Pendapat Hukum Terhadap Penarikan Pimpinan MPR Unsur DPD Fadel Muhammad

Fadel Muhammad. (Foto: Era.id)

Pernyataan tertulis 97 (sembilan puluh tujuh) Anggota MPR unsur DPD tergolong penarikan mandat dengan cara pemungutan suara (voting).

Oleh: Gugum Ridho Putra, SH, MH, Managing Partner Kantor Hukum GUGUM RIDHO & PARTNERS

Dasar Hukum

Dasar hukum yang dijadikan rujukan dalam menyusun pendapat hukum ini antara lain:

1. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (“UUD NRI Tahun 1945”);

2. Undang-Undang Negara Republik Indonesian Nomor 17 Tahun 2014 tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (“UU Nomor 17 Tahun 2014”);

3. Peraturan Majelis Permusyawaratan Rakyat Negara Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2019 tentang Tata Tertib Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia (“Tatib MPR RI Nomor 1 Tahun 2019”);

4. Peraturan Dewan Perwakilan Daerah Negara Republik Indonesian Nomor 1 Tahun 2022 tentang Tata Tertib (“Tatib DPD RI Nomor 1 Tahun 2022”).

Pertanyaan Hukum

Adapun pertanyaan hukum yang diminta untuk dianalisa adalah sebagai berikut:

1. Bagaimana Tatacara Pemberhentian Pimpinan MPR dari Kelompok DPD RI?

2. Apa Alasan Yang dapat dijadikan Dasar Pengusulan Penggantian Pimpinan MPR dari Kelompok DPD? Dan Bagaimana Prosedurnya?

3. Apakah “mosi tidak percaya ” dapat dianggap Sebagai mekanisme pemberhentian dan penggantian pimpinan MPR RI menurut Ketentuan Pasal 29 ayat (1) huruf e Tatib MPR RI Nomor 1 Tahun 2019?

Pembahasan Analisis Hukum

III.1 Tatacara Pemberhentian Pimpinan MPR Dari Kelompok DPD

1. Bahwa ketentuan pasal 1 ayat 3 UUD Tahun 1945 telah menegaskan Indonesia adalah negara hukum. Pengakuan sebagai negara hukum itu membawa konsekuensi bahwa segala tindak tanduk penyelenggaraan negara hanya bisa diselenggarakan dengan dasar kewenangan dan prosedur yang telah ditentukan dalam hukum. Dalam pelaksanaannya, penyelenggaraan negara dalam berbagai aspek harus mengacu kepada sistem peraturan perundangundanganyang dan berlaku secara hierarkis (berjenjang).

2. Mengacu kepada teori pertingkatan norma Hans Kelsen dan muridnya Hans Nawiasky, norma hukum tersusun dalam hierarki dari bawah hingga ke atas. Puncak hukum tertulis tertinggi di sebuah negara adalah staatsgrund gezets atau dikenal dengan sebutan konstitusi. Prinsip hierarki ini kemudian diadops dalam sistem perundang-undangan kita. Undang-Undang tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan yang telah direvisi dengan Undang-Undang Nomor kemudian diperbaiki dengan Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2019 menempatkan konstitusi atau Undang-Undang Dasar Tahun 1945 sebagai norma hukum tertulis tertinggi.

3. Satu layer atau satu tingkat di bawahnya ada peraturan perundang-undangan berbentuk Undang-Undang dan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu). Di bawahnya lagi ada Peraturan Perundang-Undangan dalam tataran teknis (verodenung) maupun peraturan otonom (autonome satzung) bentukan eksekutif di tingkat pusat seperti Peraturan Pemerintah, Peraturan Presiden, Peraturan Menteri, Peraturan Lembaga Negara. Terakhir dalam layer atau tingkatan terbawah adalah peraturan perundang-undangan dalam tataran teknis (verodenung) maupun peraturan otonom (autonome satzung) bentukan eksekutif di tingkat daerah seperti Peraturan Daerah (Perda), Peraturan Gubernur/Bupati/Walikota, Peraturan Desa, dan sebagainya. Masing-masing berlaku dalam tatarannya dan tidak boleh bertentangan antara peraturan yang di bawah dengan peraturan di atasnya.

