Setengah Kemerdekaan, Merayakan Proklamasi Dalam Ironi
Oleh: Yusuf Blegur | Ketua Umum BroNies - Relawan Bro Anies
TNI, Polri dan hampir semua institusi negara belum menunjukkan performans terbaiknya. Alih-alih berprestasi dan secara hakiki mampu menjaga kedaulatan rakyat dan negara, kebanyakan aparatur pemerintahan justru terus mereduksi Pancasila, UUD 1945 dan NKRI.
Distorsi penyelenggaraan kehidupan berbangsa dan bernegara, seperti menjadi representasi para perilaku pejabat dan pemimpin yang tak berbudi pekerti dan tak manusiawi. Kasihan rakyat dan betapa miris* *kehidupannya, suasana 77 tahun kemerdekaan Indonesia tak ubahnya terasa merayakan proklamasi dalam ironi.
Sebagai sebuah negara bangsa, Indonesia memang tidak seperti Irak, Libya, Mesir, atau Suriah yang mengalami kehancuran akibat perang dan pergolakan kekuasaan di dalam negerinya. NKRI juga belum mengalami kebangkrutan seperti yang telah menimpa Srilangka belakangan ini. Apa yang telah terjadi di beberapa negara di semenanjung Arab dan Asia Selatan itu, memang belum menjangkiti negeri berlandaskan Pancasila dan semangat nasionalismenya yang pernah merangsang kemerdekaan bangsa-bangsa Asia Afrika melalui Konferensi Asia Afrika pada tahun 1955 silam. Namun gejala menjadi negara gagal, kini mulai dirasakan dalam sekujur struktur sosial politik kebangsaan Indonesia. Pemerintahan dan rakyat tak ubahnya sebuah habitat yang berhimpun menjadi republik pesakitan, larut dalam kemunduran peradaban dan kemiskinan kemanusiaan, terutama dalam memaknai kemerdekaan negara bangsanya.
77 tahun sudah merayakan hari kemerdekaannya, rakyat Indonesia benar-benar mengalami banyak keganjilan. Proklamasi kemerdekaan yang pernah dikumandangkan ke seantero dunia, seakan tak pernah menemukan bentuk yang sesungguhnya, tak implementatif dan tak kunjung jua meraih tujuannya.
Keinginan menjadi negara yang merdeka, berdaulat, adil dan makmur serta ikut menciptakan ketertiban dan perdamaian dunia sebagaimana termaktub dalam pembukaan UUD 1945, seperti menjadi kenyataan yang jauh api dari panggang. Proses penyelenggaraan negara dan realitas kehidupan rakyat, menjadi begitu kontradiktif dari apa yang menjadi cita-cita proklamasi kemerdekaan Indonesia.
Tidak sekedar kehilangan akal sehat, menjadi bangsa dungu dan terbelakang dari kemajuan yang sesungguhnya. Bahkan indikasi bangsa yang korup dan hipokrit telah menghinggapi segenap aparatur pemerintahan dan sebagian besar rakyat, yang negerinya kaya kebhinnekaan dan kemajemukan budaya serta sumber daya alamnya.
Setidaknya ada tiga keganjilan, jika belum pantas disebut kegagalan seandainya negara bangsa Indonesia mau melakukan refleksi sekaligus evaluasi secara jujur dan obyektif dari perjalanan 77 tahun kemerdekaannya.
Pertama, negara melalui kinerja pemerintahannya telah lama gagal mewujudkan Pancasila sebagai dasar negara dan falsafah bangsa yang praksis. Apa yang kemudian menjadi sistem nilai yang terkandung di dalam lima silanya, hampir secara umum dan keseluruhan telah lama meninggalkan hakekat dan prinsip-prinsip kebangsaan aspek menyeluruh kehidupan rakyat. Tata-kelola negara dan dinamika kebangsaan semakin tercerabut dari akar dan value, serta tatanan etos dan mitos Pancasila.
Sekian lama dan untuk jangka waktu yang panjang, mayoritas bangsa Indonesia justru menjadikan ideologi dan gaya hidup di luar pakem Pancasila. Bangsa Indonesia cenderung menjadikan keyakinan, tradisi dan orientasi bangsa luar sebagai panutannya. Sebut saja kapitalisme dan komunisme yang begitu kuat mencengkeram dan digdaya di belahan global maupun bumi nusantara ini. Bukan Pancasila, bahkan bukan juga agama, liberalisasi dan sekulerisasi telah menjadi "the way of life" hampir seluruh populasi manusia Indonesia. Udara kapitalisme dan komunisme yang menyebarluaskan aroma materi dan kecintaan pada dunia, dihirup dalam-dalam dan menjadi nafas segenap rakyat, negara dan bangsa Indonesia.
Ketuhanan telah menjadi seolah-olah. Banyak yang beragama tapi sesunguhnya tak bertuhan.
Kemanusiaan tampil kebalikannya. Hanya terlihat di sana-sini kebiadaban dan tregedi kemanusiaan.
