas “kemanusiaan jang adil dan beradab” terdapat dalam ketentuan-ketentuan hak asasi warganegara tertjantum dalam pasal-pasal 27, 28 dan 31 ajat 1 dari Undang-undang Dasar 1945.
3. Asas “persatuan Indonesia” terdapat dalam Undang-undang Dasar 1945 pasal 26 tentang warganegara, pasal 31 ajat 2 tentang pengadjaran nasional, pasal 32 tentang kebudajaan nasional, pasal 35 tentang bendera Negara dan pasal 36 tentang bahasa Negara.
Diantara pendjelmaan daripada asas “persatuan Indonesia” terdapat satu hal, jang amat penting untuk pada tempat ini dikemukakan. Karena djika hal ini disadari, sungguh akan merupakan dasar bagi tertjapainya realisasi sifat kesatuan daripada Negara dan bangsa.
Lambang Negara ditetapkan oleh Pemerintah, dan menurut ketetapan ini “Bhinneka Tunggal Ika” adalah lambang Negara, satu sungguhpun berbeda-beda.
Negara Indonesia adalah satu, akan tetapi terdiri dari pulau-pulau jang amat banjak djumlahnja. Bangsa Indonesia adalah satu, akan tetapi terdiri atas suku-suku bangsa jang banjak djumlahnya.
Tiap-tiap pulau dan daerah, tiap-tiap suku bangsa mempunjai tjorak dan ragam sendiri-sendiri, beraneka warna bentuk-sifat daripada susunan keluarga dan masjarakatnja, adat-istiadatnja, kesusilaannja, kebudajaannja, hukum adatnja dan tingkat hidupnja
Golongan bangsa jang tidak asli terdiri atas golongan keturunan Tiong Hwa, keturunan Arab, keturunan Belanda dan golongan dari mereka jang berasal dari orang asing tulen. Lebih daripada jang terdapat dalam golongan bangsa Indonesia jang asli, diantara mereka ada perbedaan jang besar dalam segala sesuatu. Sedangkan disampingnja ada perbedaan pula dengan golongan bangsa Indonesia jang asli.
Kalau ditambahkan terdapatnya pelbagai agama dan kepertjaan hidup lainnya, maka makin mendjadi besar perbedaan jang terdapat di dalam masjarakat dan bangsa Indonesia. Jang demikian itu disamping daja penarik ke arah kerdja sama dan kesatuan menimbulkan djuga suasana dan kekuatan tolak-menolak, tentang-menentang, jang mungkin mengakibatkan perselisihan, akan tetapi mungkin pula, apabila dipenuhi hidup jang sewadjarnya, menjatukan diri dalam suatu resultan atau sintesa jang malahan memperkaja masjarakat.
Dalam kesadaran akan adanja perbedaan-perbedaan jang demikian itu, orang harus berpedoman kepada lambang Negara “Bhinneka Tunggal Ika”, menghidup-hidupkan perbedaan jang mempunjai daja penarik ke arah kerdja sama dan kesatuan, dan mengusahakan peniadaan serta pengurangan perbedaan jang mungkin mengakibatkan suasana dan kekuatan tolak-menolak ke arah perselisihan, pertikaian dan perpetjahan atas dasar kesadaran akan kebidjaksanaan dan nilai-nilai hidup jang sewadjarnya.
Lagipula dengan kesediaan, ketjakapan dan usaha untuk sedapat mungkin menurut pedoman-pedoman madjemuk-tunggal bagi pengertian kebangsaan, ialah menjatukan daerah, membangkitkan, memelihara dan memperkuat kehendak untuk bersatu dengan mempunjai satu sedjarah dan nasib, satu kebudajaan di dalam lingkungan hidup bersama dalam suatu Negara jang bersama-sama diselenggarakan dan diperkembangkan.
“Bhinneka Tunggal Ika” adalah merupakan suatu keseimbangan, suatu harmoni jang tentu akan berubah-ubah dalam bentuknja, akan tetapi akan tetap dalam dasarnja, antara kesatuan dan bagian-bagian dari kesatuan, dalam segala matjam hal tersebut di atas, dan djuga dalam hal susunan bentuk dan susunan pemerintahan Negara.
4. Asas “kerakjatan yang dipimpin oleh hikmat kebidjaksanaan dalam permusjawaratan/perwakilan” terdapat dalam Undang-undang Dasar 1945 dalam pasal 2 ajat (1) tentang terdirinja Madjelis Permusjawaratan Rakjat atas wakil-wakil rakjat, pasal 5 ajat (1) tentang kekuasaan Presiden membentuk Undang-undang dipegang dengan persetudjuan Dewan Perwakilan Rakjat, pasal 6 ajat (2) tentang Presiden dan Wakil Presiden dipilih oleh Madjelis Permusjawaratan Rakjat, Bab VII tentang Dewan Perwakilan Rakjat (pasal 19 sampai dengan 22). Pasal 18 tentang Pemerintah Daerah.
5. Asas “keadilan sosial bagi seluruh rakjat Indonesia” terdapat dalam Undang-undang Dasar 1945 dalam Bab IV tentang kesedjahteraan social, perintjiannja terdapat pertama dalam pasal 33 tentang hal susunan perekonomian atas dasar kekeluargaan, tentang tjabang-tjabang produksi jang penting bagi Negara, dan menguasai hadjat hidup orang banjak dikuasai oleh Negara tentang bumi dan air dan kekajaan alam jang terkandung di dalamnja dikuasai oleh Negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakjat; kedua dalam pasal 34 tentang fakir-miskin dan anak-anak jang terlantar dipelihara oleh Negara.
Dengan digantinya UUD 1945 dan dihilangkannya pokok-pokok pikiran tentang ke-Indonesia-an kita telah menghilangkan azas berbangsa dan bernegara jelas negara hari ini bukan Negara Indonesia yang di-Proklamasikan 17 Agustus 1945.
Perlu diingat, akhir-akhir ini kita mendengar elit politik, termasuk presiden yang menyatakan anti terhadap politik aliran.
Pernyataan seperti ini jelas anti terhadap histori kebangsaan dan sekaligus anti terhadap Bhineka Tunggal Ika.
Rupanya Bahtera Indonesia semakin jauh dari cita-cita kemerdekaannya. Visi Misi negara yang diuraikan dalam GBHN merupakan kompas penunjuk arah yang telah dibuang dan Indonesia hanya terapung-apung di Samudera tanpa penunjuk arah.
Sebab visi misi negara diganti dengan puluhan visi misi Presiden, Gubernur, Bupati, Walikota, bagaimana mungkin bangsa ini bisa menuju masyarakat yang adil dan makmur kalau daerah mempunyai visi misi-visi misi sendiri .
Bahtera Indonesia terobang-ambing karena kepentingan-kepentingan hawa nafsu partai politik sehingga lahir Oligarki.
Untuk menyelamatkan Bahtera Indonesia anak bangsa ini harus membangun kesadaran bersama kembali pada UUD 1945 dan Pancasila serta meluruskan kembali kompas kehidupan berbangsa dan bernegara, mengalunkan lagi orkestra keharmonisan Bhineka Tunggal Ika membangun persatuan menuju Indonesia tanpa Oligarki. (*)