OPINI

Konflik Di ACT, Bukan Pada Persoalan Yang Mendasar

Oleh Tony Rosyid - Pengamat Politik dan Pemerhati Bangsa SAYA pengamat politik, bukan pengamat ACT (Aksi Cepat Tanggap). Saya bukan orang ACT, dan sama sekali tidak pernah terlibat dengan kegiatan ACT. Saya orang luar, yang benar-benar berada di luar. Hanya saja, saya kenal cukup baik dengan sejumlah tokoh di lembaga yang sudah berusia 17 tahun ini. (ACT lahir 21 april 2005). Saya ingin menyorot soal suksesi mendadak di ACT. Pecat memecat, gonta ganti pimpinan, itu hal biasa dalam dinamika organisasi. Ganti presiden di tengah jalan aja sudah sering terjadi, apalagi cuma ketua ACT. Soekarno, Soeharto dan Gus Dur diturunkan di tengah jalan. Itu hal biasa di era demokrasi ini. Aspek politis selalu akan mewarnai proses suksesi mendadak itu. Triggernya bisa macam-macam. Jika isu itu kuat, ini bisa menjadi trigger yang memantik terjadinya suksesi. Memang, terlalu jauh membandingkan suksesi bangsa ini dengan ACT. Tapi, secara teoritis, bisa dijelaskan dengan analisis yang sama. Teori konflik dan transformasi itu tidak hanya berlaku untuk hal-hal makro seperti bangsa, tetapi juga berlaku untuk hal-hal mikro seperti ormas, yayasan, bahkan struktur organisasi sekelas OSIS. ACT masuk di dalamnya. Konflik di ACT yang melengserkan Ahyudin sebagai pucuk pimpinan triggernya hanya pada gaji dan fasilitas yang \"dianggap\" kegedean. Mosok gaji ketua ACT di atas 250 juta? Mosok ketua ACT pakai mobil Alphart? Lembaga philanthropy yang notabene hari-harinya bertemu dan mengurus nasib fakir-miskin dan dhuafa kok hidup mewah? Di sini letak obyek yang dipersolkan. Tentu, ada banyak hal lain yang ikut menjadi bagian yang mungkin saja ikut dipersoalkan. Tapi tidak terlalu substantif dan primer. Bukan masalah yang utama. Secara politik itu bukan trigger. Di sisi lain, muncul pendapat: apakah pimpinan yang dengan kerja kerasnya mampu mengahasilkan lebih dana 1 T pertahun tidak layak mengapresiasi dirinya dengan gaji ratusan juta?  Dirut dan komut BUMN yang sering rugi aja take home pay-nya bisa di atas 1 M perbulan. Mosok mengurus orang miskin harus bergaya miskin juga? Perlu juga performence supaya tidak ada image sebagai pengemis di depan para donatur. Toh semua gaji, fasilitas dan dana yang keluar itu tercatat dengan rapi dan bisa dipertanggung jawabkan. Secara hukum dan administratif, beres! Gak ada yang dilanggar. Nah, dari sini ada dua pandangan yang berbeda. Satu pihak berpendapat bahwa gaji dan fasilitas seperti itu wajar. Ini menganut asas profesionalisme. Di pihak lain ada anggapan itu tidak wajar,. Ini ACT bung, bukan BUMN. Bukan pula PT. Sinar Mas, PT. APL atau PT ARTHA GRAHA. Dari sisi profesionalitas, gaji pimpinan ACT dengan semua fasilitasnya itu wajar. Lumrah dan sangat biasa. Ini jika dilihat dari kerja-kerja besar, baik dalam scope nasional maupun internasional yang dihasilkan oleh ACT. Namun, jika dilihat dari fungsi kelembagaan di mana ACT mengurus fakir-miskin dan dhuafa, gaji segitu dianggap berlebihan. Ini kurang pas dan tidak etis. Inilah yang kemudian menghadirkan protes yang intens selama bertahun-tahun.  Rupanya, protes yang bertubi-tubi telah mengakibatkan komunikasi di internal ACT semakin tidak hormonis. Protes ini pada akhirnya membelah ACT dalam dua kelompok. Kelompok pemrotes dan kelompok yang diprotes. Puncaknya, terjadi penggalangan (solidaritas pengurus dan anggota) yang semakin kuat. Kelompok solidaritas inilah yang kemudian berhasil \"dengan paksa\" melengserkan Ahyudin. Suksesi mendadak terjadi, dan Ahyudin diganti. Apakah setelah suksesi mendadak itu, gejolak di ACT selesai? Mestinya begitu. Semua berharap selesai. Toh para penggantinya juga orang-orang yang punya integritas dan kemampuan. Untuk ini, dibutuhkan kematangan kedua belah pihak.  Tidak semestinya pihak di luar ikut campur. Toh, masalahnya hanya soal gaji dan fasilitas, pantas atau tidak pantas. Layak atau tidal layak. Patut atau tidak patut. Ini hanya soal bagaimana membuat standar gaji dan fasilitas untuk lembaga philanthropy sebesar ACT. Bukan persoalan moral, bukan soal  korupsi, bukan soal nguntit uang umat.  Toh semua dana yang dipercayakan ke ACT bisa dipertanggungjawabkan penggunaannya. Tidak ada ketentuan syariat yang dilanggar. Tidak ada sistem dan prosedur hukum yang ditabrak. Jadi, ini murni urusan gaji internal. Tidak perlu melibatkan orang lain, termasuk donatur dan apalagi media. Uang donatur yang dititipkan aman dan dioperasionalkan sesuai dengan ketentuan hukum syariah dan aturan negara yang berlaku. Semua dana dipastikan sampai kepada mustahiq.  Siapapun pimpinan di ACT, saat ini, sistem sudah jalan. Pergantian pimpinan tidak banyak pengaruhnya. Biarkan riak-riak kecil di luar. Jika diperlukan, cukup temui secara personal dan klarifikasi. Ajak berdialog. Gak bijak main di media, apalagi medsos. Salah paham yang justru akan terus berkembang, dan ini merugikan ACT, merugikan umat, dan merugikan bangsa ini. ACT hadir untuk membantu negara di antaranya dalam mengentaskan kemiskinan.Jangan dirusak hanya karena ketidakmatangan sikap yang dipertontonkan oleh para pengurusnya. Jangan juga rusak oleh komentar-komentar para tokoh publik yang tidak tahu persis persoalan dan cenderung tidak diwasa.  Go ahead ACT. Umat tetap mendukung keberlangsungan aksi tanggapmu. Jakarta, 4 Juli 2022

