OPINI

Tiga Dosa Tito

Oleh M.Rizal Fadillah | Pemerhati Politik dan Kebangsaan  Tito di sini adalah Tito Karnavian mantan Kapolri 2016-2019 yang sejak 2019 menjabat sebagai Menteri Dalam Negeri. Kini akan banyak Kepala Daerah yang habis masa jabatannya, maka banyak pula penjabat atau pejabat sementara baik itu Gubernur maupun Bupati/Walikota. Peran Mendagri sangat penting dalam menentukan dan mengisi formasi untuk penjabat tersebut.  Jenderal (Purn) Tito Karnavian mencuat namanya dihubungkan dengan kasus terbunuhnya Brigadir J yang berkaitan dengan status tersangka Irjen Pol Ferdy Sambo yang di samping Kadiv Propam juga sebagai Kepala Satgassus sebuah lembaga nonstruktural yang dibentuk oleh Kapolri Jenderal Tito Karnavian.  Bacaan itu adalah tentang tiga dosa politik Pak Jenderal, yaitu : Pertama, pembentukan Satgassus Merah Putih yang ternyata menjadi semacam lembaga kerja mafia di tubuh Polri. Apakah kondisi saat ini adalah penyimpangan dari misi awal atau memang sejak pembentukan ditujukan untuk pekerjaan yang remang-remang bahkan hitam ? Faktanya kini Satgassus telah sukses menciptakan \"monster\" yang ahli rekayasa alias sandiwara dan jago dalam menebar kekerasan di lingkungan maupun di luar Kepolisian.  Kedua, membangun konsepsi \"Democratic Policing\" dengan maksud Polisi yang berperan aktif dalam kehidupan demokrasi termasuk melakukan demokratisasi. Dalam prakteknya Polisi justru berperan dan merambah kemana-mana. Akibatnya civil society dan demokrasi menjadi terancam. Polisi sebagai \"gurdian of the state\" menjadi kekuatan pemaksa yang \"out of the order\". Ia dominan mengatur diri dan orang lain. TNI pun ikut tersisihkan.  Ketiga, melakukan pelanggaran HAM atas tewas sekurangnya 9 pengunjuk rasa di depan Bawaslu tanggal 21-22 Mei 2019. Sebelumnya pihak Kepolisian juga tidak melakukan pengusutan atas tewasnya 894 petugas Pemilu dan 5-11 ribu petugas mengalami sakit. Kejanggalan ini harus diterima begitu saja oleh rakyat Indonesia dengan alasan petugas meninggal karena \"kelelahan\". Betapa enteng memperlakukan nyawa manusia.  Esok Pak Tito bersama Presiden akan menjadi penentu dalam menunjuk penjabat Gubernur, Bupati dan Walikota tanpa proses pemilihan demokratis. Kedaulatan rakyat tercerabut dari akarnya dengan alasan \"sementara\" saja hingga 2024. 101 Kepala Daerah habis tahun 2022 dan 170 Kepala Daerah tahun 2023. Dengan Kepala Daerah penunjukan seperti ini maka mereka akan mudah diarahkan dan dikendalikan sesuai kemauan Presiden dan Mendagri yang merepresentasi Pemerintah Pusat. Termasuk untuk mengawal \"pembenaran\" Pemilu yang dapat saja dilaksanakan dengan curang.  Jenderal (Purn) Tito Karnavian harus ikut mempertanggungjawabkan dosa politik yang dilakukannya. Kecuali bahwa semua itu didalihkan atas \"perintah\" atau \"petunjuk\" Presiden.  Jika demikian, maka Presiden lah yang menjadi penanggungjawab utama.  Bandung, 15 Agustus 2022

Mengapa Joshua Dibunuh, Dia “Tahu Banyak dan Banyak Tahu”?

Sebagai Penasehat Satgassus Merah Putih, karena jabatannya sebagai Kapolri, sangatlah tepat Jenderal Listyo Sigit Prabowo membubarkan Satgassus Merah Putih tersebut. Oleh: Mochamad Toha, Wartawan Forum News Network (FNN) AKHIRNYA Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo membubarkan Satuan Tugas Khusus (Satgassus) Merah Putih yang sebelumnya dipimpin oleh Irjen Ferdy Sambo, mantan Kadiv Propam Polri yang telah ditetapkan sebagai tersangka pembunuhan Brigadir Joshua di rumah dinas Duren Tiga 46 Jakarta Selatan. “Bapak Kapolri sudah menghentikan Satgassus Polri, artinya sudah tidak ada lagi Satgassus Polri,“ ujar Kadiv Humas Polri Irjen Dedi Prasetyo, dalam jumpa pers, Kamis (11/8/2022). Sekadar diketahui, Satgassus Merah Putih dipimpin oleh Irjen Ferdy Sambo. Tim ini awalnya dibentuk oleh mantan Kapolri Jenderal Tito Karnavian untuk meredam “Aksi 411” pada 4 November 2016 yang memprotes ucapan Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok yang dianggap menghina agama Islam. Polisi menyiagakan 7.000 personel untuk mengamankan aksi protes. Pasukan TNI dikerahkan untuk menjaga kawasan Pecinan di Jakarta Barat. Sebagian warga Tionghoa khawatir aksi 4 November 2016 berakhir seperti kerusuhan 1998. Sejumlah gereja juga dijaga ketat oleh aparat keamanan. Namun, semua kekhawatiran itu tidak terjadi. Aksi massa berakhir damai, meski setelah acara terjadi insiden akibat provokasi kelompok kecil beratribut “HMI”. Tapi, secara keseluruhan, aksi massa berlangsung damai.   Dua pekan setelah Aksi 411, Ahok yang menjabat Gubernur DKI Jakarta non aktif telah ditetapkan polisi sebagai tersangka penistaan agama. Tak berhenti sampai di sini. Aksi massa pun berlanjut pada Jum’at, 2 Desember 2016 yang dikenal dengan sebutan “Aksi 212”. Aksi 2 Desember atau yang disebut juga Aksi 212 dan Aksi Bela Islam III yang jatuh pada hari Jum’at itu, dihadiri oleh Presiden Joko Widodo, Panglima TNI Jenderal Gatot Nurmantyo dan pejabat tinggi lainnya, berlangsung damai juga tanpa ada kericuhan berarti. Selesaikah misi Satgassus Merah Putih seiring dengan selesainya “Aksi 212” itu? Ternyata tidak. Satgassus Merah Putih dibentuk untuk melaksanakan Tugas Kepolisian di Bidang Penyelidikan dan Penyidikan. Dasar Hukum UU Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Indonesia; UU Nomor 8 Tahun 1981 tentang KUHP, UU Nomor 5 Tahun 1997 tentang Psikotropika; UU Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika, UU Nomor 31 Tahun 1999 tentang Tipikor, UU Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencucian Uang, dan UU Nomor 19 Tahun 2016 tentang ITE. Demikian yang tertuang dalam Sprin nomor Sprin/681/III/HUK.6.6/2019 tertanggal 6 Maret 2019. Satgasus Merah Putih ini merupakan jabatan Non Stuktural di Kepolisian. Khusus untuk Satgasus Merah Putih, satuan tugas ini pertama kali dibentuk pada 2019, oleh Kapolri saat itu Jenderal Tito Karnavian. Jabatan Kasatgasus Merah Putih pertama kali diemban Kabareskrim era Tito, Komjen Idham Azis. Sementara Ferdy Sambo ketika itu menjadi Koorspripim Polri ditugaskan sebagai Sekretaris Satgasus. Ketika itu, Ferdy Sambo masih berpangkat Kombes. Satgassus Merah Putih sempat membongkar sejumlah kasus besar dan mayoritas narkotika. Tahun 2017, Satgassus membongkar penyelundupan 1 ton sabu di bekas bangunan Hotel Mandalika, Anyer, Serang, Banten. Ketika itu tim yang terlibat membongkar kasus tersebut diantaranya Kombes Nico Afinta dan Kombes Herry Heryawan. Nico Afinta saat ini menjadi Kapolda Jawa Timur dengan pangkat Irjen. Sedangkan Herry Heryawan saat ini berpangkat Brigjen dan menjabat sebagai Dirsidik Detasemen Khusus 88 Antiteror Polri. Setelah Jenderal Idham Azis menjabat Kapolri, jabatan Kasatgassus kemudian diserahkan kepada Brigjen Pol Ferdy Sambo sejak 20 Mei 2020. Dia mendapat amanah sesuai dengan Sprin/1246/V/HUK.6.6/2020. Saat itu, Brigjen Ferdy Sambo masih mengisi posisi sebagai Direktur Tindak Pidana Umum Bareskrim Polri. Sosok yang menjabat Sekretaris Satgasus adalah AKBP Dedy Murti Haryadi dan pada saat itu menjabat Pjs Koorspripim Polri. Melansir Tribun-Timur.com, Brigadir Joshua juga menjadi anggota Satgassus pada saat itu dan pangkatnya masih Briptu. Sprin Satgassus 2022 seperti diungkap Amnesty International Indonesia terbit pada 1 Juli 2022, Sprin/1583/VII/HUK.6.6./2022. Secara Struktural Polri sudah mempunyai Satuan Tugas tersebut dan diketahui Presiden. Pertanyaannya, mengapa Polri masih membentuk Satgassus Non Struktural? Apakah Presiden mengetahui adanya Satgassus Non Struktural? Jika Presiden tak tahu, maka jelas para Elit Polisi ini bermain di belakang Presiden. Padahal, secara Struktural Polri sudah mempunyai Satgas itu dan diketahui Presiden. Dalam Sprin/1246/V/HUK.6.6/2020 pada 20 Mei 2020, Ferdy Sambo sudah menjadi Kasatgassus (daftar nomor 16). Pada saat itu Brigadir Joshua juga menjadi Anggota Satgassus Merah Putih (nomor 41). Sementara para Pembunuh KM 50 dalam kasus pembunuhan 6 laskar Front Pembela Islam (FPI) di Jalan Tol Jakarta-Cikampek KM 50 pada akhir 2020 itu ada di dalam daftar anggota Satgassus, diantaranya: Almarhum Ipda Elwira Priadi Zendrato (No. 282), Ipda M Yusmin Ohorella (No. 283), Briptu Fikri Ramadhan Tawainella (No. 287). Dan nama lain yang terlibat di antaranya: Kompol Handik Zusen (No. 273) dan Bripka Guntur Pamungkas (No. 285). Malansir Tribunnews.com, Handik Zusen disebut-sebut sebagai komandan pengejaran Laskar FPI, dan pengemudi mobil Toyota Avanza berwarna hitam dengan nopol B 1392 TWQ adalah Guntur Pamungkas. “Mereka juga menjadi bagian dari Satgassus Merah Putih, jadi jangan heran jika para Pelaku Pembunuhan KM 50 ini bisa bebas dari jerat Hukum. Lalu bagaimana dengan Pembunuh Brigadir Joshua?” tulis Opposite6890. Mungkinkah Brigadir Joshua dibunuh karena “banyak tahu dan tahu banyak” perihal aktivitas Satgassus Merah Putih, terutama Ferdy Sambo. Sehingga diduga, ada “kesepakatan” diantara anggota Satgassus untuk membungkam mulut Joshua selamanya? Apalagi, tudingan pelecehan terhadap istri Ferdy Sambo Ny. Putri Chandrawati yang sebelumnya selalu dinarasikan pihak polisi, sekarang ini justru dianulir, sehingga penyidikannya dihentikan (SP3). Karena tidak ada pelecehan! Dari sini saja sudah bisa dicari alasan pembunuhan Joshua. Apalagi, sebelum terjadi pembunuhan, sudah ada petunjuk adanya ancaman terhadap Joshua, seperti diungkapkan pengacara keluarganya, Kamaruddin Simanjuntak. Sebagai Penasehat Satgassus Merah Putih, karena jabatannya sebagai Kapolri, sangatlah tepat Jenderal Listyo Sigit Prabowo membubarkan Satgassus Merah Putih tersebut. Perlu dicatat, waktu pertama kali dibentuk Jenderal Tito Karnavian, sebagai Kapolri, Tito otomatis menjadi Penasehat Satgassus Merah Putih. Demikian pula Jenderal Idham Azis dan Jenderal Listyo Sigit Prabowo begitu menjabat Kapolri, otomatis Kapolri menjadi Penasehat Satgassus Merah Putih. Pembubaran Satgassus Merah Putih yang anggotanya diperkirakan lebih dari 300 polisi dari pangkat perwira tinggi, perwira menengah, dan bintara, hingga tamtama itu, patut diapresiasi. Kapolri telah mengambil pilihan tepat! (*)