Persatuan juga telah menjadi api dalam sekam. Sewaktu-waktu dan seketika dapat menyemburkan konflik dan perpecahan bangsa. Pembelahan sosial semakin tajam dan menyayat luka yang sulit terobati.
Permusyawaratan rakyat juga menjelma menjadi pesta demokrasi yang hedon, glamour dan transaksional. Bukan orang jujur dan baik, tapi orang kaya yang berhak menjadi pemimpin dan perwakilan rakyat. Logika konstitusi formal dan normatif terus memproduksi pemimpin boneka dan badut.
Sementara keadilan hanya hadir bagi yang punya uang, jabatan dan kekuasaan. Pancasila telah sempurna dan begitu indah dalam mimpi, namun menjadi begitu horor dan mengerikan dalam praktek dan kenyataannya.
Rakyat Indonesia terlanjur terobsesi dan uthopis terhadap Pancasila, sembari menikmati kenyataan pahit bernegara. Sengsara dan hidup menderita jauh lebih keji dari zaman kolonialisme, begitulah rakyat menjalani meski hidup dalam alam kemerdekaan dan era modern. Kemerdekaan hanya menghantarkan rakyat Indonesia berada pada satu penjajahan ke penjajahan yang lain. Penjajahan dari bangsa asing menuju penjajahan oleh bangsanya sendiri. Terus seperti itu silih berganti, terkadang oleh konspirasi keduanya.
Kedua, kegagalan UUD 1945 dalam implementatif.Selain telah terjadi manipulasi dan kamuflase UUD 1945 yang bertopeng amandemen dan berujung UUD 2002 dst hingga ke omnibus law dan mungkin UU KUHP. Usai itu, konstitusi sakral negara telah menjadi alat kekuasaan yang melegalkan orang-orang jahat dalam pemerintahan. Merubah abdi negara, menjadi abdi penguasa. Praktek-praktek korupsi, kolusi dan nepotisme terbuka dan terselubung, telah menjadi kejahatan resmi aparatur negara. Seiring itu kejahatan susulan menjadi trend dan serba permisif, tampil mewah, berwibawa dan arogan memamerkan kebobrokannya.
Konsitusi bukan hanya sekedar berwujud hukum yang tajam ke bawah dan tumpul ke atas. Bahkan perilaku para penguasa itu telah menjadi hukum dan di atas hukum dari negeri yang dihuni banyak para bedebah dan bajingan ini. UUD 1945 kini telah lama tenggelam di dasar kenistaan bangsa. Pasal dan klausulnya direkayasa dan dibuat sedemikian rupa untuk memuliakan, melindungi dan melanggengkan kekuasaan, sembari terus menghina, merendahkan dan menganiaya serta membunuh rakyatnya sendiri.
Rakyat sesak napas dan mengurut dada, dieksplotasi membiayai pemerintah dan aparatur negara. tanpa disadari rakyat, rakyat babak-belur bertubi-tubi mengenyam kedzolima rezim kekuasaan yang dihidupinya sendiri.
Ketiga, NKRI yang terus melesat menuju negara gagal.
77 tahun menyelenggarakan kehidupan berbangsa dan bernegara, alat-alat negara hanya mampu menghasilkan masyarakat tanpa pemerintahan dan negara tanpa pemimpin. Ketiadaan para pemimpin yang mutlak yang berahlak mulia, menjadi faktor fundamen dan signifikan menyebabkan kemerosotan moral dan degradasi kebangsaan. NKRI cenderung melepaskan substansi dan esensi kemerdekaannya yang susah payah diraih dengan pengorbanan keringat, darah dan nyawa, karena ulah para pejabat dan pemimpinnya.
Penguasa memegang kendali pemerintahan yang berwatak tiran, otorier dan diktator.
Negara telah nyata meski samar tapi tetap terlihat dikuasai oleh para oligarki. Birokrat, politisi dan sebagian pemuka agama telah berkembang-biak dan subur menjadi ternak-ternak oligarki. Partai politik juga tak lepas dari irisan para pemilik modal. Perpanjangan tangan partai politik telah merambah begitu dominan dan hegemoni dalam kekuasaan eksekutif, legislatif dan yudikatif. Kekuasaan yang menindas rakyat, mengangkangi amanat para "the founding fathers" dan mengebiri cita-cita proklamasi kemerdekaan Indonesia. Begitulah elit kekuasaan menampakan wajah dan perangainya. Teriak keras sembari mengonggong, mengaku paling Pancasila, paling NKRI dan saya paling cinta Indonesia, namunbersamaan dengan itu, tak tahu malu menjadi pelacur dan penghianat negeri ini.
NKRI dalam pengertian hakiki, berangsur-angsur bubar dan terlepas dari genggaman rakyat, meski secara seremonial saban tahun diperingati hari kemerdekaannya.