4. Tidak terkecuali terhadap sistem hukum yang mengatur Pengisian, Pemberhentian dan Penggantian Pimpinan MPR dari Unsur DPD RI. Dasar hukum tertinggi adalah staatgrund gesetz atau konstitusi yakni UUD NRI Tahun 1945. Di bawahnya dalam tataran strategis berlaku yakni UU No. 17 Tahun 2014. Di bawahnya lagi dalam tataran teknis dan otonom kelembagaan terdapat Peraturan Tata Tertib di lingkungan MPR RI (Tatib MPR RI Nomor 1 Tahun 2019) dan Tatib DPD RI (Tatib DPD RI Nomor 1 Tahun 2022). Masing-masing Tatib berlaku sebagai peraturan teknis untuk melaksanakan UU Nomor17 Tahun 2014 dalam tataran teknis, sekaligus berlaku pula sebagai peraturan otonom, yakni peraturan yang berlaku mengikat dan wajib dipatuhi dalam internal lembaga masing-masing.

5. Bahwa ketentuan Pasal 15 ayat (1) UU Nomor 17 Tahun 2014 menyatakan “Pimpinan MPR terdiri atas 1 (satu) Ketua dan 4 (empat) orang wakil ketua yang dipilih dari dan oleh Anggota MPR”. Ayat (2) ketentuan ini mengatakan “Pimpinan MPR sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dipilih dari dan oleh

anggota MPR dalam satu paket yang bersifat tetap”. UU Nomor 17 Tahun 2014 tidak memerinci makna frasa “bersifat tetap”. Akan tetapi jika dikaitkan dengan ketentuan masa jabatan anggota MPR yang berbunyi “Masa jabatan anggota MPR adalah 5 (lima) tahun dan berakhir pada saat anggota MPR yang baru mengucapkan sumpah/janji”, maka bersifat tetap ini menyangkut jabatannya yang bukan sementara (tidak ad hoc ). Pimpinan MPR menjabat dalam masa jabatan yang tetap yakni mutatis mutandis mengikuti masa jabatannya sebagai anggota MPR selama 5 tahun.

6. Bahwa ketentuan Pasal 15 ayat 5 UU Nomor 17 tahun 2014 menentukan “Pimpinan MPR sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dipilih secara musyawarah untuk mufakat dan ditetapkan dalam rapat paripurna MPR”. Ayat (6) mengatakan “Dalam hal musyawarah untuk mufakat sebagaimana dimaksud pada ayat (5) tidak tercapai, pimpinan MPR dipilih dengan pemungutan suara dan yang memperoleh suara terbanyak ditetapkan sebagai pimpinan MPR dalam rapat paripurna MPR”. Sementara ayat (8) mengatakan “Pimpinan MPR ditetapkan dengan Keputusan MPR”. Dari sini dapat dipahami bahwa ada 2 (dua) cara memilih pimpinan MPR yakni dapat dipilih lewat musyawarah atau lewat voting dan penetapannya menggunakan Keputusan MPR.

7. Bahwa terkait pemberhentian Pimpinan MPR, ketetuan pasal 17 ayat (1) UU Nomor 17 Tahun 2014 menyatakan “Pimpinan MPR berhenti dari jabatannya karena : a. Meninggal dunia; b. Mengundurkan diri; c. Diberhentikan”. Ayat (2) mengatakan “Pimpinan MPR diberhentikan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c apabila : a. Diberhentikan sebagai anggota DPR atau anggota DPD; atau b. Tidak dapat melaksanakan tugas secara berkelanjutan atau berhalangan tetap sebagai pimpinan MPR”. Dari ketentuan ini dapat diketahui hanya ada 3 (tiga) dasar pemberhentian pimpinan MPR yakni : (1) pertama, meninggal dunia; (2) kedua, mengundurkan diri; (3) ketiga, diberhentikan. Dalam Pasal 19 UU No. 17 Tahun 2014 ditegaskan “Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pemberhentian dan penggantian pimpinan MPR diatur dalam peraturan MPR tetang tata tertib”, dalam hal ini Tatib MPR RI Nomor 1 Tahun 2019.

