Evaluasi Peleburan Lembaga Riset di Indonesia

Satryo Soemantri Brodjonegoro, Ketua Akademi Ilmu Pengetahuan Indonesia

Padahal, sesuai Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional, setiap lembaga wajib memiliki Renstra-KL yang disetujui oleh Bappenas.

Oleh: Satryo Soemantri Brodjonegoro, Ketua Akademi Ilmu Pengetahuan Indonesia

PELEBURAN lembaga penelitian ke dalam Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) telah menyebabkan kemunduran sains di Indonesia. AIPI meminta dilakukan evaluasi agar kerusakan yang telah terjadi tidak semakin parah.

Akademi Ilmu Pengetahuan Indonesia (AIPI) menilai bahwa peleburan lembaga penelitian ke dalam BRIN menyebabkan kemunduran sains di Indonesia. Perlu evaluasi agar kerusakan yang terjadi tidak semakin parah.

Sejak awal AIPI sudah mengingatkan bahwa peleburan lembaga riset yang memiliki identitas berbeda-beda akan memicu masalah. Setelah setahun ini, kita bisa melihat dampaknya.

Dan, BRIN telah melakukan perubahan drastis dan menghilangkan identitas lembaga riset yang sebagian sudah berjalan dengan baik. Lembaga-lembaga ini sudah puluhan tahun, masing-masing sudah punya kultur kerja. Tiba-tiba dilebur dan dihilangkan identitasnya dengan fungsi dan kegiatannya berbeda sekali.

Agar BRIN tidak menjadi lembaga superbodi karena akan memperpanjang rantai birokrasi. Di negara maju yang risetnya bagus justru melakukan desentralisasi, sehingga setiap lembaga riset punya kekuatan dan bisa meneliti dengan hasil maksimal. Dari segi kendali, akan sulit memberdayakan dan mengembangkan sekian ratus ribu peneliti dalam satu lembaga.

Daripada melebur berbagai lembaga ini, saya menyarankan fungsi koordinatif. Pemusatan fasilitas riset bisa menyebabkan hilangnya sumber daya peneliti di daerah, terutama di kawasan Indonesia timur.

Seperti diberitakan sebelumnya, terjadi brain drain dengan kepergian para peneliti dari Papua dan juga ditariknya fasilitas Pusat Riset Laut Dalam di Ambon.

Sejak bergabung dengan BRIN, proyek Drone MALE Kombatan telah terhambat, sebagaimana program riset strategis nasional lain, termasuk vaksin Merah Putih.

Lihat, Hanggar Hankam, di Pusat Penelitian Ilmu Pengetahuan dan Teknologi (Puspiptek), Serpong, Tangerang Selatan, yang sebelumnya menjadi tempat uji struktur pesawat nirawak dan berbagai kegiatan riset kedirgantaraan ini terbengkalai dan sepi, Jumat (5/8/2022).

Kalau masih mungkin, sebaiknya peralatan dikembalikan ke pusat-pusat riset yang ada, termasuk di daerah. Justru, untuk pemerataan sumber daya riset, pusat riset di daerah harus diperkuat dengan diberi dana dan akses peralatan.

Daerah seperti Papua yang sudah telanjur ditinggalkan peneliti ini harus segera dicarikan solusi dengan mencari peneliti lokal sebagai pengganti walaupun prosesnya menjadi tidak mudah. Pusat-pusat riset di daerah dan sumber dayanya harusnya diperkuat, termasuk diberi kemudahan dana dan akses peralatan, jangan semua dipusatkan. Ini kemunduran jika dipusatkan.

Sebagai Ketua AIPI, saya telah mengirim surat resmi ke Presiden Joko Widodo guna memberikan masukan agar ekosistem riset di Indonesia membaik, bukan justru mengalami kemunduran seperti saat ini.

Jika tidak ada evaluasi, saya khawatir terjadi kemunduran semakin jauh dan demotivasi yang dialami peneliti semakin dalam. Untuk mengembalikan, tidak akan mudah.

Harapan adanya evaluasi integrasi lembaga riset ke dalam BRIN ini juga disampaikan peneliti Pusat Riset Perilaku dan Ekonomi Sirkular, BRIN, Maxensius Tri Sambodo. Melalui Masyarakat Pemajuan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi (MPI), Maxensius juga telah menyampaikan temuan mengenai sejumlah masalah setelah integrasi BRIN ke DPR dan Wakil Presiden Ma’ruf Amin.

Dalam dokumen tertulis yang dibuat MPI, setidaknya ada lima masalah utama yang ditemukan MPI, yaitu manajemen transisi dan birokrasi yang buruk yang menyebabkan pemborosan aset, sumber daya manusia, hingga reputasi lembaga yang sudah lama terbangun.

Masalah kedua adalah adanya sentralisasi dan birokrasi yang semakin rumit, yang menyebabkan ekosistem riset justru memburuk.

Masalah ketiga, BRIN dinilai mengabaikan program strategis nasional yang sebelumnya tengah dikerjakan oleh sejumlah lembaga riset yang kemudian dilebur. Beberapa riset, seperti vaksin Merah Putih dan Drone MALE Kombatan, saat ini terhambat.

Sementara masalah keempat skema program BRIN dinilai tanpa visi, misi, arah, dan target yang jelas. Hal ini terjadi karena hingga saat ini BRIN belum memiliki Rencana Pembangunan Jangka Menengah Kementerian/Lembaga (Renstra-KL) yang telah disahkan.

Padahal, sesuai Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional, setiap lembaga wajib memiliki Renstra-KL yang disetujui oleh Bappenas.

Ketiadaan Renstra-KL, dinilai MPI, berdampak pada manajemen kinerja pegawai BRIN. Hal ini, di antaranya, menyebabkan pegawai tidak mempunyai tugas kedinasan secara definitif sesuai peraturan perundangan yang menjadi temuan Ombudsman sebelumnya, banyak pegawai BRIN menganggur.

Sementara masalah kelima terjadinya pelemahan visi dan penyelenggaraan pemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi. Hal ini karena riset di BRIN lebih diorientasikan untuk menghasilkan karya tulis ilmiah, dengan mengabaikan peran-peran lain yang selama ini telah dijalankan lembaga yang ada. (*)

343

Related Post