OPINI

Rekonstruksi Kasus Sambo dan Supra-Power Kewenangan di Kepolisian

Oleh Gde Siriana Yusuf: Direktur Eksekutif Indonesia Future Studies (INFUS) dan Penulis Buku Keserakahan di Tengah Pandemi REKONSTRUKSI kasus pembunuhan Brigadir Polisi Nofriansyah Yosua Hutabarat alias Brigadir J pada Selasa, 30 Agustus lalu telah menyedot perhatian publik. Rekonstruksi adegan per adegan itu mengingatkan kita pada kisah polisi korup yang banyak digambarkan di berbagai film layar lebar di berbagai negara. Hollywood, misalnya, memproduksi film The Departed (2006) yang dibintangi Leonardo DiCaprio dan Matt Damon. Bollywood punya film terkenal Zanjeer (1973) yang dibintangi Amitabh Bachchan. Hingga drama Korea Taxi Driver yang viral pada 2021 yang menceritakan korban salah tangkap oleh polisi berdasarkan kisah nyata. Dunia film Indonesia tampaknya masih terlarang untuk mengangkat kisah-kisah nyata yang terkait dengan institusi negara yang korup, meskipun itu nyata ada dalam keseharian kita. Tetapi, dalam hampir dua bulan terakhir kita disuguhi reality show yang menjadi tontonan menarik di seluruh pelosok negeri. Drama pembunuhan Brigadir Yosua berpusat pada mantan Kepala Divisi Profesi dan Pengamanan Kepolisian RI (Polri) Inspektur Jenderal Polisi Ferdy Sambo dan istrinya, Putri Candrawathi, beserta ajudannya. Mereka bagaikan pemain utama dan pemain pendukung dalam sebuah film genre _drama-thriller_, kisah pembunuhan yang disertai bumbu-bumbu asmara. Episode awal yang menampilkan adegan tembak-menembak mampu mengecoh pikiran penonton tentang kematian seorang ajudan bernama Brigadir Yosua. Di episode berikutnya penonton akhirnya mengetahui bahwa Brigadir Yosua mati terbunuh dieksekusi atasannya beserta para ajudan lainnya. Rekonstruksi adegannya memikat publik, meskipun dari 78 adegan yang ditampilkan tidaklah memperjelas apa  motivasi sesungguhnya yang mengakhiri hidup Brigadir Yosua. Ini seperti halnya plot hole dalam film-film horor yang seringkali ada adegan yang hilang sehingga penonton menjadi penasaran dan menunggu hingga akhir film. Drama-thriller kasus Sambo dapat dikatakan ingin memindahkan apa yang dikatakan Anthony Giddens dalam teori \"strukturasi\" ke dalam format audio-vizual dengan obyeknya institusi kepolisian. Kemampuan Sambo dalam mengorganisasi polisi-polisi di berbagai divisi untuk mendukung skenario kejahatan menjadikan perannya sebagai tokoh antagonis yang sentral. Teori strukturasi menekankan pentingnya aktor atau agen (Giddens, 1984). Aktor bukan semata menjadi mesin yang dikendalikan struktur tetapi juga memiliki dorongan besar dari motivasi si aktor. Dengan demikian, aktor memiliki kemampuan untuk mempengaruhi atau bahkan menentukan struktur untuk diri mereka sendiri. Misalnya, ungkapan \"mabes di dalam mabes\", seperti yang disinggung Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan Mahfud MD soal kasus Sambo, barangkali cocok dengan penjelasan Giddens tersebut. Adanya Satuan Tugas Khusus Merah Putih, yang memiliki keistimewaan di antara subsistem Polri lain, merupakan akibat dari campur tangan agen atau aktor dalam proses produksi dan reproduksi sistem. Agen tidak saja menafsirkan perilaku aktor lainnya tetapi juga menyesuaian diri terhadap situasi tertentu serta melakukan rasionalisasi dan memberikan alasan atas tingkah lakunya. Dalam hal ini, seorang polisi, dan juga pejabat negara lain, dapat disebut memiliki \"supra-power\". Istilah ini saya gunakan dalam disertasi yang sedang saya susun untuk menggambarkan kemampuan aktor yang melampaui batas kewenangan dalam posisi strukturalnya. Dalam praktik birokrasi di Indonesia hari ini, kemampuan supra-power juga ditunjukkan oleh beberapa pejabat teras yang sangat dikenal oleh masyarakat. Aktor atau agen yang dibesarkan oleh sistem yang korup akan memiliki kemampuan supra-power dan cenderung akan mengkoptasi sistem, ibarat memelihara anak macan di dalam kandang sapi. Giddens (1984) juga menjelaskan bahwa agen atau aktor diproduksi dan terus menerus direproduksi setiap hari dalam ruang dan waktu. Proses reproduksi tersebut dapat dilihat dari perilaku oknum dalam aktivitas sehari-hari, mulai dari menerima suap tilang di jalan raya hingga merekayasa kasus kriminal. Hal itu telah menjadi pengetahuan umum masyarakat dan diinternalisasi ke dalam suatu sistem sosial. Masyarakat juga memandang perilaku tersebut telah tersebar di semua struktur organisasi kepolisian. Persepsi dan pengetahuan publik terhadap sisi negatif polisi barangkali sudah mengalami internalisasi di masyarakat. Ini tidak saja terjadi di Indonesia tapi juga di banyak negara, terutama negara-negara yang penegakan hukum dan masyarakat sipilnya masih lemah. Dalam ruang dan waktu, kekuatan struktur dalam sistem kemudian diteguhkan dan dijalankan dalam praktik yang mengukuhkan sistem tersebut. Misalnya, polisi muda, yang di masa pendidikan diajari tentang nilai-nilai pelayanan masyarakat, barangkali akan mengalami kebingungan jika sejak perekrutan telah menempuh cara-cara tidak jujur seperti menyuap agar diterima di pendidikan kepolisian. Lalu, dalam perjalanan karirnya, dia mungkin akan mencontoh perilaku buruk para senior dan atasannya. Drama-thriller Sambo ini masih menanti episode berikutnya. Penonton menunggu pengungkapan berbagai hal yang masih menjadi misteri. Barangkali misteri dari adegan yang hilang itu pun tidak akan terungkap di dalam persidangan pengadilan. Atau, cerita hanya berhenti pada pergantian aktor dalam sistem, seperti  pergantian god father dalam organisasi mafia Sisilia. Aktor berganti tetapi sistem dan struktur tidak berubah. Jika demikian halnya, maka cerita drama pembunuhan ini layak diberi judul Turn Back Cops, yang hanya menyisakan kesedihan panjang bagi keluarga korban dan pelaku tanpa perbaikan total institusi Polri. *) Tulisan ini juga dimuat di Koran Tempo edisi, Kamis, 01 September 2022.