8. Bahwa mengacu kepada Tatib MPR RI Nomor 1 Tahun 2019, alasan pemberhentian Pimpinan MPR kembali diperjelas kembali dalam ketentuan pasal 29 ayat (1) yakni “Pimpinan MPR berhenti dari jabatannya karena: a. Meninggal dunia, b. Mengundurkan diri; c. Diberhentikan; d. Menjabat sebagai Pimpinan DPR atau Pimpinan DPD; atau e diusulkan penggantian oleh Fraksi/Kelompok DPD”. Dari ketentuan ini dapat diketahui terdapat penambahan dasar pemberhentian Pimpinan MPR yang semula hanya ada 3 (tiga) alasan, bertambah 2 (dua) dasar lagi yakni menjabat sebagai Pimpinan DPR atau Pimpinan DPD atau diusulkan penggantian oleh Fraksi/Kelompok DPD.

9. Bahwa selanjutnya dalam ketentuan Pasal 31 ayat (1), (2) dan (3) Tatib MPR RI Nomor 1 Tahun 2019 ditegaskan apabila terdapat kekosongan jabatan ketua MPR, Pimpinan MPR akan menyurati Fraksi asal ketua MPR jika ketua MPR berasal dari salah satu Fraksi atau Kepada Kelompok DPD jika Ketua MPR berasal dari Kelompok DPD. Masing-masing kelompok menetapkan nama Pengganti Calon Pimpinan MPR selambatnya 30 (tiga puluh) hari setelah menerima surat Pimpinan MPR. Nama calon Pengganti Ketua MPR disampaikan kepada Ketua MPR.

Apa Alasan yang Dapat Dijadikan Dasar Pengusulan Penggantian Pimpinan MPR Dari Kelompok DPD? Dan Bagaimana Prosedurnya?

10. Bahwa Ketentuan Pasal 29 ayat (1) Tatib MPR Nomor 1 Tahun 2019 telah menegaskan Pimpinan MPR dapat berhenti dari jabatannya salah satunya karena “diusulkan penggantian oleh Fraksi/Kelompok DPD”. Dengan ketentuan ini Pimpinan MPR dari unsur Kelompok DPD dapat saja diberhentikan di tengah masa jabatannya dengan mekanisme pengusulan penggantian yang disampaikan oleh anggota-anggota MPR Kelompok DPD RI. Meskipun alasan ini dapat dijadikan dasar untuk pemberhentian, namun Tatib MPR Nomor 1  Tahun 2019 tidak mengatur secara rigid apa saja kondisi-kondisi yang dapat membuat Kelompok DPD berhak mengusulkan penggantian Pimpinan MPR di tengah masa jabatannya.

11. Bahwa apabila merujuk kepada Peraturan Dewan Perwakilan Daerah Negara Republik Indonesian Nomor 1 Tahun 2022 tentang Tata Tertib (“Tatib DPD RI Nomor 1 Tahun 2022”), ketentuan Pasal 135 ayat (1) menyatakan “calon Pimpinan dari unsur DPD dipilih dari dan oleh Anggota dalam sidang paripurna yang dipimpin oleh Pimpinan DPD”. Ayat (2) menyatakan “Anggota DPD yang telah menjadi calon Pimpinan DPD tidak dapat lagi menjadi calon Pimpinan MPR”.

12. Bahwa Tatib DPD RI Nomor 1 Tahun 2022 juga telah menentukan persyaratan khusus bagi Anggota untuk dapat dipilih dan diusulkan menjadi Pimpinan MPR dari Unsur DPD. Dalam ketentuan Pasal 136 ayat (1) disebutkan “Calon Pimpinan MPR unsur DPD seabgaimana dimaksud dalam Pasal 135 harus memenuhi syarat sebagai berikut: a. Memiliki integritas, kapasitas dan kapabilitas; b. Berjiwa kenegarawanan; c. Memiliki pengetahuan tentang wawasan nusantara; dan d. Menandatangani pakta integritas”.

