OPINI

Selamat Datang Bapak dan Ibu Haji

Oleh M. Rizal Fadillah Pemerhati Politik dan Kebangsaan  Jamaah haji berangsur-angsur mulai kembali ke tanah air setelah berjuang keras melaksanakan ibadah memenuhi rukun Islam kelima di tanah suci. Do\'a sambutannya adalah semoga makbul dan mabrur. Dikabul segala permohonan kepada Allah SWT dan hajinya bermakna bagi kebaikan hidup di dunia dan akherat. Surga balasan-Nya.  Haji sebagai tahapan peningkatan keimanan dan kemusliman seseorang tentu harus mampu memperbaiki kekurangan dalam hal akidah dan ibadah kepada Allah. Akhlakul karimah. Perbuatan atau kebiasaan buruk yang dikerjakan sebelum berhaji kini hilang atau berubah. Bukti dari dosa-dosa yang telah diampuni.  Amal shaleh yang mungkin minim pada awalnya sepulang haji tentu lebih banyak dan lebih bermutu. Umat bahagia atas kehadiran haji-haji baru yang memberi manfaat pada tetangga dan lingkungan masyarakat. Bapak dan ibu haji yang bersiap menjadi pahlawan lingkungan serta gemar berkorban demi kemashlahatan.  Di samping hal di atas ada catatan penting yang dapat menjadi perhatian para \"alumni\" Tanah Suci sebagaimana yang tertuang dalam ayat Qur\'an Surat At Taubah 19 : \"Apakah yang memberi minum orang berhaji dan memakmurkan Masjidil Haram kamu samakan dengan orang yang beriman kepada Allah dan hari akhir serta berjihad di jalan Allah ? Mereka tidak sama di sisi Allah. Dan Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang zalim\". Amal memberi bantuan pada yang berhaji dan mengurus atau memakmurkan Masjidil Haram ternyata tidak cukup jika tidak dikaitkan dengan amal besar lain di sisi Allah yaitu Iman kepada Allah dan hari akhir serta jihad di jalan Allah. Keimanan tinggi kepada Allah dan meyakini bahwa hidup hakiki adalah nanti. Dengan segala ketetapan dan penghakiman-Nya.  Jihad adalah tuntutan amal tinggi bagi yang telah berhaji. Jihad di jalan Allah dalam segala bentuknya. Mengembangksn sungguh-sungguh agama, membela atas serangan dan penistaan, serta membangun barisan perjuangan yang kokoh. Mendamaikan perselisihan dan menjalin persaudaraan. Persaudaraan adalah tonggak kekuatan.  Haji yang berjihad siap membantu gerakan untuk menangkal Islamophobia. Islamophobia sebagai kebodohan, kezaliman, kemunafikan dan kekufuran. Islam yang rahmatan lil \'alamin difitnah negatif dan dibuat sebagai hantu yang menakutkan. Khas skenario jahat musuh-musuh Islam.  Di masa penjajahan dahulu sepulang ibadah, para haji bergabung dalam kelompok-kelompok perjuangan kemerdekaan. Mereka mendirikan organisasi keagamaan, pendidikan, dan politik. Muncul kesadaran akan perlunya membuktikan kembabruran haji melalui amal nyata dan mendesak yang sangat dibutuhkan rakyat dan bangsa.  Ayo para haji yang telah Allah beri kemampuan rizki, tenaga, dan kesempatan untuk segera berlomba-lomba berbuat baik di tanah air. Bangsa dan negara membutuhkan partisipasi dan kontribusi para haji untuk membangun dan membereskan negeri. Negeri yang nyatanya sedang dikuasai oleh kaum tirani dan oligarki.  Selamat datang kembali bapa dan ibu haji di tanah air. Makbul dan mabrur. Semoga Allah SWT memberkahi ibadah haji bapa dan ibu. Mabruk. Aamiin Yaa Mujibas Sailiin.  Bandung, 17 Juli 2022

Membunuh Kebenaran