Bersihkan Dulu Tubuh Polri, Baru Bicara Isu Radikalisme di Dunia Pendidikan

Saat ini Polri baru disorot atas kebobrokannya di level puncak terkait dengan pembunuhan Brigadir Joshua yang melibatkan Kadiv Propam Irjen Ferdy Sambo sebagai dalangnya. Oleh: Pierre Suteki, Dosen Universitas Online (Uniol) 4.0 Diponorogo DI tengah isu hangat pembunuhan berencana terhadap Brigadir Joshua oleh “polisinya polisi”, yakni Kadiv Propam Mabes Polri Irjen Ferdy Sambo, Divisi Humas Polri melalui akun FB melansir sebuah pemberitaan terkait dengan pernyataan Wakapolri yang bertitel: “Waspadai Paham Terorisme Masuk Dunia Pendidikan”. Disebutkan bahwa Wakapolri Komjen Pol. Prof. Dr. Gatot Eddy Pramono, MSi, menegaskan, memasuki tahun ajaran baru, di dunia pendidikan, khususnya tingkat perguruan tinggi harus meningkatkan kewaspadaan terhadap paham dan gerakan. Khususnya yang ditujukan untuk menggulingkan pemerintahan yang sah dengan legitimasi didasarkan pada pemahaman agama yang salah. Paham dan gerakan tersebut antara lain intoleransi, radikalisme, ekstremisme, dan terorisme. Lebih lanjut ditampilkan data bahwa berdasarkan Global Terrorism Index 2022 menyebutkan sepanjang 2021, terdapat 5.226 aksi terorisme di seluruh dunia, korban dunia mencapai 7.141 jiwa. Ada satu hal yang saya perlu dicermati. Yakni pernyataan Wakapolri yang menuturkan, data yang dimiliki Densus 88 Antiteror Polri, terkait tingginya aksi dan penangkapan terorisme menunjukkan penyebaran paham maupun gerakan radikalisme dan intoleransi yang menyasar kalangan anak-anak muda hingga masuk ke wilayah pendidikan. Lalu dinyatakannya: “Tidak sedikit dari jumlah tersebut adalah anak-anak, perempuan, dan golongan usia renta; hal ini menunjukkan bahwa terorisme adalah kejahatan terhadap kemanusiaan, bukan gerakan keagamaan,” kata Wakapolri dalam keterangan tertulisnya, Jumat (12/8). Atas pernyataan ini saya berpendapat, sebenarnya data Densus ini terkait dengan pelaku teror. Jadi pelaku teror itu ada anak-anak, perempuan, dan golongan usia renta sehingga disimpulkan bahwa terorisme adalah kejahatan terhadap kemanusiaan, bukan gerakan keagamaan. Apakah simpulan ini dapat diterima dan lalu tepat dihubungkan dengan dunia pendidikan? Jika alurnya demikian, maka ending-nya dapat dipastikan pada usulan terkait dengan regulasi pencegahan dan pemberantasan radikalisme – yang sering dianggap sebagai pangkal terorisme – dalam dunia pendidikan, khususnya perguruan tinggi yang selama ini regulasinya dianggap kurang mencukupi. Terkait dengan masalah regulasi radikalisme di kampus, saya ingatkan bahwa pemberitaan yang diusung oleh Antara NTB tanggal 4 Juni 2022 mengusung warta dengan titel “Akademisi sebut perlu regulasi tanggulangi radikalisme di kampus”. Akademisi Universitas Jenderal Soedirman (Unsoed) Weda Kupita menilai perlu adanya regulasi yang mampu menindak tegas oknum atau individu yang menyebarkan paham radikal dan terorisme di kampus. “Karena regulasi yang sekarang sudah ada seperti yang saya sampaikan tadi bahwa belum bisa memenuhi sebagai suatu standar untuk penanggulangan paham-paham radikal tadi itu, jadi belum ada regulasinya,” lanjut Dosen Fakultas Hukum Universitas Jenderal Soedirman (Unsoed) itu dalam siaran pers Pusat Media Damai Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (PMD BNPT). Menurut Weda, hal ini terkait dengan terbatasnya ruang gerak aparat penegak hukum dalam rangka menertibkan oknum penyebar narasi radikal terutama di lingkungan kampus. Menurut saya, regulasi untuk menanggulangi radikalisme di kampus tidak perlu, karena memang kampus itu harus RADIKAL. Radikalisme kampus atau radikalisme di kampus itu hanya propaganda yang bertujuan untuk membungkam sikap kritis civitas akademika. Regulasi justru akan semakin membuat kampus menjadi menara gading yang makin jauh dari kemanfaatannya bagi masyarakatnya. Terfokus pada soal radikal-radikul yang nomenklaturnya saja masih obscure dan lentur. Bukan narasi atau nomenklatur hukum melainkan politik. Semua Perguruan Tinggi itu sebenarnya sudah mempunyai perangkat untuk mendeteksi kegiatan mahasiswa, apakah itu di organisasi mahasiswa (BEM, SENAT, UKM dll). Pegawai pun bisa dipantau lewat Kabag, Wadek, dekan hingga para Wakil Rektor, Senat Unive dan puluhan kelembagaan struktural lainnya. Perangkat aturannya juga sudah ada, mulai dari Peraturan akademik, Kode Etik dll. Semua memang tergantung bagaimana atmosfer kampus. Jika kampus diwarnai dengan perwujudan nilai kebenaran dan keadilan, saya yakin warga kampus tidak akan aneh-aneh apalagi melakukan perbuatan radikal peyoratif (merusak, mengancam, kekerasan). Untuk membuat regulasi tentang RADIKALISME, harus dipenuhi tata cara pembentukan per-UU sebagaimana diatur dlm UU No. 12 Tahun 2011 jo perubahannya dgn UU No. 15 Tahun 2019. Formulasinya harus memenuhi unsur-unsur kepastian hukum dan pembicaraannya harus benar-benar komprehensif serta melibatkan seluruh elemen bangsa. Tidak boleh gegabah, apalagi hanya dibuat PERPPU. Menurut hemat saya bahwa usulan tentang RUU anti Radikalisme terlalu dini, mengingat urgensinya yang terkesan terlalu diada-adakan dan potensi untuk mengarah pada munculnya orde represif layaknya penggunaan UU Subversi sebagaimana terjadi pada era orde baru sangat besar sekali. Sebagaimana diketahui bahwa radikalisme selama ini cenderung menyerang Islam saja. Definisinya masih lentur dan \'obscure\' terjun bebas diarahkan untuk memukul dakwah Islam, terlebih lagi terhadap dakwah khilafah ajaran Islam yang seringkali diidentikkan dengan ISIS. Seperti yang kita ketahui, bahwa ISIS mengklaim sebagai Khilafah, padahal ISIS tidak memenuhi syarat disebut sebagai Khilafah yang sesuai metode kenabian. Banyak kejadian teror yang mengklaim pelaku adalah dari ISIS, hal ini juga membuktikan bahwa dakwah mereka tidak ahsan bil ma\'ruf dan mengikuti tuntunan Nabi Saw. Yang perlu disayangkan adalah bahwa tuduhan terorisme dan radikalisme dipukul rata kepada umat Islam, lebih-lebih umat Islam yang mendakwahkan Islam kaffah dan khilafah sebagaimana telah disinggung di muka. Atas dasar pemikiran di muka, RUU anti radikalisme bisa diprediksikan akan menjadi alat pukul dakwah Islam yang bisa mengenai siapa saja, karena definisi radikalisme masih tidak jelas dan tidak akan jelas. Sebaiknya jangan terlalu dini menggagas RUU anti radikalisme, karena memungkinkan akan merugikan umat Islam dan ajaran Islam yang selama ini mendapatkan tudingan radikalisme. Saat ini Polri baru disorot atas kebobrokannya di level puncak terkait dengan pembunuhan Brigadir Joshua yang melibatkan Kadiv Propam Irjen Ferdy Sambo sebagai dalangnya. Saya kira lebih baik bersihkan dulu tubuh Polri, baru bicara soal lainnya, Pak. Malu kita! Kita masih menanti “pemberantasan terorisme” di Papua. Itu lebih dahulukan. Mereka teroris, separatis, kriminalis yang sudah pasti membahayakan NKRI. Dunia Pendidikan memang harus radikal, ramah, terdidik dan berakal! Tabik..! Semarang, Ahad: 14 Agustus 2022. (*)

Satgassus Bubar

Oleh M. Rizal Fadillah | Pemerhati Politik dan Kebangsaan  AKHIRNYA Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo membubarkan Satgassus Merah Putih yang dikomandani Irjen Pol Ferdy Sambo. Lembaga non-struktural buatan Mantan Kapolri Jenderal (Purn) Tito Karnavian ini disorot atas kerjanya yang berbau mafia. Menangani dunia remang-remang atau abu-abu. Judi, narkoba, cuci uang, korupsi, ITE dan lainnya yang diduga menjadi sumber pendapatan gelap Polri.  Banyak pihak memuji langkah Kapolri meskipun pembubaran sebelum terjadi pengusutan dan \"audit\" disayangkan juga. Khawatir ada penghapusan jejak dari kerja hitamnya. Anggota berlarian untuk siap-siap cuci tangan atas berbagai kasus. Satgassus ini beroperasi bukan hanya dalam kaitan penanganan tetapi juga penyelamatan. Mampu membuat naskah dan melaksanakan pementasan sandiwara untuk berbagai lakon. Di antara lakonnya adalah pembunuhan keji Km 50.  Keanggotaan beragam pangkat berjumlah lebih dari 300 an yang memainkan aktivitas \"mabes dalam mabes\". Ferdy Sambo menjadi Godfather berbaju formal Kadiv Propam \"penjaga citra institusi\" dan \"benteng terakhir penegak keadilan\". Bubarnya Satgassus dan menjadi tersangkanya sang komandan tentu berimplikasi bagi penataan institusi ke depan maupun penanganan hasil kerja hitam Satgassus. Termasuk dalam mengelola bunker \"harta karun\". Implikasi pembenahan institusi adalah bagaimana Polisi kembali ke habitatnya sebagai pelayan masyarakat. Bersama masyarakat sipil menjaga ketertiban dan kerukunan. Bukan saling menegasi atau berbasa basi dalam komunikasi. Mengubah pencitraan negatif sebagai lembaga yang gemar melakukan kekerasan dan rekayasa. Duren Tiga dan Km 50 adalah pelajaran berharga.  Dari sisi pengelolaan hasil kerja maka relasi-relasi hitam tentu tidak akan tinggal diam. Mereka akan berkonfigurasi, mencari posisi, atau lebih liar dalam bermain dan tanpa rasa takut. Bubarnya Satgassus menciptakan keleluasaan atau konsolidasi baru mafioso. Terhadap \"harta karun\" yang ditinggalkan jika tidak arif dan tegas dalam kembali ke garis fungsi Kepolisian, maka akan terjadi perebutan brutal dan tajam di dalam.  Budaya kekerasan dan rekayasa harus segera ditinggalkan. Kasus kriminal Duren Tiga tidak boleh diambangkan. Penuntasan adalah tuntutan publik. Kemudian ambil langkah-langkah pemulihan. Hutang penuntasan kasus-kasus yang ditutup segera bayar dan lunasi. Ini momentum bagi Kepolisian untuk kembali ke jati diri. Menjadi institusi yang kembali dibanggakan anak negeri. Bukan seperti  saat ini yang dibenci dan dicaci maki.  Satgassus bubar semoga menjadi berkah bukan menambah masalah. Pak Kapolri penting untuk dikawal dalam menjaga konsistensi dan mempertahankan prestasi. Jangan biarkan muncul Sambo-Sambo baru pasca bubarnya Satgassus Merah Putih yang sebenarnya nyata berwarna merah dan hitam atau pelangi LGBT. Layanan Gertak Berujung Tembak, dooor.. Bandung, 14 Agustus 2022

