Hukum Jaga Perasaan
Jangan sampai ada sakwasangka masyarakat bahwa FS mendapatkan fasilitas istimewa di rutan Mako Brimob. Apalagi, jenderal sekelas FS ketika menjabat Kadiv Propam Polri ditengarai cukup “loyal dan royal” kepada institusi Polri.
Oleh: Sutoyo Abadi, Koordinator Kajian Politik Merah Putih
AGENDA proses transformasi Presisi Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo dalam perjalanannya muncul ujian yang cukup berat. Itulah yang dihadapi Jenderal Listyo Sigit hari-hari ini.
Sebab, dalam proses implementasinya terdapat kendala/permasalahan besar yang muncul dalam tubuh Polri dengan adanya kasus Irjen Ferdy Sambo (FS) ini terasa akan menjadi sangat relevan untuk menelisik keterandalan konsep Presisi Polri tersebut.
Sangat mungkin Kapolri tidak pernah membayangkan akan ada kejadian yang memalukan institusi Kepolisian, terutama dengan munculnya kasus FS yang penuh rekayasa hendak ditutup-tutupi dan yang kini semakin terbuka lebar, dalam kasus kematian Brigadir Nofriansyah Yosua Hutabarat?
Paska penetapan FS sebagai tersangka ketegangan masyarakat sedikit mereda. Tapi, tiba-tiba muncul statement Kabareskrim Polri Komjen Agus Andrianto yang enggan mengungkapkan terkait motif pembunuhan Brigadir Nopryansah Yosua Hutabarat alias Brigadir J di rumdin FS Duren Tiga 46 Jakarta Selatan, Jum’at (8/7/2022).
Komjen Agus mengatakan, tidak maunya membeberkan motif tersebut untuk menjaga perasaan semua pihak yang terkait dalam kasus FS. “Untuk menjaga perasaan semua pihak, biarlah jadi konsumsi penyidik,” katanya dikonfirmasi wartawan, Kamis (11/8/2022).
Alasan itu bisa dipahami, karena semua hal yang masih menjadi pertanyaan publik, sebab prosesnya masih berjalan, itu akan terungkap saat nanti dalam proses di persidangan.
Dalam kondisi masyarakat masih trauma, resah, gerah, hampir menyerah akibat informasi yang selama ini diputar-balik. Kalimat jaga perasaan tidak tepat dan tidak perlu dimunculkan karena bisa dan akan menimbulkan bias prasangka baru.
Bahwa Presiden Joko Widodo sudah meminta dibuka seterang-terangnya, bisa dimaknai kasus ini jangan dibawa ke ranah perasaan. Karena dugaan kuatnya akan melibatkan banyak pihak. Bisa juga dimaknai semua harus terbuka saat proses persidangan di pengadilan.
Perlu dicatat, yang namanya hukum itu tak mengenal perasaan-asumsi atau hanya dugaan, hukum hanya mengenal bukti dan fakta. Pihak terkait cukup speak up secara bertanggung jawab, bicara dengan data dan fakta.
Rakyat hanya ingin Presisi Polri berjalan dengan baik, Polri benar-benar bersih dari criminals in uniform (bandit-bandit berseragam).
Maka masyarakat akan tetap memantau jalannya penyelesaian perkara FS ini dengan terus-menerus sehingga perkaranya bisa menjadi terang, tidak ada lagi rekayasa, dan siapa pun yang salah harus diadili dan dihukum, bukan untuk dilindungi.
Muncul sakwasangka baru di masyarakat terkait dengan kasus FS, jangan-jangan pihak penegak hukum juga tidak mau menyeret pihak lainnya yang diduga terlibat karena untuk menjaga perasan.
Berkembang bias praduganya apabila kasus ini muncul di pengadilan yang penuh tekanan dan pesanan bahwa kasus FS cukup menimpa dan berhenti sampai FS saja. Lainnya harus kembali ditutup kalau akan melebar ke mana- mana bahkan mungkin akan menyeret para petinggi negara.
Permintaan Presiden untuk dibuka seterang-terangnya akan digulung lagi oleh dagelan rekayasa para bandit hukum demi menjaga perasaan semua pihak yang diduga juga terlibat, selamat dari sentuhan hukum.
Dengan alasan menjaga perasaan, untuk kasus FS bisa saja dengan alasan situasi yang tak terduga seperti ada dalam Pasal 49 KUHP tentang Perbuatan Pembelaan Darurat atau Pembelaan Terpaksa (Noodweer), FS akhirnya bebas kembali. Dia bisa bebas seperti “terdakwa” dalam kasus KM 50 Tol Jakarta-Cikampek.
Apalagi, sampai detik ini tanda pangkatnya masih utuh melekat pada dirinya. Apapun, FS masih bebas komunikasi dengan kolega atau anak buahnya yang setia kepadanya. Dan, tetap bisa memberikan instruksi kepada mereka.
Betapa kuatnya pengaruh FS ini bisa dilihat dari tempat penahanannya. Fakta bahwa paska ditetapkan sebagai tersangka pembunuh Brigadir J, FS langsung “diamankan” di rutan Mako Brimob Kelapa Dua, Depok, Jawa Barat.
Mengapa harus ditahan di Mako Brimob? Bukankah dia pembunuh Brigadir J, seorang Bhayangkara Negara yang bertugas menjadi Ajudan? Mengapa tidak ditahan di rutan Mabes Polri seperti Irjen Napoleon Bonaparte saja?
Jangan sampai ada sakwasangka masyarakat bahwa FS mendapatkan fasilitas istimewa di rutan Mako Brimob. Apalagi, jenderal sekelas FS ketika menjabat Kadiv Propam Polri ditengarai cukup “loyal dan royal” kepada institusi Polri.
Semoga sakwasangka masyarakat tidak terbukti dan tidak terjadi. Hanya saja kalau itu terjadi kredibilitas Polri akan makin ambyar. (*)