Oleh: Yusuf Blegur - Mantan Presidium GMNI  Kehidupan dunia memang tak memberi kemewahan pada yang menjaga kebenaran. Rasionalitas kerapkali menjadi alasan untuk memburu dan menikmati kesenangan. Persfektif hidup, melulu  dilakukan berorientasi materi demi  menjadi milik dan aset yang membanggakan.* *Bukan hanya ketidakadilan, bahkan dalam berpikir saja sudah menghadirkan keonaran, membiarkan kejahatan menyembelih kebenaran. Kadang banyak yang lupa bahwasanya disebut manusia jika hidupnya  memberi manfaat. Kata-kata dan perilaku  menjadi begitu terhormat dalam pandangan khalayak, meski  memiliki jiwa yang tersesat. Bangga pada status sosial dan harga diri yang berujung dipenjara oleh ambisi yang melekat. Harta, wanita dan jabatan terlalu kesohor meskipun kegilaan padanya rentan  membawa mudharat. Orang suci terlalu terhina karena hidup compang-camping dan miskin. Orang kaya begitu dimuliakan karena terbiasa mampu membeli semua, penuh percaya diri dan begitu yakin. Rakyat jelata memang hanya bisa pasrah, meskipun kata sehat dan selamat hanya bisa  diperoleh dari vaksin. Layaknya perang yang berkobar, menimbulkan kontroversi dan polemik internasional hanya  karena kebijakan seorang Putin. Kekuasaan memang tak akan pernah diwariskan pada kaum yang lemah dan tak berdaya. Rakyat hanya diciptakan Tuhan sebatas memelihara asa.  Pancasila, UUD 1945 dan NKRI seakan fana bahkan cenderung lebih terasa sebagai maksiat bagi bangsa. Begitu mudahnya dimanfaatkan secara terstruktur, sistematik, dan masif sebagai alat efektif bagi rezim untuk membunuh  kebenaran  di Indonesia. Munjul-Cibubur 17 Juli 2022.

Jika Mahkamah Konstitusi Penjaga Tirani Kekuasaan: Layakkah Dibubarkan?

Namun sebaik-baik mekanisme yang dibuat, jika demokrasi adalah sistem pemerintahan yang menaungi, maka menjadi peluang bagi siapa pun yang berkuasa, termasuk hakim MK, untuk bertindak SSK (suka-suka kami). Oleh: Pierre Suteki dan Puspita Satyawati, Dosen Universitas Online (Uniol) 4.0 Diponorogo I. PENGANTAR Tagar #WajibBubarkanMK menjadi trending topic di Twitter setelah Mahkamah Konstitusi (MK) memutuskan menolak belasan permohonan judicial review (JR) atau uji materi soal presidential threshold (PT) alias ambang batas pencalonan presiden 20% menjadi 0%. Sejumlah warganet dan tokoh menyoroti hal tersebut. Menurut Helmi Felis (pegiat media sosial), tagar ini merupakan strong message rakyat, wujud penegasan bahwa rakyat menghendaki MK dibubarkan. Bahkan masyarakat tak lagi memohon tapi memerintahkan rezim agar MK dibubarkan (wartaekonomi.co.id, 13/7/2022).  Kekeuh-nya MK meski telah digugat belasan kali memicu kecurigaan sebagian kalangan bahwa rezim saat ini diduga dikendalikan oleh oligarki. Ketua DPD RI, A.A. LaNyalla Mahmud Mattalitti menilai, penolakan MK atas gugatan atas Pasal 222 UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang PT 20% berarti MK sengaja memberi ruang kepada oligarki ekonomi untuk menyandera dan mengendalikan negara ini berpihak dan memihak kepentingan mereka. Sehingga sudah sepantasnya MK dibubarkan karena tak lagi menjaga negara dari kerusakan akibat produk perundangan yang merugikan rakyat dan menyebabkan kemiskinan struktural di negeri ini (pontas.id, 5/6/2022) Sebelumnya, Mantan Menteri Keuangan Rizal Ramli menyebut pembubaran MK perlu dipertimbangkan setelah masa jabatan Presiden Joko Widodo berakhir. Pasalnya, MK tak lagi mampu menegakkan konstitusi. Bahkan justru menjadi penjaga tirani kekuasaan (fajar.co.id, 13/5/2022).  