Jadikan Kasus Sambo untuk Bersih-bersih Polri

Oleh: Gde Siriana Yusuf, Direktur Eksekutif Indonesia Future Studies (Infus)  Saya amati banyak tuntutan masyarakat kepada POLRI, sejak terungkapnya rekayasa dalam peristiwa pembuhanan Brigadir Joshua di rumah dinas petinggi Petingi POLRI. Publik tidak saja menuntut diungkapnya kronologi peristiwa dan motif pelaku yang sebenarnya, tetapi juga menuntut dipecatnya para anggota POLRI yang terlibat, termasuk tuntutan mundur pada anggota Kompolnas yang dianggap ikut melindungi kejahatan. Tidak berhenti di situ, publik juga menuntut dilakukan audit terhadap operasi2 dan aktivitas Satgassus meski sudah dibubarkan Kapolri.  Kekuatan publik, dalam hal ini media sosial dan media mainstream yang masih kritis, sepertinya menyadari bahwa persoalan utama dalam peristiwa Duren3 bukanlah persoalan pribadi pejabat tinggi POLRI semata, melainkan ada persoalan institusi POLRI yang selama ini didiamkan dan pelan tapi pasti menghancurkan institusi POLRI. Hal itu terlihat dari respon negatif publik terhadap statement2 penyidik atau Humas POLRI serta pihak manapun yang terkesan berupaya melokalisir persoalan Duren3 pada persoalan perilaku Irjen Sambo semata, bukan perilaku institusi. Presiden Jokowi dan Mahfud MD harus nenyadari suara publik yang melihat kasus Duren3 dari perspektif yang lain, bahwa telah terjadi institusi negara dijadikan alat melakukan dan menutupi kejahatan besar.  Perspektif masyarakat yang homogen dalam melihat kasus Duren3 juga telah menyatukan akar rumput yang selama ini terbelah sebagai Cebong dan Kadrun, untuk bersama-sama melawan kejahatan kemanusiaan, yang sebelumnya tidak terlihat pada kasus KM50. Ini dapat dikatakan sebagai \"people power\", kehendak rakyat yang maha dahsyat, menembus dinding-dinding perbedaan di masyarakat, menjadi skandal Duren3 sebagai pembicaraan umum semua umur hingga pelosok desa tanpa mengenal waktu. Dan muara dari berbagai pikiran dan pandangan, keluhan dan penderitaan masyarakat selama ini adalah harus dilakukan Reformasi POLRI. Presiden Jokowi dan Mahfud MD harus mampu menangkap aspirasi publik terhadap POLRI. Jangan remehkan kekuatan publik yang kali ini bersuara maha dahsyat, tidak lagi dapat dibendung. Semua yang selama ini ikut melindungi perilaku buruk anggota POLRI diam, gentar menghadapi gelombang besar publik yang mampu memaksa Presiden Jokowi bicara dan memerintahkan Kapolri mengungkap skandal Duren3. Tanpa gelombang besar publik, dan perintah presiden Jokowi, niscaya skandal Duren3 bak \"dark number\" seperti disampaikan Mahfud MD. Kapolri Sigit pun sesungguhnya memiliki momentum untuk mencatatkan namanya dalam sejarah POLRI setara dengan Pak Hoegeng, bilamana mau dan mampu melakukan reformasi POLRI. Keterlambatan laporan kepada publik selama 3 hari dari peristiwa terjadi, yang sesungguhnya di situ ada tanggung jawab Kapolri dalam rantai komando yang tidak berjalan, tidak cukup dibayar dengan mutasi-mutasi personil POLRI dan pembubaran Satgassus. Publik menuntut lebih demi Indonesia lebih baik. Jika reformasi 98 menuntut reformasi TNI, maka kali ini Reformasi POLRI menjadi spirit gelombang reformasi Jilid 2. ***

Hukum Jaga Perasaan

Jangan sampai ada sakwasangka masyarakat bahwa FS mendapatkan fasilitas istimewa di rutan Mako Brimob. Apalagi, jenderal sekelas FS ketika menjabat Kadiv Propam Polri ditengarai cukup “loyal dan royal” kepada institusi Polri. Oleh: Sutoyo Abadi, Koordinator Kajian Politik Merah Putih AGENDA proses transformasi Presisi Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo dalam perjalanannya muncul ujian yang cukup berat. Itulah yang dihadapi Jenderal Listyo Sigit hari-hari ini. Sebab, dalam proses implementasinya terdapat kendala/permasalahan besar yang muncul dalam tubuh Polri dengan adanya kasus Irjen Ferdy Sambo (FS) ini terasa akan menjadi sangat relevan untuk menelisik keterandalan konsep Presisi Polri tersebut. Sangat mungkin Kapolri tidak pernah membayangkan akan ada kejadian yang memalukan institusi Kepolisian, terutama dengan munculnya kasus FS yang penuh rekayasa hendak ditutup-tutupi dan yang kini semakin terbuka lebar, dalam kasus kematian Brigadir Nofriansyah Yosua Hutabarat? Paska penetapan FS sebagai tersangka ketegangan masyarakat sedikit mereda. Tapi, tiba-tiba muncul statement Kabareskrim Polri Komjen Agus Andrianto yang enggan mengungkapkan terkait motif pembunuhan Brigadir Nopryansah Yosua Hutabarat alias Brigadir J di rumdin FS Duren Tiga 46 Jakarta Selatan, Jum’at (8/7/2022). Komjen Agus mengatakan, tidak maunya membeberkan motif tersebut untuk menjaga perasaan semua pihak yang terkait dalam kasus FS. “Untuk menjaga perasaan semua pihak, biarlah jadi konsumsi penyidik,” katanya dikonfirmasi wartawan, Kamis (11/8/2022). Alasan itu bisa dipahami, karena semua hal yang masih menjadi pertanyaan publik, sebab prosesnya masih berjalan, itu akan terungkap saat nanti dalam proses di persidangan. Dalam kondisi masyarakat masih trauma, resah, gerah, hampir menyerah akibat informasi yang selama ini diputar-balik. Kalimat jaga perasaan tidak tepat dan tidak perlu dimunculkan karena bisa dan akan menimbulkan bias prasangka baru. Bahwa Presiden Joko Widodo sudah meminta dibuka seterang-terangnya, bisa dimaknai kasus ini jangan dibawa ke ranah perasaan. Karena dugaan kuatnya akan melibatkan banyak pihak. Bisa juga dimaknai semua harus terbuka saat proses persidangan di pengadilan. Perlu dicatat, yang namanya hukum itu tak mengenal perasaan-asumsi atau hanya dugaan, hukum hanya mengenal bukti dan fakta. Pihak terkait cukup speak up secara bertanggung jawab, bicara dengan data dan fakta. Rakyat hanya ingin Presisi Polri berjalan dengan baik, Polri benar-benar bersih dari criminals in uniform (bandit-bandit berseragam). Maka masyarakat akan tetap memantau jalannya penyelesaian perkara FS ini dengan terus-menerus sehingga perkaranya bisa menjadi terang, tidak ada lagi rekayasa, dan siapa pun yang salah harus diadili dan dihukum, bukan untuk dilindungi. Muncul sakwasangka baru di masyarakat terkait dengan kasus FS, jangan-jangan pihak penegak hukum juga tidak mau menyeret pihak lainnya yang diduga terlibat karena untuk menjaga perasan. Berkembang bias praduganya apabila kasus ini muncul di pengadilan yang penuh tekanan dan pesanan bahwa kasus FS cukup menimpa dan berhenti sampai FS saja. Lainnya harus kembali ditutup kalau akan melebar ke mana- mana bahkan mungkin akan menyeret para petinggi negara. Permintaan Presiden untuk dibuka seterang-terangnya akan digulung lagi oleh dagelan rekayasa para bandit hukum demi menjaga perasaan semua pihak yang diduga juga terlibat, selamat dari sentuhan hukum. Dengan alasan menjaga perasaan, untuk kasus FS bisa saja dengan alasan situasi yang tak terduga seperti ada dalam Pasal 49 KUHP tentang Perbuatan Pembelaan Darurat atau Pembelaan Terpaksa (Noodweer), FS akhirnya bebas kembali. Dia bisa bebas seperti “terdakwa” dalam kasus KM 50 Tol Jakarta-Cikampek. Apalagi, sampai detik ini tanda pangkatnya masih utuh melekat pada dirinya. Apapun, FS masih bebas komunikasi dengan kolega atau anak buahnya yang  setia kepadanya. Dan, tetap bisa memberikan instruksi kepada mereka. Betapa kuatnya pengaruh FS ini bisa dilihat dari tempat penahanannya. Fakta bahwa paska ditetapkan sebagai tersangka pembunuh Brigadir J, FS langsung “diamankan” di rutan Mako Brimob Kelapa Dua, Depok, Jawa Barat. Mengapa harus ditahan di Mako Brimob? Bukankah dia pembunuh Brigadir J, seorang Bhayangkara Negara yang bertugas menjadi Ajudan? Mengapa tidak ditahan di rutan Mabes Polri seperti Irjen Napoleon Bonaparte saja? Jangan sampai ada sakwasangka masyarakat bahwa FS mendapatkan fasilitas istimewa di rutan Mako Brimob. Apalagi, jenderal sekelas FS ketika menjabat Kadiv Propam Polri ditengarai cukup “loyal dan royal” kepada institusi Polri. Semoga sakwasangka masyarakat tidak terbukti dan tidak terjadi. Hanya saja kalau itu terjadi kredibilitas Polri akan makin ambyar. (*)