Penataran Pancasila Ke-5: Ideologi Pancasila Terurai Pada UUD 1945

Dengan uraian di atas marilah kita bersama-sama mempunyai kesadaran berbangsa dan bernegara, mempunyai rasa tangungjawab dan keinsyafan untuk mengembalikan tatanan mula NKRI sesuai dengan UUD 1945 yang asli. Oleh: Prihandoyo Kuswanto, Ketua Pusat Studi Kajian Rumah Pancasila “BESAR artinja telah dapat ditundjukkan tadi, bahwa Undang-undang Dasar 1945 sebenarnya merupakan pendjelmaan dari Pembukaan dan bagaimana pendjelmaan itu. Dapat dikatakan, bahwa hal ini kebanjakan masih belum diperhatikan, sampai sepertinya dapat ada pendapat, bahwa asas kerohanian Negara (Pantjasila) adalah kosong. Menurut pendjelasan resmi daripada Undang-Undang Dasar 1945, termuat dalam Berita Republik Indonesia tahun II No. 7, Pembukaan adalah “suasana kebatinannja (geistlichen Hintergrund) dari Undang-undang Dasar …. (jang) tidak dapat dipahamkan, kalau hanja dibatja teksnja sadja”, dan bahwa “pokok-pokok pikiran (dalam Pembukaan) …. mewujudkan tjita-tjita Hukum (rechsidee) jang menguasai Hukum Dasar Negara, baik jang tertulis (Undang-undang Dasar) maupun Hukum jang tidak tertulis. Undang-Undang Dasar mentjiptakan pokok-pokok pikiran jang terkandung dalam pembukaan dalam pasal-pasalnja”. Jadi jelas, Amandemen UUD 1945 merupakan tindakan yang menghilangkan penjelasan UUD 1945 merupakan tidakan kudeta agar generasi penerus tidak bisa mengerti tentang pokok-pokok pikiran yang ada dalam Pembukaan UUD 1945, menghilangkan suasana kebahtinan dari UUD 1945 sehingga dengan dihilangkan nya pokok-pokok pikiran pembukaan UUD 1945 hilanglah cita-cita hukum yang menguasai hukum dasar. Dengan demikian ada hubungan hierarchis dan organis antara Undang-Undang Dasar 1945 dengan Pembukaan, ialah mempunjai kedudukan di bawah dan di dalam lingkungan Pembukaan. Dengan lain perkataan Undang-Undang Dasar itu merupakan isi daripada asas kerohanian Negara, asal politik Negara dan tudjuan Negara. Pantjasila tidak tinggal tjita-tjita dalam abstraktonja, tidak tinggal tjita-tjita dalam angan-angan, akan tetapi telah mempunjai bentuk dan isi jang formil dan materiil untuk mendjadi pedoman bagi hidup kenegaraan dan hukum Indonesia dalam konkretnja. Maka dari itu Undang-undang Dasar 1945 dengan Pembukaan merupakan kesatuan, jang berarti bahwa: Tafsir Undang-Undang Dasar 1945 harus dilihat dari sudut Pembukaan; Pelaksanaan Undang-Undang Dasar 1945 dalam undang-undang harus mengingat dasar-dasar jang tertjantum dalam Pembukaan. Adapun interpretasi dan pelaksanaan undang-undang dasar seharusnja dalam arti jang selengkapnya, ialah meliputi pula seluruh perundang-undangan di bawah undang-undang dasar  dan putusan-putusan administratif dari semua tingkat penguasa Negara, mulai dari Pemerintah Pusat sampai alat-alat perlengkapan Negara di daerah, Angkatan Perang, Pamong Pradja dan Polisi dan alat-alat perlengkapan Pemerintah Daerah, alat perlengkapannja. Semuanja harus dilihat dari sudut dasar-dasar jang terkandung dalam Pembukaan undang undang dasar. Dengan demikian seluruh hidup kenegaraan dan (tata) tertib hukum Indonesia didasarkan atas, ditudjukan kepada dan diliputi oleh asas kerohanian, asas politik dan tudjuan Negara jang tertjantum dalam Pembukaan. Tidak ada jang diketjualikan, djuga dalam hal menentukan kebidjaksanaan haluan Negara, kebidjaksanaan hukum dan perundang-undangan, kebidjaksanaan pemerintahan, kebidjaksanaan kesedjahteraan, kebudajaan, kesusilaan dan keagamaan, kebidjaksanaan politik dalam dan luar negeri, kebidjaksanaan keselamatan, pertahanan dan keamanan Negara. Barang sekiranya di sinilah letaknja batas, bentuk dan isi daripada pengertian “nasional’, jang kita inginkan bersama sebagai sifat mutlak bagi kehidupan bangsa, Negara, hukum dan kebudayaan kita. Hal ini tidak boleh dilupakan pula bagi kehidupan politik (kepartaian) kita, baik dalam bidang dalam negeri maupun luar negeri. Bab IV tentang kesedjahteraan social, perintjiannja terdapat pertama dalam pasal 33 tentang hal susunan perekonomian atas dasar kekeluargaan, tentang tjabang-tjabang produksi jang penting bagi Negara, dan menguasai hadjat hidup orang banjak dikuasai oleh Negara tentang bumi dan air dan kekajaan alam jang terkandung di dalamnja dikuasai oleh Negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakjat; kedua dalam pasal 34 tentang fakir-miskin dan anak-anak jang terlantar dipelihara oleh Negara. Jadi jelas Ideologi Pancasila terurai di dalam pasal-pasal UUD 1945. Oleh sebab itu amandemen UUD 1945 yang memisahkan Pembukaan UUD 1945 dengan batang tubuh sama artinya menghilangkan Ideologi Pancasila. Para elit dan pengamandemen UUD 1945 rupanya tidak memahami bahwa pembukaan dan batang tubuh UUD 1945 mempunyai hubungan yang erat yang tidak bisa dipisahkan. Asas Politik Negara Indonesia Diamandemen Daripada asas politik Negara, bahwa Negara Indonesia “terbentuk dalam suatu susunan Negara Republik Indonesia jang berkedaulatan rakjat”, jang ditentukan dalam Pembukaan, udjud pelaksanaannja objektif terdapat dalam Undang-undang Dasar 1945 dalam pasal 1 ajat (1), bahwa Negara Indonesia ialah Negara Kesatuan, dan pasal 1 ajat (2), bahwa kedaulatan rakjat dilakukan sepenuhnja oleh Madjelis Permusjawaratan Rakjat. Diamandemennya pasal 1 ayat 2 Kedaulatan di tangan rakyat dilakukan sepenuhnya oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) diamandemen menjadi: Pasal 1 ayat 2 Kedaulatan di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang-Undang Dasar. Akibat diamandemennya pasal 1 ayat 2 adalah mengamandemen asas politik negara, susunan Negara Republik Indonesia tidak lagi wujud dari kedaulatan rakyat. Adapun tudjuan Negara misi, tertjantum dalam Pembukaan, jang nasional (“melindungi segenap bangsa dan seluruh tumpah darah serta memadjukan kesedjahteraan umum dan mentjerdaskan kehidupan bangsa”), pendjelmaannya objektif adalah sebagai di bawah ini. Pertama-tama terkandung djuga dalam pendjelmaan daripada asas kerohanian dan asas politik Negara sebagaimana dimaksudkan di atas, karena kedua asas Negara itu memang dikehendaki untuk mewujudkan atau mentjapai tudjuan Negara. Lain daripada itu terutama untuk tudjuan Negara jang negatif, jaitu keselamatan bangsa dan Negara atau perdamaian, pendjelmaannja objektif terdapat dalam Undang-undang Dasar 1945 dalam Bab IX tentang kekuasaan kehakiman (pasal 24 dan 25) dan Bab XII tentang Pertahanan Negara (pasal 30) serta kekuasaan Presiden dalam pasal 14 untuk memberi grasi, amnesti, abolisi dan rehabilitasi, dalam pasal 10 atas Angkatan Perag, dalam pasal 11 untuk menjatakan perang, membuat perdamaian dan perdjandjian dengan Negara lain, dan dalam pasal 12 untuk menjatakan keadaan bahaja. Besar artinja telah dapat ditundjukkan tadi, bahwa Undang-undang Dasar 1945 sebenarnya merupakan pendjelamaan dari Pembukaan dan bagaimana pendjelmaan itu. Dapat dikatakan, bahwa hal ini kebanjakan masih belum diperhatikan, sampai sepertinya dapat ada pendapat, bahwa asas kerohanian Negara (Pantjasila) adalah kosong. Menurut pendjelasan resmi daripada Undang-undang Dasar 1945, termuat dalam Berita Republik Indonesia tahun II No. 7, Pembukaan adalah “suasana kebatinannja (geistlichen Hintergrund) dari Undang-undang Dasar ………… (jang) tidak dapat dipahamkan, kalau hanja dibatja teksnja sadja”, dan bahwa “pokok-pokok pikiran (dalam Pembukaan) …. mewujudkan tjita-tjita Hukum (rechsidee) jang menguasai Hukum Dasar Negara, baik jang tertulis (Undang-undang Dasar) maupun Hukum jang tidak tertulis. Undang-undang Dasar mentjiptakan pokok-pokok pikiran jang terkandung dalam pembukaan dalam pasal-pasalnja”. Maka dari itu Undang-undang Dasar 1945 dengan Pembukaan merupakan kesatuan, jang berarti bahwa: Tafsir Undang-Undang Dasar 1945 harus dilihat dari sudut Pembukaan; Pelaksanaan Undang-undang Dasar 1945 dalam undang-undang harus mengingat dasar-dasar jang tertjantum dalam Pembukaan. Adapun interpretasi dan pelaksanaan undang-undang seharusnja dalam arti jang selengkapnya, ialah meliputi pula seluruh perundang-undangan di bawah undang-undang dasar dan putusan-putusan administratif dari semua tingkat penguasa Negara, mulai dari Pemerintah Pusat sampai alat-alat perlengkapan Negara di daerah, Angkatan Perang, Pamong Pradja dan Polisi dan alat-alat perlengkapan Pemerintah Daerah, alat perlengkapannja. Semuanja harus dilihat dari sudut dasar-dasar jang terkandung dalam Pembukaan. Dengan demikian seluruh hidup kenegaraan dan (tata) tertib hukum Indonesia didasarkan atas, ditudjukan kepada dan diliputi oleh asas kerohanian, asas politik dan tudjuan Negara jang tertjantum dalam Pembukaan. Tidak ada jang diketjualikan, djuga dalam hal menentukan kebidjaksanaan haluan Negara, kebidjaksanaan hukum dan perundang-undangan, kebidjaksanaan pemerintahan, kebidjaksanaan kesedjahteraan, kebudajaan, kesusilaan dan keagamaan, kebidjaksanaan politik dalam dan luar negeri, kebidjaksanaan keselamatan, pertahanan dan keamanan Negara. Barang sekiranya disinilah letaknja batas, bentuk dan isi daripada pengertian “nasional’, jang kita inginkan bersama sebagai sifat mutlak bagi kehidupan bangsa, Negara, hukum dan kebudayaan kita. Hal ini tidak boleh dilupakan pula bagi kehidupan politik (kepartaian) kita, baik dalam bidang dalam negeri maupun luar negeri. Sebagai bawaan daripada dasar kerakjatan dan dasar perikemanusiaan terdjelma dalam hak asaasi manusia sebagai individu dan machluk sosial kedua-duanya, maka kepartaian kita dan pemerintahan kita didasarkan atas dan diliputi oleh aliran agama dan aliran hidup, jang mempunjai djuga sifat universil dan atau internasional. Akan tetapi di dalam segala matjam kebidjaksanaan tersebut di atas sifat universil dan internasional itu seharusnja direalisasi dalam bentuk jang “nasional” itu agar supaja kehidupan bangsa, Negara, hukum dan kebudajaan kita adalah merupakan realisasi jang tjotjok dengan pribadi bangsa kita. Kesimpulan ini adalah timbul dengan djelas dan dengan sendirinja dari perdjalanan pikiran seperti berturut-turut diadjukan di atas. Dapat masih diterangkan lagi atas dasar prinsip ilmiah, ialah bahwa tjita-tjita, dan ideologi adalah tjita-tjita, untuk realisasinja dalan kenjataan membutuhkan suatu bentuk tertentu. Dalam pada itu halnja tidak demikian, bahwa suatu tjita-tjita hanja mempunjai satu bentuk realisasi tertentu atau tjita-tjita jang berlainan djuga bentuk realisasinja, akan tetapi suatu tjita-tjita mempunjai banyak kemungkinan bentuk untuk diwudjudkan dalam kenjataan, sedangkan tjita-tjita jang berlainan mungkin pula sama dalam bentuk realitasinja. Bagaimana dapat terdjadi, itu adalah bawaan dan pengaruh daripada perbedaan dan perubaha segala sesuatu di dunia, sepertinja keadaan ⁰ orang-perseorangan maupun bersama, jang tergolong-golong dengan mempunjai keagamaan, kebudajaan, kebutuhan dan kepentingan jang berlainan. Tidak dengan sendirinja bentuk realisasi jang brlainan dari tjita-tjita satu atau serupa menimbulkan pertentangan, akan tetapi dapat berdampingan dalam harmoni keaneka-ragaman jang memperkaja. Inilah jang terutama mendjelma dalam hidup perseorangan. Sebaliknya kesamaan bentuk realitasi tjita-tjita jang berlainan tidak djarang terudjud, dan terutama dalam hidup bersama, dan djustru inilah jang memungkinkan terdjadinja golongan-golongan, terdjadinja masjarakat. Dapat pula masih dikemukakan suatu kenjataan dalam sedjarah bangsa Indonesia, jang menundjukkan pertemuan dan hidup berdampingan dalam keaneka-tunggalan pelbagai tjita-tjita jang berlainan, jang asli dan jang datang dari luar, dalam lapangan hidup jang pokok-pokok, kerohanian dan kedjasmanian, sepertinja dalam hal keagamaan, kedjiwaan, kebudajaan, kesusasteraan, kesenian, mata pentjaharian hidup. Telah terbukti dalam sedjarahnja itu, bahwa bangsa Indonesia memiliki kemampuan sintetis. Begitulah tjita-tjita kenegaraan dan hukum daripada Pembukaan dan bentuk realisasinja jang setjara ilmiah dapat digambarkan di tas, dapat didjelaskan dan dikuatkan atas dasar suatu prinsip ilmiah, jang sungguh terdjelma dalam hidup kemanusiaan, dan djuga oleh bukti sedjarah bangsa Indonesia sendiri dengan kemampuannja sintetis itu. Dengan segala sesuatu itu sebagai dasar dan pedoman, maka ada sjarat-sjarat mutlak keharusan, agar supaja perbedaan ideologi dalam hidup kepartaian kita dengan pengaruhnja dalam pemerintahan, sama saling menjesuaikan diri dalam pertemuan bentuk realisasi jang “nasional” itu, sebagaimana terdjelma dalam tjita-tjita  kenegaraan jang telah tetap terkandung dalam Pembukaan itu, dengan realisasinja jang dinamis. Dari uraian di atas harusnya bangsa dan elit ini sadar, Negara Republik Indonesia yang diproklamasikan 17 Agustus 1945 telah dikudeta dengan diamandemen, sehingga tatanan kenegaraan tidak lagi mencerminkan perjanjian luhur bangsa Indonesia yang dituangkan pada pembukaan UUD 1945 sekarang bisa disaksikan kebingungan – kebingungan terhadap ketatanegaraan. Bagaimana Presiden mengangkat dirinya sendiri, di akhir masa jabatannya tidak perlu mempertangungjawabkan apa yang sudah dilakukan bahkan pembangunan tidak lagi dirancang oleh MPR dan seluruh anak bangsa yang tertuang di dalam GBHN. Tetapi disandarkan pada negara China dengan proyek OBOR, apakah itu kepentingan negara bangsa? Apakah pindah Ibukota kepentingan Bangsa dan Negara? Begitu juga dengan puluhan UU yang dilahirkan untuk kepentingan Investor asing, Aseng. Dengan uraian di atas marilah kita bersama-sama mempunyai kesadaran berbangsa dan bernegara, mempunyai rasa tangungjawab dan keinsyafan untuk mengembalikan tatanan mula NKRI sesuai dengan UUD 1945 yang asli. Jika tidak bangsa dan negara ini akan musnah, sebab hari ini NKRI bukan lagi yang di-Proklamasikan 17 Agustus 1945 yang mempunyai asas kedaulatan di tangan rakyat dan dilaksanakan sepenuhnya oleh MPR. Sudah diganti dengan dasar Liberal Kapitalisme kekuasaan diperebutkan banyak-banyakan suara. Dosa kolegtif bangsa ini bukan hanya pada pendiri bangsa tetapi dosa terbesar adalah pada masa depan anak cucu kita, bisa jadi perbuatan kita hari ini adalah dalam rangka membuat anak cucu kita sebagai jongos di negerinya sendiri kelak. (*)