Jika MK tak lagi sebagai penjaga konstitusi (constitution guardian) tetapi telah berubah menjadi penjaga rezim dan lingkarannya, dus kemudian untuk apa dipertahankan? MK yang sebelumnya digadang-gadang sebagai pengawal konsep demokrasi pun realitasnya justru terbelenggu oleh oligarki. Pernyataan Peneliti MK, Nallom Kurniawan bahwa Indonesia adalah negeri demokrasi terbesar di dunia (detik.com, 10/10/2019) nampaknya tak relevan lagi. Tak dipungkiri, oligarki menjadi gaya rezim memerintah saat ini. Tepat bila Jefrey Winters menegaskan bahwa demokrasi di Indonesia telah dikuasai oleh kelompok oligarki. Akibatnya sistem demokrasi di Indonesia semakin jauh dari cita-cita serta tujuan untuk menyejahterakan masyarakatnya. Jadi sejatinya, hari ini negeri ini menganut demokrasi atau oligarki? Sampai kapan bangsa ini bertahan mengatakan bahwa demokrasi adalah harga mati? II. PERMASALAHAN Untuk menyelisik di balik seruan bubarkan MK, penulis mengajukan rumusan permasalahan sebagai berikut: 1. Mengapa pegiat HAM dan demokrasi merasa kecewa atas beberapa putusan MK terkait PT 20%? 2. Bagaimana dampak putusan MK yang dinilai menyimpangi tugas utamanya sebagai constitution guardian (penjaga konstitusi) terhadap marwah hakim dan kelembagaan MK? 3. Bagaimana solusi untuk menjaga marwah hakim dan kelembagaan MK sehingga tidak kehilangan orientasi dalam menjaga konstitusi? III. PEMBAHASAN A. Tak Lagi Penjaga Konstitusi, MK Menjadi Penjaga Rezim dan Oligarki Kini, para pegiat demokrasi dan HAM di negeri ini menggaungkan narasi bubarkan MK. Mereka melihat MK bukan lagi sebagai penjaga konstitusi tetapi telah berubah menjadi penjaga rezim dan oligarkinya. Mereka kecewa atas puluhan putusan MK yang menolak tuntutan pembatalan Pasal 222 UU Pemilu terkait PT 20%. Putusan MK sangat klasik, konvensional, dan cenderung menggunakan mantra hukum modern dengan dalil black letter law. Putusannya berputar dari tiga opsi: (1) NO (Niet Ontvankelijke Verklaard yang merupakan putusan yang menyatakan bahwa gugatan tidak dapat diterima karena mengandung cacat formil), (2) tidak punya legal standing, (3) alasan open legal policy. Atas ketidakpuasan terhadap putusan yang berulang kali sama tersebut, para pencari keadilan akhirnya tidak percaya kepada majelis hakim MK bahkan menuntut agar MK dibubarkan. Rakyat masih ingat atas sikap MK yang menolak permohonan judicial review Perppu Ormas, disusul kekecewaan rakyat terhadap putusan MK tentang UU Cipta Kerja yang dinyatakan inkonstitusional bersyarat, dan kini putusan MK menolak tuntutan atas pembatalan Pasal 222 UU Pemilu terkait PT 20%. Kita perlu prihatin karena terkesan MK telah kehilangan marwah, karena para hakim MK bertindak seperti hakim biasa yang tidak mau bahkan takut melakukan terobosan hukum bahkan terkungkung oleh bunyi-bunyi mantra peraturan yang jika diterapkan tidak akan menghadirkan keadilan kepada masyarakat (bringing justice to the people). Hukum sering menjadi sebuah mantra ajaib dapat dipakai oleh penguasa sebagai sarana melanggengkan kekuasaannya (status quo). Mantra ini bisa mengoyak siapa pun penghalang yang menghadang kekuasaan. Dengan dalih atas nama hukum, semua mulut yang terbuka bisa dibungkam, tangan