Mengharap Rekognisi

Kehidupan warga menjadi kacau. Dan semua ini terjadi karena tendensi egoisitk manusia yang ingin mendapatkan pengakuan itu. Sesuatu yang sebenarnya sah-sah saja jika itu pada porsi dan tempatnya. Oleh: Shamsi Ali, NYCHHC. Chaplain KEINGINAN untuk diakui (being recognized) itu biasa dan wajar saja. Semua manusia punya tendensi egoisitk. Bahkan terkadang diselimuti oleh kepura-puraan tidak mau pengakuan. Tapi kepura-puraan itu pun tidak bisa menyembunyikan tabiat alami manusia yang punya dorongan “اناني” (keakuan) itu. Yang tidak wajar kemudian adalah ketika keinginan diakui itu tidak seimbang bahkan tidak pada kapasitas diri seseorang. Islam mengakui ini ketika Al-Quran menggariskan: قل كل يعمل علي شاكلته. (Hendaknya setiap diantara kalian bekerja sesuai skill (keahlian) masing-masing). Bahkan Al-Quran lebih jauh menyebutkan bahwa manusia diciptakan dan dikarunia kapasitas (kemampuan) sesuai qadarnya masing-masing. “Maha Suci Tuhanmu Yang Maha Agung. Yang telah mencipta dan membentuk. Dan Yang telah memutuskan dan menunjuki” (Surah Al-A’laa). Ayat Al-Quran di atas menegaskan bahwa antara penciptaan (khalaqa), bentukan (sawwa), kapasitas (Qaddara) dan keahlian (hadaa) itu saling terkait. Allah yang mencipta, Allah pula yang membentuk apa dan bagaimana seorang hamba. Lalu Allah yang menentukan keadaan, Allah juga yang memudahkan keahlian hambaNya. Seseorang yang dorongan keakuannya besar, apalagi jika dorongan itu lebih dibesarkan lagi oleh kompetisi atau persaingan, kerap tertipu dan terjadi pemaksaan diri secara berlebihan. Realita seperti ini kerap terjadi dalam kehidupan masyarakat yang berujung pada drama kehidupan yang menggelikan. Konon di sebuah kampung nun jauh di seberang sana, hidup seorang tamatan madrasah, hafal Quran, telah kenamatkan enam buku hadits yang paling mu’tamad (terpercaya), bahkan diakui oleh warga dengan keahliannya di bidang fiqh dan agama. Di kampung itu juga ada seorang pekerja kebun yang rajin, bahkan ahli perkebunan. Pekerja kebun ini selain ahli, juga penuh dedikasi dalam mengembangkan kebunnya. Sehingga oleh sebagian diakui sebagai ahli pada bidangnya. Di suatu masa terjadi musim kemarau. Kebun-kebun pada kekeringan. Petani-petani di kampung itu, termasuk petani tadi, turun pamornya karena dinilai tidak lagi kelihatan kehebatannya di tengah-tengah warga. Di satu sisi, karena kebanyakan petani memiliki waktu lowong, masjid menjadi lebih ramai. Jamaah lebih besar dan peserta kajian juga semakin bertambah. Pengakuan pada Kyai kampung itu juga semakin bertambah. Petani yang hebat di kampung itu yang tadinya aktif di mesjid, bahkan jadi pengurus dan aktivis masjid, mulai dimainkan oleh sebuah perasaan lain. Dia yang tadinya diakui (recognized) kini lambat laun dilihat biasa saja oleh warga sekitar. Dia pun merencanakan sesuatu yang awalnya dianggap baik-baik saja. Sekali-sekali mengundang tetangga BBQ-an di kebun belakang rumah. Tentu saja diselingi sholat berjamaah di rumahnya. Dan sekali-sekali ada kultum. Tapi semua itu berakhir dengan membentuk jamaah dan kelompok pengajian sendiri. Tidak tanggung-tanggung demi pengakuan “heroisme” dan ketokohan sang tukang kebun itu bahkan mendeklarasikan diri sebagai “spiritual leader” dan “Imam” bagi jamaah dan kelompok pengajian BBQ-an itu. Pada sisi lain jamaah masjid di kampung itu mulai resah. Sebagian kecil bersimpati dan menjadi pengikut spiritual leader dan imam dadakan itu. Sebagian besar yang lain mendongkol, kecewa bahkan marah pada perilaku tukang kebun itu. Tanpa terasa warga kampung pun retak, bahkan saling mengucilkan. Waktu berlalu, situasi pun berubah. Musim hujan tiba, kebun pun menjadi makmur. Warga di kampung itu kembali memuji sang pekerja kebun dengan keahliannya. Sang Ustadz pun tergiur. Dia terjun ke kebun bertani.  Sang Ustadz tidak lagi peduli dengan tangggung jawabnya. Tapi juga gagal total berkebun karena bukan keahliannya. Hanya untuk sebuah rekognisi sesaat dari warga sekitar. Kehidupan warga menjadi kacau. Dan semua ini terjadi karena tendensi egoisitk manusia yang ingin mendapatkan pengakuan itu. Sesuatu yang sebenarnya sah-sah saja jika itu pada porsi dan tempatnya. Tapi jika itu dipaksakan maka tunggu akibat buruk yang akan terjadi. Apalagi kalau yang melandasi semua itu adalah sakit hati dan dendam yang membara. Pesan moral dari renungan Subway NYC ini adalah hendaknya setiap orang sadar akan potensi dirinya. Biarkanlah potensi dirinya itu berkembnag dan termaksimalkan sesuai kadarnya (porsinya) dan pada “qadar” (ketentuan) yang Allah berikan. Jangan pernah paksakan diri pada hal-hal yang bukan pada porsinya dan kapastitasnya. Karena pada akhirnya hanya melahirkan drama lucu yang menggelikan…! Renungan pagi Subway, 12 Agustus 2022. (*)