Melawan Oligarki

Musnahkan peran oligarki yang sudah merusak negara mengganti UUD ‘45 asli dengan UUD palsu yaitu UUD 2002 dengan segala dampak dan akibat kerusakan yang terjadi. Oleh: Sutoyo Abadi, Koordinator Kajian Politik Merah Putih dan Sekjen KAMI Lintas Provinsi (Disampaikan dalam Forum Seminar Membedah Sikap dan Perilaku Oligaki di Indonesia – Jakarta, 1 September 2022) SEJALAN dengan rencana Khubilai Khan sejak abad ke-13 yang memang RRC sudah lama tanpa henti strategi menguasai Nusantara sudah terjadi, dan saat ini telah bisa kita rasakan bersama. Pertengahan abad ke-19, jumlah imigran Tionghoa masuk sudah mencapai seperempat juta orang. Jumlah ini terus meningkat, tinggal berkelompok di satu wilayah yang berada di bawah kontrol pemerintah Hindia-Belanda. Biasa disebut Pecinan. Kebijakan China perantauan abad 21 meliputi: ekonomi, budaya, dan politik. China sudah masuk untuk tujuan imperium di Indonesia. Sifat ekspansionisme dan semangatnya dalam geopolitik adalah bagian dari konsep China Raya, mereka butuh tanah baru. Pengamat politik mengendarai bahwa warga China dalam strategi tidak akan kembali ke China setelah masuk di Indonesia. Bahwa etnis China yang tersebar di seluruh dunia dan menjadikannya warga negara di mana mereka bertempat tinggal, tetap diakui dan harus menganggap bahwa dirinya adalah orang China. Kebijakan ini dikunci dengan doktrin One China. Mao Zedong mengatakan bahwa semua orang China di seluruh dunia tersebut, termasuk Indonesia adalah warga negara RRC. Pada masa penjajahan Belanda, China sudah melakukan penyuapan kepada pegawai kompeni sudah dipraktikkan. Dengan minum minuman keras hingga memberikan regognitiegeld (uang-uang dibayar setiap tahun yang dibayarkan sebagai pengakuan atas hak). Belanda tidak akan mampu menguasai Nusantara selama 350 tahun tanpa bantuan opsir China itulah sebenarnya yang melakukan dan melaksanakan order penindasan. Berabad-abad Belanda mewariskan struktur ekonomi yang didominasi ke pedagang China: Menjadi kaki tangan Belanda dalam menjajah Nusantara dan mendzalimi warga pribumi dengan sebutan Inlander dan digolongkan dalam kelas terbawah. Mereka memegang teguh ajaran dan filsafat Sun Tsu, Seni Perang, dipelajari dengan tekun dan sungguh-sungguh. Politik bisnis, bisnis itu perang. Kalau pasar adalah medan perang maka diperlukan strategi dan taktik. Sun Tsu menulis: “Serang mereka di saat mereka tak menduganya, di saat mereka lengah. Haruslah agar kau tak terlihat. Misteriuslah Agar kau tak teraba. Maka kau akan kuasai nasib lawanmu. Gunakan mata-mata dan pengelabuhan dalam setiap usaha. Segenap hidup ini dilandaskan pada tipuan”. Satu dari 36 teori Sun Tsu (jie dao sha ren) (“Bunuh dengan pisau pinjaman. Pinjam tangan orang-orang lain untuk membunuh musuhnya”). Dalam strategi dagang, baik berupa investasi, operasi bisnis ini, juga diperlukan penyamaran. Semua harus dilakukan secara halus dan terduga. Tujuannya bisa cengkerama ekonomi dan merambah ke ranah politik. Paska tragedi G 30 S PKI/1065 tersebut muncullah Instruksi Presiden Nomor 14 tahun 1967 berisi antara lain pembatasan dan perayaan China. Disusul Surat Edaran Nomor 06/Preskab/6/67 tentang penggunaan nama China dan istilah Tionghoa/Tiongkok ditinggalkan. Muncullah Keputusan Presiden Kabinet Nomor 127/U/KEP/12/1966 tentang nama bagi masyarakat China. Beruntun keputusan Presiden Kabinet Nomor 37/U/IV/6/1967 tentang Kebijakan Pokok Penyelesaian masalah China. Pada tahun yang sama muncul Surat Edaran Presidium Kabinet RI Nomor SE.06/PresKab/6/1967 tentang kebijakan pokok WNI asing dalam proses asimilasi terutama mencegah kemungkinan terjadinya kehidupan eksklusif rasial. WNI yang masih menggunakan nama China diganti dengan nama Indonesia. Keadaan yang sangat penyakitkan ketika Pribumi sedang terus terkena gempuran, keluarlah Instruksi Presiden  Nomor 27 Tahun 1998 tentang Penghentian Penggunaan Istilah Pribumi dan Non Pribumi. Sebuah Keputusan yang menghilangkan akar sejarah terbentuknya NKRI. Sementara PBB justru melindungi eksistensi warga Pribumi. Melalui Sidang Umum PBB 13 September 2007, mengakui bahwa setiap belahan bumi itu ada penduduk asli (Indigenous People = Pribumi) yang harus dijaga. Pada pendiri bangsa ini sudah berfikir untuk melindungi anak cucu dari kejahatan yang akan memusnahkannya. Di situlah lahir Pancasila dan UUD 1945. Pada masa Presiden Abdurrahman Wahid alias Gus Dur mencabut Instruksi Presiden Nomor 14/1967 yang melarang etnis China merayakan pesta agama dan penggunaan huruf China dicabut, dengan lahirnya Keputusan Presiden Nomor 6/2000, yang memberikan warga China kebebasan melaksanakan ritual keagamaan, tradisi, dan budaya kepadanya. Pada masa Presiden Megawati Soekarnoputri juga mengeluarkan Keputusan Presiden Nomor 19 Tahun 2002, hari Imlek menjadi hari libur Nasional. Pada masa Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, lahir Keputusan Presiden Nomor 12 Tahun 2014 tentang pencabutan Surat Edaran Presidium Kabinet Ampera Nomor SE - 06/Pred.Kab/6/1967, isinya “kita tidak boleh menyebut CHINA diganti TIONGHOA atau komunitas TIONGHOA. Sebelumnya pada 1991 Lee Kuan Yew kerja sama dengan RRC di Singapura mengumpulkan China perantauan (Overseas Chinese) 800 penguasaan besar dari 30 negara, termasuk penguasaan China dari Indonesia. China berhasil melahirkan budaya kapitalisme sendiri. Dalam perkembangannya, China dengan cerdik menawarkan pada ASEAN satu traktat perdagangan yang dikenal dengan CAFTA (China - ASEAN Free Trade Area), untuk menciptakan Sinosentrismo sesuai kepentingan ekonomi dan politiknya. Ini adalah permainan jangka panjang China yang cerdik berlindung ingin ASEAN secara otomatis memperhitungkan kepentingan dan ketergantungan kepada China, termasuk Indonesia. Dan, saat ini kita kenal dengan strategi dengan nama One Belt One Road (OBOR). China memberi hutang dan menawarkan investasi kepada Indonesia bukan hanya bermotif ekonomi tetapi jelas ada motif politik ketergantungan Indonesia kepada China. Pada masa Presiden Joko Widodo, Oligarki telah sampai ada pintu gerbang kemerdekaannya. Rezim saat ini tak paham sejarah Karpet Merah disediakan oleh Oligarki dan RRC. Tawaran manis Xi Jinping dari China diterima dengan suka cita, tanpa mau menyadari semua resiko yang akan terjadi. Tawaran utang dilahap. China ini sangat mengerti dan paham sekali bahwa Indonesia akan kesulitan saat harus mengembalikan hutang hutangnya, dengan segala resikonya. Tawaran manis Xi Jinping dari China diterima dengan suka cita, tanpa mau menyadari semua resiko yang akan terjadi nanti. Bahkan, di beberapa media Menlu Retno Marsudi meminta rakyat Indonesia bertepuk tangan. Semua nota kesepahaman dari China ada beberapa implikasi strategis dan membahayakan keselamatan anak cucu, khususnya tentang kedatangan jutaan warga China dengan alasan untuk kerja di proyek yang didanainya. Saat ini China di Indonesia sudah sudah mulai masuk dalam pertarungan politik praktis dengan mendirikan partai politik dan menguasai partai politik serta sudah menguasai pada penguasa pengambil kebijakan negara. Selangkah lagi target warga China harus bisa jadi Presiden Indonesia. Mereka sudah berhasil mengubah psl 6 (1) UUD 45 adalah prestasi gemilang sebagai pintu masuk China sebagai penguasa di Indonesia. Pasal 6 (1) UUD 1945 yang semula berbunyi: \"Presiden ialah orang Indonesia ASLI .. diganti menjadi: “Presiden dan Wakil Presiden harus warga negara Indonesia sejak kelahirannya dan tidak pernah menerima kewarganegaraan lain karena kehendaknya sendiri, tidak pernah mengkhianati negara, serta mampu secara rohani dan jasmani untuk melaksanakan tugas dan kewajibannya sebagai Presiden dan Wakil Presiden”. Mereka terus mencoba dan berusaha keras menggeser posisi politik kaum Pribumi Nusantara dan terus bergerak untuk menguasai Jakarta sebagai Center of Gravity Indonesia untuk dikuasai.  Bahkan, telah ikut merekayasa pemindahan Ibu Kota Negara ke Kalimantan, langsung atau tidak langsung ada dalam pengaruh dan kendalinya. Geliat Naga Melilit Garuda telah terjadi. Kecepatan China menguasai Indonesia berperan besar karena kelemahan Presiden kita yang minim kapasitas dan minim pemahaman sejarah dan lemah dalam pengetahuan geopolitik yang sedang dimainkan China. Parahnya, indikasi kuat semua kebijakan negara sudah dalam kendali oligarki. Pada awal sambutannya Presiden Jokowi juga mengatakan bahwa Indonesia merupakan negara yang senasib dan sepenanggungan saat bertemu dengan Presiden Xi Jinping di Beijing, Selasa (26/7). Juga mengatakan bahwa China merupakan mitra komprehensif strategis Indonesia. Saat ini bahwa Indonesia sudah dikuasi RRC Oligarki dan sudah menguasai semua lembaga negara. Menguasai semua sektor ekonomi dan arah politik negara Indonesia. Markus Ghiroth (gembong komunis 1965): Dalam strategi komunis, ada namanya istilah “teori guna tolol”. Yaitu: orang-orang tolol yang berguna. Maksudnya: menempatkan orang-orang “tolol” bodoh, manut, mata duitan, rakus jabatan, di posisi strategis agar kemudian bisa dan mudah diatur dan dikendalikan. Keadaan makin parah akibat The wrong man in the wrong place with the wrong idea and idealism (Orang yang salah di tempat yang salah dengan ide dan cita-cita yang salah). Dalam kondisi Negara sudah lumpuh dalam kendali Oligargi - Perlawanan yang harus dilakukan terhadap oligarki: 1. Tidak mungkin dilakukan dengan jalur Konstitusi. 2. Oligarki justru sudah memiliki kuasa membuat perangkat konstitusi ( UU ) dan peraturan negara lainnya melalui Pengelengara Negara dan Lembaga Negara yang sudah dalam Remot kendalinya. 3. Tersisa perlawanan rakyat melalui People Power atau Revolusi. 4. Musnahkan peran oligarki yang sudah merusak negara mengganti UUD ‘45 asli dengan UUD palsu yaitu UUD 2002 dengan segala dampak dan akibat kerusakan yang terjadi. 5. Hanya dengan jalan Revolusi untuk menata ulang negara, rakyat harus dicerahkan memilih kepala negara yang memiliki akal sehat, negarawan dan kembali ke UUD 45 asli. (*)