Demokrasi dan Keadilan Sosial: Tantangan Menuju Kepemimpinan Baru 2024

Selain urusan minyak goreng, kesejahteraan buruh juga semakin buruk saat ini, khususnya ketika UU Omnibus Law diberlakukan dan upah buruh hanya mengalami kenaikan 0,85% saja (2022). Oleh: Dr. Syahganda Nainggolan, Sabang Merauke Circle. MAKALAH ini saya sampaikan dalam seminar kebangsaan Syarikat Islam (SI), “Demokrasi dan Keadilan Sosial”, di Jakarta, Ahad (3/7/22). Menurut saya, demokrasi dan keadilan sosial dalam diskursus sosial sering membingungkan. Pertama, apakah demokrasi itu hanya sebuah “tools” untuk mewujudkan keadilan sosial. Kedua, apakah demokrasi itu, seperti juga keadilan sosial adalah keduanya merupakan tujuan. Ketiga, apakah sesungguhnya keduanya mempunyai korelasi? Ketiga isu di atas penting kita pikirkan saat ini, sebab indeks demokrasi di Indonesia mengalami penurunan drastis selama pemerintahan Presiden Joko Widodo 8 tahun terakhir ini. Begitu juga kemiskinan terus memburuk dan ketimpangan sosial semakin menganga. Padahal Jokowi awalnya hadir itu sebagai sosok pemimpin sederhana yang menawarkan diri untuk memberantas kemiskinan dan menegakkan keadilan sosial melalui berbagai jargon dan platform perjuangannya, seperti “Revolusi Mental”, Trisakti, dan Nawacita. Jika indeks demokrasi memburuk, namun menghasilkan kesejahteraan yang tinggi dan merata, maka orang mampu membayangkan bahwa pengurangan demokrasi akan berkorelasi terhadap pemberantasan kemiskinan. Artinya, tingkatan demokrasi itu sekedar alat saja. Indeks demokrasi kita (Source: A new low for global democracy|The Economist) menurut EIU (European Inteligent Unit), dengan mengambil 5 kluster besar indikator, yakni, “electoral process and pluralism, the functioning of government, political participation, democratic political culture and civil liberties”, menempatkan Indonesia pada ranking 52 dari 167 negara, dengan skore 6,71. EIU mengklasifikasikan 4 tingkatan dari negara otoriter, hybrid, flaw democracy dan full democracy. Dengan skore yang ada Indonesia saat ini selalu berada pada “Flaw Democracy” atau demokrasi yang cacat. Demokrasi yang cacat disebutkan karena indikator yang dipenuhi hanya sebagian, seperti “fair election dan basic liberties”. Cacat dikarenakan partisipasi publik yang lebih besar tidak terjadi, media tidak bebas dan pemerintah tidak ingin dikontrol. Indeks demokrasi selama pemerintahan Jokowi dapat dilihat dari trend grafik di bawah ini, di mana awal-awalnya indeks tersebut naik melampaui skor 7, namun kemudian menurun drastis. Secara kualitatif, Amnesty Internasional Indonesia (AII), pada seminar tentang demokrasi di Jakarta tahun ini, seperti dikutip pada suara.com (20/5/2022), mengatakan bahwa selama 14 tahun terakhir, tahun inilah tahun demokrasi yang paling buruk. Menurut Ketua AII, kemunduran ini akibat pemerintah ingin mengembalikan kekuasaan menjadi sentralistik, otoriter, dan melemahkan institusi reformasi seperti KPK dan MK. Sejalan dengan EIU dan AII di atas, berbagai Indonesianis, khususnya yang berbasis di Australia melihat Indonesia dalam sitasi “illiberal democracy” atau “Jokowi’s Turn-Back Authoritarian”. Mereka menggambarkan bahwa demokrasi yang dijalankan Jokowi melanggar prinsip-prinsip demokrasi yang benar, seperti melakukan langkah otoritarian dalam membubarkan ”ormas radikal”, padahal belum ada suatu pembuktian pengadilan atas kesalahan ormas tersebut. Secara kualitatif, sebenarnya kita sendiri mengetahui buruknya demokrasi di era Jokowi melebihi apa yang dilukiskan beberapa lembaga di atas. Pembungkaman demokrasi, kebebasan sipil, pembungkaman media sosial dan spying, serta pemenjaraan aktifis politik kembali terjadi secara massif dalam era Jokowi. Jika AII belum meyakini setuasi demokrasi kita kembali ke sama dengan pada masa orde baru, maka apa yang kita semua saksikan saat ini sebenarnya sudah terjadi. Rezim intelijen di masa orde baru kembali muncul dengan massif lagi pada masa Jokowi ini. Dalam kaitan tema diskusi kita saat ini, kita kembali bertanya, apakah kemakmuran rakyat dan keadilan sosial meningkat di masa Jokowi? Untuk mengukur kemakmuran dan keadilan sosial, kita harus melihatnya dalam dua dimensi. Pertama, dimensi statistik yang memotret angka-angka indikator seperti angka kemiskinan, angka pengangguran, koefisien gini, indeks konsumen, nilai tukar petani, upah buruh, inlasi, dll. Kedua, kita harus melihat persoalan kemiskinan secara strutural, yakni dikaitkan dengan faktor penguasaan asset produktif, akses dan fakta terkait pembiayaan, dan dukungan negara. Angka kemiskinan BPS 2021, menunjukkan kemiskinan di Indonesia berada pada level di atas 10%. Angka itu juga pernah diklaim pemerintah turun di bawah 10% pada Maret 2019. Ini dicatat pada angka garis kemiskinan Rp 425.000. Namun, statistik penurunan kemiskian selama 10 tahun terakhir (2011-2021), menurut Elan Satria, ketua Tim Penanggulangan kemiskinan Indonesia, hanya rerata 0,5% pertahun. Keberhasilan menurunkan sebesar 1% cuma terjadi pada tahun 2011-2012 (mediaindonesia.com, 8/18/21). Sebaliknya, CNBC, pernah melaporkan sepanjang 5 tahun pertama dalam kepemimpinan Jokowi hanya berhasil menurunkan kemiskinan di atas 1% saja. Atau jauh lebih kecil. Menurut CNBC (15/1/20), di era Jokowi hanya terjadi penurunan kemiskinan sebesar 1,04 %, sebaliknya di era 2009-2014 tingkat kemiskinan berhasil turun sampai 3,19 persen poin dan pada 2004-2009, tingkat kemiskinan juga turun l2,51 persen poin serta 1999-2004 turunnya lebih besar, yakni 6,83 persen. Seandainya sumber resmi pemerintah kita rujuk, penurunan dengan angka 0,5% pertahun, Indonesia akan terjebak dalam situasi yang bolak-balik begitu saja, artinya hanya seperti mengutak atik angka-angka statistik, namun tidak merubah substansi untuk pengentasan kemiskinan. Jika kita lihat lebih dalam di daerah, angkanya lebih memperihatinkan, misalnya, Sumatera Selatan yang hanya menurunkan kemiskinan sebesar 0,19 dan NTT 0,22% pada tahun 2020-2021. Padahal, seperti Sumsel, saat yang sama kekayaannya, batubara, kayu, minyak goreng, migas dll, diekspor dengan jumlah besar-besaran. Angka kemiskinan dengan penurunan yang kecil merupakan angka kutukan jika kita ingin melihat harapan ke depan. Dari pendekatan kemiskinan struktural, harapan semakin pupus karena transformasi penguasaan asset, baik properti/land maupun keuangan/ pembiayaan semakin memihak orang-orang kaya. Pada 2019, beritasatu.com (28/8/2019), memberitakan struktur kepemilikan uang di rekening bank sebagai berikut, dari Rp 5.900 triliun pada Juli 2019, dari total kepemilikan rekening 291 juta, mayoritas rekening (98%) dimiliki nasabah dengan simpanan di bawah Rp 100 juta. Dari jumlah total uang bank, itu hanya sebesar 1% saja. Sebakliknya, pemilik uang 2-5 miyar berjumlah 0,5% dengan porsi kepemilikan 1%, selanjutnya pemilik di atas Rp 5 miliar mempunyai rekening sebanyak 98.947 rekening dengan porsi kepemilikan 47% atau sebesar Rp 2.768,62 triliun. Bagaimana kondisi terbaru ketika pandemi? Ketika rakyat miskin terseok-seok mengantri bantuan sosial? Riset IDEAS, sebuah lembaga di bawah yayasan Dompet Dhuafa, dalam berita Kompas (19/12/21), menjelaskan “sejak pandemi, terlihat pola yang konsisten, rasio tabungan kelas atas meningkat tajam dan rasio tabungan kelas bawah semakin terpuruk. Pangsa simpanan masyarakat di perbankan dengan tier nominal lebih dari Rp 5 miliar meningkat dari 46,2 persen pada Desember 2019 menjadi 50,7 persen pada September 2021.” Catatan tentang reformasi aset atau “Landreform” dalam Nawacita Jokowi itu tidak mempunyai jejak nyata. Jokowi hanya berhasil memperkuat program hutan sosial yang sudah ada sejak dulu. Sedangkan Landreform, seperti yang dibayangkan Soekarno ketika menjalankan sosialisme ekonomi, tidak terjadi. Berbagai catatan menyebutkan tanah-tanah produktif di Indonesia dengan skala puluhan juta hektar hanya dikuasai segelitir orang saja. Strutkur kepemilikan asset, baik tanah maupun uang, seperti digambarkan di atas jika dikaitkan dengan Material Power Indeks (MPI), sebagaimana yang dikonsepkan Jeffry Winters dalam Oligarcy in The United States, sebagai ukuran kekayaan oligarki dibanding rerata rakyat, di mana Indonesia sebesar 548.000, jauh lebih besar dari Malaysia 152.000 dan Singapore 46.000. Atau konsep Thomas Piketty tentang return to capital/growth yang selalu membesar, maka dapat dipastikan kemiskinan dan ketidakadilan di Indonesia akan terus menganga. Dan negara tidak lagi mempunyai arti yang penting sebagai faktor keadilan sosial. Kita sudah memperlihatkan demokrasi dan isu kesejahteraan di atas, yang keduanya memburuk begitu dahsyat di era Jokowi. Mungkin Jokowi dapat berkelit bahwa sebagiannya karena faktor eksternal, seperti pandemi covid-19 maupun perang Ukraina dan Rusia saat ini. Namun, dalam dimensi struktural, baik era pandemi maupun di luar pandemi, situasi kemiskinan dan ketimpangan kepemilikan aset tetap menjadi persoalan besar, bahkan jika dikaitkan dengan kasus minyak goreng beberapa waktu lalu, tampak Jokowi gagal memerankan fungsi negara sebagai instrumen keadilan. Selain urusan minyak goreng, kesejahteraan buruh juga semakin buruk saat ini, khususnya ketika UU Omnibus Law diberlakukan dan upah buruh hanya mengalami kenaikan 0,85% saja (2022). Lalu apakah buruknya demorasi mempunyai korelasi terhadap pengurangan kemiskinan dan sekaligus memperbaiki keadilan sosial? Hubungan ini perlu diselidiki lebih jauh. Namun, pada era pemerintahan sebelum Jokowi, ketika demokrasi berjalan, 2000-2014, tingkat pengentasan kemiskinan berjalan jauh lebih baik. Oleh karenanya kita harus meyakini bahwa peningkatan indeks demokrasi secara tajam perlu dilakukan. Begitu pula, desain negara ke depan, khususnya dalam kepemimpinan baru, harus mengahsilakn langkah struktural yang kuat di bidang kemakmuran rakyat. (*)

