OPINI

Jokowi Butuh Anies

Tidak ada yang tidak mungkin dalam politik, perkawinan kepentingan tidak haram selama demi kebaikan rakyat, negara dan bangsa. Oleh: Yusuf Blegur, Mantan Presidium GMNI Bagaimana Joko Widodo pasca menjadi presiden? Hanya Tuhan yang tahu dan sebisanya menunggu reaksi rakyat. Dengan kondite buruk dan terus terpuruk, Jokowi perlu memikirkan bagaimana ia bisa \"soft landing\" usai tidak lagi ada di Istana. Sebaliknya dengan Jokowi, Anies Baswedan justru semakin bertumbuh dielu-elukan rakyat untuk menjadi presiden berikutnya. Sepertinya, Jokowi dan keluarga beserta lingkar kekuasaannya, masih membutuhkan Anies untuk keselamatan dan keamanan politik saat terjadinya transisi kekuasaan. Dibesarkannya oleh kekuatan oligarki, Jokowi bersama kroni kekuasaannya seiring waktu cenderung menjadi \"public enemy\" di ujung pemerintahannya. Praktik-praktik KKN dan pelbagai kejahatan kemanusiaan yang menyelimuti perjalanan pemerintahannya selama dua periode, semakin mengarah dan nyaris membuat Indonesia menjadi negara bangkrut. Kegagalan teknis dan strategis menyeruak dalam setiap kebijakannya dan implementasi pembangunan nasional. Infrastruktur yang tak terukur, uang negara yang terkuras bukan untuk kesejahteraan rakyat dan aparatur rakus dan brutal dalam menjalankan roda pemeruntahan merupakan warisan buruk rezim Jokowi, yang dihiasi perilaku penuh kebohongan dan tak punya sedikit pun integritas. Selain menjadi rezim otoriter dan cenderung dzolim kepada rakyat, Jokowi bersama infrastruktur kekuasaan politiknya, secara subyektif dan tendensius juga giat mereduksi figur Anies sebagai pemimpin potensial masa depan.  Sebagian besar politisi-politisi dan birokrasi yang menjadi sub koordinat  pemerintahan Jokowi, sangat kentara membenci dan memusuhi Anies. Mulai dari lembaga survey hingga para buzzer, intens membuat opini menyesatkan dan framing jahat, jika perlu \"membunuh\" karir politik Anies. Akan ada perjalanan waktu, layaknya hidup manusia seperti roda yang terus beputar, kadang di bawah kadang di atas. Begitupun posisioning politik Jokowi dan Anies, kedua figur pemimpin beda kutub yang paling berpengaruh dalam konstelasi politik nasional itu, bukan tidak mungkin menjadi dinamis, saling berhadapan atau bisa juga membuka ruang sinergi dan elaborasi. Mendorong terjadinya simbiosis mutual dan berorientasi pada kepentingan rakyat, negara, dan bangsa. Dengan karakteristik yang sesungguhnya jauh bertolak belakang secara signifikan, membuat relasi politik Jokowi dan Anies menjadi begitu menarik dan ditunggu-tunggu publik. Jokowi sebagai presiden yang disokong penuh oleh kekuatan oligarki, momen menjelang pilpres 2024 memungkinkan akan bertemu dengan Anies sebagai capres fenomenal yang berbasis dukungan rakyat. Akankah keduanya berkonflik ria dan mengambil langkah diametral? Ataukah keduanya bisa menemukan titik kompromis yang melalui transisi kekuasaan kepemimpinan nasional yang perhelatannya tak lama lagi? Oligarki menjadi faktor penentu dari polarisasi figur Jokowi dan Anies terkait usungan parpol dan basis dukungan massa keduanya, dalam menghadapi pemilu dan pilpres yang kental dengan kucuran modal besar dan serba transaksional. Keniscayaan kapitalisme dan pengaruhnya yang kini bermuara pada kekuatan oligarki, pada akhirnya menjadi pemain utama dan paling menentukan dari proses suksesi presiden. Bagaimana ongkos ekonomi, sosial danpolitik pesta demokrasi yang berbiaya tinggi itu dapat melahirkan pemimpin boneka atau yang sejati mengemban amanah rakyat. Menjadi krusial dan menarik untuk diikuti perkembangannya baik oleh rakyat maupun elit politik. Akankah kekuatan oligarki dapat memenangkan kembali pilpres 2024 seperti pilpres sebelumnya. Atau memang akan terjadi proses demokrasi sejati yang menghadirkan pemimpin yang berasal dari rahim rakyat. Bukan pula hal yang mustahil tercipta \"win-win solution\", dari friksi dan fragmentasi dalam pilpres 2024. Jokowi sebagai presiden yang dibayangi stigma kepemimpinan gagal, tentunya menjadikan pertarungan pilpres 2024 sebagai sesuatu yang \"to be or not to be\". Dengan kepercayaan diri tinggi dan dukungan oligarki di belakangnya, Jokowi hanya punya dua pilihan. Memenangkan jabatan presiden tiga perodenya, atau akan menyiapkan sekoci dengan figur siapapun yang nantinya akan terpilih di pilpres 2024. Meskipun dominan pragmatis, oligarki juga tak sekonyong-konyong mengatrol pemimpin yang rendah elektabilitas dan tingat keterpilihannya, terlepas dengan rekayasa sosial maupun secara alami lahir dari dukungan rakyat. Sebagai entitas ekonomi yang memiliki korelasi kuat dengan dunia politik, oligarki juga memiliki kalkulasi dan rasionalisasi politik selain dengan tidak meninggalkan karakter \"safety player\" yang sejauh ini sukses diperankan para pengusaha skala besar. Termasuk menggiring partai politik dan instrumen kelembagaan pemerintahan lainnya seperti KPU, TNI dan Polri. Kehadiran Anies dalam hingar-bingar panggung politik pilpres 2024 yang begitu trengginas, harus diakui sudah mulai mencuri perhatian para sutradara, aktor dan partisipan politik seantero Indonesia dan mencuri perhatian dunia internasional. Pelbagai apresiasi dan reaksi bermunculan mulai dari munculnya \"supporting system\" hingga menjadikannya sebagai ancaman, terasa menggeluti Anies. Lantas, bagaimana dengan Jokowi? Mengambil garis tegas dengan rivalitas terhadap Anies, atau membangun permufakatan politik yang bisa jadi menjadi konsensus transisi kepemimpinan nasional, yang menyelamatkan republik ini. Terutama di tengah situasi dan kondisi kebangsaan yang rapuh dan rentan berbahaya bagi masa depan Indonesia. Tak terbantahkan, dengan performan rezim pemerintahan sekarang yang semakin merosot. Sebaiknya Jokowi bisa pikir-pikir dulu sebelum jauh melangkah dan salah jalan dalam melakukan manuver dalam pilpres 2024. Mampu merangkai hubungan yang harmonis dan selaras, antara kekuatan oligarki bersama lokomotif dan gerbong politik rakyat. Pun, dengan Anies yang kini mengemuka dan tak bisa menghindarkan diri menjadi irisan dari domain pemain politik dan ekonomi. Karena bagaimanapun juga Anies semakin menguat menjadi bagian dari dinamika dan representasi substansi demokrasi kekinian. Terlepas adanya dualisme demokrasi yang mengemuka antara politik realitas dan politik ideal. Jokowi memungkinkan untuk sekali saja bisa menjadi figur pemimpin yang nasionalis dan patriotis. Mendengar suara rakyat dan sebisanya bergaul intim dengan Pancasila, UUD 1945 dan NKRI. Tidak ada yang tidak mungkin dalam politik, perkawinan kepentingan tidak haram selama demi kebaikan rakyat, negara dan bangsa. Demi mengembalikan Indonesia yang sebenarnya, termasuk jangan ragu jika kenyataannya Jokowi membutuhkan eksistensi Anies. Kebutuhan pada estafet kepemimpinan nasional yang kondusif dan terjaga keamanannya, termasuk sosial politik, sosial ekonomi dan sosial hukum. Masih ragu jika Jokowi butuh Anies? Tunggu saja rakyat akan melakukan apa dan sejarah yang akan menjawabnya. Catatan dari pinggiran kesadaran kritis dan perlawanan. (*)