13. Bahwa pakta integritas yang dimaksud dalam ketentuan di atas, diperjelas dalam pasal 136 ayat (2) yakni “Pacta integritas sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf d memuat kesediaan calon pimpinan MPR unsur DPD untuk:

a. Mewujudkan penyelenggaraan lembaga negara yang berwibawa, baik, dan bersih dengan menaati peraturan perundang-undangan;

b. Tidak melakukan politik uang baik secara langsung maupun tidak langsung

dalam bentuk pemberian dan gratifikasi serta janji yang dilakukan sendiri atau melalui orang lain;

c. Bersedia untuk tidak merangkap jabatan sebagai pimpinan lembaga negara lain; dan

d. Bersedia mengundurkan diri sebagai Pimpinan MPR unsur DPD apabila dikemudian hari ternyata ditemukan terjadinya pelanggaran sebagaimana dimaksud pada huruf a, huruf b dan huruf c.

14. Bahwa ketentuan Pasal 137 ayat (1) dan (2) Tatib DPD RI Nomor 1 Tahun 2022 juga menentukan mekanisme pemilihan calon Pimpinan MPR unsur DPD. Dalam ayat (1) disebutkan “Pemilihan calon Pimpinan MPR dari unsur DPD dilakukan dengan prinsip mendahulukan musyawarah untuk mufakat dan keterwakilan wilayah”. Sementara ayat (2) menyatakan “Apabila tidak tercapai mufakat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) pemilihan dilakukan dengan pemungutan suara”.

15. Bahwa Tatib DPD RI Nomor 1 Tahun 2022 tidak memerinci mekanisme Penggantian Pimpinan MPR Unsur DPD lewat mekanisme pengusulan oleh Anggota MPR Kelompok DPD. Namun Tatib DPD RI Nomor 1 Tahun 2022 mewajibkan Pimpinan MPR unsur DPD menyampaikan laporan kinerja setiap tahun. Hal ini dipertegas dalam ketentuan pasal 138 ayat (1) yang menyatakan “Pimpinan MPR dari unsur DPD menyampaikan laporan kinerja dalam sidang paripurna DPD setiap 1 (satu) tahun sidang”. Sementara Ketentuan Pasal 138 ayat (2) menyatakan “Kelompok Anggota DPD di MPR menindaklanjuti laporan kinerja sebagaimana dimaksud pada ayat (1)”.

16. Bahwa merujuk kepada ketentuan pasal 135 ayat (1) Tatib DPD RI Nomor 1 Tahun 2022 di atas, dapatlah dipahami bahwa Anggota MPR dari Kelompok DPD adalah Pemilik Hak Pilih sah atas calon Pimpinan MPR unsur Kelompok DPD. Para Anggota DPD memilih Calon Pimpinan MPR dari Unsur DPD dengan mekanisme musyawarah dan/atau Pemungutan Suara (voting ). Pemilihan Pimpinan MPR dari unsur DPD lewat musyawarah ataupun lewat voting bukanlah pemberian wewenang secara atributif (atribusi ) ataupun pelimpahan wewenang (delegasi). Melainkan sekedar pemberian mandat dari Kelompok Anggota DPD kepada salah satu anggotanya untuk menjadi Pimpinan MPR dari Unsur DPD. Dengan begitu Pimpinan MPR unsur DPD hanyalah sekedar pemegang mandat (mandataris ) dari para anggota yang diwakilinya. Kewenangan dan hak-hak suara dalam rapat-rapat pengambilan keputusan di MPR tetap milik anggota-anggota DPD yang duduk di MPR.

17. Bahwa bukti Pimpinan MPR Unsur DPD hanyalah mandataris Kelompok Anggota DPD yang menunjuknya, dapat dilihat dari ketentuan pasal 3 Tatib MPR RI Nomor 1 Tahun 2019 yakni “MPR terdiri atas Anggota DPR dan Anggota DPD yang dipilih melalui Pemilihan Umum”. Hal yang sama juga dipertegas oleh ketentuan tentang Pengambilan Keputusan.