Kok Menag Yaqut, Iedul Adha 9 Juli?

Oleh M. Rizal Fadillah - Pemerhati Politik dan Kebangsaan  SUDAH pasti Saudi Arabia melaksanakan shalat hari raya Iedul Adha pada tanggal 10 Dzulhijah 1443 H bertepatan dengan 9 Juli 2022. Menteri Agama Yaqut sebagai Amirul Hajj Indonesia telah tiba di Saudi Arabia dan bersiap melaksanakan ibadah haji dengan Wukuf di Arafah hari Jum\'at tanggal 9 Dzulhijah 1443 H atau 8 Juli 2022.  Pak Menteri melontar Jumrah Aqabah tanggal 10 Dzulhijjah 1443 H atau 9 Juli 2022 M dan itu adalah hari raya Iedul Adha. Terlepas dari pak Yaqut melaksanakan shalat atau tidak, tetapi ia dipastikan merayakan hari Iedul Adha pada tanggal 9 Juli 2022. Lucu dan prihatin juga, sebagai Menteri Agama yang baru saja menetapkan Iedul Adha tanggal 10 Juli 2022 harus merayakan Iedul Adha  tanggal 9 Juli 2022. Kriteria  yang dipakai adalah \"kesepakatan Menteri-Menteri Agama\" Brunei, Indonesia, Malaysia, dan Singapura itu untuk tinggi hilal 3 derajat elongasi 6,4 derajat. Mengubah kriteria tahun lalu dan sebelumnya untuk tinggi hilal 2 derajat dan elongasi 3 derajat. Maka berbedalah kini dengan hari Ied para Jama\'ah Haji. Andai kriteria tidak diubah mungkin tidak akan terjadi perbedaan. Iedul Adha akan jatuh pada hari sabtu tanggal 9 Juli 2022. Australia menetapkan hari raya Iedul Adha tanggal 9 Juli 2022, begitu juga Amerika yang lebih jauh, Iedul Adha nya tanggal 9 Juli pula. Agak nyeleneh jika Iedul Adha jatuh tanggal 10 Juli 2022, tetapi tidak apa-apa untuk atas nama perbedaan. Masing-masing saja, walau perlu perhatian semua bahwa shaum di hari raya Ied atau hari tasyrik itu adalah haram.  Kembali ke Bapak Menteri yang akan ber-Iedul Adha tanggal 9 Juli 2022, maka netizen teriak \"Setelah menyuruh orang untuk Iedul Adha tanggal 10 Juli eh, dianya Iedul Adha tanggal 9 Juli\". Tentu ia akan mesam-mesem beralasan mejawab \"kan, saya haji\". Andai para Menteri Agama negara Brunei, Malaysia, dan Singapura ternyata semua melaksanakan haji, maka \"wes ewes bablas angine\". Entah apa yang akan mereka katakan bersama atas kesepakatan menetapkan Iedul Adha 10 Juli 2022. Pasti tidak akan menyatakan \"gue tipu rakyat gue\". Ah tidak, dalilnya tentu ijtihad berbasis \"imkanur rukyat\". Bahwa perbedaan metode hisab atau wujudul hilal, rukyat, dan imkanur rukyat dapat difahami. Tetapi pak Menteri yang ketuk palu untuk seluruh bangsa Indonesia dengan metode imkanur rukyat eh tiba tiba melaksanakannya di tempat yang bermetode rukyatul hilal, ya aneh dan plin plan juga. Ketuk palu lalu lari.  Sebagai pemimpin yang konsisten dan bertanggung jawab semestinya Menag Yaqut melepaskan jabatan sebagai Amirul Hajj serahkan pada yang lain. Pak Menteri tidak perlu melaksanakan haji.  Ini agar Menteri Yaqut melaksanakan Iedul Adha bersama-sama dengan umat yang telah diputuskan oleh dirinya sendiri yaitu tanggal 10 Juli 2022. Di Indonesia.  Amirul Hajj itu tidak harus Menteri Agama, bukankah ada Dirjen atau pejabat lainnya?  Setelah Presiden Jokowi membuat kontroversi dalam lawatan ke Rusia dan Ukraina, kini Menteri Agama membuat kontroversi pula dengan ber-Iedul Adha di Saudi Arabia. Tanggal 9 Juli dua ribu dua puluh dua. 9 Juli 2022. Bandung, 6 Juli 2022