Politik Identitas, Dicerca dan Dipuja

Para pihak yang selama ini membenci politik identitas, kini justru mengekornya. Yang pria pakai peci, yang perempuan pakai tutup kepala. Tak peduli apa agamanya. Oleh Octaviani Prisetyo | Jurnalis Yunior FNN  TIDAK dapat dipungkiri bahwa politik identitas memegang andil tersendiri di Indonesia. Keberagaman etnis, suku, agama, kepercayaan, serta budaya semuanya kental dengan politik identitas dalam memenuhi tujuan yang sama. Politik identitas seringkali dijadikan sebagai alat atau media untuk menyuarakan aspirasi dalam upaya mendapat dukungan kelompok tertentu, misalnya oleh kaum minoritas. Makna politik identitas ini seharusnya tidak mengalami misinterpretasi atau bahkan disalahgunakan oleh para politikus, terutama yang tujuannya demi mendapat perhatian golongan tertentu sehingga berorientasi kepada kepentingan pribadinya.  Berbagai persoalan mulai dari politik hingga ekonomi terjadi di negeri ini, antara lain mengenai tarik ulur rencana kenaikan BBM, mahalnya harga kebutuhan pokok, persiapan pemilihan umum (pemilu) 2024, dan masih banyak permasalahan lainnya. Pada pidato kenegaraan HUT Ke-77 Republik Indonesia, Presiden sempat menyinggung politik identitas dan meminta agar tidak terjadi lagi di pemilu yang akan datang. Politik identitas marak terjadi saat pergelaran pemilu, salah satu contohnya terjadi di tahun 2019, yang mana menghasilkan kubu-kubu politik antara pendukung Jokowi dan pendukung Prabowo.  Salah satu istilah kubu politik yang ada sejak pemilihan presiden (Pilpres) 2019 adalah \'Cebong\' atau istilah bagi pendukung Presiden Joko Widodo \"garis keras\". Dalam pantauan melalui media sosial, kelompok ini seringkali mengutarakan kritik dan komentar mereka mengenai kebijakan pemerintah maupun kelompok kubu politik lainnya. Beberapa di antara mereka mengkritik kegiatan keagamaan (sebagai politisasi identitas) yang digelar dalam rangka mendoakan pejabat negara yang akan maju menjadi calon presiden pada Pemilu 2024. Walaupun terkadang, orang yang berkomentar secara tidak sadar juga teridentifikasi melakukan politik identitas yang menjadikannya munafik dalam berpolitik.  Kemudian di lain persoalan, tak jarang pula kita menemukan pejabat negara non-muslim yang rela mengenakan kopiah sebagai dalih untuk mendapat perhatian dan dukungan dari sejumlah golongan terkait. Banyak oknum pejabat negara yang mengaku bahwa dirinya merupakan bagian dari partai yang \'netral\' dan tidak ingin terjebak dalam polarisasi, namun pada kenyataannya masih berpihak dan mendukung pejabat lain yang dikenal sebagai salah satu pelaku politik identitas.  Persoalan di Indonesia saat ini tidak terlepas dari kepentingan politik yang dipimpin oleh elite politik untuk mempertahankan kekuasaan dengan memanipulasi politik identitas. Hal ini menyebabkan masyarakat mengalami krisis kepercayaan terhadap kebijakan pemerintah sehingga memunculkan permasalahan baru di dalamnya. Pemilu yang seringkali mencampuradukkan persoalan agama dengan persoalan negara sehingga berujung pada diskriminasi agama memunculkan pertentangan politik identitas.  Menurut pengamat Indikator Politik Indonesia, Bawono Kumoro, diperlukan adanya komitmen dari elite politik untuk meredam eksistensi dan perkembangan politik identitas. Salah satu fokus utamanya, yaitu dari pelaku yang akan berkompetisi dalam pemilu. Meskipun begitu, dirinya tidak membantah bahwa politik identitas akan selalu ada dalam pemilu dikarenakan kemajemukan etnis suku dan agama yang dimiliki Indonesia. Politik identitas telah menjadi bagian dari kehidupan masyarakat Indonesia karena bagaimanapun, agama tidak bisa dipisahkan dari persoalan kenegaraan.  Berdasarkan segi historis, sejarah kemerdekaan Indonesia telah membuktikan bahwa agama (dalam konteks ini Islam) telah memberikan kontribusi yang besar dalam membentuk bangsa Indonesia, salah satunya disepakatinya Pancasila sebagai landasan negara. Tercapainya kemerdekaan Indonesia juga tidak lepas dari usaha para pemuda yang memperjuangkan persatuan bangsa, di antaranya diserukan oleh Jong Java, Jong Sumatranen Bond, Jong Ambon, Jong Islamieten Bond, Jong Bataks Bond, Pemuda Kaum Betawi, dan lain sebagainya. Semua itu masih berkaitan dengan politisasi identitas yang ditunjukkan melalui keagamaan dan solidaritas antarpemuda dari setiap daerah. Artinya, politik identitas memiliki nilai sejarah penting dalam proses kemerdekaan Indonesia dan digunakan sebagai wahana pemersatu bangsa.  Penyebaran informasi yang semakin cepat di era digital seperti saat ini mesti dibarengi dengan masyarakat yang bijak dalam mengkritisi informasi yang diterima. Kemajuan teknologi yang tidak diseimbangkan dengan kedewasaan masyarakat dalam menggunakan media dapat mengubah perspektif seseorang terhadap suatu hal. Kegagalan pemerintah dalam menjaga kredibilitas pemerintahan, ditambah dengan adanya keinginan mempertahankan kekuasaan menjadikan politik identitas dimanfaatkan untuk memperoleh suara rakyat. Penggiringan dan pembentukan opini publik melalui media massa maupun media sosial dapat berpotensi memecah belah persatuan bangsa.  Sebagai makhluk intelektual, kita dapat menyikapi politik identitas dengan memberikan ruang yang seluas-luasnya pada publik agar dapat membuktikan bahwa agama dan nasionalisme dapat sejalan dengan tujuan menjaga kedaulatan negara Indonesia. Pertentangan yang muncul tidak seharusnya dibiarkan meluas, apalagi hingga menghadirkan kebijakan yang mengandung propaganda. Merebaknya politik identitas merupakan salah satu tantangan serta ancaman bagi bangsa Indonesia. Oleh karena itu, peranan masyarakat sekaligus pemerintah untuk tetap berpegang pada prinsip demokrasi dan melakukan pencegahan terhadap politik yang berpotensi menyebarkan SARA. (*)

