Merasakan Kekuasaan dan Keadilan Tuhan

Yusuf Blegur, Mantan Presidium GMNI

Pastilah setiap yang berlebihan dan melampaui batas tersebut sesungguhnya merupakan perbuatan keji. Pada waktunya akan merasakan kekuasaan dan keadilan Tuhan.

Oleh: Yusuf Blegur, Mantan Presidium GMNI

TRAGEDI di tubuh Polri, betapapun mengerikan harus dilihat sebagai sebuah pelajaran dari banyak peristiwa memilukan yang terjadi di negeri ini. Tentang semua pikiran, ucapan, dan tindakan terkait kepentingan rakyat yang harus dipertanggungjawabkan.

Masih banyak Ferdy Sambo lain dan kroninya berkeliaran di pelbagai insitusi negara. Betapun lihainya rekayasa kejahatan dan kedzoliman rezim ini, pada akhirnya akan tunduk berhadapan dengan kekuasaan dan keadilan Tuhan.

Indonesia sekarang seakan-akan telah dikuasai oleh kekuatan gelap, angkara murka begitu digdaya menampilkan kesombongannya. Rakyat terus-menerus menjadi korban dari praktek-praktek distorsi penyelenggaraan negara oleh sekelompok orang yang berlindung di balik harta dan jabatannya.

Kejahatan yang terorganisir, terstruktur dan masif kini berwajah formal dan konstitusional. Sistem ketatanegaraan telah menjadi wadah sekaligus sarana berhimpunnya sekumpulan penghianat bangsa yang membunuh Pancasila, UUD 1945, dan NKRI.

Gonjang-ganjing dalam institusi Polri merupakan salah satu contoh gejala berulang, pada kondisi akut dari penyakit komplikasi dan kronis yang menggerogoti bangsa ini sejak lama secara keseluruhan.

Negeri ini hanya mampu menuangkan cita-cita mulia kemerdekaan pada secarik kertas sebagaimana tertuang dapam pembukaan UUD I945. Tak berkelanjutan dalam pikiran, ucapan dan tindakan nyata yang membawa kehidupan rakyat pada kemakmuran dan keadilan, tak berujung pada negara kesejahteraan.

Di dalam tangan para pemangku kepentingan publik yang rentan hipokrit dan psikopat, NKRI deras menuju jurang kehancuran. Sementara Pancasila hanya bisa diwujudkan dalam bentuk nafsu syetan memburu materi dan kenikmatan kehidupan duniawi.

Rakyat terus tak berdaya dalam semua perjalanan sejarah republik. Hidup dalam kebodohan dan kemiskinan, melewati batas waktu dan zaman.

Menumpahkan darah dan mengorbankan jiwa, dari generasi ke generasi harus hidup sengsara dan menderita mulai dari masa kolonialisme dan imperialisme lama hingga ke-77 tahun usia kemerdekaannya.

Penindasan dan kesewenang-wenangan, kini semakin marak dan menjadi pemandangan yang lumrah, meski hidup bebas dari alam penjajahan. Watak dan tabiat kompeni, rupanya masih hidup dan bertumbuh-kembang dalam wajah-wajah asing dan aseng serta segelintir pribumi.

Sudah semakin sulit dibedakan penjajahahan dari bangsa asing atau oleh bangsa sendiri, karena mereka menyatu dan dalam penampakan serupa tapi tak sama.

Melampaui Batas

Ketika pejabat dan para pemimpin mulai keluar dari trek hakekat bernegara dan berbangsa. Saat proses penyelenggaraan pemerintahan semakin menjauh dari moralitas dan spiritualitas.

Maka rakyat Indonesia yang berbasis religi dan telah bersepakat menjunjung demokrasi dalam habitat kemajemukan dan kebhinnekaannya, perlahan tapi pasti terpaksa mengalami kemunduran peradaban.

Aparat dan elit politik menjadi pembunuh dan perampok, sebagian rakyatnya juga menjadi maling-maling kecil. Kebohongan, korupsi, tindakan kekerasan, perampasan, pemerkosaan, LGBT dan pelbagai penyimpangan menjadi serba permisif terutama di kalangan penyelenggara negara.