Evaluasi Peleburan Lembaga Riset di Indonesia

Padahal, sesuai Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional, setiap lembaga wajib memiliki Renstra-KL yang disetujui oleh Bappenas. Oleh: Satryo Soemantri Brodjonegoro, Ketua Akademi Ilmu Pengetahuan Indonesia PELEBURAN lembaga penelitian ke dalam Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) telah menyebabkan kemunduran sains di Indonesia. AIPI meminta dilakukan evaluasi agar kerusakan yang telah terjadi tidak semakin parah. Akademi Ilmu Pengetahuan Indonesia (AIPI) menilai bahwa peleburan lembaga penelitian ke dalam BRIN menyebabkan kemunduran sains di Indonesia. Perlu evaluasi agar kerusakan yang terjadi tidak semakin parah. Sejak awal AIPI sudah mengingatkan bahwa peleburan lembaga riset yang memiliki identitas berbeda-beda akan memicu masalah. Setelah setahun ini, kita bisa melihat dampaknya. Dan, BRIN telah melakukan perubahan drastis dan menghilangkan identitas lembaga riset yang sebagian sudah berjalan dengan baik. Lembaga-lembaga ini sudah puluhan tahun, masing-masing sudah punya kultur kerja. Tiba-tiba dilebur dan dihilangkan identitasnya dengan fungsi dan kegiatannya berbeda sekali. Agar BRIN tidak menjadi lembaga superbodi karena akan memperpanjang rantai birokrasi. Di negara maju yang risetnya bagus justru melakukan desentralisasi, sehingga setiap lembaga riset punya kekuatan dan bisa meneliti dengan hasil maksimal. Dari segi kendali, akan sulit memberdayakan dan mengembangkan sekian ratus ribu peneliti dalam satu lembaga. Daripada melebur berbagai lembaga ini, saya menyarankan fungsi koordinatif. Pemusatan fasilitas riset bisa menyebabkan hilangnya sumber daya peneliti di daerah, terutama di kawasan Indonesia timur. Seperti diberitakan sebelumnya, terjadi brain drain dengan kepergian para peneliti dari Papua dan juga ditariknya fasilitas Pusat Riset Laut Dalam di Ambon. Sejak bergabung dengan BRIN, proyek Drone MALE Kombatan telah terhambat, sebagaimana program riset strategis nasional lain, termasuk vaksin Merah Putih. Lihat, Hanggar Hankam, di Pusat Penelitian Ilmu Pengetahuan dan Teknologi (Puspiptek), Serpong, Tangerang Selatan, yang sebelumnya menjadi tempat uji struktur pesawat nirawak dan berbagai kegiatan riset kedirgantaraan ini terbengkalai dan sepi, Jumat (5/8/2022). Kalau masih mungkin, sebaiknya peralatan dikembalikan ke pusat-pusat riset yang ada, termasuk di daerah. Justru, untuk pemerataan sumber daya riset, pusat riset di daerah harus diperkuat dengan diberi dana dan akses peralatan. Daerah seperti Papua yang sudah telanjur ditinggalkan peneliti ini harus segera dicarikan solusi dengan mencari peneliti lokal sebagai pengganti walaupun prosesnya menjadi tidak mudah. Pusat-pusat riset di daerah dan sumber dayanya harusnya diperkuat, termasuk diberi kemudahan dana dan akses peralatan, jangan semua dipusatkan. Ini kemunduran jika dipusatkan. Sebagai Ketua AIPI, saya telah mengirim surat resmi ke Presiden Joko Widodo guna memberikan masukan agar ekosistem riset di Indonesia membaik, bukan justru mengalami kemunduran seperti saat ini. Jika tidak ada evaluasi, saya khawatir terjadi kemunduran semakin jauh dan demotivasi yang dialami peneliti semakin dalam. Untuk mengembalikan, tidak akan mudah. Harapan adanya evaluasi integrasi lembaga riset ke dalam BRIN ini juga disampaikan peneliti Pusat Riset Perilaku dan Ekonomi Sirkular, BRIN, Maxensius Tri Sambodo. Melalui Masyarakat Pemajuan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi (MPI), Maxensius juga telah menyampaikan temuan mengenai sejumlah masalah setelah integrasi BRIN ke DPR dan Wakil Presiden Ma’ruf Amin. Dalam dokumen tertulis yang dibuat MPI, setidaknya ada lima masalah utama yang ditemukan MPI, yaitu manajemen transisi dan birokrasi yang buruk yang menyebabkan pemborosan aset, sumber daya manusia, hingga reputasi lembaga yang sudah lama terbangun. Masalah kedua adalah adanya sentralisasi dan birokrasi yang semakin rumit, yang menyebabkan ekosistem riset justru memburuk. Masalah ketiga, BRIN dinilai mengabaikan program strategis nasional yang sebelumnya tengah dikerjakan oleh sejumlah lembaga riset yang kemudian dilebur. Beberapa riset, seperti vaksin Merah Putih dan Drone MALE Kombatan, saat ini terhambat. Sementara masalah keempat skema program BRIN dinilai tanpa visi, misi, arah, dan target yang jelas. Hal ini terjadi karena hingga saat ini BRIN belum memiliki Rencana Pembangunan Jangka Menengah Kementerian/Lembaga (Renstra-KL) yang telah disahkan. Padahal, sesuai Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional, setiap lembaga wajib memiliki Renstra-KL yang disetujui oleh Bappenas. Ketiadaan Renstra-KL, dinilai MPI, berdampak pada manajemen kinerja pegawai BRIN. Hal ini, di antaranya, menyebabkan pegawai tidak mempunyai tugas kedinasan secara definitif sesuai peraturan perundangan yang menjadi temuan Ombudsman sebelumnya, banyak pegawai BRIN menganggur. Sementara masalah kelima terjadinya pelemahan visi dan penyelenggaraan pemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi. Hal ini karena riset di BRIN lebih diorientasikan untuk menghasilkan karya tulis ilmiah, dengan mengabaikan peran-peran lain yang selama ini telah dijalankan lembaga yang ada. (*)