Konsolidasi Desa Bersatu Siapkan Capres 2024 Peduli Desa

Jakarta, FNN - Hasil konsolidasi lima organisasi desa sepakat bersatu menjemput calon Presiden 2024 mendatang. Desa Bersatu menjadi wadah yang ditujukan untuk mengonsolidasikan kekuatan desa dalam menentukan calon Presiden pada Pemilu yang akan datang. Dengan adanya wadah ini diharapkan dapat menjaring dan mengantarkan calon Presiden dan Wakil Presiden yang memihak dan memiliki visi misi untuk kemajuan desa. Sehingga desa memiliki bargaining position dalam menentukan kebijakan nasional ke depan. Melalui Desa Bersatu ini diharapkan desa tidak lagi menjadi penonton, tetapi juga ikut mengambil peranan.  Hal ini diutarakan dalam konferensi pers bertajuk Konsolidasi Desa Bersatu yang diprakarsai oleh 5 organisasi desa, diantaranya Asosiasi Pemerintah Desa Seluruh Indonesia (APDESI), Persatuan Anggota Badan Permusyawaratan Desa Seluruh Indonesia (PABPDSI), Asosiasi Badan Permusyawaratan Desa Nasional (ABPDNAS), Lembaga Pemberdayaan Masyarakat (LPM), dan Dewan Pengurus Nasional Persatuan Perangkat Desa Indonesia (DPN PPDI). “Kami sudah sepakat akan menggelar konvensi untuk menjaring capres yang didukung perangkat desa pada Pemilu 2024. Konsepnya kami akan menjaring capres dan cawapres yang mempunyai visi dan misi pembangunan desa,” kata Asri Anas di Kawasan Senen, Jakarta Pusat, Kamis (1/9/2022). Rincian kegiatan konvensi penjaringan nama capres 2024, dimulai dari pra konvensi yang akan digelar pada Okotober 2022 di Jakarta, dilanjutkan dengan lima kali Konvensi daerah yang dilaksanakan pada 5 Provinsi berbeda. Terakhir, konvensi final akan digelar pada Juni 2023 di Jakarta. Para anggota Desa Bersatu akan membahas tujuh nama bakal capres selama konvensi. Dalam keterangannya Asri Anas selaku Ketua Dewan Pengarah, mencontohkan 7 nama diantaranya Puan Maharani, Airlangga, Anies Baswedan, Prabowo, AHY, Ridwan Kamil, dan Sandiaga. Nama-nama ini dinilai kemudian, dipilih 3 besar oleh peserta dalam konvensi yang akan diumumkan pada konvensi final di Jakarta. Selain menjaring capres 2024, dalam konvensi tersebut juga akan menentukan poin-poin yang menjadi aspirasi desa untuk dilaksanakan oleh para calon presiden. “Tiga nama capres yang terpilih di Konvensi Final harus menandatangani kontrak politik dengan Desa Bersatu. Kontrak ini  isinya poin-poin aspirasi yang berkonsentrasi pada pembangunan desa,” Terang Asri Anas. Nantinya, salah satu dari capres dan cawapres hasil konvensi Desa Bersatu akan diberikan dukungan penuh dalam proses pemengan Pemilu, termasuk akan menjalin komunikasi dan kolaborasi dengan partai politik yang mengusung capres yang terjaring dari hasil konvensi.