FKN: Merebut Kembali Kedaulatan

Dari dalam, partai politik di DPR semakin bernafsu untuk memonopoli politik secara radikal menjadikan publik pemilih hanya para jongos politik, bahkan presiden pun menjadi pesuruh atau petugas partai. Oleh: Daniel Mohammad Rosyid, Guru Besar ITS, @Rosyid College of Arts SELASA pagi tadi, di tengah suasana peringatan Dekrit Presiden 5 Juli 1959, Front Kedaulatan Negara (FKN) dideklarasikan oleh mantan pengawas KPK Dr. Ir. Abdullah Hehamahua di kantor Dewan Dakwah Islamiah Indonesia (DDII), Jakarta. Dikatakan bahwa sudah 77 tahun Republik Indonesia ini diproklamasikan kemerdekannya, tapi kondisi negeri ini makin jauh dari cita-cita para pendiri bangsa. Kedaulatan negara dirampas oleh kaum sekuler kiri dan nasionalis radikal yang telah diam-diam menjadikan partai politik sebagai instrumen kudeta konstitusi setelah berhasil mengganti UUD 1945 menjadi konstitusi palsu UUD 2002. Kudeta konstitusi itu dilakukan melalui serangkaian maladministrasi publik, yaitu dengan rekayasa perundang-undangan, tafsir dan penegakannya untuk kepentingan segelintir elit partai politik yang berselingkuh dengan para taipan pendukung logistiknya, bukan untuk kepentingan publik. Publik pemilih dibeli hak politiknya melalui Pemilihan Umum dengan harga recehan untuk mengantarkan para petinggi parpol menduduki berbagai jabatan publik. Bukannya menjalankan amanah konstitusi, para pejabat publik itu justru membuka jalan lebar bagi penjongosan ekonomi dan politik bangsa ini. Secara lambat tapi pasti kedaulatan negeri ini berpindah tangan ke oligarki yang dengan mudah mengatur kehidupan berbangsa dan bernegara tanpa koreksi berarti oleh DPR dan media massa. Sementara banyak kampus asyik masyuk sibuk meraih ranking klas dunia, suara kritis segera dibungkam atau pengkritik itu dikriminalisasi atau dibunuh karakternya. Rezim yang berkuasa saat ini praktis makin menyediakan negeri ini menjadi satelit negeri asing, baik Barat ataupun Tiongkok. Melalui hutang ribawi yang menggunung mencapai Rp 15 kT, negeri ini nyaris tergadai ke pemberi hutang. Kedaulatan Republik ini perlahan hilang saat pembangunan semakin menggantungkan pada hutang asing. Kemandirian dalam ekonomi dan kepribadian dalam budaya makin tidak dipedulikan dalam pengelolaan pembangunan. Padahal, pembangunan seharusnya dirumuskan sebagai upaya perluasan kemerdekan, dan pendidikan sebagai upaya belajar merdeka, bukan sekedar peningkatan kesejahteraan material semu dalam kubangan hutang ribawi masyarakat buruh. Bung Karno benar saat mengumumkan Dekrit Presiden pada 5 Juli 1959 untuk kembali ke UUD ‘45 dengan semangat Piagam Jakarta demi mengatasi kebuntuan politik di Konstituante, sekaligus sebagai semacam reproklamasi kemerdekaan yang dinyatakan dalam Pembukaan UUD ‘45. Namun, dengan dukungan PKI dan PK China, Bung Karno terbukti melakukan blunder politik besar saat mencoba meramu Nasakom (Nasionalis-Agama-Komunis) justru dengan menangkapi tokoh-tokoh muslim seperti Natsir dan Hamka serta membubarkan Masyumi. Bung Karno mungkin mengira untuk sementara berhasil membebaskan RI dari pengaruh kapitalis AS, tapi jatuh kemudian pada pengaruh komunis RRT. Sejarah lalu mencatat kejatuhan Bung Karno dan munculnya Soeharto. FKN perlu mencermati tantangan kedaulatan yang dihadapi oleh RI sejak proklamasi kemerdekaannya, Orde Lama, Orde Baru dan zaman reformasi ini. Tantangan itu berasal dari dalam dan dari luar. Dari dalam, partai politik di DPR semakin bernafsu untuk memonopoli politik secara radikal menjadikan publik pemilih hanya para jongos politik, bahkan presiden pun menjadi pesuruh atau petugas partai. DPR bisa lumpuh karena disuap dan pimpinan partainya disandra kasus korupsi   DPD pun dibuat lumpuh by design sehingga nyaris tak berdaya juga. Karena biaya politik yang makin mahal, para elit politik semakin mesra dengan para taipan yang menyediakan logistik bagi para elit politik tersebut, sementara wong cilik dan tukang bakso harus menghadapi harga minyak goreng, BBM, cabe dan kebutuhan sehari-hari yang membumbung tinggi.  Dari luar, baik China maupun Barat tidak akan begitu saja mudah melepas Indonesia menjadi negara yang berdaulat. Persatuan Indonesia akan terus dirongrong oleh sentimen kesukuan yang kini marak, dan ketimpangan sosial ekonomi dan kesenjangan spasial yang memburuk. Prinsip permusyawaratan perwakilan akan terus diolok-olok oleh demokrasi one-man one-vote yang memuja elektabilitas. Pembelahan bangsa menjadi masyarakat kampret dan cebong akan terus dipelihara, sementara narasi Islamophobia akan terus disemburkan di tengah propaganda LGBT atas nama hak asasi manusia. Jika puasa dapat menjadi resep bagi godaan nafsu syahwat perut dan kelamin yang digelorakan oleh hutang ribawi, maka godaan pemujaan kelompok, suku dan hak azasi harus dihadapi dengan menyembelih keakuan melalui pengorbanan diri. Kewajiban azasi lebih primer daripada hak asasi. Kewajiban sebagai ekspresi tanggungjawab adalah konsekuensi pertama dan utama manusia yang merdeka, dan bangsa yang berdaulat. Stasiun Gambir, 5 Juli 2022. (*)

Presiden Ngagul Lagi

Sepertinya sejarah akan mencatat, bahwa akan ada seorang presiden yang pernah menjadi bahan olok-olokan, dipermalukan dan tidak bisa dipercaya lagi selama kepemimpinannya. Apapun yang keluar dari pikiran, ucapan dan tindakannya, sudah terlanjur tak digubris rakyat. Jika hal itu terjadi, maka Indonesia akan memecahkan rekor untuk pertamakalinya  presiden terburuk yang pernah ada sejak negara ini diproklamasikan kemerdekaannya. Oleh Yusuf Blegur - Mantan Presidium GMNI Tidak hanya kebijakannya yang compang-camping dan urakan. Presiden kali ini juga dikelilingi para pembantunya yang konyol juga ndablek. Wajah  pemerintahan secara keseluruhan diselimuti penampilan dengan kinerja buruk, penuh resiko tinggi dan membahayakan bukan saja eksistensi akan tetapi juga keberadaan NKRI. Aparatur negara hanya mampu memperlihatkan sumber daya yang tidak kapabel, kompeten, akuntabel dan berintegritas. Negara yang dipimpin seorang presiden dengan gerombolan birokrasi yang rakus dan tak tahu malu. Hanya mampu menghasilkan prestasi berupa maraknya korupsi, perampasan  tanah rakyat,  perampokan  sumber daya alam, sekaratnya demokrasi yang diikuti merosotnya kehidupan ekonomi dan politik serta jual beli hukum  secara telanjang. Praktek-praktek kekuasaan  itu yang memiskinkan dan menyebabkan penderitaan rakyat,  semakin mendorong NKRI cenderung menjadi negara gagal. Tak cukup dengan nihilnya segudang janji kampanye pada saat menjadi capres. Kepala negara sekaligus kepala pemerintahan yang sudah terlanjur dijuluki Pinokio dan \"King of Lip Service\" oleh publik. Alih-alih memperbaiki diri dan menebusnya dengan terobosan kerja  yang membanggakan. Presiden justru semakin berulah lebih buruk lagi. Kali ini tak tangung-tanggung memanipulasi komunikasi politik terkait statemen kunjungan luar negerinya. Perkataannya yang tak bisa dipisahkan sebagai bagian dari diplomasi internasional, rentan dan terindikasi menjadi kebohongan publik. Mirisnya, pernyataan pemimpin negara tak berkelas dan begitu rendahnya bukan hanya sekedar telah menjadi kebohongan internasional semata. Lebih dari itu telah memicu situasi yang tak kondusif, semakin mendorong ketegangan politik dan berpotensi menguatkan konflik internasional.  Dalam hal ini kunjungan presiden ke negara Ukraina yang beririsan konflik bahkan perang dengan Rusia, malah semakin menimbulkan suasana panas karena pernyataan presiden yang tidak bisa dipertanggungjawabkan kebenarannya. Setelah komunikasi dengan presiden Ukraina, seolah-olah ada pesan yang akan dititipkan untuk disampaikan ke presiden Rusia terkait harmonisasi kedua negara. Ternyata tak ada agenda itu dan pertemuan presiden tanpa beban ini dengan presiden Rusia hanya sebatas pembshasan pupuk dan terkait ekpornya yang terganggu. Setidaknya sudah menimbulkan kontroversi dan polemik seperti apa yang sebenarnya menjadi agenda pertemuan, isi pembahasan dan apa yang semua itu kemudian dipublish. Faktanya yang berkeliaran informasnya dalam media internasional dan media lokal termasuk media sosial. Terbukti presiden melakukan manipulasi dan kamuflase seperti biasa dan berulang-ulang, hanya sekedar untuk pencitraan diri dan membagun presisi pemerintahannya yang semu dan menipu. Rakyat Indonesia untuk kesekian kalinya harus mengelus dada dan menarik napas dalam-dalam. Presiden yang negaranya sendiri amburadul, kini  mau sok coba-coba ngurusi negara lain. Publik khawatir prediden terus menjadi bahan tertawaan konyol. Atau memang presiden sudah cocok untuk menjadi pelawak, sama dengan  profesi sebelumya dari presiden Ukraina yang belum lama ditemuinya. Tapi bagaimanapun  itu, terserahlah. Apapun profesinya, apapun tingkahnya, dan apapun celotehnya presiden yang sejatinya sangat meragukan dalam banyak hal. Tetaplah presiden itu, ya presiden yang suka bohong, presiden yang tak pernah menepati janji dan presiden yang tak sesuai antara ucapan dan tindakannya. Seperti kali ini, presiden ngagul lagi. Apapun gayanya, yang penting bisa bohong alias ngagul. Munjul-Cibubur, 5 Juli 2022.