Kapan Rekonstruksi Pembunuhan Sadis Letkol (Purn.) Mubin?

Oleh M Rizal Fadillah | Permerhati Politik dan Kebangsaan KASUS yang disorot publik ini perlu terus diikuti. Ketika ada perbedaan cerita saat pemeriksaan Polsek dan Polda maka masyarakat menunggu bagaimana peristiwa sebenarnya dan motif apa yang menjadi dasar hingga Henry Hernando melakukan penusukan membabi buta kepada Letkol Purn Muhammad Mubin yang dalam keadaan tidak berdaya  ? Janggal jika hanya sekedar urusan parkir.  Ketika dilakukan rekonstruksi dalam kasus Duren Tiga baru baru-baru ini terungkap peran Irjen Ferdy Sambo dan istri Putri Chandrawati. Di samping Bharada E, Kuat Ma\'ruf dan lainnya. Rekonstruksi sebelumnya adalah adegan rekayasa tembak menembak. Rekayasa ini  ternyata membuat  97 anggota Polri terlibat. Di antaranya kemudian berstatus tersangka atau ditahan. Publik mengikuti proses rekonstruksi melalui berbagai media.  Dalam kasus pembunuhan sadis di Lembang yang juga menggegerkan itu publik menunggu kapan dilakukan rekonstruksi terutama dengan adanya temuan baru pemeriksaan di tingkat Polda. Baik penusukan yang tidak hanya lima kali tapi bertubi-tubi juga maupun keberadaan ayah tersangka Ir Sutikno dan karyawan Djamil di lokasi. Kemudian juga anak kecil yang berada di sisi korban yang dibunuh di belakang kemudi mobil pick up tersebut.  Publik pun ingin mengetahui apa yang ada dalam toko milik tersangka itu baik \"pupuk\" yang dijual maupun isi gudang lainnya. Adakah kaitan dengan motif pembunuhan  ?  Meskipun tidak akan terjawab penuh oleh rekonstruksi di TKP, tetapi rekonstruksi akan cukup membantu untuk memecahkan misteri. Polda Jawa Barat tentu mampu mengungkap kasus ini dengan optimal. Murni pembunuhan ataukah ada nuansa \"mafia\" dibaliknya.  Meski belum mengetahui kapan perkara ini P-21 akan tetapi Kapolres Cimahi AKBP Imron Ermawan menerangkan bahwa kasus ini akan secepatnya dilimpahkan ke Kejaksaan. Menurutnya kepastian tergantung Polda Jawa Barat. Tahapan yang ditunggu publik kini adalah rekonstruksi. Sejauh mana apa yang terekam dalam CCTV akan menjadi dasar bagi rekonstruksi dan keterlibatan para pihak.  Rekonstruksi Sambo dan rekonstruksi Hernando penting untuk diketahui publik agar kasus-kasus yang menggegerkan tersebut dapat dikawal dengan baik. Meskipun tidak sedahsyat Sambo namun kasus Hernando juga menjadi perhatian besar khususnya dari para Purnawirawan TNI, Kodam III Siliwangi, maupun masyarakat Lembang yang tergabung dalam Aliansi Cinta Lembang (ACL).  Semoga Polda Jawa Barat dapat menentukan waktu cepat untuk rekonstruksi.  Bandung, 31 Agustus 2022

Ironi PKI Menyelimuti NKRI

Oleh: Yusuf Blegur | Mantan Presidium GMNI  KASUS Ferdi Sambo yang terbongkar mendahului peristiwa KM 50 yang dibungkam, serta banyaknya misteri kejadian yang menumpahkan darah dan menghilangkan nyawa rakyat yang tak berdosa, memberikan sinyal adanya gonjang-ganjing politik, ekonomi dan hukum. Situasinya bagai api dalam sekam, yang bukan tidak mungkin bisa menghilangkan Indonesia dari peta dunia. Akankah muncul kebangkitan umat Islam untuk menegakkan kebenaran dan melawan kebatilan, baik dari bangsanya sendiri maupun dari  irisan komunisme dan kapitalisme global yang memengaruhinya? Ini bukan sekedar teori, bukan tentang sebuah elegi apalagi hanya ilusi atau fantasi. Ini tentang sejarah dan kisah sebuah negeri yang menyayat hati. Tentang kejahatan yang nyata dan faktual,  terdeteksi tapi tetap saja terkesan seolah-olah tersembunyi. Tentang bukan saja soal peradaban yang tak manusiawi, namun menjadi etalase dari semua yang keji dan  tak terhitung rentetan tragedi. 1926, 1948 dan 1965 bukan cuma tahun-tahun yang menyadarkan bangsa ini pada sebuah penghianatan. Noda hitam itu telah tuntas mengajarkan betapa mengerikan saat rakyat mengalami kebiadaban. Mewujud dan eksis sebagai  bahaya laten,  semakin terang-terangan dan memasuki panggung formal pembelahan sosial yang berdampak nasional  mengancam persatuan dan kesatuan. Membajak reformasi dan membelokan  cita-cita proklamasi,  sistem politik yang memisah negara dari agama itu, tampil agresif serta spartan menimbulkan kerusakan dan kehancuran. Lebih dari sekedar buah pikir yang populis dari seorang Karl Marx, keyakinan itu masif menjadi ideologi. Terstruktur dan sistemik mencabik-cabik konstitusi dan  melumat demokrasi, hanyalah cara efisien dan efektif menjadi tirani. Perselingkuhan dari hubungan terlarang komunisme dan kapitalisme, tampil global mengebiri Pancasila, UUD 1945 dan NKRI. Sekulerisasi dan liberasi secara perlahan namun pasti menjadi lembut sekaligus  brutal membunuh religi, sembari menentang kebesaran Ilahi. Wabah pandemi korupsi, utang negara yang meradang dan pelbagai perilaku para pejabat  tuna susila,  menjadi representasi kebobrokan pemerintahan. Revolusi mental yang digaungkan rezim, hanya menjadi slogan dan propaganda dari kemunafikan. Politisi, birokrasi dan oligarki berhaluan kiri, telah menjadi episentrum dari penyakit haus kekuasaan dan tradisi kedzoliman. Kesengsaraan dan penderitaan rakyat terlebih yang dialami umat Islam,  kini marak tak terbantahkan  dalam sekelumit ironi PKI menyelimuti NKRI. *) Catatan dari pinggiran kesadaran kritis dan perlawanan.