Pembunuhan Berencana Hingga Judi Online, Akankah Ferdy Sambo Dihukum Mati

Pengusutan kasus pembunuhan berencana yang membelit Ferdy Sambo dan istri ibarat sinetron picisan. Setiap hari berubah skenario. Bumbu esek esek lebih dominan. Oleh Rachmat | Jurnalis Yunior FNN  BERAWAL dari laporan Putri Candrawathi (PC), istri dari Inspektur Jenderal (Irjen) Polisi Ferdy Sambo (FS) terkait pelecehan seksual oleh Brigadir Nofriyansyah Yoshua Hutabarat (J). Hal itulah yang melatarbelakangi kasus baku tembak antar polisi di rumah dinas Ferdy Sambo, Duren Tiga, Jakarta. Yang kemudian dibantah bahwa hal tersebut hanyalah skenario belaka yang dibuat oleh Irjen Ferdy Sambo. Dengan dicopotnya Ferdy Sambo dari jabatan Kepala Divisi (Kadiv) Propam dan dibubarkannya Satuan Tugas Khusus (Satgasus) Merah Putih yang juga dipimpin olehnya. Maka terbukalah kejadian yang sebenarnya terkait pembunuhan Brigadir J oleh Penyidik, bahwa telah terjadi pembunuhan berencana. Ferdy Sambo merencanakan pembunuhan terhadap Brigadir J bersama dengan empat tersangka lain, Bripka Ricky Rizal (RR), Bharada Ricard Eliazer (E), Kuat Ma\'ruf (KM), dan Putri Candrawathi, istrinya. Setalah pemeriksaan para tersangka, diketahui bahwa tidak ada tembak-menembak di rumah dinas Ferdy Sambo. Dan yang anehnya, keterangan para tersangka yang berbeda-beda, serta berubah-ubah. Pada awalnya PC mengatakan dilecehkan oleh Brigadir J di rumah dinas Duren Tiga, Jakarta Selatan pada Jumat (08/07/22). Dan keterangan itu berubah menjadi di rumah pribadi FS di Magelang kemudian hari. Dan lagi, dirinya masih bersikeras mengaku menjadi korban pelecehan seksual yang padahal keterangan itu telah ditolak oleh Direktur Tindak Pidana Umum (Dirtipidum) Polri Brigjen Andi Rian Djajadi. Bahkan setelah dilakukan rekonstruksi yang memperagakan 78 adegan  di tiga lokasi, yaitu di Kawasan Duren Tiga, Jakarta, rumah dinas  Ferdy Sambo, rumah pribadinya di Jalan Saguling, dan di Magelang, Jawa Tengah. Bharada E melihat kejanggalan dan perbedaan dari para tengsangka lain dengan apa yang sebenarnya terjadi. Pembunuhan yang melibatkan banyak polisi itu pun masih terus dikawal oleh publik agar polisi dapat menyelesaikan secara adil dan transparansi. Lebih-lebih dengan 97 personil, dan 35 di antaranya diduga melanggar kode etik. Bukankah itu adalah jumlah yang besar untuk menutupi satu kasus pembunuhan?  Yang masih menjadi pertanyaan besar masyarakat adalah \"apa motif sebenarnya?\" Benarkah pembunuhan Brigadir J hanya dilatarbelakangi oleh laporan dari PC, yaitu karena terjadinya pelecehan seksual? Ataukah sebuah perselingkuhan seperti yang dikatakan oleh Deolipa Yumara pada Selasa (29/08/22) lalu. Lebih dari itu, mungkinkah  ada hal yang jauh lebih besar dan tidak terduga oleh masyarakat terkait motif? Kita hanya dapat menunggu soal itu. Namun, Kapolri Listiyo Sigit Prabowo sendiri mengatakan akan mengungkapkan motif yang sebenarnya pada persidangan nanti. Sayangnya tidak ada kepastian kapan itu akan digelar. Hal itulah yang membuat masyarakat terus-menerus berasumsi terhadap kinerja Kepolisian. Apalagi, di tengah carut-marutnya kasus pembunuhan Brigadir J, muncul sebuah bagan \"Kaisar Sambo dan Konsorsium 303\". Sebuah diagram tentang aliran dana judi online (daring) yang merebak luas dan melibatkan banyak perwira tinggi polisi. Tidak ada kepastian dari Kapolri tentang kebenaran Bagan tersebut. Akan tetapi, pihak lain meyakini bahwa bagan itu benar adanya. Walaupun belum diketahui pasti seberapa besar kebenarannya sebagaimana yang dikatakan oleh Ketua Indonesia Police Watch (IPW), Sugeng Teguh Santoso. Kebenaran atas bagan itu pun diperkuat oleh anggota DPR Komisi III, Arteria Dahlan yang mengatakan bahwa bagan itu benar adanya dalam Rapat Dengar Pendapat (RDP) dengan Kapolri Listiyo Sigit Prabowo pada Rabu (24/08/22) di gedung DPR, Senayan, Jakarta. Dalam RDP, Kapolri menegaskan bahwa pihaknya  sedang mendalami kasus tersebut. Namun, tak ada kepastian kapan atau seberapa lama mereka menargetkan untuk menuntaskan kasus judi online tersebut. Akankah kasus itu akan menghilang seiring jenuhnya masyarakat menunggu hasil kinerja Kepolisian? Meskipun begitu kita tetap harus terus mengawal dan membantu upaya baik kepolisian, terkhusus Kapolri yang telah memberikan instruksi untuk membasmi judi online. Terlebih atas laporannya yang telah mengungkapkan 641 judi online dan 1.400 judi konvensional dalam waktu satu tahun terakhir. Kembali pada kasus pembunuhan Brigadir J, Bharada E yang menjadi tersangka sejak awal dijerat Pasal 338 KUHP juncto Pasal 55 KUHP dan 56 KUHP. Sedangkan FS, RR, PC, dan KM akan dijerat Pasal 340 subsider Pasal 338 juncto Pasal 55 dan Pasal 56 KUHP dengan ancaman hukuman mati, penjara seumur hidup, dan penjara selama-lamanya 20 tahun. Selain itu juga dalam Sidang Kode Etik Profesi Polri (KEPP) memutuskan pemberhentian tidak dengan hormat (PTDH) terhadap Ferdy. FS yang menjadi dalang dalam perencanaan, memberikan perintah menembak kepada Bharada E, hingga penghilangan barang bukti.  Dan akankah Ferdy Sambo akan mendapatkan hukuman yang setimpal seperti yang diharapkan oleh nurani masyarakat terhadap kejinya perbuatan dia? Ataukah akan ada seorang penyelamat yang menghindarkannya dari hukuman mati?  Mari kita semua bersama mengawal dan mendukung proses penegakan hukum yang dilakukan oleh Kepolisian. Biarlah kasus Ferdy Sambo menjadi yang terakhir dan Polri dapat menjadi lembaga yang bersih dan mengayomi karena kita tahu serta berharap bersama bahwa Polri dapat memberikan keamanan dan kenyamanan bermasyarakat dan bernegara. (*)

Jin Buang Anak atau Rezim Buang Sial?