yang membentang bisa diringkus, dan langkah kaki pun bisa dihentikan. Hukum dipakai sebagai tameng kekuasaan yang biasa disebut alat legitimasi kekuasaan. Oleh Brian Z. Tamanaha disebut sebagai the thinnest rule of law (ROL). Mantra ROL paling tipis ini akan lebih dahsyat ketika diilhami oleh ideologi yang diklaim sebagai sosok mulia laksana berhala yang hendak disembah-sembah lantaran dianggap sebagai kalimah suci yang dianggap mampu mendatangkan kebaikan dan keburukan. Ideologi suci dan mantra ROL telah berkolaborasi menikam jantung misi negara hukum itu sendiri. Akhirnya, misi negara hukum menjelma sebatas mengagungkan tameng kekuasaan bernama black letter law. Bukan pada penghormatan (to respect), pemenuhan (fulfill), dan perlindungan (protect) yang dirangkum dalam human right dignity. Lompatan raksasa dari misi ROL yang tertinggi adalah tidak hanya sekadar berorientasi pada legitimacy dan human right dignity tetapi mewujudkan social welfare. Ini yang disebut sebagai the thickest rol. Hal ini tidak mungkin dicapai ketika jalan menuju negara hukum justru secara paksa dibelokkan (bifurkasi) ke arah negara kekuasaan. Jurang tengah menanti jatuhnya negara hukum saat pilar-pilar negara hukum mulai dirobohkan oleh penguasa yang hendak melanggengkan tampuk kepemimpinannya. Inilah kalau hukum itu bersifat represif, bukan responsif apalagi progresif. MK yang seharusnya bisa membaca hukum dengan moral (moral reading) ternyata sama dengan peradilan lainnya. Membaca hukum dengan kaca mata kuda. Mengagungkan cara berpikir secara automat mechanistic, yaitu mengandalkan bunyi UU sehingga hakim seolah hanya menjadi corong atau mulut UU (la bouche de la loi). Padahal sesuai UU No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman Pasal 5 ayat 1 disebutkan bahwa: hakim dan hakim konstitusi wajib menggali, mengikuti, dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan dalam masyarakat. Ditambah aspek transendental dalam irah-irahan putusan hakim yang berbunyi: demi keadilan berdasarkan Ketuhanan Yang Mahaesa. Hal ini bermakna bahwa hakim dalam memutus perkara tidak boleh hanya berdasarkan bunyi-bunyi pasal UU, melainkan diberi hak berinovasi dalam menyelesaikan perkara. Di sini tampak relasi antara negara dan agama dalam penegakan hukum di Indonesia. Demikianlah bila hakim (MK) tak memiliki karakter braveness (berani) dan vigilante (jiwa pejuang), maka impossible akan melakukan terobosan. Ia akan cenderung mengutamakan zona nyaman dan menjalankan hukum sebagaimana bunyi teks UU. Jangan harap ia berani membaca konstitusi dengan menggunakan moral. Hingga di tangan hakim seperti ini, hukum justru tunduk di bawah kekuasaan. B. Dampak Putusan MK yang Menyimpang dari Tugas Penjaga Konstitusi terhadap Marwah Hakim dan Kelembagaan MK Saat Ketua MK Anwar Usman menyatakan diri di awal persidangan sengketa hasil Pilpres, bahwa beliau hanya takut kepada Allah, besar sekali harapan agar beliau lebih mengutamakan rasa keadilan daripada kepastian hukum (dalam state law). Mungkin sekarang beliau tetap merasa keputusannya telah on the track, merasa menghadirkan keadilan di tengah masyarakat karena fokus pada hasil perolehan suara Pilpres dengan menyatakan berkali-kali bahwa dalil pemohon tidak beralasan, tidak dapat dipertanggungjawabkan, tidak dapat