Rakyat Menuntut Transparansi Subsidi BBM dan APBN, Sebelum Menaikkan Harga BBM

Di samping itu, pemerintah mengatakan ada dana kompensasi BBM dan listrik, meskipun tidak tercantum di dalam Perpres. Jumlahnya sangat besar, untuk BBM Rp252,5 triliun dan listrik Rp41 triliun. Oleh: Anthony Budiawan, Managing Director PEPS (Political Economy and Policy Studies) PEMERINTAH kini sedang mempelajari kemungkinan menaikkan harga BBM. Indikasi kenaikan harga BBM sudah santer digaungkan oleh beberapa menteri, termasuk Sri Mulyani, Erick Thohir, Bahlil Lahadalia, dan terakhir Luhut Binsar Pandjaitan. Presiden Joko Widodo juga sempat menyinggung bahwa APBN sangat berat menanggung Subsidi Rp502 triliun. Bahlil Lahadalia lebih tegas, mengatakan masyarakat siap-siap kenaikan harga BBM pertalite menjadi Rp10.000 per liter. Dan Luhut Binsar Panjaitan beberapa waktu mengatakan, harga BBM akan naik minggu depan (yang sekarang sudah lewat). Wacana kenaikan harga BBM ini sangat tidak adil bagi masyarakat. Alasan dan informasi yang digunakan sebagai dasar untuk mengambil kebijakan menaikkan harga BBM sangat tidak jelas, dan masih menimbulkan banyak pertanyaan yang perlu klarifikasi. Alasan mendasar, nilai subsidi BBM sangat besar, mencapai Rp502 triliun. APBN dikhawatirkan tidak kuat menahan beban subsidi yang sangat besar ini, sehingga bisa ‘jebol’. Kalau dibiarkan seperti ini, subsidi BBM bahkan bisa membengkak lagi sekitar Rp200 triliun, sehingga total bisa menjadi Rp700 triliun. Masyarakat sulit mencerna kebenaran data yang disajikan, karena tidak ada perincian dan perhitungan detil. Masyarakat dibiarkan menduga-duga. Misalnya, harga keekonomian pertalite. Beberapa sumber dari pejabat pemerintah bahkan menyebut angka yang berbeda-beda, menambah kebingungan publik. Sehingga menimbulkan ketidakpercayaan publik terhadap data dan informasi yang diberikan pemerintah. Informasi asimetris ini yang menjadi dasar sikap penolakan publik atas wacana kenaikan harga BBM. Seharusnya pemerintah menyampaikan data secara transparan dan selengkap mungkin, agar publik dapat menilainya. Saat ini malah sebaliknya, terkesan pemerintah ‘menyembunyikan’ data dan informasi dari pandangan publik. Untuk itu, sebelum menaikkan harga BBM, pemerintah diharapkan menyampaikan klarifikasi sejelas-jelasnya atas beberapa pertanyaan publik sehubungan dengan subsidi dan APBN. 1. Di dalam UU APBN TA 2022 tercantum subsidi BBM hanya Rp11,29 triliun, dan subsidi LPG 3Kg Rp66,25 triliun. Nilai subsidi ini diperoleh berdasarkan asumsi harga minyak mentah Indonesia, atau ICP, sebesar 63 dolar AS per barel, konsumsi Pertalite 22 juta kiloliter (KL), solar 10 juta KL, dan konsumsi LPG 3Kg 8 juta ton. 2. Pemerintah berpendapat asumsi APBN tidak bisa dipertahankan, dan APBN diubah  dengan Prepres 98/2022, dengan menggunakan asumsi ICP rata-rata 100 dolar AS pr barel. Jumlah konsumsi pertalite, solar dan LPG 3kg sama. 3. Perubahan APBN membuat Subsidi naik, subsidi BBM menjadi Rp14,58 triliun, subsidi LPG 3Kg Rp134,79 triliun dan subsidi listrik Rp59,56 triliun. 4. Di samping itu, pemerintah mengatakan ada dana kompensasi BBM dan listrik, meskipun tidak tercantum di dalam Perpres. Jumlahnya sangat besar, untuk BBM Rp252,5 triliun dan listrik Rp41 triliun. Semua data di atas berasal dari sumber pemerintah. Beberapa hal yang perlu diklarifikasi: 5. Kenaikan ICP dari 63 menjadi 100 dolar AS per barel juga meningkatkan pendapatan pemerintah dari migas: berapa besar? 6. Menurut UU APBN No 6 TA 2022, pasal 17, penambahan pendapatan migas dapat digunakan untuk memberi penambahan subsidi: berapa besar? Sesuai perintah UU, apakah Menteri Keuangan sudah mengatur penambahan untuk subsidi ini? 7. Realisasi pendapatan migas per Juli 2022 mencapai Rp92,08 triliun, naik 93,6 persen. Terdiri dari pendapatan minyak bumi Rp83,64 triliun, naik 104,1 persen, dan pendapatan gas bumi Rp8,44 triliun, naik Rp28,5 persen. 8. Di lain sisi, realisasi ‘subsidi’ BBM dan LPG untuk periode yang sama, 7 bulan, sebesar Rp62,7 triliun. Baru mencapai 41, persen dari anggaran dalam Perpres. Artinya, anggaran sangat cukup, bahkan berlebihan. Selain itu, realisasi subsidi BBM dan LPG tersebut tidak diperinci berapa realisasi subsidi BBM dan berapa subsidi LPG. Untuk itu, mohon diberikan perinciannya. 9. Realisasi ini terutama disebabkan ICP naik 63,71 persen, atau rata-rata mencapai 103 dolar AS per barel. Mohon konfirmasinya. 10. Pendapatan (PNBP) migas, belum termasuk PPh migas, dikurangi subsidi migas, menghasilkan surplus Rp29,38 triliun. Apakah benar? Kalau angka ini benar, maka berarti neraca keuangan migas masih sangat sehat: surplus. 11. Hal ini diperkuat dengan fakta bahwa realisasi APBN per Juli 2022 mencatat surplus Rp106,12 triliun. Sehingga pernyataan APBN akan jebol ternyata tidak benar dan bahkan menyesatkan. 12. Anggaran subsidi LPG 3Kg menurut Perpes Rp134,79 triliun, untuk jatah konsumsi 8 juta ton. Artinya, subsidi LPG 3Kg mencapai Rp16.484 per kg? Apakah benar, angka yang mustahil ini? Mohon koreksinya. 13. Mengapa ada subsidi listrik juga ada di dana kompensasi sebesar Rp41 triliun. Bukankah dana kompensasi ini seharusnya hanya untuk BBM, akibat penetapan harga oleh pemerintah di bawah harga pokok produksi? Artinya, untuk listrik seharusnya 100 persen masuk subsid: tidak ada dana kompensasi? 14. Dana kompensasi BBM sebesar Rp252,5 triliun untuk BBM jenis apa saja, untuk berapa besar konsumsi? 15. Mohon diberikan metode perhitungan untuk harga keekonomian pertalite, solar dan LPG. Sementara pertanyaan di atas belum diklarifikasi, semoga pemerintah menunda wacana kenaikan BBM. (*)