Pemenjaraan terhadap wartawan senior FNN, Edy Mulyadi terkesan dipaksakan. Tak ada kerugian negara sedikit pun dari ungkapan Jin Buang Anak. Oleh Kamilia Alta | Jurnalis Yunior FNN  UNGKAPAN ‘Jin Buang Anak’ menjadi viral usai Edy Mulyadi menyebutnya dalam video di Kanal Youtubenya,Bang Edy Channel, mengenai penolakannya terhadap pemindahan ibu kota negara. Pernyataan Edy Mulyadi dinilai menghina calon ibu kota negara baru Kalimantan Timur dan membuat orang Kalimantan tak menerima serta melaporkan Edy ke polisi. Yang marah itu kan masyarakat, lantas mengapa pemerintah ikut numpang dalam perkara ini yang kemudian Jaksa Penuntut Umum (JPU) memanggul sekarung pasal berlapis ke muka hakim. Sungguh kasihan nasibnya, kini Edy sedang jadi pesakitan di pengadilan. Edy didakwa dengan sekarung pasal berlapis. Pasal 45A ayat 2 Jo pasal 28 ayat 28 ayat 2 UU ITE, Pasal 14 ayat 1 dan 2, Jo pasal 15 UU No.1 tahun 1946 tentang Peraturan Hukum Pidana Jo pasal 156 KUH Pidana. Ancamannya maksimal 10 tahun pejara. Padahal tercantum jelas dalam pasal 28 UUD 1945 berkaitan dengan kebebasan berpendapat dan dijamin oleh hukum. Lagian pernyataan itu tidak ditujukan kepada masyarakat Kaltim tetapi buat pemerintah dikarenakan Edy adalah salah seorang yang tidak setuju dengan rencana pemindahan IKN ke Kaltim. Umumnya kedudukan pers dimata hukum itu sama hal ini berlaku pers Liberal ala barat, seperti pers di Amerika, dan di semua negara yang disebut Barat, tunduk dan sering diseret ke meja hijau oleh pemerintah, birokrat ataupun dunia bisnis dan masyarakat dengan tuntutan pidana maupun perdata, karena dianggap merugikan kepentingan pihak yang terkena pemberitaan negatif pers. Di depan hakim, hukum dan pengadilan pers itu sama saja derajatnya dan bukan diistimewakan. Yang membedakan dengan negara berkembang, seperti Indonesia di negara yang bercorak manunggal, kekuasaan kehakiman dan yudikatif maupun legislatif masih sangat resesi posisinya terhadap kuasa eksekutif yang dominan. Ya sepertilah itu pers di Indonesia. Kasus Edy Mulyadi ini dijadikan rezim untuk membungkam secara keseluruhan pers yag merdeka dan professional. Hal ini hampir seperti kasus pembredelan pers Indonesia masa Orde Baru, kehidupan para wartawan pun harus selalu bersikap kompromistis agar surat kabar tidak dibredel.Kompromi menjadi hal yang biasa masa Orde Baru agar pers tetap bertahan. Pada saat itu, kehidupan wartawan demi memperjuangkan kebebasan pers masa Orde Baru bukanlah hal yang mudah dan berjalan begitu saja.Penuh tekanan, dan bayang-bayang pembredelan, yang bahkan bisa menyebabkan mereka di penjara dan kehilangan pekerjaan. Tokoh nasional Rizal Ramli yang turut hadir dalam persidangan dan pasang badan untuk membela Edy Mulyadi terlihat heran melihat persidangan yang tidak layak dilakukan ini. Menurutnya, persidangan kasus Edy Mulyadi dengan dakwaan membuat keonaran karena pernyataan ‘jin buang anak’ merupakan persidangan yang tidak fair. Seharusnya kasus tersebut dapat diselesaikan melalui mekanisme Dewan Pers. Lantas, bagaimana asal-usul ‘jin buang anak itu’? Penggunaan istilah tersebut sudah populer di Indonesia, tepatnya pada era 60 hingga 70-an. Istilah tersebut bahkan muncul di sejumlah film dengan celotehan khas Betawi yang dibintangi Benyamin Sueb. Kemudian, sejarawan dan budayawan Betawi Ridwan Saidi juga menyampaikan ungkapan ‘jin buang anak’ merupakan ungkapan humoristik khas Betawi untuk menjelaskan tempat yang jauh. Kata engkong Ridwan orang Betawi tahu bahwa jin itu senang di tempat sepi dan dingin. Di dalam sumur misalnya. Analog dengan itu tempat sepi yang sulit dijangkau orang juga disebut tempat jin buang anak. Jin sering sekali menjadi sasaran humor Betawi. Ada juga jin main ayunan, menjelaskan perilaku santai. Sementara itu, ahli Linguistik Forensik Universitas Indonesia, Frans Asisi Datang, menilai istilah itu memang umumnya digunakan atas ketidaksukaan atau penolakan terhadap suatu tempat. Dalam sejarahnya, ungkapan tersebut memang sering digunakan untuk hal-hal seperti itu. Hal yang sama juga disampaikan oleh Rocky Gerung yang hadir sebagai saksi ahli dalam sidang ‘jin buang anak. Ia mengatakan dengan tegas bahwa ungkapan tersebut merupakan metafor dari kebudayaan Betawi dan tidak ditujukan untuk sekelompok masyarakat di Kalimantan Timur. Tempat Jin buang anak itu di Jakarta juga ada beberapa lokasi. Pondok Indah, Depok, BSD, Bintaro, Citra Green Kalideres, Ancol, dll. Ancol berlokasi di Jakarta Utara, kawasan ini dahulu dianggap tidak layak untuk ditempatkan karena menyeramkan, berawa-rawa dan bersemak-semak sehingga menjadi sarang penyakit malaria, bahkan disebut sebagai ‘tempat jin buang anak’. Namun berkat jasa Soekardjo Hardjosoewirjo, Ancol yang dulu oleh masyarakat Betawi dikenal sebagai ‘tempat jin buang anak’, kini berubah total menjadi kawasan permukiman, industri dan tempat rekreasi yang indah. Lalu, Alwi Shahab, wartawan dan sejarawan Betawi dalam bukunya, Robinhood Betawi, Kisah Betawi Tempo Doeloe, menyebut Kemang di Jakarta Selatan pada 1960-an dan 1970-an juga sangat sepi, hampir seluruh penduduknya orang Betawi yang menggantungkan hidup pada pertanian dan perkebunan, sedangkan pendatang bisa dihitung dengan jari. Alwi ingat cerita ketika Mohammad Nahar pemimpin redaksi kantor berita Antara, diolok-olok oleh teman-temannya karena pindah ke Jl. Bangka, tempat paling bergengsi di Kemang saat ini : “Anda tinggal di tempat jin buang anak.” Jadi sekali lagi, ungkapan itu ya sama sekali tidak bermakna bahwa tempat tersebut benar-benar telah dihuni ‘anak-anak jin’ yang dibuang oleh ‘induk jin’. Kembali ke Edy Mulyadi yang saat ini tinggal menunggu vonis hakim, Edy seperti menjadi tumbal oleh kepolisian yang menjerat UU konvesional yang sekarung itu. Edy Mulyadi dituntut 4 tahun penjara oleh JPU.Kasihan ya. Apakah kasus Jin Buang Anak ini memang betul peristiwa hukum yang perlu ditegakkan atau sekadar ritual Rezim Buang Sial yang merupakan episode lanjutan dari Gentong Nusantara. (*)

