Peluk Haru dan Cium Kening Sang Jenderal

Oleh Ady Amar | Kolumnis 

BERTEMU kawan lama memeluknya erat sambil menempelkan pipi dengan pipi--ada pula yang mengecup dahi segala--itu hal biasa dalam pertemanan. Bukan sesuatu yang mengherankan. Biasa-biasa saja. Itu tanda keakraban.

Tapi ada yang buat kepo manusia se-Indonesia saat video singkat Kapolda Metro Jaya Irjen Fadil Imran (FI) bertemu mantan Kadiv Propam Irjen Ferdy Sambo (FS). Video itu beredar luas.

FI memeluk FS dengan erat, sambil tangannya menepuk-nepuk punggung FS. Tak ketinggalan adegan kecup kening dari FI, itu menandakan keakraban luar biasa antarkeduanya.

Sambil masih tetap memeluk erat, dan dengan sedikit menempelkan mulut dekat telinga, FI mengucapkan sesuatu. Sambil sedikit mengguncang-guncang badan FS, sebagai tanda agar ia bersabar dan tetap kuat.

Apa yang dibisikkan FI, itu buat publik kepo. Tentu yang tahu cuma mereka berdua dan Tuhan. Boleh juga jika publik ingin merabah apa yang dibisikkan FI. Menyebut itu hanyalah sekadar kalimat normatif yang diucap, guna menguatkan kawan yang tengah terpuruk. Tapi boleh juga jika ada yang merabah dengan mengatakan makna lain, kalimat menenangkan FS, bahwa ia akan berakhir aman-aman saja.

Peluk cium itu terjadi pada tanggal 13 Juli. Artinya, beberapa hari setelah adegan "tembak-tembakan" di rumah dinas FS, yang menewaskan Brigadir Yosua (J). Peluk cium itu dilakukan saat masih hangat-hangatnya peristiwa Duren Tiga itu merebak.

Peluk erat dan cium kening dari FI, itu hal manusiawi. Mestinya bisa dianggap biasa-biasa saja. Tapi jika jadi kehebohan tersendiri, itu tidak terlepas dari peristiwa yang melatarbelakangi. Publik sudah punya penilaian tersendiri tentang keduanya. Sepertinya publik ingin menariknya pada peristiwa KM 50. Kasus yang oleh Komnas HAM disebut sebagai unlawful killing.

Tanggal 14 Juli, Irjen FI perlu beri klarifikasi atas viralnya video peluk cium itu. Katanya, sebagai senior ia cuma menguatkan sohibnya atas peristiwa yang dialaminya. Sepertinya FI ingin menghentikan spekulasi kepo publik atas peluk cium dan bisikannya itu. Meski saat itu belum terbuka siapa dalang sebenarnya yang menghabisi Brigadir J hingga tewas.

Spekulasi bisa menjadi lepas jika diteruskan: saat itu apa FI tahu peristiwa yang sebenarnya terjadi, atau hanya tahu ada tembak-tembakan yang mematikan Brigadir J. Mestinya ia sudah menerima laporan dari anak buahnya, setidaknya dari Kapolres Jakarta Selatan tentang peristiwa yang sebenarnya.

Setelah penetapan FS sebagai otak pembunuhan Brigadir J (Selasa, 9 Agustus), video adegan peluk haru dan cium kening itu di viralkan lagi. Entah apa maksudnya. Publik sepertinya ingin beri penegasan. Dan itu menarik  FI dalam kasus ini. Tentu itu pengharapan tidak semestinya. Tidaklah perlu berpikir yang bukan-bukan. Biarlah proses Durian Tiga ini berjalan dengan semestinya. Publik cukup mengawasi dengan seksama. Jangan berharap pada yang tidak seharusnya.

Penilaian publik memang tidak mesti benar, bisa juga salah. Tapi nalar publik punya penilaiannya sendiri, yang itu tidak atau belum bisa dijawab oleh keadilan yang diharapkan. Keadilan atas terbunuhnya 6 laskar FPI dalam kasus KM 50. Dua orang itu, FI dan FS, dalam benak publik, ada di balik peristiwa itu. Sekali lagi, bahwa penilaian publik belum pasti benar. Penilaian itu dimunculkan oleh jalannya pengadilan yang tidak sesuai dengan harapan.

Kasus KM 50 itu menyisakan luka menganga lebar yang sulit bisa diobati. Mustahil bisa disembuhkan dengan pengadilan tanpa ada keadilan dihadirkan. Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Selatan  membebaskan 2 jagal pembunuhnya, Briptu Fikri Ramadhan dan Ipda M. Yusmin Ohorella. Tanpa menyentuh siapa otak di balik peristiwa KM 50. Tapi jelas, dua orang itu adalah anggota Satgasus, yang dikomandani FS. Setelah kasus Duren Tiga, Satgasus itu dibubarkan Kapolri. Maka, publik bisa simpulkan bahwa ada FS pada kasus KM 50.

Perlakuan hukum antara kasus KM 50 dan kasus Duren Tiga, sangat jauh berbeda. Itu dalam keseriusan mengungkap peristiwanya. Pada kasus KM 50, tampaknya yang disasar adalah Habib Rizieq Shihab (HRS), dan Front Pembela Islam (FPI). HRS dipenjarakan dengan kasus yang (seperti) dibuat-buat. Sedang FPI ditarget untuk dibubarkan.

Kasus KM 50 seolah hanya kesalahan dua oknum polisi--sebenarnya tiga polisi, tapi yang satu mati duluan sebelum kasusnya dibawa ke pengadilan--tanpa menyentuh aktor intelektualnya. Jauh berbeda dengan kasus Duren Tiga, yang sampai Presiden Joko Widodo perlu memberi perhatian khusus, agar kasus ini dibuka seterang-terangnya. Tidak ada yang boleh ditutupi. Belum lagi sikap Prof Mahfud MD, melihat kasus Duren Tiga, seperti layaknya lebih dari Kapolri.

Pada kasus KM 50, FI tampil dalam konferensi pers segala. Menunjukkan senjata pistol dan pedang yang tampak berkarat, yang itu dinyatakan milik laskar yang terbunuh itu. Padahal senjata api maupun tajam tidak dikenal dalam akrivitas laskar FPI. FI tampak bersemangat padahal kasusnya tidak terjadi di wilayah Polda Metro Jaya. Tapi sebaliknya pada kasus Duren Tiga, ia justru pasif. Padahal lokasi kejadian ada di Jakarta Selatan.

Maka publik yang melihat  peluk haru dan cium kening FI pada FS, itu menjadi wajar jika lalu menariknya pada kasus KM 50. Publik dengan logika sederhananya mampu mengurai korelasi antara satu peristiwa dengan peristiwa lainnya. Wallahu a'lam (*)

499

Related Post