Dalam ketentuan Pasal 90 Tatib MPR RI Nomor 1 Tahun 2019 ditegaskan bahwa Kuorum pengambilan keputusan untuk mengubah UUD NRI Tahun 1945 adalah sah apabila dihadiri 2/3 (dua pertiga) anggota dan disetujui minimal 50% (lima puluh persen) plus 1.

Usul Pemberhentian Presiden dan/atau wakil presiden adalah sah apabila dihadiri ¾ (tiga per empat) anggota dan disetujui minila 2/3 (dua pertiga) anggota MPR yang hadir. Begitupun untuk sidang selain dua hal itu, pengambilan keputusan sah apabila dihadiri minimal 50% (lima puluh persen) plus 1 anggota dan disetujui minimal 50% (lima puluh persen) plus 1 anggota hadir.

Ketentuan Pasal 138 ayat (1) 1Tatib DPD Nomor 1 Tahun 2022, Pimpinan MPR unsur DPD juga diwajibkan menyampaikan laporan Tahunan dalam rapat paripurna dan Anggota MPR Kelompok DPD menindak lanjuti laporan tersebut.

Dengan begitu, jelaslah pemilik kewenangan dan hak untuk mengambil keputusan dalam penyelenggaraan tugas-tugas MPR ada pada anggota, bukan pada pimpinan MPR.

18. Bahwa olehkarena kewenangan kelompok anggota DPD tidak beralih sekalipun dilakukan pemberian mandat, maka atas mandat yang telah diberikan kepada Pimpinan MPR unsur DPD dapat dilakukan pencabutan kapan saja oleh Pemberi Mandat. Itulah mengapa, ketentuan Pasal 29 ayat (1) huruf e Tatib MPR RI Nomor 1 Tahun 2019 mengatur pemberhentian Pimpinan MPR Unsur DPD dapat diusulkan penggantian oleh Fraksi/Kelompok DPD. Teknis penggantian ini tidak perlu diatur secara teknis karena penunjukan pimpinan MPR unsur DPD adalah sebuah pemberian mandat, atas dasar itu penarikan dan penggantiannya dapat dilakukan kapan saja oleh Kelompok Anggota DPD selaku Pemberi Mandat.

Apakah “Mosi Tidak Percaya” Termasuk Mekanisme Pemberhentian Pimpinan MPR Unsur DPD RI yang Sah Menurut Pasal 29 Ayat (1) Huruf E Tatib Mpr Ri Nomor 1 Tahun 2019

19. Bahwa mosi tidak percaya dari segi istilah memang hanya dikenal dalam sistem pemerintahan parlementer dan tidak dikenal dalam sistem pemerintahan presidensil. Namun jika hal itu dipersoalkan, apa yang diajukan Kelompok Anggota DPD di MPR hanyalah sekedar persoalan peristilahan saja. Sekalipun nama yang disematkan adalah “mosi tidak percaya” namun secara substansial tindakan yang diambil 97 (sembilan puluh tujuh) Anggota MPR unsur DPD secara faktual adalah sebuah pernyataan keputusan tertulis yang tidak lagi melanjutkan atau menarik mandat yang selama ini diterima pimpinan MPR unsur DPD a.n Fadel Muhammad. Atas dasar itu, tindakan 97 anggota DPD tersebut dapatlah dianggap sebagai pelaksanaan penarikan mandat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 29 ayat (1) huruf e yakni “pemberhentian pimpinan MPR unsur DPD dengan cara diusulkan penggantian oleh Kelompok DPD”.