Buzzer Siap-siap Babak Belur

Oleh M Rizal Fadillah BUZZER berjaya pada masanya. Masa Pemerintahan Jokowi awal hingga menjelang akhir adalah fase hidup buzzer sang cebong yang nyaman di kolam Istana. Asal mendengung ada pemasukan, muncul cuitan berbalas pendapatan. Tugasnya bikin pusing rakyat dan senang pejabat. Soal mutu nomor seribu. Meski tak bermutu asal mampu membuat bising maka keberadaannya tetap terampu. Perlindungan hukum adalah bonus untuk sang kutu.  Hanya di era Jokowi ada barisan buzzer untuk suara keras. Yang agak lunak bernama influencer. Keduanya badut istana penghibur raja dan orang yang ada di sekitarnya. Mereka dicela dan dibenci rakyat. Muak dan mual melihat dan mendengar ocehannya. Kata seorang pengamat mulutnya lebih besar dari otaknya. Buzzer adalah hewan peliharaan untuk mengawal kebijakan pemilik atau pemelihara.  Adalah Ade Armando salah satu Buzzer yang babak belur. Dikeroyok di depan Gedung DPR sewaktu aksi mahasiswa menolak perpanjangan  masa jabatan Presiden April 2022. Tragis Ade Armando dipukuli dan ditelanjangi. Meski pengeroyok nampaknya banyak, namun yang diadili hanya enam saja. Selainnya entah kemana, mungkin provokator yang lari sambil membawa celana Ade.    Kini muncul video yang tidak jelas bahwa  Ade Armando DPO dalam kasus korupsi dan pencucian uang. Beredar tanpa ada bantahan. Apakah ada gejala Buzzer mulai babak belur karena sang majikan akan habis masa jabatan dan duit negara mulai ambyar ? Buzzer sudah berat untuk dibayar. Harga BBM saja terpaksa harus naik dengan kesiapan menerima risiko kemarahan rakyat, apalagi sekedar \"membuang\" kotoran atau limbah buzzer.  Abu Janda mulai habis kata-kata, Denny Syi\'ah semakin payah, Armando banyak melongo, Nong, Rudi atau Eko semua anggota squad cucak rowo yang sebentar lagi tamat. Jika rumah Sambo yang kuat saja mampu diobrak-abrik, maka rumah produksi Cokro tentu lebih mudah lagi. Hidup bersandar memang nyaman saat sandaran ada, ketika sandaran itu runtuh wajib ia juga ikut jatuh.  Buzzer bersiap untuk babak belur. Sebagaimana dalam suatu Revolusi, setelah Rezim Otoriter tumbang maka semua kroni, pendukung dan yang ikut berlindung pasti hancur.  Buzzer mendengunglah sekeras-keras selama bisa, esok saatnya kalian menangis merana dan menderita. Mungkin dalam penjara. Menjadi musuh rakyat merupakan keberanian kaum berfikir pendek, bermulut besar, dan beriman tipis. Menyesal itu tidak pernah awal tapi kemudian.  Bersiaplah wahai para penghianat bangsa. *) Pemerhati Politik dan Kebangsaan Bandung, 4 September 2022

Prabowo, Sampeyan Golek Opo?

Mantan Danjen Kopassus Prabowo Subianto kembali mencalonkan diri sebagai Presiden dalam Pemilu 2024. Semangat yang perlu diapresiasi sekaligus disesali. Oleh Indah | Jurnalis Yunior FNN Masih ingat dalam ingatan masyarakat Indonesia saat Prabowo tiba-tiba \"bertekuk lutut\" di depan Presiden Joko Widodo. Peristiwa itu ditandai dengan duduk bareng di dalam kereta bawah tanah (MRT) dan dilanjutkan makan bakso di kawasan Senayan. Tak lama kemudian Presiden Jokowi memberi hadiah Menteri Pertahanan dan Keamanan kepada bekas rivalnya di Pilpres 2019 itu. Inilah puncak kekecewaan publik terhadap tokoh idolanya, di mana saat itu hati dan perasaan masyarakat masih mendidih, tiba-tiba sosok yang dibela berselingkuh dengan musuh. Siapa yang tak mengenal sosok Prabowo? Masyarakat Indonesia sudah mengenal latar belakang beliau. Sepanjang sejarah, hidupnya sudah menapaki militer lalu mendirikan Partai Gerindra. Kini semarak demokrasi Indonesia mulai mencuat kembali, setelah masa kepemimpinan Jokowi akan usai. Partai Gerindra dengan lugas sudah sepakat untuk menyalonkan kembali Prabowo dan tercatat pula, bahwa sudah tiga tahun terus menerus menurun, Prabowo mengajukan diri sebagai calon presiden.  Prabowo digadang-gadang inginkan jabatan presiden. Kekalahan telak yang telah dilalui oleh Prabowo tak membuatnya menyerah. Setidaknya beliau sudah bisa menjalin hubungan emosional dan membangun komunikasi kepada para pendukungnya. Meskipun begitu, Prabowo harus tetap meyakini pendukungnya untuk memberikan suara pada dirinya. Memang benar, sebagai pemimpin, harus piawai dalam hal tersebut, kecakapan Prabowo di masa kampanye sebelumnya masih sembrono, hanya semangatnya saja yang meletup-letup. Namun, perlu diingat, masyarakat Indonesia tidak butuh optimisme belaka dari para calon presiden saja, tetapi calon presiden di periode berikutnya harus memiliki optimisme yang terukur. Karena jika tidak, permasalahan yang berdampak pada Indonesia akan terus bertambah, dan bisa jadi membabi buta. Siap atau tidak pada kenyataan periode yang dipimpin Jokowi mewarisi hutang besar.  Meskipun begitu, dalam kekalahan sebelumnya membentuk pengalaman baru. Prabowo tergabung menjadi Kemenhan pada periode Jokowi. Jika beliau pemimpin yang cerdik, seharusnya bisa membandingkan strategi kepemimpinan Jokowi dengan kondisi saat ini di Indonesia. Dalam rumusan kabinet presiden selanjutnya harus benar-benar menjalankan amanat konstitusi. Sejauh ini, belum ada presiden di Indonesia yang bisa mempraksiskan dasar negara, yaitu Pancasila.  Apakah menjadi presiden akan memperkaya kehidupan Prabowo? Tidak. Sorotan kekayaan Prabowo tak sebanding dengan gaji presiden. Masih dalam tanda tanya besar, apa yang sebenarnya Prabowo canangkan ketika hak suara 2024 menjadi miliknya? Masyarakat harus bisa mempertajam daya kritis, guna menuntut pemimpin agar tidak abai dalam menyelesaikan persoalan negara. Perlu dipastikan masyarakat Indonesia tidak boleh grasa-grusu soal substansi yang dibicarakan Prabowo.  Kita tunggu 2024, apakah Prabowo dan Gerindra akan menjadi Macan Asia atau Kucing Jinak. (*)