"SAYAP-SAYAP PATAH" DAN ISLAMOPHOBIA DENNY SIREGAR

Oleh M Rizal Fadillah Pemerhati Politik dan Kebangsaan FILM \"Sayap-Sayap Patah\" yang diproduksi Denny Siregar mulai dipasarkan. Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo ikut menyaksikan tayangan perdana bersama Denny. Sayangnya Pak Jenderal mendapat kecaman netizen karena film berbasis penegakan hukum di Mako Brimob Depok ini dinilai sebagian kalangan telah diproduksi oleh orang yang bermasalah secara hukum. Kasus Denny masih dalam proses pemeriksaan di Polda Metro Jaya.Sebelumnya ditangani Polres Tasikmalaya kemudian Polda Jawa Barat. Denny Siregar itu figur kontroversial khususnya di kalangan umat Islam, pernyataannya sering menyakitkan. Soal hijab, atribut Islam, kadrun, radikalisme, terorisme dan lainnya. Terakhir soal tulisan \"Adek2ku  Calon Teroris Yang Abang Sayang\" yang mengomentari foto anak santri Pondok Pesantren Daarul Ilmi Tasikmalaya. Berbuah laporan ke Polisi tahun 2020 yang hingga kini masih berproses walau terkesan penanganannya sangat lambat dan kurang serius. Sebagai buzzer Istana, Denny  Siregar masih bebas bernarasi jahat dan menyembur fitnah. Film \"Sayap-Sayap Patah\" yang oleh seorang Dosen IPB idituding plagiasi dari film India \"Broken Wings\" itu berkisah tentang drama cinta anggota Densus 88 dan kerusuhan atau pemberontakan tahanan di Mako Brimob Depok. Muasalnya soal antaran makanan untuk tahanan. Makanan adalah masalah prinsip dan sensitif bagi mereka yang menderita apalagi berada dalam tahanan. Bagi Denny Siregar soal tahanan terorisme menjadi makanan yang empuk dan lezat dalam menyalurkan hobby mendeskriditkan umat Islam. Sebagaimana yang menjadi karakternya sebagai pemaham Syi\'ah yang gemar memfitnah dan adu domba. Denny sendiri terang-terangan menyatakan dirinya sebagai Syi\'ah \"ya benar, saya Syi\'ah any problem with that ?\" ungkapnya. Denny adalah komunitas Islamophobia. Ketika Mahfud MD membela bahwa tidak ada kebijakan  pemerintah yang Islamophobia ia menunjuk pada gejala di masyarakat. Singgungannya   pada buzzer Abu Janda dan mengomentari Denny Siregar. Film \"Sayap-Sayap Patah\" adalah tayangan Islamophobia berbalut cinta. Isu terorisme yang dituduhkan pada umat Islam dengan membesar-besarkan dan menarasikan buruk. Mengeksploitasi masalah hukum kemudian mengemas dengan seni. Tentu menjadi hak Denny untuk melakukan itu. Tanpa harus menonton film tendensius tersebut, sudah mudah dibaca akan fikiran \"ngeres\" Denny Siregar. Meskipun demikian, Film \"Sayap-Sayap Patah\" yang diangkat Denny dengan mengeksploitasi seorang Polisi korban kerusuhan di Mako Brimob dapat pula menginspirasi untuk dibuatnya film ke depan tentang kebengisan Brimob terhadap pengunjuk rasa pada peristiwa 21-22 Mei 2019 atau kejahatan politik Polisi pada pembunuhan 6 Anggota Laskar FPI pada 7 Desember 2020 di Jalan Tol Jakarta-Cikampek Km 50. Mungkin juga mulai disiapkan skenario film kejahatan \"Polisinya Polisi\" tentang ulah seorang Rambo eh Sambo terhadap anggotanya sendiri di Duren Tiga tanggal 8 Juli 2022. Film dramatis ini yang nampaknya lebih cocok untuk judul \"Sayap-Sayap Patah\" itu. The Broken Wings! Bandung, 30 Agustus 2022

Indonesia Kehilangan Asas Berbangsa dan Bernegara

Bahtera Indonesia terobang-ambing karena kepentingan-kepentingan hawa nafsu partai politik sehingga lahir Oligarki. Oleh: Prihandoyo Kuswanto, Ketua Pusat Studi Kajian Rumah Pancasila MENGGANTI UUD 1945 dengan UUD 2002 ternyata bukan soal menambah dan mengurangi pasal-pasal saja, tetapi telah dicabut aliran pemikiran ke-Indonesia-an. Aliran pemikiran ke-Indonesia-an itu diimplentasikan di dalam asas berbangsa dan bernegara. Tentunya para pendiri bangsa sudah melakukan kajian dan pendalaman yang luar biasa. Indonesia adalah sesuatu yang unik bangsanya dulu dilahirkan 28 Oktober 1928. Kemudian 17 Agustus 1945 bangsanya merdeka melalui proklamasi. Baru pada 18 Agustus 1945 negaranya dibentuk. Sebagai sebuah kesepakatan, Pancasila menjadi dasar negara Indonesia Merdeka yang oleh pendiri dan perumus Pembukaan UUD 1945 diletakkan pada alenea ke-IV Pembukaan UUD 1945. Pendjelmaan (pelaksanaan objektif) Pembukaan Undang-undang Dasar 1945 dalam Undang-undang Dasar 1945 dan Uraian ideologi Pancasila di dalam batang tubuh UUD 1945. Udjud pelaksanaan objektif mengenai asas kerohanian Negara (Pantjasila) adalah sebagai berikut: 1. Asas “ke-Tuhanan Jang Maha Esa” tersebut dalam Bab XI hal Agama, pasal 29 dari Undang-undang Dasar 1945. 2. Asas “kemanusiaan jang adil dan beradab” terdapat dalam ketentuan-ketentuan hak asasi warganegara tertjantum dalam pasal-pasal 27, 28 dan 31 ajat 1 dari Undang-undang Dasar 1945. 3. Asas “persatuan Indonesia” terdapat dalam Undang-undang Dasar 1945 pasal 26 tentang warganegara, pasal 31 ajat 2 tentang pengadjaran nasional, pasal 32 tentang kebudajaan nasional, pasal 35 tentang bendera Negara dan pasal 36 tentang bahasa Negara. Diantara pendjelmaan daripada asas “persatuan Indonesia” terdapat satu hal, jang amat penting untuk pada tempat ini dikemukakan. Karena djika hal ini disadari, sungguh akan merupakan dasar bagi tertjapainya realisasi sifat kesatuan daripada Negara dan bangsa. Lambang Negara ditetapkan oleh Pemerintah, dan menurut ketetapan ini “Bhinneka Tunggal Ika” adalah lambang Negara, satu sungguhpun berbeda-beda. Negara Indonesia adalah satu, akan tetapi terdiri dari pulau-pulau jang amat banjak djumlahnja. Bangsa Indonesia adalah satu, akan tetapi terdiri atas suku-suku bangsa jang banjak djumlahnya. Tiap-tiap pulau dan daerah, tiap-tiap suku bangsa mempunjai tjorak dan ragam sendiri-sendiri, beraneka warna bentuk-sifat daripada susunan keluarga dan masjarakatnja, adat-istiadatnja, kesusilaannja, kebudajaannja, hukum adatnja dan tingkat hidupnja Golongan bangsa jang tidak asli terdiri atas golongan keturunan Tiong Hwa, keturunan Arab, keturunan Belanda dan golongan dari mereka jang berasal dari orang asing tulen. Lebih daripada jang terdapat dalam golongan bangsa Indonesia jang asli, diantara mereka ada perbedaan jang besar dalam segala sesuatu. Sedangkan disampingnja ada perbedaan pula dengan golongan bangsa Indonesia jang asli. Kalau ditambahkan terdapatnya pelbagai agama dan kepertjaan hidup lainnya, maka makin mendjadi besar perbedaan jang terdapat di dalam masjarakat dan bangsa Indonesia. Jang demikian itu disamping daja penarik ke arah kerdja sama dan kesatuan menimbulkan djuga suasana dan kekuatan tolak-menolak, tentang-menentang, jang mungkin mengakibatkan perselisihan, akan tetapi mungkin pula, apabila dipenuhi hidup jang sewadjarnya, menjatukan diri dalam suatu resultan atau sintesa jang malahan memperkaja masjarakat. Dalam kesadaran akan adanja perbedaan-perbedaan jang demikian itu, orang harus berpedoman kepada lambang Negara “Bhinneka Tunggal Ika”, menghidup-hidupkan perbedaan jang mempunjai daja penarik ke arah kerdja sama dan kesatuan, dan mengusahakan peniadaan serta pengurangan perbedaan jang mungkin mengakibatkan suasana dan kekuatan tolak-menolak ke arah perselisihan, pertikaian dan perpetjahan atas dasar kesadaran akan kebidjaksanaan dan nilai-nilai hidup jang sewadjarnya. Lagipula dengan kesediaan, ketjakapan dan usaha untuk sedapat mungkin menurut pedoman-pedoman madjemuk-tunggal bagi pengertian kebangsaan, ialah menjatukan daerah, membangkitkan, memelihara dan memperkuat kehendak untuk bersatu dengan mempunjai satu sedjarah dan nasib, satu kebudajaan di dalam lingkungan hidup bersama dalam suatu Negara jang bersama-sama diselenggarakan dan diperkembangkan. “Bhinneka Tunggal Ika” adalah merupakan suatu keseimbangan, suatu harmoni jang tentu akan berubah-ubah dalam bentuknja, akan tetapi akan tetap dalam dasarnja, antara kesatuan dan bagian-bagian dari kesatuan, dalam segala matjam hal tersebut di atas, dan djuga dalam hal susunan bentuk dan susunan pemerintahan Negara. 4. Asas “kerakjatan yang dipimpin oleh hikmat kebidjaksanaan dalam permusjawaratan/perwakilan” terdapat dalam Undang-undang Dasar 1945 dalam pasal 2 ajat (1) tentang terdirinja Madjelis Permusjawaratan Rakjat atas wakil-wakil rakjat, pasal 5 ajat (1) tentang kekuasaan Presiden membentuk Undang-undang dipegang dengan persetudjuan Dewan Perwakilan Rakjat, pasal 6 ajat (2) tentang Presiden dan Wakil Presiden dipilih oleh Madjelis Permusjawaratan Rakjat, Bab VII tentang Dewan Perwakilan Rakjat (pasal 19 sampai dengan 22). Pasal 18 tentang Pemerintah Daerah. 5. Asas “keadilan sosial bagi seluruh rakjat Indonesia” terdapat dalam Undang-undang Dasar 1945 dalam Bab IV tentang kesedjahteraan social, perintjiannja terdapat pertama dalam pasal 33 tentang hal susunan perekonomian atas dasar kekeluargaan, tentang tjabang-tjabang produksi jang penting bagi Negara, dan menguasai hadjat hidup orang banjak dikuasai oleh Negara tentang bumi dan air dan kekajaan alam jang terkandung di dalamnja dikuasai oleh Negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakjat; kedua dalam pasal 34 tentang fakir-miskin dan anak-anak jang terlantar dipelihara oleh Negara. Dengan digantinya UUD 1945 dan dihilangkannya pokok-pokok pikiran tentang ke-Indonesia-an kita telah menghilangkan azas berbangsa dan bernegara jelas negara hari ini bukan Negara Indonesia yang di-Proklamasikan 17 Agustus 1945. Perlu diingat, akhir-akhir ini kita mendengar elit politik, termasuk presiden yang menyatakan anti terhadap politik aliran. Pernyataan seperti ini jelas anti terhadap histori kebangsaan dan sekaligus anti terhadap Bhineka Tunggal Ika. Rupanya Bahtera Indonesia semakin jauh dari cita-cita kemerdekaannya. Visi Misi negara yang diuraikan dalam GBHN merupakan kompas penunjuk arah yang telah dibuang dan Indonesia hanya terapung-apung di Samudera tanpa penunjuk arah. Sebab visi misi negara diganti dengan puluhan visi misi Presiden, Gubernur, Bupati, Walikota, bagaimana mungkin bangsa ini bisa menuju masyarakat yang adil dan makmur kalau daerah mempunyai visi misi-visi misi sendiri . Bahtera Indonesia terobang-ambing karena kepentingan-kepentingan hawa nafsu partai politik sehingga lahir Oligarki. Untuk menyelamatkan Bahtera Indonesia anak bangsa ini harus membangun kesadaran bersama kembali pada UUD 1945 dan Pancasila serta meluruskan kembali kompas kehidupan berbangsa dan bernegara, mengalunkan lagi orkestra keharmonisan Bhineka Tunggal Ika membangun persatuan menuju Indonesia tanpa Oligarki. (*)