Rusia Marah

Kemarahan Kremlin ke Italia, yang mungkin bisa kita katakan diduga kuat  adanya Diplomasi yang kurang tenang oleh Jokowi. Kalau benar itu yang terjadi, maka wajar terjadinya kemarahan Rusia kepada Italia. Oleh: Sutoyo Abadi, Koordator Kajian Politik Merah Putih TIBA-tiba Rusia marah ke Italia soal Jokowi Sebut Putin Tak ke G20 Bali, CNBC Indonesia NEWS Rabu, 29/06/2022 11:00 WIB. Pernyataan Perdana Menteri Italia Mario Draghi yang menyebut Ketua G20, Presiden Joko Widodo (Jokowi) telah “mengesampingkan” kehadiran Presiden Rusia Vladimir Putin di KTT November di Bali mendapat tanggapan Kremlin. Penasehat pemerintah Rusia Yuri Ushakov mengatakan bukan Draghi yang memutuskan kedatangan Putin. “Presiden Widodo mengesampingkannya,” kata Draghi kepada wartawan di akhir KTT G7 Jerman, di mana Jokowi diundang sebagai tamu, Selasa. “Dia (Putin) tidak akan datang (langsung) ... Apa yang mungkin terjadi adalah partisipasi jarak jauh, kita lihat saja nanti,” tambah Draghi. Menteri Luar Negeri Italia Mario Draghi mengatakan Presiden Rusia Vladimir Putin tak akan menghadiri pertemuan puncak (KTT) G20 di Bali, November mendatang. Draghi  memaparkan hal itu dikatakan sendiri oleh Presiden Jokowi dalam KTT G7 di Jerman. Draghi mengatakan, Putin tak akan datang langsung ke pertemuan G20 Bali. Mungkin saja, ia hadir, tapi melalui partisipasi jarak jauh. Komentar Draghi langsung mendapatkan tanggapan dari Kremlin. Penasehat pemerintah Rusia Yuri Ushakov mengatakan, bukan Draghi yang memutuskan kedatangan Putin. “Kami telah menerima undangan dan kami telah menanggapinya dengan positif,” tegas Ushakov, menurut kantor berita Rusia Interfax, dikutip AFP, Rabu (29/6/2022). “Ya, kami telah mengonfirmasi (undangan), partisipasi kami (di KTT G20 Bali) sudah pasti,” ucap Ushakov kepada wartawan di Moskow, Senin (27/6/2022). Rusia, lanjut Ushakov, tetap tertarik berpartisipasi dalam KTT di mana Putin telah diundang untuk hadir secara langsung. Dari jejak digital diketahui, “Jokowi: Presiden Putin Nyatakan Siap Hadir KTT G20 di Bali” (29 Apr 2022, 17:41 WIB) seperti dilansir Liputan6.com. Perhelatan G20 akan dilangsungkan di Bali pada November 2022. Presiden Jokowi mengatakan, Presiden Rusia Vladimir Putin menyatakan bakal hadir langsung dalam pertemuan tersebut. “Presiden Putin menyampaikan terima kasih atas undangan KTT G20 dan beliau menyatakan akan hadir,” kata Jokowi dalam keterangan persnya kepada awak media, Jumat (29/4/2022). Komentar Draghi atas info langsung dari Jokowi terlacak. Sesuai petunjuk waktu kejadiannya adalah sebelum Jokowi sampai di Moskow dan ketemu langsung dengan Putin. Pada kesempatan lain, Jokowi mengatakan, kabar kehadiran Putin untuk hadir, diperoleh Jokowi usai keduanya melakukan sambungan telepon. Selain memberi konfirmasi kehadiran. “Bertukar pandangan melalui telepon dengan Presiden Rusia Vladimir Putin @KremlinRussia_E membahas tentang situasi di Ukraina serta kerja sama G20,” kata Jokowi dikutip dalam akun twitternya, Jumat (29/4/2022). Menariknya, yang menjadi fokus perhatian kita adalah info yang diterima Draghi dan membuat kemarahan Rusia. Sedangkan Draghi menerima info langsung tentang ketidak-hadiran Putin justru langsung dari Jokowi. Kemungkinan yang terjadi pada diplomasi itu, Draghi salah dengar ucapan Jakowi (opsi ini sepertinya sangat kecil terjadi) atau Jokowi terburu-buru hanya untuk menyenangkan Italia, sengaja memberi info yang salah. Opsi ketiga hanya tebakan Jokowi mungkin Putin tidak akan hadir secara fisik. Opsi ketiga mungkin memang ada petunjuk dari Kremlin bahwa meski begitu, Ushakov belum bisa memastikan apakah Putin akan menghadiri KTT G20 itu langsung atau melalui daring. “Saat ini, mereka (Indonesia) telah mengundang partisipasi secara personal, tapi masih banyak waktu. Saya harap di tengah situasi pandemi seperti ini akan tetap bisa menghadiri forum penting seperti ini secara tatap muka. Saya menghindari berspekulasi,” ucap Ushakov lagi. Kalau ucapan Jokowi bahwa Putin akan hadir langsung (kalau ditafsirkan secara fisik), artinya Jokowi tergesa-gesa dan kurang hati-hati berdiplomasi menyampaikan pesan yang belum pasti kepada Draghi. Atau Jokowi ada maksud lain yang kita belum mengetahui. Kemarahan Kremlin ke Italia, yang mungkin bisa kita katakan diduga kuat  adanya Diplomasi yang kurang tenang oleh Jokowi. Kalau benar itu yang terjadi, maka wajar terjadinya kemarahan Rusia kepada Italia. AS mengancam tak akan hadir dalam rangkaian G20 tahun ini jika delegasi Rusia, terutama Presiden Vladimir Putin, masih ikut serta dalam KTT yang akan berlangsung pada November mendatang. Meski begitu, Indonesia masih berupaya mengundang seluruh anggota G20, termasuk Rusia, ke KTT di Bali nanti. (*)

Saat Guru Madrasah Melawan Diskriminasi

  Nah, dengan demikian dipastikan kepala madrasah tidak akan mengizinkan permohonan cuti itu. Jadi sepanjang hari, sepanjang minggu, sepanjang bulan, sepanjang tahun, guru harus tetap bekerja. Harus tetap mengajar. Oleh: Djony Edward, Wartawan Senior SEBUAH peraturan diskriminatif baru-baru ini diterbitkan oleh Direktorat Jenderal Pendidikan Islam (Ditjen Pendis) Kementerian Agama (Kemenag). Lewat Surat Edaran Nomor B-1139.1/DJ.I/Dt.I.I/06/2022 tentang Libur Akhir Semester pada Madrasah, Kemenag mewajibkan guru ASN masuk kerja saat libur semester. Karuan saja sang guru madrasah protes. Lewat sebuah petisi berisi protes guru madrasah kepada Ditjen Pendis Kemenag pun dilayangkan. Salah satu yang dipersoalkan adalah poin mengenai guru madrasah sebagai ASN selama libur semester tetap masuk kerja seperti biasa. Disebutkan dalam edaran tersebut meminta agar guru madrasah yang berstatus ASN wajib masuk kerja seperti biasa saat libur semester. “Apakah Perdirjen Pendis Nomor 1 Tahun 2013 sudah tidak berlaku lagi? Setau kami Perdirjen Pendis tersebut sampai saat ini kami masih pedomani dan sampai saat ini juga Perdirjen tersebut belum dicabut,” tulis petisi tersebut. Dalam petisi itu, tertulis juga Peraturan Pemerintah Nomor 17 Tahun 2020 Pasal 315. Pasal itu menuliskan, PNS yang menduduki jabatan guru pada sekolah dan mendapat liburan menurut peraturan perundang-undangan, berhak mendapatkan cuti tahunan. Artinya, cuti tersebut merupakan tambahan hak bagi guru, bukan menggugurkan libur semester atau akademik. \"Jadi kami mohon untuk meninjau kembali SE yang telah dikuluarkan,\" bunyi petisi tersebut. Tak berhenti di situ, para guru juga melakukan protes melalui komentar di unggahan Instagram Ditjen Pendis Kemenag.  “Tolong sampaikan pada pemangku kebijakan, perdana terjadi guru disuruh tetep ABSEN ketika libur semester, alias ttp masuk disaat anak2 sekolah libur... Tolong perhatikan mental kami, kami jg butuh healing, kami berhadapan dgn anak didik, kalo stress gmn mau kasih energi positif ke anak, sdngkan guru nya stress krn sudah jauh dr keluarga, baru ketemu sehari disuruh kembali di satker... Sedangkan cuti tahunan 12 hari, kami kerja dari SENIN - SABTU... Itu tidak sebanding dgn ASN 5 HARI KERJA, PERBULAN 4 HARI LIBUR X 12 BULAN... PLUS CUTI TAHUNAN... Dzolim bgt min.. semoga para pemangku kebijakan tetap sehat dan bahagia dunia akhirat, karna ternyata doa orang-orang yg didzolimi itu sepertinya tidak mempan pada orang-orang pemilik kekuasaan ???? #hanyamenyampaikansuarahati,” ujar salah satu komentar.  “Mohon klarifikasi surat edaran mengenai guru tidak libur semester min? Mohon pengertiannya min kami yg jauh dari keluarga... tahun lalu tidak seperti ini min... knp skrg bgtu?,\" ungkap komentar lainnya. “Kembalikan hak libur semester guru madrasah.... Kalau liburan mau disamakan dengan kantor... Samakan juga hari kerjanya... Samakan juga tukinnya...,” tulis warganet lain.  “Dalam 1 bulan kami sebagai guru 24 hari kerja, minggu libur. Bahkan kami pulang sore untuk mempersiapkan kegiatan lain seperti ekstrakulikuler, dsb. Kemudian selain guru yaitu 20 hari karena 5 hari kerja. Ketika satu semester 6×24 = 144. Kemudian yang 5 hari kerja 6×20 = 120. Selisih 24 hari. Lantas bagaimana yang 24 hari ??” tulis salah satu komentar.  Letak diskriminasinya adalah, guru PNS lulusan sarjana S1 atau S2 dapat sisa Tukin madrasah, ada yang dapat Rp100.000 ada juga yang tidak dapat. Tapi, PNS office boy (OB) seperti tukang sapu, malah dapat Tukin Rp300.000 sesuai golongan. Dikatakan alasannya sertifikasi, padahal sertifikasi diberikan juga kepada guru swasta. Landasan hukum sertifikasi berbeda dengan Tukin, sertifikasi mengacu UU No. 20/2003 tentang Sisdiknas. Dengan demikian, tidak sama dan tidak sejajar antara Tukin dan sertifikasi. Kalau sama, apa OB swasta dapat Tukin? Ternyata Tidak Dapat. Lalu sertifikasi juga ditempuh harus lewat ujian, lewat Penilaian Kinerja Guru (PKG). Kalau Tukin tidak ada ujiannya. Tidak ada PKG-nya Berbeda dengan guru PNS dan PNS OB DKI Jakarta, mereka 100% dapat sertifikasi, juga Tunjangan Kinerja (TKD) 100%. Bedanya Tukin OB bisa dapat 100%, hanya saja tanpa sertifikasi karena bukan guru, tidak masuk dalam UU No. 20/2003 tentang Sisdiknas. Dengan demikian, Surat Edaran Dirjen Pendis Kemenag itu tampaknya untuk menyiksa guru PNS, agar guru PNS kerja terus tanpa libur. Ngajar terus, kerja terus. Coba perhatikan Surat Edaran itu isinya antara lain menghapuskan liburan semester 1 dan semester 2. Otomatis sudah tidak ada lagi guru libur selama murid libur, selama kegiatan sekolah libur. Libur baru ada jika Guru PNS minta cuti tahunan 12 hari di saat-saat sekolah aktif, di saat-saat murid belajar di kelas. Jika minta cutipun Wajib mengajukan permohonan pada Kepala Madrasah. Nah, apa mungkin kepala sekolah mengizinkan guru cuti libur di saat murid ada di kelas? Apalagi kepala sekolah biasanya sangat khawatir akan terjadi apa-apa dikelas kalau tidak ada gurunya. Karena gurunya sedang minta cuti tahunan. Jelas kalau ada apa-apa pada murid, kepala madrasah yang akan disalahkan. Nah, dengan demikian dipastikan kepala madrasah tidak akan mengizinkan permohonan cuti itu. Jadi sepanjang hari, sepanjang minggu, sepanjang bulan, sepanjang tahun, guru harus tetap bekerja. Harus tetap mengajar. Lantas dimana kemanusian sang guru kalau dipaksa untuk terus mengajar, dipaksa terus bekerja? Memang sudah seharusnya Pemerintah menghentikan diskriminasi yang membuat guru seperti pekerja rodi, seperi romusha. Kalau Pemerintah tak mampu menghentikan diskriminasi ini, tentu guru lah yang harus melawan, walaupun baru sebatas perlawanan petisi. (*)  