dibuktikan menurut hukum. Kalimat hanya takut kepada Allah seharusnya dimaknai bahwa seorang hakim harus punya braveness dan vigilante. Braveness untuk menggali, mengikuti, dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan dalam masyarakat (Pasal 5 ayat 1 UU Kekuasaan Kehakiman) ketikadihadapkan dilema dalam conflict of interest. Vigilante adalah karakter untuk menjadi mujahid yang mengutamakan pada pembelaan terhadap kebenaran, kejujuran dan keadilan, apa pun taruhannya. Lalu hendak dikemanakan kalimat hanya takut kepada Allah, sementara realitasnya takut pada sesama manusia yang berkuasa dan kekuasaannya manusia. Masihkah kita berharap para hakim ‘berjihad’ untuk menegakkan moralitas, khususnya keadilan dan kebenaran dalam berhukum? Mungkin putusannya itu memenuhi aspek legalitas, tetapi sebenarnya tidak legitimate karena patut diduga ‘cacat secara moral’. Putusan MK yang menyimpang dari tugasnya sebagai penjaga konstitusi, tentu akan berdampak terhadap marwah hakim dan kelembagaan MK. Dampak tersebut antara lain: 1. Marwah (kehormatan) lembaga dan hakim MK runtuh di mata publik. Ketika MK dipercaya sebagai penjaga konstitusi yang menjadi sarana pengaturan kepentingan dan pencapaian kesejahteraan rakyat tidak mampu memelihara independensinya, hingga justru memihak kepentingan rezim dan oligarki, maka sejatinya MK telah meruntuhkan marwahnya sendiri di hadapan publik. 2. Trust (kepercayaan) publik terhadap lembaga dan hakim MK kian ‘ndlosor.’ Fungsi MK adalah menjamin tidak ada produk hukum yang keluar dari koridor konstitusi agar hak konstitusional warga terjaga dan konstitusi juga terkawal. Jika UU atau salah satu bagiannya terbukti tak selaras dengan konstitusi (UUD ’45), maka produk hukum tersebut akan dibatalkan MK. Namun realitasnya, MK tetap menolak gugatan JR produk hukum yang isinya bertentangan dengan konstitusi seperti soal dana pandemi atas JR Pasal 27 UU No. 2 Tahun 2020, juga soal omnibus law UU No. 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja. Bila fungsi tak berjalan, mungkinkah trust didapatkan? 3. Seruan pembubaran MK oleh rakyat. Sepertinya saat ini telah terjadi akumulasi distrust pada sebagian kalangan masyarakat. Sehingga mereka tak segan berteriak agar MK dibubarkan. MK dinilai bagian dari rezim. Penolakan gugatan JR PT 20% menjadi buktinya. Bukan satu dua gugatan, tapi belasan gugatan ditolak MK. Sementara PT 20% diduga sebagai cara politik licik rezim untuk terus berkuasa. UU kepentingan rezim lainnya juga sulit digoyahkan. Wajar jika publik khawatir cengkeraman kekuasaan terhadap MK. Apalagi Ketua MK sekarang menjadi adik ipar presiden. Meski berkilah akan tetap profesional, siapa yang percaya? Dulu saat teriak hanya takut kepada Allah saja, aroma kecurangan sangat terasa. Akibat pernikahan politis ini diduga kuat akan muncul conflict of interest. Jika rakyat kian sulit mempercayai independensinya, salahlah jika mereka menyerukan MK bubar? Demikianlah dampak putusan MK yang menyimpang dari tugas penjaga konstitusi terhadap marwah hakim dan kelembagaan MK. Tentu kita prihatin, lembaga peradilan seistimewa MK saja tak mampu independen dalam menjalankan fungsinya. Justru menjadi penjaga tirani kekuasaan dan seolah memfasilitasi terjadinya kejahatan politik melalui hukum yang berlaku di negeri ini.  