20. Bahwa ketentuan Pasal 137 ayat (1) dan (2) Tatib DPD RI Nomor 1 Tahun 2022 telah menentukan dua cara dalam melakukan pemilihan calon Pimpinan MPR unsur DPD, yakni (1) lewat musyawarah atau (2) lewat pemungutan suara (voting). Sekalipun tidak ada mekanisme yang terperinci bagaimana melaksanakan penarikan mandat dalam pasal 29 ayat (1) huruf e Tatib MPR RI Nomor 1 Tahun 2019, namun semenjak penunjukan mandat itu dilakukan melalui musyawarah atau voting, maka penarikan mandatnya pun mutatis mutandis dapat dilakukan dengan mekanisme yang sama yakni melalui musyawarah atau voting. 97 (sembilan puluh tujuh) dari total 136 (seratus tiga puluh enam) anggota DPD telah menyatakan keputusan tertulisnya.

Pernyataan tertulis itu jika diakumulasi secara keseluruhan dapatlah dikategorikan sebagai pemungutan suara atau voting . Dengan demikian, secara hukum 97 (sembilan puluh tujuh) anggota MPR unsur DPD telah menyatakan hak suaranya untuk menarik mandat pimpinan MPR unsur DPD a.n Fadel Muhammad. Dengan begitu, secara hukum pemberhentian pimpinan MPR unsur DPD a.n Fadel Muhammad telah sah karena telah sesuai dengan ketentuan Pasal 29 ayat (1) huruf e Tatib MPR RI Nomor 1 Tahun 2019.

Kesimpulan Pendapat Hukum

Berdasarkan seluruh uraian di atas, dapat disimpulkan pendapat hukum sebagai berikut:

1. Pimpinan MPR dari Kelompok DPD dapat berhenti dari jabatannya karena 5 (lima) alasan yakni : a. Meninggal dunia; b. Mengundurkan diri; c. Diberhentikan; d. Menjabat sebagai Pimpinan DPD; e. diusulkan penggantian oleh Fraksi/Kelompok DPD. Setelah pimpinan MPR dari Kelompok DPD berhenti, Pimpinan MPR menyurati Kelompok DPD. Kelompok DPD memiliki waktu selambatnya 30 (tiga Puluh) hari untuk menetapkan nama Pengganti dan menyampaikannya kepada Pimpinan MPR.

2. Pemilihan Pimpinan MPR unsur Anggota DPD adalah sebuah mekanisme pemberian mandat. Atas dasar itu Pemberhentian Pimpinan MPR unsur DPD melalui mekanisme dalam Pasal 29 ayat (1) huruf e Tatib MPR RI Nomor 1 Tahun 2019 adalah sebuah mekanisme penarikan mandat. Itulah mengapa teknis penggantian ini tidak perlu diatur secara rinci karena penunjukan pimpinan MPR unsur DPD adalah sebuah pemberian mandat, maka penarikan dan penggantiannya dapat dilakukan kapan saja oleh Kelompok Anggota DPD selaku Pemberi Mandat.

3. Mosi tidak percaya memang tidak dikenal dalam Negara Republik Indonesia yang menganut sistem pemerintahan presidensil. Akantetapi, tindakan yang diambil 97 (sembilan puluh tujuh) Anggota MPR unsur DPD secara faktual adalah sebuah pernyataan keputusan tertulis yang tidak lagi melanjutkan atau menarik mandat yang selama ini diterima pimpinan MPR unsur DPD a.n Fadel Muhammad. Tindakan penarikan mandat oleh 97 (sembilan puluh tujuh) dari total 136 (seratus tiga puluh enam) anggota DPD juga telah sesuai dengan mekanisme pemilihan Pimpinan MPR unsur DPD dalam ketentuan Pasal 137 ayat (1) dan (2) Tatib DPD RI Nomor 1 Tahun 2022. Semenjak pemilihannya (pemberian mandat) dilakukan dengan musyawarah atau pemungutan (suara), maka penarikan mandat juga dapat dilakukan dengan cara yang sama.

Pernyataan tertulis 97 (sembilan puluh tujuh) Anggota MPR unsur DPD tergolong penarikan mandat dengan cara pemungutan suara (voting).

Demikianlah pendapat hukum ini saya sampaikan, semoga bermanfaat dan dapat dipergunakan sebagaimana mestinya. (*)

604

Related Post