Beyond Sambo: Nasib Masyarakat Sipil

Skandal Sambo di tubuh kepolisian yang terkuak beberapa minggu ini adalah semacam wake up call bagi bangsa ini bahwa Republik ini dalam ancaman eksistensial. Oleh: Daniel Mohammad Rosyid, Guru Besar ITS, @Rosyid College of Arts KESALAHAN tata kelola Republik ini terjadi sejak UUD 1945 diganti secara serampangan menjadi UUD 2002 yang secara resmi masih disebut UUD 45. Kesalahan itu membatalkan tujuan reformasi yaitu pemberantasan korupsi, desentralisasi dan demokratisasi. Kesalahan tata kelola ini melemahkan masyarakat sipil atau civil society yang dikorbankan bagi penguatan sekaligus dominasi partai politik pada hampir semua dimensi kehidupan berbangsa dan bernegara. Akibatnya, demokrasi kita menjadi demokrasi prosedural lontong sayur, di mana Pemilu hanya menjadi instrumen transfer bersih hak-hak politik warga negara ke partai-partai politik. Namun, aspirasi pemilih itu berhenti di bilik suara, jarang sekali sampai ke Senayan. Dalam UUD 2002 itu, partai politik menjadi organisasi yang berpotensi bisa melakukan monopoli politik secara radikal atas pasar politik Republik ini. Sejak memperoleh kewenangan besar untuk mencalonkan pasangan calon presiden dan wakil presiden, sehingga partai-partai politik melalui DPR telah melakukan serangkaian maladministrasi publik dengan segala cara membuat, menafsirkan (melalui berbagai regulasi turunan UU), dan menegakkan Undang Undang sesuai kepentingan elit politik, bukan kepentingan publik warga negara, termasuk UU Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara RI. Kemudian hampir semua jabatan publik harus melalui fit and proper test oleh anggota DPR. Begitulah partai politik memonopoli pasar politik sebagai public goods secara radikal seperti persekolahan massal untuk memonopoli pasar pendidikan secara radikal. Akibat maladministrasi publik yang luas ini, kekuatan civil society dilemahkan secara serius. Setiap kekuatan oposisi sipil di luar parlemen itu dilumpuhkan melalui kriminalisasi dan penangkapan yang tidak sah oleh polisi, bahkan kalau perlu melalui extra-judicial killling seperti yang terjadi pada enam laskar FPI yang dikenal luas sebagai kasus KM 50. Organisasi massa yang membangun wacana alternatif secara damai seperti HTI dibungkam melalui UU Ormas. Beberapa tokoh publik dicap sebagai penceramah radikal, anti-NKRI, anti-Pancasila, bahkan dituduh sebagai anggota jaringan teroris. Pelumpuhan masyarakat sipil itu berpuncak pada kebijakan pembatasan kebebasan publik selama masa pandemi Covid-19. DPR praktis membiarkan eksekutif melakukan apa saja tanpa kontrol, termasuk pertanggungjawaban anggaran. Pembatasan mobilitas, dan maskerisasi dan vaksinasi massal paksa yang disahkan karena alasan public health emergency of international concern kini dijadikan salah satu ikon keberhasilan rezim saat ini. Padahal, jika mau, ada opsi kebijakan kesehatan lain yang jauh lebih baik sehingga bangsa ini bisa recover faster and grow stronger.  Sementara media utama dikuasai oleh pemodal besar yang juga membiayai partai politik, kampus sebagai elemen masyarakat sipil yang paling terdidik sekaligus penjaga nurani bangsa terakhir pun dilumpuhkan. Banyak RUU selama pandemi diputuskan tanpa konsultasi publik yang memadai di kampus-kampus. Kini hampir semua Perguruan Tinggi Negeri dengan suka cita menjadi sekedar penyedia buruh trampil berdasi yang setia bekerja pada investor besar terutama asing. Template kehidupan mahasiswa saat ini adalah lulus cepat, kalau bisa cum laude, lalu bekerja sebagai pegawai negeri atau di BUMN atau MNC. Intervensi politik ke dalam perguruan tinggi adalah kenyataan hari ini. Rektor adalah sosok yang harus direstui oleh Mendikbudristek sebagai pembantu Presiden. Sementara itu rektor disibukkan untuk bersaing menjadi berklas dunia dengan mengikuti standard-standard Barat yang by design akan selalu menempatkan kampus-kampus kita secara istiqomah di papan bawah. Ben Anderson menyebut penyakit profesionalisasi yang melanda banyak kampus sehingga kampus-kampus itu makin terasing dari masyarakat di sekitarnya sendiri. Kampus tidak lagi melahirkan public intellectuals yang menyuarakan kritik sebagai peringatan dini atas pembajakan kehidupan berbangsa dan bernegara yang makin jauh dari cita-cita proklamasi kemerdekaan. Kesalahan tata kelola Republik ini secara perlahan telah merampas hak dan  kemerdekaan warga negara. Reformasi itu justru menghasilkan deformasi  kehidupan berbangsa dan bernegara. Skandal Sambo di tubuh kepolisian yang terkuak beberapa minggu ini adalah semacam wake up call bagi bangsa ini bahwa Republik ini dalam ancaman eksistensial. Mencermati pelumpuhan serius atas masyarakat sipil sebagai kekuatan dari demokrasi terpenting di mana tentara dan polisi tunduk pada supremasi sipil, para intelektual di kampus-kampus di seantero negeri ini kini dipanggil untuk mengambil tanggungjawab sejarah untuk menyelamatkan Republik ini dari keruntuhan. Sukolilo, 29/8/2022. (*)

What Next?