C. Solusi Menjaga Marwah Hakim dan Kelembagaan MK agar Tidak Kehilangan Orientasi Menjaga Konstitusi Untuk merealisasikan misinya mengawal tegaknya konstitusi melalui peradilan konstitusi yang independen, imparsial, dan adil, MK membutuhkan orang-orang yang memiliki integritas dan kualitas keilmuan yang tinggi. Selain itu, seluruh elemen yang ada di internal MK terutama para hakimnya harus mampu menjaga marwah dan kemuliaan lembaga ini agar dapat melahirkan putusan-putusan yang mencerminkan keadilan dan menjunjung kebenaran. Sekalipun secara hierarki kelembagaan, MK setara dengan lembaga-lembaga tinggi negara lainnya, tetapi jika dilihat dari tugas dan fungsinya sebagai pengawal konstitusi, maka menjaga marwah dan kewibawaan lembaga ini urgensinya melebihi dari lembaga-lembaga lainnya. Solusi menjaga marwah hakim dan kelembagaan MK agar tidak kehilangan orientasinya menjaga konstitusi antara lain: 1. Secara mendasar memahami bahwa seorang hakim adalah penegak keadilan. Tak hanya adil di mata publik, namun memiliki pertanggungjawaban di hadapan Allah SWT atas apa yang diputuskannya. Allah SWT berfirman dalam QS. An Nisa’: 135, “Wahai orang-orang yang beriman, jadilah kamu orang yang benar-benar penegak keadilan, menjadi saksi karena Allah biarpun terhadap dirimu sendiri atau ibu bapa dan kaum kerabatmu. Jika ia kaya ataupun miskin, maka Allah lebih tahu kemaslahatannya. Maka janganlah kamu mengikuti hawa nafsu karena ingin menyimpang dari kebenaran. Dan jika kamu memutar balikkan (kata-kata) atau enggan menjadi saksi, maka sesungguhnya Allah adalah Maha Mengetahui segala apa yang kamu kerjakan.” 2. Memahami kembali bahwa posisi hakim MK haruslah seorang negarawan (Pasal 24C ayat 5 UUD 1945). Ini sesuatu yang tidak dipersyaratkan untuk jabatan publik lainnya, kecuali hanya untuk hakim MK. Persyaratan ini tentu bukan sesuatu yang berlebihan, mengingat tanggung jawab hakim MK dalam melakukan penafsiran konstitusi yang bukan sekadar secara gramatikal/tekstual, tetapi juga menggali nilai-nilai moral yang terkandung dalam konstitusi itu sendiri. Hal ini hanya bisa dilakukan oleh mereka yang memiliki keahlian, keluasan ilmu, dan kematangan jiwa. Bagi hakim negarawan, jabatan dipandang sebagai amanah dan alat untuk memperjuangkan kepentingan rakyat. Maka ia tidak akan melakukan segala cara apalagi menghalalkan segala cara demi meraih jabatan-jabatan tertentu. 3. Sistem seleksi harus menjadi perhatian serius. Proses seleksi hakim MK merupakan pintu masuk utama untuk menjaring calon-calon yang berkualitas. Apabila di level ini terjadi penyimpangan dan intervensi politik, maka sulit mengharapkan calon hakim MK terpilih adalah seorang negarawan. 4. Standar etik para hakim MK harus menjadi perhatian utama. Hakim konstitusi bukanlah rakyat biasa yang bisa bertemu dengan semua orang. Mereka harus dijaga bersih dari tekanan dan berbagai tawaran curang dalam tugasnya. Dewan Etik MK harus bekerja lebih keras agar para hakim MK tidak bermain mata. Demikianlah beberapa solusi praktis untuk menjaga marwah hakim dan kelembagaan MK agar tidak kehilangan orientasinya menjaga konstitusi. Namun sebaik-baik mekanisme yang dibuat, jika demokrasi adalah sistem pemerintahan yang menaungi, maka menjadi peluang bagi siapa pun yang berkuasa, termasuk hakim MK, untuk bertindak