Setengah Kemerdekaan, Merayakan Proklamasi Dalam Ironi

Oleh: Yusuf Blegur |  Ketua Umum BroNies - Relawan Bro Anies TNI, Polri dan hampir semua institusi negara  belum menunjukkan performans terbaiknya. Alih-alih berprestasi dan secara hakiki mampu menjaga kedaulatan rakyat dan negara, kebanyakan aparatur pemerintahan justru terus mereduksi Pancasila, UUD 1945 dan NKRI. Distorsi penyelenggaraan kehidupan berbangsa dan bernegara, seperti menjadi representasi para perilaku pejabat dan pemimpin yang  tak berbudi pekerti dan tak manusiawi. Kasihan rakyat dan betapa miris* *kehidupannya,  suasana 77 tahun kemerdekaan Indonesia tak ubahnya terasa merayakan proklamasi dalam ironi. Sebagai sebuah negara bangsa, Indonesia memang tidak seperti Irak, Libya, Mesir, atau Suriah yang mengalami kehancuran akibat perang dan pergolakan kekuasaan di dalam negerinya. NKRI juga belum mengalami kebangkrutan seperti yang telah menimpa Srilangka belakangan ini. Apa yang telah terjadi di beberapa negara di semenanjung Arab dan Asia Selatan itu, memang belum menjangkiti negeri berlandaskan Pancasila dan semangat nasionalismenya yang pernah merangsang kemerdekaan bangsa-bangsa  Asia Afrika  melalui Konferensi Asia Afrika pada tahun 1955 silam. Namun gejala menjadi negara gagal, kini mulai dirasakan dalam sekujur struktur sosial politik kebangsaan Indonesia. Pemerintahan dan rakyat tak ubahnya sebuah habitat yang berhimpun menjadi republik pesakitan, larut dalam kemunduran peradaban dan kemiskinan kemanusiaan, terutama dalam memaknai kemerdekaan negara bangsanya.  77 tahun sudah merayakan hari kemerdekaannya, rakyat Indonesia benar-benar mengalami banyak keganjilan. Proklamasi kemerdekaan yang pernah dikumandangkan ke seantero dunia, seakan tak pernah menemukan bentuk yang sesungguhnya, tak implementatif dan tak kunjung jua meraih tujuannya. Keinginan menjadi negara yang merdeka, berdaulat, adil dan makmur serta ikut menciptakan ketertiban dan perdamaian dunia sebagaimana termaktub dalam pembukaan UUD 1945, seperti menjadi kenyataan yang jauh api dari panggang. Proses  penyelenggaraan negara dan realitas kehidupan rakyat, menjadi begitu kontradiktif dari apa yang menjadi cita-cita proklamasi kemerdekaan Indonesia. Tidak sekedar kehilangan akal sehat, menjadi bangsa dungu dan terbelakang dari kemajuan yang sesungguhnya. Bahkan indikasi bangsa yang korup dan hipokrit telah menghinggapi segenap aparatur pemerintahan dan sebagian besar rakyat, yang negerinya kaya kebhinnekaan dan kemajemukan budaya serta sumber daya alamnya. Setidaknya ada tiga keganjilan, jika belum pantas disebut kegagalan seandainya negara bangsa Indonesia mau melakukan refleksi sekaligus evaluasi secara jujur dan obyektif dari perjalanan 77 tahun kemerdekaannya. Pertama, negara melalui kinerja pemerintahannya telah lama gagal mewujudkan Pancasila sebagai dasar negara dan falsafah bangsa yang praksis. Apa yang kemudian menjadi sistem nilai yang terkandung di dalam lima silanya, hampir secara umum dan keseluruhan telah lama meninggalkan hakekat dan prinsip-prinsip kebangsaan aspek menyeluruh kehidupan rakyat. Tata-kelola negara dan dinamika kebangsaan semakin tercerabut dari akar dan value, serta tatanan etos dan mitos  Pancasila. Sekian lama dan untuk jangka waktu yang panjang, mayoritas bangsa Indonesia justru menjadikan ideologi dan gaya hidup di luar pakem Pancasila. Bangsa Indonesia cenderung menjadikan  keyakinan, tradisi dan orientasi bangsa luar sebagai panutannya. Sebut saja kapitalisme dan komunisme yang begitu kuat mencengkeram dan digdaya di belahan global maupun bumi nusantara ini. Bukan Pancasila, bahkan bukan juga agama, liberalisasi dan sekulerisasi telah menjadi \"the way of life\" hampir seluruh populasi manusia Indonesia. Udara kapitalisme  dan komunisme yang menyebarluaskan aroma materi dan kecintaan pada dunia, dihirup dalam-dalam dan  menjadi nafas  segenap rakyat, negara dan bangsa Indonesia. Ketuhanan telah menjadi seolah-olah. Banyak yang beragama tapi sesunguhnya tak bertuhan. Kemanusiaan tampil kebalikannya. Hanya terlihat di sana-sini kebiadaban dan tregedi kemanusiaan. Persatuan juga telah menjadi api dalam sekam. Sewaktu-waktu dan seketika dapat menyemburkan konflik dan perpecahan bangsa. Pembelahan sosial semakin tajam dan menyayat luka yang sulit terobati. Permusyawaratan rakyat juga menjelma menjadi pesta demokrasi yang hedon, glamour dan transaksional. Bukan orang jujur dan baik, tapi orang kaya yang berhak menjadi pemimpin dan perwakilan rakyat. Logika konstitusi formal dan normatif terus memproduksi pemimpin boneka dan badut. Sementara keadilan hanya hadir bagi yang punya uang, jabatan dan kekuasaan. Pancasila telah sempurna dan begitu indah dalam mimpi, namun menjadi begitu horor dan mengerikan dalam praktek dan kenyataannya. Rakyat Indonesia terlanjur terobsesi dan uthopis terhadap Pancasila, sembari menikmati kenyataan pahit bernegara. Sengsara dan hidup menderita jauh lebih keji dari zaman  kolonialisme, begitulah rakyat menjalani meski hidup dalam alam kemerdekaan dan era modern. Kemerdekaan hanya menghantarkan rakyat Indonesia berada  pada satu penjajahan ke penjajahan yang lain. Penjajahan dari bangsa asing menuju penjajahan oleh bangsanya sendiri. Terus seperti itu silih berganti, terkadang oleh konspirasi keduanya. Kedua, kegagalan UUD 1945 dalam implementatif.Selain telah terjadi manipulasi dan kamuflase UUD 1945 yang bertopeng amandemen dan berujung UUD 2002 dst hingga ke omnibus law dan mungkin UU KUHP. Usai itu, konstitusi sakral negara telah menjadi alat kekuasaan yang melegalkan orang-orang jahat dalam pemerintahan. Merubah abdi negara, menjadi abdi penguasa. Praktek-praktek korupsi, kolusi dan nepotisme terbuka dan  terselubung,  telah menjadi kejahatan resmi aparatur negara. Seiring itu kejahatan susulan menjadi trend dan serba permisif, tampil mewah, berwibawa dan arogan memamerkan kebobrokannya. Konsitusi bukan hanya sekedar berwujud hukum yang tajam ke bawah dan tumpul ke atas. Bahkan perilaku  para penguasa itu telah menjadi hukum dan di atas hukum dari negeri yang dihuni banyak para bedebah dan bajingan ini. UUD 1945 kini telah lama tenggelam di dasar kenistaan bangsa.  