 Teologi/Tauhid Islam yang berkembang pada dimensi kebangsaan dalam format “Teologi Pembebasan Bangsa Marhaenime Plus” sesuai perkembangan Ilmu Pengetahuan yang pesat. Oleh: Achmad Badawi, Aktivis di Himpunan Masyarakat Madani Indonesia BAGAIMANA langkah selanjutnya umat Islam Indonesia sesudah konggres medan sebagai anggota \'Umat, Rakyat, Bangsa, Negara, Sistem Ekonomi Berkeadilan dst\'? Yang jelas sesuai dengan nubuah Gus Dur, “Isi NKRI, nilai-nilai universal Pancasila, Bhinneka Tunggal Ika, pandangan dunia \'Jujur dan Adil\' dst itu, dengan nilai-nilai universal Islam tanpa harus secara legal formal berbentuk negara Islam.” Bahwa dengan permenungan, buah fikiran (filsafat, epistemologi/agregat teori, teorema, modal sosial, etika sosial, etiket sosial sehari-hari dst) bimbingan dan arahan dari “Dewan Tetua Agama & Bangsa” berspirit Republik, kebangsaan yang menyala-nyala, berintegritas, berpandangan dunia \'jujur dan adil\' dst-dst: Sri Sultan HB X, Budayawan Emha Ainun Nadjib, Jenderal Purn Gatot Nurmantyo, Bung Sayuti Asyatri, Bung Busro Mukoddas, Gus Mus, Prof Dr Mukhaer Pakkana, Buya Hatta Taliwang sebagai Koordinator Aktivis dkk. Mengutamakan persatuan/ukhuwah/persaudaraan kekeluargaan: 1. Umat seagama \'Islamiyah, Katolikiyah, Kristeniyah, Buddhaiyah, Hinduiyah dst (diniyah); 2. Maitrea - cinta kasih welas asih (rahmaniyah); 3. Tanah air dan bangsa (wathoniyah); 4. Berdasar nilai-nilai kemanusiaan (insaniyah). Sungguh amat disayangkan justru umat Islam yang mayoritas seputar 87% dari penduduk Indonedia berpecah-belah menjadi seputar 50 kelompok/ golongan yang \'childish\' tidak mampu membangun ukhuwah integral organik yang mengukuhkan bangsa. Yang lemah \'tak berdaya, tak bermakna\', seperti sabda Rasul Muhammad Saw “seperti buih di lautan atau gula dikerubuti semut”. Ustadz Syamsi Ali dari Amerika mengatakan “secara kategori kelompok sosiologis masih berupa kerumunan atau gerombolan”. Tragis dan paradoks. Berspirit \'Kesadaran Republik\' (res publica - kepentingan kemaslahatan umum publik/rakyat) dalam format Negara Kesatuan Republik Indinesia/NKRI dari \"Rumah Cokro\" kepada \"Rumah Republik: NKRI\" dengan anasir-anasir pembangun Republik: \"Nasionalis, Agama dan Sosial Demokrat\". Dengan tokoh-tokohnya: 1. Nasionalis (Bung Karno dkk). 2. Agama (RA Kartini, HOS Cokroaminoto, SM Kartosuwiryo, H Agus Salim, Hadratussyekh Hasyim Asyari, KH Ahmad Dahlan, Romo Mgr Soegijo Pranoto dkk). Dan, 3. Sosial Demokrat (HOS Cokroaminoto, H Samanhudi, Bung Karno, Hatta, Syahrir, Tan Malaka\', Muso, Alimin, Semaun, Prof Mubiyarti dkk). Semoga semakin banyak yang \'eling – berkesadaran penuh\': berkesadaran republik dan bersama-sama membangun bangsa negara Indonesia yang amat sangat kaya ini. Pertanyaan Timbul Kembali Sesudah \"Konggres Medan\": Apakah Islam mau kita follow up dengan Landasan Idealitas (yang diwariskan Bung Karno dan Founding Fathers), yang diturunkan ke dalam satuan-satuan yang dapat menjawab zaman dan peradaban (Chalange & Respon, Arnold Toynbee): Di bawah naungan nilai-nilai universal Pancasila \'sebagai commone plattform - bonum commune - bonum publicum yang memayungi semua anak bangsa\' yang belum diperjuangkan dengan sungguh-sungguh; “Pandangan dunia Jujur dan Adil kepada transformasi masyarakat – bangsa – negara – sistem ekonomi kerakyatan yang berkeadikan”; Membangun masyarakat gotong-royong – egaliter Indonesia – masyarakat warga sejati yang berkualitas mandiri/civil society/masyarakat madani dengan \'modal sosial Islam dan lokal jenius suku-suku/civic religion Robert Bellah\' dengan membangun basis-basisnya secara nyata\' yang: a. Bermodal sosial yang amat kaya terjadi integritas nasional secara nyata dengan budaya nasionalnya (tidak sekedar simbolis tanpa fungsi). b. Tradisi berfikir rasional yg baik (ulama irsyad/ cendekiawan pencerah/ rausan fikr). c. Pembagian kerja rasional. d. Peran-peran/fungsi-fungsi yang berkeadaban pada segala institusi/ lembaga dalam kehidupan. e. Keteraturan sejati (tidak seperti selama ini yang \'semua\' bahkan hanya prosedural prakteknya justru \'Anti Demokrasi\' dst). Dengan modal sosial dari Islam saja amat sangat banyak: Diantara nubuah/ perintah ayat-ayat dan hadits berupa modal sosial sebagai nilai-nilai universal (Civil Religions Robert Belah, seorang sosiolog) tersebut adalah: 1. Spiritualitas kesejatian (tarekat hakikat/metodologi penyucian jiwa Tasawuf; 2. Pandangan dunia \"Jujur dan Adil\" kepada sistem ekonomi kerakyatan yang berkeadilan – keadilan sosial (al adl); 3. Teologi/tauhid pembebasan bangsa Marhaenisme Plus seperti nabi Musa membebaskan bangsa tertindas \'Bani Israel\' (menurut perkembangan Ilmu Pengetahuan yang pesat); 4. Nilai-nilai universal Pancasila dengan ajaran kalimatunsawa/prinsip-prinsip kebenaran yang sama agama-agama – lokal jenius suku-suku bangsa; 5. Ajaran litaarofu/diversity Bhinneka Tunggal Ika yang abadi; 6. Bekerjasama dalam kebajikan (taawun alal birri); 7. Berkebangsaan otentik (hubbul wathon minal iman); 8. Moderat – tengah-tengah (tawasuth); 9. Tasamuh (toleran); 10. Musyawarah/demokrasi (syura); 11. Meninggikan ilmu pengetahuan (ulul ilmi); 12. Tujuan masyarakat gotong-royong/egaliter Indonesia dalam format Masyakat Madani/Hadari; 13. Sebagai kaum terbaik bangsa (choiru ummah); 14.Menggulirkan penyadaran kesadaran sistem yang baik (ta\'muruna bilma\'ruf); 15. Mentransformasi sistem yang buruk (wayanhauna anil mungkar); 16. Mentransendenkannya (yu\'min billah); 17. Amal perbuatan yang baik konsisten (amilussolihah); 18. Dengan kebenaran yang obyektif (tawasho bilhak); 19. Kesabaran metodologis (tawasho bissobr); 20. Sebagai ummat yang satu (ummatan wahidah); 21. Yang berlomba-lomba mengejar keunggulan-keunggulan kompetitif peradaban (fastabichul choirot), berdimensi nilai-nilai kemanusiaan (insaniyah); 22. Berakhlak personal – sosial yang agung (chuluqin adzim); 23. Merahmati segenap semesta publik – alam (rahmatan lil alamin), dst-dst. Sayang, ‘beberapa kali umat Islam berkonggres’, tak melahirkan perubahan yang mendasar pada Anatomi Umat, Masyarakat, Bangsa, Negara, Ekonomi Kerakyatan yang Berkeadilan dst. Ajaran litaarofu/diversity Bhinneka Tunggal Ika yang juga sesuai dengan filosofi Haji “Semua Satu, Satu Semua”. Teologi/Tauhid Islam yang berkembang pada dimensi kebangsaan dalam format “Teologi Pembebasan Bangsa Marhaenime Plus” sesuai perkembangan Ilmu Pengetahuan yang pesat. Ajaran kalimatunsawa/prinsip-prinsip kebenaran universal agama-agama & lokal jenius suku-suku bangsa. Minimal sesuai dengan ajaran “Transendence Unity of Religions – Kesatuan Transenden Agama-agama” dari F Schuon, RA Kartini, HOS Cokroaminoto, Hussain Nasr, Bung Karno, Gus Dur, Cak Nur, WS Rendra, Cak Nun, Koentowidjojo, Ir Ahmad Chojim, Dr Media Zainul Bahri dkk. Pendidikan Transformatif yang membebaskan memenuhi “amanat Preambul & Batang Tubuh UUD 45 Asli” mencerdaskan kehidupan bangsa, memajukan kesejahteraan/kemaslahatan umum, menabur rahmat/damai, menyamai budaya nasional, budaya kewargaan/civic culture dst (Prof Soedijarto dkk). Tidak seperti selama ini yang masyarakat masih tradisional, belum berkesadaran merdeka, tak rasional dst. Gerakan Transformatif (Gus Dur, Prof Dr Koentowidjojo dkk) yang mengubah \'eling – kesadaran penuh\' anak-anak bangsa dengan penyadaran (takmuruna bilma\'ruf), transformasi gerakan mengeliminir anasir-anasir sistem yang buruk (wayanhauna anil mungkar) dan mentransendenkannya (iman) mengadu Satu kaum terbaik bangsa (choiru umma) dengan pandangan dunia moderat – tengah-tengah (washaton) sebagai umat – masyarakat yang integral organik (Mr Soepomo) yang satu (wahid) dalam cahaya peradaban esoteris/ berdasar ruh Nusantara Indonesia yang kokoh dari kalimah yang baik \'nilai-nilai universal Pancasila\' (kalimah toyyibah) dst. Semoga kita semua ilmu dan amaliyahnya seimbang, tidak njomplang, seperti selama ini berjalan. (*)