Sungguh ironis dan begitu miris, perbuatan-perbuatan tercela dan sarat kebiadaban itu justru lebih banyak dilakukan oleh para pemimpin yang seharusnya memberi contoh dan keteladanan bagi rakyatnya.

Kembali kepada prahara yang terjadi dalam institusi Polri, sudah selayaknya bangsa ini dapat melakukan refleksi dan evaluasi total. Bahwa kehancuran sistem dan kerusakan serta kebobrokan mental birokrasi pemerintahan telah melampaui batas.

Bukan hanya sebatas Polri, hampir pada setiap institusi negara mengalami fenomena yang sama. Sektor legislatif dan yudikatif, kemudian juga sektor eksekutif dari mulai presiden hingga kementerian, pemerintahan daerah, BUMN-BUMD, komisi tetap dan komisi adhock seperti KPU, Komnas HAM, KPK dlsb., juga mengalami disfungsi dan distorsi kebijakan.

Kalau tidak penyelewengan keuangan, para pembuat dan eksekutor kebijakan itu kerapkali melakukan manipulasi dan kamuflase terhadap undang-undang, peraturan dan keputusan yang memarjinalkan kepentingan hajat hidup orang banyak.

Bukan hanya intens menghirup udara kapitalisme global, liberalisasi, dan sekulerisasi juga sudah masuk ke tulang sumsum bangsa ini, menjiwai pola dan gaya hidup terlebih pada para wakil dan pelayan rakyat yang hedon dan menjadi lumben proletar.

Uang, jabatan dan populeritas telah menjadi tujuan hidup sebagian besar penghuni bumi nusantara ini.

Sikap materialistik yang dianggap mampu menopang status sosial, perlahan menjadi keyakinan dan agama baru. Kemewahan dan gaya hidup yang telah dimanjakan oleh fasilitas berlimpah, membuat banyak pejabat larut dalam kenikmatan semu dan sesaat.

Keuangan yang maha kuasa, berhasil menggusur dan melumpuhkan sila pertama Pancasila, untuk selanjutnya mengubur utuh lebih dalam dasar negara dan falsafah bangsa itu.

NKRI kini bertuhankan materi dan UUD 1945 menjadi alat ritual transaksional kepentingan politik sesat.

Oleh karena itu, belajar dari gonjang-ganjing di korps Bhayangkara tersebut  juga yang sama secara esensi dan substans pada insitusi negara sebagian besar lainnya.

Maka bangsa ini, selayaknya dapat memetik nilai dan memungut hikmah lebih fundamental. Distorsi penyelenggaraan negara tak akan kekal, untuk terus berlangsung selamanya.

Tak ada kesenangan yang berlama-lama, tak ada pesta yang tak berakhir. Serapat-rapatnya bau busuk itu disimpan, aromanya akan tercium juga. Sepandai-pandainya Tupai melompat, akhirnya akan terjatuh juga.

Tidak ada kejahatan yang sempurna, tak ada kebohongan yang tak terungkap, Rakyat boleh tak berdaya, rakyat boleh dirampas haknya, rakyat boleh tergusur dan lapar.

Tapi rakyat masih punya suara dan jeritan hati. Rakyat masih punya doa dan keluhannya kepada Sang Pencipta yang Maha Pemberi dan Pengasih. Sama halnya seperti darah beracun para ulama dan pewaris nabi yang punya muhabalah. Doa orang yang teraniaya lebih dekat sampai ke haribaan Illahi.

Begitupun kepada para pemimpin yang dzolim dan lalim, bukan soal waktu dan bukan soal cepat atau lambat.

Pastilah setiap yang berlebihan dan melampaui batas tersebut sesungguhnya merupakan perbuatan keji. Pada waktunya akan merasakan kekuasaan dan keadilan Tuhan.

Merasakan kekuasan dan keadilan Tuhan, menjadi sesuatu yang tak bisa ditawar-tawar dan akan menghampirinya suka atau tidak suka. Masih berani menunggu muhabalah?

Munjul-Cibubur, 23 Agustus 2022. (*)

329

Related Post