Pasal dan klausulnya direkayasa dan dibuat sedemikian rupa untuk memuliakan,  melindungi dan melanggengkan kekuasaan, sembari terus menghina, merendahkan dan menganiaya serta membunuh rakyatnya sendiri. Rakyat sesak napas dan mengurut dada, dieksplotasi membiayai pemerintah dan  aparatur negara. tanpa disadari rakyat,  rakyat  babak-belur bertubi-tubi mengenyam kedzolima rezim kekuasaan yang dihidupinya sendiri. Ketiga, NKRI yang terus melesat menuju negara gagal. 77 tahun menyelenggarakan kehidupan berbangsa dan bernegara, alat-alat negara hanya mampu menghasilkan masyarakat tanpa pemerintahan dan negara tanpa pemimpin. Ketiadaan para pemimpin yang mutlak yang berahlak mulia, menjadi faktor fundamen dan signifikan menyebabkan kemerosotan moral dan degradasi kebangsaan. NKRI cenderung melepaskan substansi dan esensi kemerdekaannya yang susah payah diraih dengan pengorbanan keringat, darah dan nyawa, karena ulah para pejabat dan pemimpinnya. Penguasa memegang kendali pemerintahan yang berwatak tiran, otorier dan diktator.  Negara telah nyata meski samar tapi tetap terlihat dikuasai oleh para oligarki. Birokrat, politisi dan sebagian pemuka agama telah berkembang-biak dan subur menjadi ternak-ternak oligarki. Partai politik juga tak lepas dari irisan para pemilik modal. Perpanjangan tangan partai politik telah merambah begitu dominan dan hegemoni dalam kekuasaan eksekutif, legislatif dan yudikatif. Kekuasaan yang menindas rakyat, mengangkangi amanat para \"the founding fathers\" dan mengebiri cita-cita proklamasi kemerdekaan Indonesia. Begitulah elit kekuasaan menampakan wajah dan perangainya. Teriak keras sembari  mengonggong, mengaku  paling Pancasila, paling NKRI dan saya paling cinta Indonesia, namunbersamaan dengan itu,  tak tahu malu menjadi pelacur dan penghianat negeri ini. NKRI dalam pengertian hakiki, berangsur-angsur bubar dan terlepas dari genggaman rakyat, meski secara seremonial saban tahun diperingati hari kemerdekaannya. Demikian tiga aspek yang menjadi indikator keterpurukan negara bangsa Indonesia. Suatu hal yang mengenaskan terlebih dalam momentum memperingati hari kemerdekaannya. Negara telah keluar dari treknya, menyimpang jauh dari apa yang menjadi tujuan nasional. Penyelenggara negara telah membuat \"broken bridge\", menghancurkan cita-cita proklamasi kemerdekaan Indonesia yang telah menjadi jembatan emas yang telah diperjuangkan dan dibangun para pendiri bangsa dan para pahlawan lainnya. Penyimpangan perilaku aparatur negara secara terstruktur, sistematik dan masif telah mengubur mimpi  rakyat Indonesia, menikmati keadilan dan kemakmuran dalam hasrat negara kesejahteraan. Indonesia memang tidak mengalami konflik dan perang sebagaimana yang ada di negara-negara lain bahkan yang terjadi hingga saat ini. Indonesia juga bukan negara miskin yang sewaktu-waktu bisa kehabisan kekayaan sumber daya alamnya. Namun boleh jadi pikiran dan tindakan para pemimpinnya yang kerdil membuat bangsa ini mengalami kemiskinan struktural dan kebodohan sistemik. Pandemi korupsi, utang negara yang kebablasan, kejahatan terorganisir oleh aparat intitusi pemerintahan  dan pelbagai kerusakan mental birokrasi pada  kehidupan negara, menyebabkan  kemerdekaan Indonesia menjadi tak bermakna,  khususnya bagi rakyat yang terpinggirkan. Tampaknya, rakyat Indonesia harus puas hanya dapat merayakan hari kemerdekaan negaranya dengan sekedar  mengibarkan bendera Sang Saka Merah Putih. Sambil menikmati perayaan kecil-kecilan  perlombaan permainan olah raga dan ketangkasan di pelosok dan ujung-ujung gang dalam perkotaan dan pedesaan, yang kini tak lagi semeriah dulu. Begitulah cara rakyat memperingati hari ulang tahun  kemerdekaan Indonesia. Kemerdekaan yang telah diperjuangkan oleh nenek moyangnya, tanpa tahu apakah kemerdekaan sejati atau kemerdekaan seolah-olah yang dirasakannya. Kemerdekaan yang utuh dan sepenuhnya yang sekarang ada,  atau cuma sekedar kemerdekaan  semu. Setengah kemerdekaan mungkin lebih baik, dibandingkan dengan menyebutnya sebagai kemerdekaan semu. Mari kita bertanya pada \"silent mayority\", yang selama ini diam, tunduk dan tak berdaya karena represi rezim kekuasaan bahkan pada rakyat yang hanya ingin bersuara dan berekspresi. Apakah bangsa ini benar-benar telah merdeka?. Dirgahayu Indonesia ke-77, selamat merayakan setengah kemerdekaan. Merayakan proklamasi dalam ironi. Munjul, Cibubur-13 Agustus 2022.             mengalami konflik dan perang sebagaimana yang ada di negara-negara lain bahkan yang terjadi hingga saat ini. Indonesia juga bukan negara miskin yang sewaktu-waktu bisa kehabisan kekayaan sumber daya alamnya. Namun boleh jadi pikiran dan tindakan para pemimpinnya yang kerdil membuat bangsa ini mengalami kemiskinan struktural dan kebodohan sistemik. Pandemi korupsi, utang negara yang kebablasan, kejahatan terorganisir oleh aparat intitusi pemerintahan  dan pelbagai kerusakan mental birokrasi pada  kehidupan negara, menyebabkan  kemerdekaan Indonesia menjadi tak bermakna,  khususnya bagi rakyat yang terpinggirkan. Tampaknya, rakyat Indonesia harus puas hanya dapat merayakan hari kemerdekaan negaranya dengan sekedar  mengibarkan bendera Sang Saka Merah Putih. Sambil menikmati perayaan kecil-kecilan  perlombaan permainan olah raga dan ketangkasan di pelosok dan ujung-ujung gang dalam perkotaan dan pedesaan, yang kini tak lagi semeriah dulu. Begitulah cara rakyat memperingati hari ulang tahun  kemerdekaan Indonesia. Kemerdekaan yang telah diperjuangkan oleh nenek moyangnya, tanpa tahu apakah kemerdekaan sejati atau kemerdekaan seolah-olah yang dirasakannya. Kemerdekaan yang utuh dan sepenuhnya yang sekarang ada,  atau cuma sekedar kemerdekaan  semu. Setengah kemerdekaan mungkin lebih baik, dibandingkan dengan menyebutnya sebagai kemerdekaan semu. Mari kita bertanya pada \"silent mayority\", yang selama ini diam, tunduk dan tak berdaya karena represi rezim kekuasaan bahkan pada rakyat yang hanya ingin bersuara dan berekspresi. Apakah bangsa ini benar-benar telah merdeka?. Dirgahayu Indonesia ke-77, selamat merayakan setengah kemerdekaan. Merayakan proklamasi dalam ironi. Munjul, Cibubur-13 Agustus 2022.