Demikian tiga aspek yang menjadi indikator keterpurukan negara bangsa Indonesia. Suatu hal yang mengenaskan terlebih dalam momentum memperingati hari kemerdekaannya. Negara telah keluar dari treknya, menyimpang jauh dari apa yang menjadi tujuan nasional. Penyelenggara negara telah membuat "broken bridge", menghancurkan cita-cita proklamasi kemerdekaan Indonesia yang telah menjadi jembatan emas yang telah diperjuangkan dan dibangun para pendiri bangsa dan para pahlawan lainnya. Penyimpangan perilaku aparatur negara secara terstruktur, sistematik dan masif telah mengubur mimpi rakyat Indonesia, menikmati keadilan dan kemakmuran dalam hasrat negara kesejahteraan. Indonesia memang tidak mengalami konflik dan perang sebagaimana yang ada di negara-negara lain bahkan yang terjadi hingga saat ini. Indonesia juga bukan negara miskin yang sewaktu-waktu bisa kehabisan kekayaan sumber daya alamnya. Namun boleh jadi pikiran dan tindakan para pemimpinnya yang kerdil membuat bangsa ini mengalami kemiskinan struktural dan kebodohan sistemik. Pandemi korupsi, utang negara yang kebablasan, kejahatan terorganisir oleh aparat intitusi pemerintahan dan pelbagai kerusakan mental birokrasi pada kehidupan negara, menyebabkan kemerdekaan Indonesia menjadi tak bermakna, khususnya bagi rakyat yang terpinggirkan.
Tampaknya, rakyat Indonesia harus puas hanya dapat merayakan hari kemerdekaan negaranya dengan sekedar mengibarkan bendera Sang Saka Merah Putih. Sambil menikmati perayaan kecil-kecilan perlombaan permainan olah raga dan ketangkasan di pelosok dan ujung-ujung gang dalam perkotaan dan pedesaan, yang kini tak lagi semeriah dulu.
Begitulah cara rakyat memperingati hari ulang tahun kemerdekaan Indonesia. Kemerdekaan yang telah diperjuangkan oleh nenek moyangnya, tanpa tahu apakah kemerdekaan sejati atau kemerdekaan seolah-olah yang dirasakannya. Kemerdekaan yang utuh dan sepenuhnya yang sekarang ada, atau cuma sekedar kemerdekaan semu. Setengah kemerdekaan mungkin lebih baik, dibandingkan dengan menyebutnya sebagai kemerdekaan semu. Mari kita bertanya pada "silent mayority", yang selama ini diam, tunduk dan tak berdaya karena represi rezim kekuasaan bahkan pada rakyat yang hanya ingin bersuara dan berekspresi. Apakah bangsa ini benar-benar telah merdeka?.
Dirgahayu Indonesia ke-77, selamat merayakan setengah kemerdekaan. Merayakan proklamasi dalam ironi.
Munjul, Cibubur-13 Agustus 2022.
mengalami konflik dan perang sebagaimana yang ada di negara-negara lain bahkan yang terjadi hingga saat ini. Indonesia juga bukan negara miskin yang sewaktu-waktu bisa kehabisan kekayaan sumber daya alamnya. Namun boleh jadi pikiran dan tindakan para pemimpinnya yang kerdil membuat bangsa ini mengalami kemiskinan struktural dan kebodohan sistemik. Pandemi korupsi, utang negara yang kebablasan, kejahatan terorganisir oleh aparat intitusi pemerintahan dan pelbagai kerusakan mental birokrasi pada kehidupan negara, menyebabkan kemerdekaan Indonesia menjadi tak bermakna, khususnya bagi rakyat yang terpinggirkan.
Tampaknya, rakyat Indonesia harus puas hanya dapat merayakan hari kemerdekaan negaranya dengan sekedar mengibarkan bendera Sang Saka Merah Putih. Sambil menikmati perayaan kecil-kecilan perlombaan permainan olah raga dan ketangkasan di pelosok dan ujung-ujung gang dalam perkotaan dan pedesaan, yang kini tak lagi semeriah dulu.
Begitulah cara rakyat memperingati hari ulang tahun kemerdekaan Indonesia. Kemerdekaan yang telah diperjuangkan oleh nenek moyangnya, tanpa tahu apakah kemerdekaan sejati atau kemerdekaan seolah-olah yang dirasakannya. Kemerdekaan yang utuh dan sepenuhnya yang sekarang ada, atau cuma sekedar kemerdekaan semu. Setengah kemerdekaan mungkin lebih baik, dibandingkan dengan menyebutnya sebagai kemerdekaan semu. Mari kita bertanya pada "silent mayority", yang selama ini diam, tunduk dan tak berdaya karena represi rezim kekuasaan bahkan pada rakyat yang hanya ingin bersuara dan berekspresi. Apakah bangsa ini benar-benar telah merdeka?.
Dirgahayu Indonesia ke-77, selamat merayakan setengah kemerdekaan. Merayakan proklamasi dalam ironi.
Munjul, Cibubur-13 Agustus 2022.