Harga BBM Dinaikkan, Langkah Nasib-nasiban oleh Jokowi

Oleh Asyari Usman | Jurnalis Senior FNN  PRESIDEN Joko Widodo (Jokowi) menaikkan bahan bakar minyak (BBM) dalam persentase yang spektakuler. Sangat berani. Tak tanggung-tanggung, Jokowi membebani pengguna jenis pertalite sebesar 30.7%. Harga minyak favorit ini naik dari Rp7,650 menjadi langsung Rp10,000. Untuk solar (diesel), Jokowi menambah beban ke penggunanya sebesar 33.3%, dari Rp5,100 menjadi Rp6,800 per liter. Sedangkan untuk jenis Pertamax, Jokowi mendapat pemasukan Rp2,000 per liter yang membuat harga jenis elit ini menjadi Rp14,500. Naik hanya 16%. Organisasi induk buruh bersumpah akan melancarkan unjuk rasa (unras) besar-besaran pada 6 September (Selasa). Di Makassar, langsung setelah pengumuman resmi kenaikan, sekelompok mahasiswa melakukan demo yang menimbulkan kemacetan besar. Mereka berjanji akan berunjuk rasa lebih besar lagi. Apa kira-kira pesan yang bisa diserap dari langkah Presiden Jokowi menaikkan harga BBM? Setidak ada tiga poin penting yang bisa dibaca di balik tindakan yang penuh risiko itu. Pertama, Jokowi percaya diri bahwa posisi dia tidak akan terdampak oleh sebesar dan sekeras apa pun reaksi masyarakat. Artinya, Jokowi mendapat jaminan dari berbagai institusi keamanan bahwa reaksi negatif rakyat akan bisa dikendalikan. Bahasa lainnya: bisa ditumpas. Kedua, pesan kebalikan dari poin pertama. Bahwa Jokowi bisa jadi sengaja memancing amarah rakyat melalui langkah penaikan harga BBM itu. Jokowi memang sedang mencari cara terbaik untuk mengundurkan diri. Artinya, kalau rakyat besok-lusa melancarkan aksi protes secara terus-menerus, maka akan ada alasan Jokowi untuk meletakkan jabatan dengan cara terhormat. Dengan cara ini, setidaknya Jokowi digantikan oleh orang-orang yang bisa dijamin akan meneruskan cara-cara Jokowi memimpin. Jokowi akan digantikan tiga serangkai (triumvirat) Menhan, Mendagri, dan Menlu. Khusus di tangan Menhan Prabowo Subianto, Jokowi bisa and tenang dan merasa nyaman.  Ketiga, dana APBN betul-betul kandas. Kelangsungan pemerintahan terancam. Jokowi tak punya pilihan lain. Dia menyebutnya ‘pilihan terakhir’. Harga BBM harus dinaikkan. Pesan ketiga ini bisa disebut sebagai upaya nasib-nasiban. Siapa tahu rakyat diam saja.  Artinya, Jokowi akan mengambil tindakan keras terhadap siapa saja yang mengganggu langkah pemerintah menaikkan harga BBM. Dia berharap rakyat takut dan bisa ditakut-takuti. Sehingga aksi protes bisa diredam.  Ini tentu skenario yang sangat berbahaya. Sebab, dalam posisi lucah dan carut-marut saat  ini, Jokowi tidak bisa mengharapkan Polisi bertindak brutal terhadap rakyat (c.q. para demonstran) yang pasti bangkit. Rakyat akan semakin marah.[] 4 September 2022 (Jurnalis, Pemerhati Sosial Politik)

Menyesalkan Sikap Sri Mulyani Yang Anggap Dana Pensiun Membebani APBN

Ironis, seorang menteri meyebut dana pensiun membebani negara. Padahal, dana itu milik mereka yang dipotong setiap bulan. Oleh Habil - Jurnalis Yunior FNN BELAKANGAN ini marak diperbincangkan masalah dana pensiun Aparat Sipil Negara (ASN) yang menjadi beban APBN Negara. Hal ini timbul bukan tanpa sebab, Sri Mulyani selaku Menteri Keuanganlah yang telah memunculkan polemik ini.  Dalam sebuah kesempatan Sri Mulyani menjelaskan bagaimana pemerintah kewalahan dalam membayarkan dana pensiun ASN. “Seperti diketahui belanja pensiun di dalam APBN pemerintah itu tidak hanya pensiun ASN, TNI, POLRI bahkan ASN, daerah pun kita juga membayarkan pensiun penuh karena kita masih menggunakan prinsip defind benefit, artinya setiap yang sudah pensiun mendapatkan benefit atau manfaat yang sudah di defind,” kata Sri Mulyani di Kompleks Parlemen DPR/MPR, Jakarta Selatan, Rabu (24/8). Hal ini menjadi sebuah pertanyaan besar di kalangan masyarakat terkait kinerja pemerintah dalam mengatur pengalokasian anggaran. Karena jika dinalar secara logika sederhana, seharusnya hal ini tidak menjadi keluhan bagi pemerintah, karena sudah menjadi tanggung jawab pemerintah untuk menjamin dana pensiun ASN sebagaimana yang tertera dalam UU No. 5 Tahun 2014. Dana yang dibayarkan pun tidak sepenuhnya ditanggung pemerintah, karena sistem tunjangan yang dipakai saat ini bersifat pay as you go dimana pegawai juga ikut menghimpun dana untuk membayar biaya pensiun yang akan diterima nanti lewat pemangkasan gaji sebesar 25 persen setiap bulannya.  Ada berbagai macam spekulasi terkait alasan pemerintah kewalahan dalam membayar dana pensiun, salah satu alasan yang paling kuat adalah karena kurang tepatnya pengalokasian dana oleh pemerintah. Hal tersebut tercermin dalam komentar mantan Menteri Koordinator Bidang Perekonomian, Rizal Ramli, beberapa waktu lalu. Lewat akun media sosial Twitter @RizalRamli, Rizal Ramli mengatakan bahwa, Menteri Keuangan mengeluh tidak sanggup untuk membayar dana pensiun ASN, padahal sanggup untuk membayar cicilan utang pokok dan bunga sebesar Rp805 trilliun. \"Menkeu Terbalik mengeluh: berat untuk bayar gaji pensiun. Cc. @jokowi. Tapi sanggup & dengan gembira akan bayar cicilan utang pokok dan bunga Rp805 trilliun tahun 2020 (pokok Rp400 T & bunga Rp405 T). Ironi! Dan tragedi untuk pensiunan” tulisnya lewat akun media sosial Twitter, @RizalRamli,  2 Februari 2020. Pernyataan ini bukanlah omongan tanpa dasar, pasalnya pada Jum’at, 19 Agustus 2022, Mantan Ketua Tim Reformasi Tata Kelola Migas, Faisal Bahri menguatkan pernyataan tersebut dalam sebuah acara berjudul “Merdeka, Kok APBN Rp3.000 T?”. Bahwa berdasarkan data berjudul Composition of Central Government Spending yang dikeluarkan oleh Kementrian Keuangan, tercatat Pemerintah Pusat banyak mengalokasikan dana yang tidak ada hubungannya dengan kepentingan rakyat. Terlihat bahwa, kenaikan belanja untuk kategori belanja modal dalam dua periode hanya mencapai 35,1% sedangkan untuk bantuan rakyat hanya mencapai 51,7%. Kedua data tersebut termasuk ke dalam tatanan belanja paling rendah dibanding kategori lain, kenaikan pengaliran dana pemerintah pusat tertinggi justru berada pada kategori pembayaran bunga (utang) dengan total mecapai 230,8%. Ekonom senior Faisal Basri pun saat itu juga memberi komentarnya terkait kurang tepatnya pengalokasian dana yang dilakukan oleh pemerintah. Menurutnya pemerintah sudah terlalu banyak menanggung beban hutang  sehingga salah urus dalam pengalokasian APBN.  “Artinya pemerintah ini udah kebanyakan beban yang tidak ada urusannya dengan rakyat kebanyakan beban karena salah urus karena utangnya tidak produktif ya pertumbuhan utangnya lebih cepat dari pertumbuhan PDB nya,” ujarnya Berdasarkan beberapa bukti terkait kurang tepatnya pemerintah mengalokasikan dana, maka tak heran jika masyarakat membuat spekulasi liar dan tajam. Salah satunya adalah yang dikemukakan oleh mantan Sekretaris BUMN, Said Didu. Lewat akun media sosial Twitter @msaid_didu, Said Didu mengatakan bahwa, dana yang seharusnya dialokasikan untuk kepentingan para pensiunan malah di gunakan untuk hal-hal yang tidak perlu.  \"Pemerintah anggap pensiunan PNS, TNI, POLRI membebani negara padahal para pensiunan tsb menerima pensiun dari tabungan potongan gaji mereka, sementara pemerintah alokasikan uang rakyat utk kartu prakerja, dana buzzeRp, Stafsus Presiden Millenial, dll, Kalian Tega !!!\" tulisnya lewat akun media sosial Twitter, @msaid_didu, Jumat, 26 Agustus 2022. Said Didu juga menambahkan bahwa pemerintah sudah lama tidak membayar iuran kepentingan pensiun sehingga terjadi pembengkakan APBN.  “Pemerintah/Menkeu sudah lama tidak mengalokasikan dana utk membayar iuran kewajiban pemerintah shg kemampuan dana pengelola pensiun (Taspen) menjadi berkurang shg pembayaran lewat APBN tambah berat,” ujarnya. (*)

