Dalam Suasana Sakral Mereka Berjoged Ria
Ibarat orang menembak, meluruskan alat bidik pisir dan pejera ke kesadaran. Pisir menempel di mata adalah sejarah dan pejera yang berada di atas ujung Laras itulah masa depan. Telah ditempatkan ke arah yang salah.
Oleh: Sutoyo Abadi, Koordinator Kajian Politik Merah Putih
NEGARA ini akan dibawa ke mana, seperti dikatakan oleh Prof. Daniel M. Rosyid: “Para pendiri bangsa sudah mengantarkan kita ke depan pintu gerbang kemerdekaan, tapi kita tidak cukup bernyali memasukinya karena tidak sanggup bertanggungjawab memikul konsekuensi menjadi bangsa merdeka”.
“Pembangunan dikerdilkan hanya sekedar menambah jumlah gedung dan panjang jalan, serta koleksi motor dan mobil, bukan upaya memperluas kemerdekaan. Bahkan kita sanggup kehilangan kebebasan demi keamanan dan ketertiban, serta kemakmuran semu”.
Memaknai dan merasakan makna kemerdekaan telah hilang dari para petinggi negara. Pemandangan menakjubkan muncul paska upacara HUT RI ke-77 yang sangat sakral di Istana Negara yang seharusnya penuh penghayatan untuk mengenang para pahlawan yang berjuang demi kemerdekaan, berjoged ria persis seperti anak asuhan Oligarki yang sudah jinak, semua masuk dalam hedonis.
Bangsa yang besar adalah mereka yang menghargai jasa para pahlawannya. Para pahlawan yang sudah terbujur di makam-makam pahlawan, bukan saja mereka lupakan tetapi sudah mereka nistakan dengan berjoget ria.
Berjuang tidak harus dengan nyawa, setidaknya cipta, rasa dan karsa tetap ada dalam diri pemimpin bangsa ini, tidak terlihat makin kering dan hampa.
Mereka memiliki tugas dan tanggung jawab meneruskan perjuangan para pahlawan kita untuk menjaga kedaulatan negara, keutuhan wilayah NKRI dan keselamatan bangsa. Seperti tidak sadar negara sedang kembali dijajah oleh para Oligarki, berubah menjadi negara liberal dan kapitalis oleh penjajah bentuk baru saat ini.
UUD 1945 telah diganti, Pancasila telah dimusnahkan seperti mereka tidak sadari, tragis sekali. Renungan mendalam di saat saat upacara kemerdekaan diisi dengan berjoget ria. Apa mereka sedang menikmati sebagai anak manja Oligarki, dengan prilakunya merusak negara ini. Apakah mereka tidak sadar kondisinya makin mengerikan dan berbahaya.
Apa tidak terlintas dalam getaran nurani dan rasa bahwa kemerdekaan ini kerja para Bumi Poetra bermodal nekad, dengan bambu runcing, berolah juda di antara debu mesiu, sementara sekujur badannya berlumuran darah. Hanya satu semangat merdeka atau mati, Demi keselamatan dan masa depan anak cucunya.
Benturan peradaban terus berlangsung telah memasuki ruang privasi pada leluhur bangsa yang menyimpan tinta emasnya. Episode yang dibangun secara sistematis menuju masa depan untuk anak cucu telah diubah dan tanpa sadar akan dihancurkan.
Ibarat orang menembak, meluruskan alat bidik pisir dan pejera ke kesadaran. Pisir menempel di mata adalah sejarah dan pejera yang berada di atas ujung Laras itulah masa depan. Telah ditempatkan ke arah yang salah.
Miskin visi - miskin NKRI, kata Ihsanudin Nursi menjadi relevan dengan miskin sejarah dan kering dari penghayatan makna peringatan kemerdekaan yang sakral malah diisi dengan jogedan, tanpa rasa malu.
Tragis tragis dan tragis tetapi itu benar-benar terjadi di Istana Merdeka! (*)