Negara Berdasarkan Pancasila Itulah Khilafah Model Indonesia

Perjuangan umat Islam dalam sejarah telah mencatat Resolusi Jihad Umat Islam untuk mempertahankan Negara Proklamasi. Dengan heroik perang 10 Nopember 1945 yang mengorbankan ribuan syuhada. Oleh: Ir. Prihandoyo Kuswanto, Ketua Pusat Studi Kajian Rumah Pancasila KHILAFAH menjadi momok di negeri ini seakan sudah menjadi endemi musuh bersama yang harus dilawan dan dimusnahkan. Sejarah sebelum ada negara Indonesia, ada Kerajaan Islam Mataram adalah khilafah. Gubernur DIY sekaligus Sultan Kasultanan Yogyakarta, Sri Sultan Hamengku Buwana X mengatakan bahwa Keraton Yogyakarta merupakan kelanjutan dari Khilafah Turki Utsmani. Sultan Turki Utsmani meresmikan Kesultanan Demak pada 1479 sebagai perwakilan resmi Khalifah Utsmani di tanah Jawa, ditandai penyerahan bendera hitam dari kiswah Ka’bah bertuliskan La Ilaha Illa Allah dan bendera hijau bertuliskan Muhammad Rasul Allah. “Hingga kini (kedua bendera itu) masih tersimpan baik di Keraton Jogja,” paparnya. “Dalam arti Kesultanan Ngayogyakarta adalah kekhilafahan yang masih eksis di bumi pertiwi,” tambahnya. Kiai Mbeling Emha Ainur Najib alias Cak Nun mengatakan, konsep khilafah sejatinya murni buatan Allah, sehingga, dia meminta umat Islam jangan memusuhi konsep tersebut, apalagi sampai melabeli dirinya sebagai anti-khilafah. Saat ini, kata Cak Nun, banyak masyarakat Indonesia yang membenci konsep khilafah tanpa memahami arti sebenarnya. Tidak sedikit dari mereka yang memaknai khilafah berdasarkan pemikiran HTI. Padahal, bisa jadi, hal itu keliru, alias tidak benar. “Saat ini banyak yang bertengkar karena agama. Sampai-sampai Indonesia ini anti-Khilafah. Seolah-olah mereka betul-betul anti-Allah,” ujar Cak Nun. Cak Nun juga bertanya-tanya, sejak kapan khilafah dimaknai sebagai sistem negara? Padahal saat konsep tersebut diturunkan, dunia belum mengenal negara, melainkan hanya kerajaan. Kesalahan umat Islam menafsirkan makna ‘khilafah’ itu, menurut Cak Nun, sangat berbahaya. “Terus akhirnya Indonesia anti-khilafah sebagai bentuk negara. Kudunya bahasanya jangan begitu. (Kamu bisa bilang), kami tidak setuju pada tafsir HTI terhadap konsep khilafah, jangan khilafahnya yang kamu salahkan. Kalau khilafah yang disalahkan bisa murtad kita terhadap Allah,” tegas Cak Nun. Sekarang ini, khilafah menjadi stempel pada siapa saja yang mendukungnya dan pemerintah sudah menjadikan Khilafah akan menghancurkan sistem bernegara di Indonesia. Kajian kami di Rumah Pancasila justru negara berdasarkan Pancasila itulah model Khilafah yang oleh pendiri negeri ini bukan bendera Islam yang dikerek tetapi apinya Islam yang dimasukan di dalam Pancasila. Khilafah dasarnya Tauhid dan sistemnya majelis sedang negara berdasarkan Pancasila dasarnya Ke Tuhanan Yang Maha Esa (Tauhid ) sistemnya MPR (Majelis). Khilafah menjalankan Syariah Islam. Sedang di negara berdasarkan Pancasila Syariah Islam dijalankan yaitu mulai dari pendidikan dijalankan dengan model Syariah dari TPQ sampai perguruan tinggi ada. Kehidupan muamala juga diatur kawin cerai, bagi waris, waqof, bahkan ada pengadilan agama Islam. Soal ibadah, pemerintah ikut mengatur, haji, umroh, hari-hari besar Islam juga diatur sesuai syariah. Ekonomi yang sedang berkembang sekarang adalah ekonomi syariah, lembaga keuangan syariah. Jadi yang belum dijalankan itu adalah Qsos, potong tangan, penggal kepala, itu urusan pemerintah, bukan urusan umat. Jadi, jelas Negara berdasarkan Pancasila itu adalah Khilafah Model Nusantara. Harusnya pemerintah membangun narasi yang lebih pada persatuan bangsa bukan menstikma Islam dengan Khilafah dianggap Radikal bahkan teroris dan tidak boleh ada di bumi Nusantara. Harusnya para petinggi negeri ini membaca sejarah dan melakukan dialog melakukan kajian kajian yang membangun narasi tidak pecah belah pada umat Islam. Justru cara cara stikma Isamophobhia menjadi bangsa ini tidak utuh, jelas bertentangan dengan persatuan Indonesia. Bukan Khilafah yang menjadikan ancaman bagi bangsa ini. Sebab Khilafah bisa menginspirasi Pancasila. Mengapa begitu? Khilafah itu bicara tentang Tuhan, Manusia dan Alam semesta. Manusia diciptakan Allah sebagai Khalifathulloh dengan tugas memimpin untuk menjaga alam raya. Pancasila juga bicara tentang Tuhan, Manusia dan Alam semesta. Ke-Tuhanan Yang Maha Esa bicara tentang Tuhan, tentang sifat-sifat Tuhan, bukan dzat Tuhan. Kemanusiaan Yang Adil dan beradab. Bicara tentang manusia harus bisa Adil, jika manusia Indonesia bisa adil maka akan mampu membangun peradaban. Persatuan Indonesia adalah bicara tentang alam semesta. Tentang persatuan tanah air. Bagi para pemerhati Pancasila dan pembela Pancasila tentu sangat paham amandemen UUD 1945 sesunguhnya Pancasila tidak menjadi dasar negara lagi. Digantinya sistem MPR menjadi sistem presidensial jelas bertentangan dengan Pancasila. Mengapa? Pancasila sebagai dasar negara itu sistemnya permusyawaratan perwakilan, sehingga kedaulatan rakyat dijalankan oleh MPR, maka di MPR itulah duduk utusan-utusan dari golongan atas nama kedaulatan rakyat. Kemudian disusunlah politik yang dikehendaki rakyat yang disebut GBHN. Setelah GBHN tersusun, kemudian dipilih presiden untuk menjalankan GBHN. Maka presiden adalah mandataris MPR. Presiden tidak boleh menjalankan politiknya sendiri atau politik golongannya. Presiden petugas partai adalah bentuk pelanggaran terhadap konstitusi. Sistem presidensial adalah sistem individual liberalisme, kekuasaan diperebutkan kalah menang, banyak-banyakan suara, pertarungan, maka lahir mayoritas yang menang minoritas yang kalah. Sistem ini bertentangan dengan Bhineka Tunggal Ika. Mengapa? Sebab Bhineka Tunggal Ika itu sistemnya keterwakilan, bukan keterpilihan. Model demokrasi liberal adalah banyak-banyakan suara, maka minoritas tidak akan pernah terwakili. Padahal Bhineeka Tunggal Ika itu semua elemen bangsa harus terwakili. Sebab negara didirikan semua untuk semua, bukan untuk golongan oligarki yang kaya raya, bukan untuk golongan partai yang berkuasa. Pemilu kali ini juga praktek dari demokrasi liberal dan bisa kita rasakan terpinggirkannya Pancasila, bahkan bangsa ini menjadi munafik dikatakan Pancasila yang basisnya kebersamaan, kolektivisme, tolong menolong, gotong royong, musyawarah perwakilan. Tetapi yang dijalankan justru demokrasi liberal yang basisnya individualisme, pertarungan, kalah menang, kuat-kuatan, banyak-banyakan suara. Pancasila itu bukan kekuasaan diperebutkan banyak-banyakan suara, kalah menang, kuat-kuatan. Pancasila itu bukan sistem Presidensial yang basisnya individualisme. Tapi Pancasila itu permusyawaratan perwakilan, onok rembuk yo dirembuk. Bukan kekuasaan menghalalkan segala cara, berbohong, tidak jujur, curang. Rasanya jauh dari nilai-nilai Pancasila. Karena pemilu dijalankan dengan kecurangan, memang secara formal bisa saja mengatakan kalau nggak puas selesaikan di MK. Pengalaman sudah terbukti tetap saja tidak ada keadilan. Baik saudara-saudara yang bernama kaum kebangsaan yang di sini, maupun saudara-saudara yang dinamakan kaum Islam, semuanya telah bermufakat, bahwa bukan yang demikian itulah kita punya tujuan. Kita hendak mendirikan suatu negara “semua buat semua”. Bukan buat satu orang, bukan buat satu golongan, baik golongan bangsawan maupun golongan yang kaya, – tetapi “semua buat semua“….” Karena negara ini didirikan semua untuk semua maka sistem negara yang cocok dengan itu adalah keterwakilan, bukan keterpilihan. Artinya, semua elemen bangsa harus terwakili. Oleh sebab itu sistem MPR sebagai penjelmaan kedaulatan rakyatlah yang sesuai dengan setiap kelompok rakyat terwakili yang kemudian disebut utusan golongan. …..”Saya yakin syarat yang mutlak untuk kuatnya negara Indonesia ialah permusyawaratan perwakilan. Untuk pihak Islam, inilah tempat yang terbaik untuk memelihara agama. Kita, sayapun, adalah orang Islam, — maaf beribu-ribu maaf, ke-Islaman saya jauh belum sempurna, — tetapi kalau saudara-saudara membuka saya punya dada, dan melihat saya punya hati, tuan-tuan akan dapati tidak lain tidak bukan, hati Islam. Dan hati Islam Bung Karno ini, ingin membela Islam dalam mufakat, dalam permusyawaratan. Dengan cara mufakat, kita perbaiki segala hal, juga keselamatan agama, yaitu dengan jalan pembicaraan atau permusyawaratan di dalam Badan Perwakilan Rakyat. Apa-apa yang belum memuaskan, kita bicarakan di dalam permusyawaratan. Badan perwakilan, inilah tempat kita untuk mengemukakan tuntutan-tuntutan Islam. Di sini lah kita usulkan kepada pemimpin-pemimpin rakyat, apa-apa yang kita rasa perlu bagi perbaikan. Jikalau memang kita rakyat Islam, marilah kita bekerja sehebat-hebatnya, agar-supaya sebagian yang terbesar dari pada kursi-kursi badan perwakilan Rakyat yang kita adakan, diduduki oleh utusan Islam. Jikalau memang rakyat Indonesia rakyat yang bagian besarnya rakyat Islam, dan jikalau memang Islam di sini agama yang hidup berkobar-kobar di dalam kalangan rakyat, marilah kita pemimpin-pemimpin menggerakkan segenap rakyat itu, agar supaya mengerahkan sebanyak mungkin utusan-utusan Islam ke dalam badan perwakilan ini. Ibaratnya badan perwakilan Rakyat 100 orang anggautanya, marilah kita bekerja, bekerja sekeras-kerasnya, agar supaya 60, 70, 80, 90 utusan yang duduk dalam perwakilan rakyat ini orang Islam, pemuka-pemuka Islam. Dengan sendirinya hukum-hukum yang keluar dari badan perwakilan rakyat itu, hukum Islam pula. Malahan saya yakin, jikalau hal yang demikian itu nyata terjadi, barulah boleh dikatakan bahwa agama Islam benar-benar hidup di dalam jiwa rakyat, sehingga 60%, 70%, 80%, 90% utusan adalah orang Islam, pemuka-pemuka Islam, ulama-ulama Islam. Maka saya berkata, baru jikalau demikian, baru jikalau demikian, hiduplah Islam Indonesia, dan bukan Islam yang hanya di atas bibir saja. Kita berkata, 90% dari pada kita beragama Islam, tetapi lihatlah di dalam sidang ini berapa % yang memberikan suaranya kepada Islam? Maaf seribu maaf, saya tanya hal itu! Bagi saya hal itu adalah satu bukti, bahwa Islam belum hidup sehidup-hidupnya di dalam kalangan rakyat…..” Apa yang dipidatokan Bung Karno 1 Juni 1945 rupanya masih relevan di hari ini. Kita bisa melihat dengan kenyataan umat Islam semakin tidak terwakili di parlemen suaranya. Sementara apa yang sudah dihasilkan DPRD dengan perda Syariah harus dibatalkan oleh pemerintah, sebab ketidakpahaman pemerintah terhadap negara berdasarkan Pancasila. Padahal, Islam punya cita-cita yang harus diperjuangkan. Islam punya tata cara dan hukum Islam yang menjadi pegangan hidup setiap umat Islam, yaitu hukum Allah. Karena banyak elit penguasa yang sebenarnya tidak mengerti Islam, seperti yang dimengerti Bung Karno, maka setiap perjuangan umat Islam distigma radikal. Kemudian dengan keji Pancasila ditabrakan dengan isyu Khilafah. Padahal hak hidup hukum Allah di negara Pancasila tidak bertentangan, bahkan pasal 29 UUD 1945 menjaminnya. Rasanya bangsa ini terutama elit dan pemimpin perlu melakukan perenungan. Melakukan kontempelasi dalam menyikapi keadaan bangsa pada akhir-akhir ini yang menuju kehancuran dengan isu “Khilafah ”. Padahal kehancuran bangsa ini bercerai-berai akibat Pancasila diganti dengan Individualisme, Liberalisme, dan Kapitalisme. Penulis tidak bisa membayangkan jika negeri ini akhirnya harus di-Balkan-kan. Artinya skenario amandemen UUD 1945 akan berujung dengan pecahnya Indonesia. Perjuangan umat Islam dalam sejarah telah mencatat Resolusi Jihad Umat Islam untuk mempertahankan Negara Proklamasi. Dengan heroik perang 10 Nopember 1945 yang mengorbankan ribuan syuhada. Indonesia mendekati kehancurannya, yang dipicu oleh demokrasi Liberal dan Kapitalisme. Bangsa ini di dalam persimpangan jalan. Karena tidak ada lagi rasa senasib dan sepenangunggan sesama anak bangsa. Semua ini akibat dijalankannya Individualisme, Liberalisme, dan Kapitalisme. Jadi logika akal sehat bukan Khilafah yang menjadi musuh menghadirkan Negara Indonesia, tetapi individualisme, liberalisme, kapitalisme yang akan menghancurkan Indonesia sadarkah kita sebagai bangsa Indonesia? (*)