Kenaikan Harga BBM Membakar Rakyat

Oleh: Yusuf Blegur | Mantan Presidium GMNI  Seandainya air seni rakyat  itu laku dan bernilai, tentunya pemerintah akan memungut pajaknya. Tak cukup memeras keringat, mengucurkan darah dan menghilangkan nyawa, rezim kekuasaan terus mengeksploitasi semua yang ada pada rakyat, termasuk pelbagai kebutuhan pokoknya yang penting untuk sekedar hidup. Harga BBM yang terus melonjak tinggi, seakan membakar hidup-hidup rakyat yang memang sudah begitu menderita. Tujuh kali kenaikan BBM selama Jokowi menjadi presiden. Membuktikan  Jokowi sebagai kepala negara dan kepala pemerintahan,  memang rendah kualitas kepemimpinannya. Mencabut subsidi solar dan bensin yang vital dan banyak dikonsumsi rakyat dengan alasan membebani APBN dan menguntungkan orang kaya yang menggunakannya. Memperlihatkan kebodohan kebijakan dan  argumentasi rezim yang lemah di tengah biaya tinggi  dan kebocoran anggaran dari setiap proyek pemerintah yang tidak efisien dan efektif. Sementara APBN sendiri sudah terdepresiasi oleh beban utang negara yang tidak tepat peruntukannya. Belum lagi kerugian yang masif akibat salah kelola BUMN dan institusi pemerintahan lainnya. Keuangan negara semakin jebol ketika pejabat lembaga pelayanan publik menggunakan biaya tinggi seperti peruntukan gaji direksi dan komisaris, biaya rapat dan operasional serta penggunaan uang  besar untuk kegiatan yang tidak relevan bagi perbaikan hidup rakyat. Proyek mangkrak dan yang tak berguna bagi kepentingan hajat hidup orang banyak, secara langsung menjadi alokasi pembangunan yang menguras anggaran  negara. Lemahnya sistem menejemen dan pengawasan penyelenggaraan keuangan negara,  semakin membuat  rakyat hidup tertekan terlebih dengan  penghapusan subsidi sektor riil dan strategis. Penderitaan rakyat semakin memuncak dengan kenaikan harga BBM yang secara otomatis membuat melonjaknya ongkos transportasi yang selanjutnya diikuti kenaikan harga barang-barang kebutuhan pokok. Tanpa berlama-lama, kesulitan ekonomi yang diperlihatkan dengan menurunnya daya beli masyarakat, berangsur-angsur akan membawa negara dan rakyat pada situasi krisis. Situasi dan kondisi seperti ini pada akhirnya terus memicu angka kemiskinan dan selanjutnya mendorong tingginya angka kriminalitas. Seperti apa gejolak dan dinamika rakyat terutama  menghadapi kenaikan harga BBM yang meliputi: Pertalite dari Rp. 7.650 per liter menjadi Rp. 10.000 per liter. Solar subsidi dari Rp. 5.150 per liter menjadi Rp. 6.800 per liter. Pertamax non subsidi  dari Rp. 12.500 menjadi Rp. 14.500 per liter. Dikutip dari pernyataan menteri ESDM Arifin Tasrif. Kebijakan ini berlaku tgl. 3 September 2022, mulai pkl. 14.30 WIB. Rakyat terus menjadi bulan-bulanan tekanan hidup  akibat lemahnya kinerja pemerintahan  yang diisi oleh   orang-orang bodoh, lemah dan korup. Tak cukup memungut pajak tinggi dan uang jarahan dari hasil korupsi, pengelola negara terus memiskinkan rakyat secara struktural dan sistematik. Sementara para pejabat dan penentu kebijakan, hidup bergelimang harta dan penuh kemewahan  di atas penderitaan rakyat. Kerja keras rakyat untuk sekedar \"suvive\" dan apa yang telah diberikan untuk negara, dibalas dengan memperkaya diri dari mengambil hak rakyat. Sembari mengiringinya dengan tindakan intimidasi, represif dan teror bagi rakyat yang lemah. Setelah jauh dari kemakmuran dan keadilan sebagaimana diamanatkan oleh Pancasila, UUD 1945 dan NKRI. Rakyat kembali menjerit menyesali hidupnya, menjadi warga negara yang dipimpin oleh para bedebah  dan bajingan. Setelah usai dari covid-19 yang membawa maut, kehilangan pekerjaan dan penghasilan, didera ketidakpastian hukum dan perlingungan kesejahteraan dari negara. Rakyat kini hidup terus memasuki ranah kemiskinan yang terdalam. Hidup sengsara ditambah kenaikan harga BBM, rezim tak ubah sedang membakar rakyat. Apakah panasnya membuat kematian rakyat atau  menjadi api yang menyala-nyala yang mengobarkan revolosi. Pemberontakan rakyat yang berasal dari sumbu pendek kenaikan harga BBM. Biar rakyat yang menentukan jaraknya dan sebanyak apa bensin itu menggerakannya. (*)