Inkonsistensi Presiden Jokowi

Pemimpin Boneka seringkali diasosiasikan untuk pemimpin yang ucapan, peran, dan sikapnya dikendalikan orang lain. Saat manggung, dikendalikan peran panggungnya oleh sutradara. Oleh: Sutoyo Abadi, Koordinator Kajian Politik Merah Putih SOLITUDINEM faciunt pacem appellant (mereka menciptakan kehancuran dan menyebutnya perdamaian). Seorang mahasiswa semester 4 jurusan ekonomi, dari salah satu Perguruan Tinggi Swasta di Semarang, masuk di pertemuan diskusi Kajian Politik Merah Putih, tidak seperti biasanya tergopoh-gopoh yang menampakkan rasa jenggel (marah) dengan raut muka bersungut-sungut langsung nerocos mengomentari “Jokowi - Jokowi mengulangi lagi sikap inkonsistensi ucapannya dalam forum Musyawarah Rakyat. Gila Dia, ngawur Dia”. “Teman teman tahu nggak, Om Jokowi belum kering lidah liurnya mengatakan bahwa, “ada yang ngomong presiden dipilih tiga periode, ada tiga - ingin menampar muka saya, ingin cari muka padahal saya sudah punya muka tembok, ingin menjerumuskan saya, itu saja” ternyata hanya Lip Service”. Langsung disergap oleh teman yang lain “ayo kita bahas bantu pikiran teman kita agar tidak stress, dengan nada serius disertai gelak tawa banyak teman lainnnya, tanda setuju”. Sejak Rakernas V Projo yang mengambil tema Haluan Baru Projo Menuju 2024 yang berlangsung di Balai Ekonomi Desa (Balkondes) Ngargogondo, Kecamatan Borobudur hingga 22 Mei 2022 lalu, rangkaian rakernas diawali dengan bakti sosial. Sikap Jokowi sudah berubah, dia diplomasi sangat polos dan mudah ditebak jalan pikiran yang muncul dari alam bawah sadarnya – yang membuka tabir sikapnya yang memang selalu tidak konsisten antara ucapan dan realitasnya, tentang keinginannya perpanjangan jabatan dan atau ingin jabatan untuk tiga periode. Dalam forum Musyawarah Rakyat (Musra) Indonesia yang digelar di gedung Youth Center, Sport Center, Arcamanik, Bandung, Jawa Barat, pada Minggu (28/8/2022), Jokowi mengulang kembali pernyataan tersebut. Mengulang kembali seperti yang pernah disampaikan dalam forum pertemuan Projo di Magelang bahwasannya “Jokowi Bolehkan Wacana Presiden 3 Periode Bergulir”. Presiden RI Joko Widodo blak-blakan tak melarang wacana presiden menjabat tiga periode bergulir. Hal itu ia ungkapkan merespons dukungan yang dilontarkan para pendukungnya “Kan ini forumnya rakyat, boleh rakyat bersuara kan,” kata Jokowi di hadapan para pendukungnya. Jokowi mengeklaim bahwasanya mengemukanya wacana jabatan 3 periode untuk seorang presiden merupakan bagian dari kehidupan berdemokrasi. Bagi dia, wacana-wacana perpanjangan masa jabatan presiden tak berbeda dengan desakan publik agar presiden diganti atau mengundurkan diri. “Karena negara ini adalah negara demokrasi, jangan sampai ada yang baru ngomong 3 periode (lalu) kita sudah ramai,\" ungkapnya. \"Itu kan tataran wacana. Kan boleh saja orang menyampaikan pendapat, orang kalau ada yang ngomong \'ganti presiden\' kan juga boleh, ya enggak? \'Jokowi mundur\' kan juga boleh,” kata Jokowi. “Sekali lagi. Saya akan selalu taat pada konstitusi dan kehendak rakyat,” lanjut Jokowi disambut tepuk tangan para pendukung. Dari pantauan di atas diskusi kajian Merah Putih tidak sulit untuk mengambil kesimpulan politik bahwa Jokowi: - Sejak awal memimpin negara ini kebohongan ada watak yang sudah melekat ada kepribadiannya. - Selalu akan menampilkan sikap inkonsisten untuk semua masalah dalam proses pemerintahan yang seharusnya bersikap jujur kepada rakyatnya. - Kepribadian yang sangat labil karena tidak memiliki kepribadian yang utuh bahkan terkesan pecah kepribadiannya. - Selalu menampilkan dan menampakkan yang diucapkan dan dilakukan atas remot kekuatan dan kekuasan di luar dirinya. - Sadar atau tidak sikap otoritarian mulai nampak pada pola kepemimpinannya. - Tidak menyadari kerusakan negara dan carut-marut kelola negara semua bersumber dari dirinya, dari kepribadian yang labil, kapasitas dan kemampuan yang minimalis. Mobilisasi masa dengan kemasan Musra tidak ada beda massanya dengan massa Pro Jokowi (Projo) yang telah berlangsung di Magelang. Makna Politik mereka yang mengemas mereka, yang mengatur isinya, dan mereka sendiri yang menjawab, dan mereka sendiri yang akan jualan isunya. Sebagai bahan Testing on the water dalam rimba belantara politik itu adalah untuk mengetahui reaksi masyarakat, ketika sang penguasa dalam keraguan akan ambil kebijakan. Mereka akan mengirim pesan untuk masyarakat luas bahwa Jokowi memang membutuhkan amandemen UUD 2002 untuk merubah pasal bisa maju untuk 3 periode dengan keyakinan Oligarki full back up apapun yang dibutuhkan. Tidak peduli adanya serangan bahwa dirinya telah sedang melakukan kudeta konstitusi. Fokusnya adalah adanya bahaya politik yang sangat besar kalau perpanjangan masa jabatan atau nambah jabatan untuk 3 periode. Pemimpin Boneka seringkali diasosiasikan untuk pemimpin yang ucapan, peran, dan sikapnya dikendalikan orang lain. Saat manggung, dikendalikan peran panggungnya oleh sutradara. Diskusi kajian Merah Putih diakhiri dengan kesepakan masalah di atas untuk dilanjutkan mencari alternatif tindakan perlawanan melalui kajian lanjut di kampusnya masing-masing. (*)