Peluk Haru dan Cium Kening Sang Jenderal

Oleh Ady Amar | Kolumnis  BERTEMU kawan lama memeluknya erat sambil menempelkan pipi dengan pipi--ada pula yang mengecup dahi segala--itu hal biasa dalam pertemanan. Bukan sesuatu yang mengherankan. Biasa-biasa saja. Itu tanda keakraban. Tapi ada yang buat kepo manusia se-Indonesia saat video singkat Kapolda Metro Jaya Irjen Fadil Imran (FI) bertemu mantan Kadiv Propam Irjen Ferdy Sambo (FS). Video itu beredar luas. FI memeluk FS dengan erat, sambil tangannya menepuk-nepuk punggung FS. Tak ketinggalan adegan kecup kening dari FI, itu menandakan keakraban luar biasa antarkeduanya. Sambil masih tetap memeluk erat, dan dengan sedikit menempelkan mulut dekat telinga, FI mengucapkan sesuatu. Sambil sedikit mengguncang-guncang badan FS, sebagai tanda agar ia bersabar dan tetap kuat. Apa yang dibisikkan FI, itu buat publik kepo. Tentu yang tahu cuma mereka berdua dan Tuhan. Boleh juga jika publik ingin merabah apa yang dibisikkan FI. Menyebut itu hanyalah sekadar kalimat normatif yang diucap, guna menguatkan kawan yang tengah terpuruk. Tapi boleh juga jika ada yang merabah dengan mengatakan makna lain, kalimat menenangkan FS, bahwa ia akan berakhir aman-aman saja. Peluk cium itu terjadi pada tanggal 13 Juli. Artinya, beberapa hari setelah adegan \"tembak-tembakan\" di rumah dinas FS, yang menewaskan Brigadir Yosua (J). Peluk cium itu dilakukan saat masih hangat-hangatnya peristiwa Duren Tiga itu merebak. Peluk erat dan cium kening dari FI, itu hal manusiawi. Mestinya bisa dianggap biasa-biasa saja. Tapi jika jadi kehebohan tersendiri, itu tidak terlepas dari peristiwa yang melatarbelakangi. Publik sudah punya penilaian tersendiri tentang keduanya. Sepertinya publik ingin menariknya pada peristiwa KM 50. Kasus yang oleh Komnas HAM disebut sebagai unlawful killing. Tanggal 14 Juli, Irjen FI perlu beri klarifikasi atas viralnya video peluk cium itu. Katanya, sebagai senior ia cuma menguatkan sohibnya atas peristiwa yang dialaminya. Sepertinya FI ingin menghentikan spekulasi kepo publik atas peluk cium dan bisikannya itu. Meski saat itu belum terbuka siapa dalang sebenarnya yang menghabisi Brigadir J hingga tewas. Spekulasi bisa menjadi lepas jika diteruskan: saat itu apa FI tahu peristiwa yang sebenarnya terjadi, atau hanya tahu ada tembak-tembakan yang mematikan Brigadir J. Mestinya ia sudah menerima laporan dari anak buahnya, setidaknya dari Kapolres Jakarta Selatan tentang peristiwa yang sebenarnya. Setelah penetapan FS sebagai otak pembunuhan Brigadir J (Selasa, 9 Agustus), video adegan peluk haru dan cium kening itu di viralkan lagi. Entah apa maksudnya. Publik sepertinya ingin beri penegasan. Dan itu menarik  FI dalam kasus ini. Tentu itu pengharapan tidak semestinya. Tidaklah perlu berpikir yang bukan-bukan. Biarlah proses Durian Tiga ini berjalan dengan semestinya. Publik cukup mengawasi dengan seksama. Jangan berharap pada yang tidak seharusnya. Penilaian publik memang tidak mesti benar, bisa juga salah. Tapi nalar publik punya penilaiannya sendiri, yang itu tidak atau belum bisa dijawab oleh keadilan yang diharapkan. Keadilan atas terbunuhnya 6 laskar FPI dalam kasus KM 50. Dua orang itu, FI dan FS, dalam benak publik, ada di balik peristiwa itu. Sekali lagi, bahwa penilaian publik belum pasti benar. Penilaian itu dimunculkan oleh jalannya pengadilan yang tidak sesuai dengan harapan. Kasus KM 50 itu menyisakan luka menganga lebar yang sulit bisa diobati. Mustahil bisa disembuhkan dengan pengadilan tanpa ada keadilan dihadirkan. Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Selatan  membebaskan 2 jagal pembunuhnya, Briptu Fikri Ramadhan dan Ipda M. Yusmin Ohorella. Tanpa menyentuh siapa otak di balik peristiwa KM 50. Tapi jelas, dua orang itu adalah anggota Satgasus, yang dikomandani FS. Setelah kasus Duren Tiga, Satgasus itu dibubarkan Kapolri. Maka, publik bisa simpulkan bahwa ada FS pada kasus KM 50. Perlakuan hukum antara kasus KM 50 dan kasus Duren Tiga, sangat jauh berbeda. Itu dalam keseriusan mengungkap peristiwanya. Pada kasus KM 50, tampaknya yang disasar adalah Habib Rizieq Shihab (HRS), dan Front Pembela Islam (FPI). HRS dipenjarakan dengan kasus yang (seperti) dibuat-buat. Sedang FPI ditarget untuk dibubarkan. Kasus KM 50 seolah hanya kesalahan dua oknum polisi--sebenarnya tiga polisi, tapi yang satu mati duluan sebelum kasusnya dibawa ke pengadilan--tanpa menyentuh aktor intelektualnya. Jauh berbeda dengan kasus Duren Tiga, yang sampai Presiden Joko Widodo perlu memberi perhatian khusus, agar kasus ini dibuka seterang-terangnya. Tidak ada yang boleh ditutupi. Belum lagi sikap Prof Mahfud MD, melihat kasus Duren Tiga, seperti layaknya lebih dari Kapolri. Pada kasus KM 50, FI tampil dalam konferensi pers segala. Menunjukkan senjata pistol dan pedang yang tampak berkarat, yang itu dinyatakan milik laskar yang terbunuh itu. Padahal senjata api maupun tajam tidak dikenal dalam akrivitas laskar FPI. FI tampak bersemangat padahal kasusnya tidak terjadi di wilayah Polda Metro Jaya. Tapi sebaliknya pada kasus Duren Tiga, ia justru pasif. Padahal lokasi kejadian ada di Jakarta Selatan. Maka publik yang melihat  peluk haru dan cium kening FI pada FS, itu menjadi wajar jika lalu menariknya pada kasus KM 50. Publik dengan logika sederhananya mampu mengurai korelasi antara satu peristiwa dengan peristiwa lainnya. Wallahu a\'lam (*)