Merawat Kearifan Semesta

Kisah sedih paling singkat: ketika seseorang pergi ke neraka dan tidak menjumpai teman-temannya, ia pun bertanya kepada malaikat tentang mereka, jawabnya, “Mereka telah bertobat sesudah engkau meninggal dunia.” Oleh: Muhammad Chirzin, Guru Besar UIN Sunan Kalijaga Jogjakarta ORANG bijak berkata, “Kata-kata mutiara adalah kalimat-kalimat pendek dari pengalaman hidup yang panjang.” Kata-kata mutiara itu mencakup adagium, aforisme, proverb, amsal, ibarat, maksim, perumpamaan, maupun pepatah. Kata mutiara tersebut lahir dari pengalaman dan pengamatan pribadi maupun pengalaman kolektif yang mengandung pesan tertentu. Bilamana pengalaman itu baik, maka ia mengandung pesan untuk diikuti, dan dilakukan, hingga memperoleh hal-hal positif yang diharapkan. Demikian pula yang sebaliknya, bila pengalaman tersebut buruk, maka ia mengandung pesan untuk dijauhi, dihindarkan, dan ditinggalkan, supaya tidak menemui dampak negatifnya. Sesuai dengan asal usulnya, kata mutiara menyangkut berbagai aspek dan ranah kehidupan manusia. Tentang pengalaman, orang Barat berkata, “Experience is the best teacher - pengalaman adalah guru yang terbaik.” Ungkapan ini mengandung pesan agar orang pandai-pandai mengambil pelajaran dari pengalaman diri sendiri maupun pengalaman orang lain. Bila ingin sukses, maka perhatikanlah dan titilah langkah-langkah orang dalam menggapai kesuksesan. Bila tidak ingin gagal, maka jangan ikuti jejak dan langkah yang mengantarkan seseorang pada kejatuhan. Jangan terkejut bagaimana seseorang jatuh; kagumlah bagaimana seseorang meraih sukses. Bilamana berjumpa dengan orang yang sukses dan mengagumkan, ketahuilah bahwa ia telah melakukan apa yang belum engkau lakukan. Tentang potensi/kemampuan terpendam akal manusia, orang bijak berkata bahwasanya, “Otak manusia ibarat raksasa tidur”; “Rata-rata manusia hanya mengembangkan 10 % daya akalnya”; “Otak manusia seperti adonan beton, bila tidak diaduk-aduk terus-menerus niscaya membeku.” Tentang kesempatan, orang berkata, “The time is money”; “Tak akan kembali waktu yang telah berlalu”; “Sebagaimana setiap gram emas demikian berharga, begitu pulalah setiap jam waktu kita”; “Jangan tunda pekerjaan hingga besok, karena hari esok datang dengan tugas-tugas yang lainnya”; “Pembeda orang yang sukses dengan yang lainnya adalah kepiawaiannya mengatur waktu”; “Jangan kacaukan waktu!” Salah satu resep sukses ialah tekad yang kuat. Orang bijak berkata, “Where there is a will there is a way”; “Aku akan meniti segala jalan menuju kesuksesan. Bila menemui jalan buntu, aku akan membuat jalan baru.” Semua orang berpotensi untuk meraih prestasi. “You can if you think you can.” Bakat ialah kesabaran dan ketekunan yang lama. Mendengar saja tidak sama dengan melihat, apalagi mencoba dan melakukannya. Pengalaman membuktikan bahwa kita tidak banyak belajar dari pengalaman. “What I hear I forget, what I see I remember, what I do I understand.” - What is the secret of success? + Right decisions. - How do you make right decisions? + Experience. - How do you gain experience? + Wrong decisions. Salah satu pengalaman menunjukkan bahwa yang bengkok tidak akan dipukul, justru yang lurus akan dihantam terus. Seorang pembohong akan dibela para pendusta, dikelilingi penjilat, disanjung para pengkhianat, dan didoakan para munafik laknat. Hukuman bagi orang yang mengikuti pemimpin yang suka berbohong, karena ia ikut mengukuhkan kedurhakaan dan kebohongan itu. Kita menghukum maling-maling kecil, dan menunjuk maling-maling besar untuk bekerja di pemerintahan. Tugas pers bukanlah untuk menjilat penguasa, tetapi untuk mengkritik yang sedang berkuasa. Aparatur Sipil Negara (ASN) adalah abdi negara, bukan abdi pemerintah, dan bukan pula abdi penguasa. ASN mitra kritis Pemerintah. A good song is not based on how many people like it, but on how many memories and feelings you get. Dengan memberi kita menerima. Saya percaya bahwa setiap orang akan bahagia bila berbuat baik kepada sesama. Seven quick happiness tips: (1) don\'t listen to gosip; (2) ignore what people say about you; (3) design your own life; (4) look for the good in every situation; (5) develop attitude of gratitude; (6) lough more; (7) once it\'s part, let it go. Mempersembahkan kebaikan tidak bisa dihalangi oleh kesulitan dan himpitan. Burung sejenis akan hinggap di dahan yang sama. Pekerjaan paling sulit ialah berkata “tidak” kepada pihak yang mengutangi. Seorang bodoh selalu berpikir ia bijak, tetapi seorang bijak tahu bahwa dirinya seorang bodoh. Segalanya bermula dari pikiran. Pikiran membuahkan perkataan. Perkataan membuahkan perbuatan. Perbuatan membuahkan kebiasaan. Kebiasaan membuahkan kepribadian. Kepribadian membuahkan kebahagiaan atau kesengsaraan. Uang dapat menaklukkan apa saja, siapa saja, kapan saja, dan di mana saja. Hiduplah dengan rendah hati, tidak peduli seberapa pangkat, jabatan, dan kekayaan, serta ilmu pengetahuan yang kau miliki. Kisah sedih paling singkat: ketika seseorang pergi ke neraka dan tidak menjumpai teman-temannya, ia pun bertanya kepada malaikat tentang mereka, jawabnya, “Mereka telah bertobat sesudah engkau meninggal dunia.” Have the courage to follow your heart and intuition. They somehow already know what you truly want to become. Bila Anda menyampaikan kebenaran, maka akan Anda temukan dua reaksi yang berbeda; yang bijak akan merenung, dan yang bodoh akan tersinggung. (*)