SSK (suka-suka kami). Sebagai aturan yang bersumber dari manusia yang penuh kelemahan, demokrasi memiliki cacat bawaan. Tak berdasar prinsip halal-haram, tapi mengadopsi paham kebebasan, manfaat, dan keuntungan materiil. Bila menghendaki terwujudnya sistem hukum berikut lembaga peradilan dan hakim yang berpihak pada kemaslahatan rakyat, hal itu akan terwujud nyata dalam sistem Islam yang menerapkan aturan Allah SWT secara kaffah. Individu yang terbina iman takwanya, masyarakat yang gemar beramar makruf nahi mungkar, serta keberadaan negara yang menerapkan hukum Islam, inilah pilar-pilar yang membawa manusia pada cita-cita kesejahteraan dan kebahagiaan, dunia dan akhirat. IV. PENUTUP Berdasarkan pembahasan di atas, penulis mengajukan beberapa kesimpulan sebagai berikut: 1. Pegiat demokrasi dan HAM di negeri ini menggaungkan narasi bubarkan MK karena kecewa atas puluhan putusan MK yang menolak gugatan judicial review Pasal 222 UU Pemilu terkait presidential threshold 20%. Pun rakyat masih ingat atas sikap MK yang menolak permohonan JR Perppu Ormas, disusul kekecewaan terhadap putusan MK tentang UU Cipta Kerja inkonstitusional bersyarat. Kita prihatin MK terkesan kehilangan marwah, karena para hakim MK bertindak seperti hakim biasa yang takut melakukan terobosan hukum dan terkungkung bunyi-bunyi mantra peraturan yang jika diterapkan tidak menghadirkan keadilan. Bila hakim (MK) tak memiliki karakter braveness (berani) dan vigilante (jiwa pejuang), maka impossible melakukan terobosan. Ia cenderung mengutamakan zona nyaman dan menjalankan hukum sebagaimana bunyi teks UU. Tidak berani membaca konstitusi dengan menggunakan moral, hingga di tangan hakim seperti ini, hukum justru tunduk di bawah kekuasaan. 2. Dampak putusan MK yang menyimpang dari tugas penjaga konstitusi terhadap marwah hakim dan kelembagaan MK antara lain: marwah (kehormatan) lembaga dan hakim MK runtuh di mata publik, trust (kepercayaan) publik terhadap lembaga dan hakim MK kian ‘ndlosor’, serta seruan pembubaran MK oleh rakyat. Tentu kita prihatin, lembaga peradilan seistimewa MK saja tak mampu independen dalam menjalankan fungsinya. Justru menjadi penjaga tirani kekuasaan dan seolah memfasilitasi terjadinya kejahatan politik melalui hukum yang berlaku di negeri ini. 3. Solusi menjaga marwah hakim dan kelembagaan MK agar tidak kehilangan orientasi menjaga konstitusi yaitu: secara mendasar memahami bahwa seorang hakim adalah penegak keadilan, memahami kembali bahwa posisi hakim MK haruslah seorang negarawan (Pasal 24C ayat 5 UUD 1945), sistem seleksi harus menjadi perhatian serius, serta standar etik para hakim MK harus menjadi perhatian utama. Namun sebaik-baik mekanisme yang dibuat, jika demokrasi adalah sistem pemerintahan yang menaungi, maka menjadi peluang bagi siapa pun yang berkuasa, termasuk hakim MK, untuk bertindak SSK (suka-suka kami). Sebagai aturan yang bersumber dari manusia yang penuh kelemahan, demokrasi memiliki cacat bawaan. Bila menghendaki terwujudnya sistem hukum berikut lembaga peradilan dan hakim yang berpihak pada kemaslahatan rakyat, hal itu akan terwujud nyata dalam sistem Islam yang menerapkan aturan Allah SWT secara kaffah. (*)

Jakowi Panik!

Tiba waktunya rezim Jokowi mulai khawatir dan panik rakyat Indonesia akan mengimpor pola perubahan di Sri Lanka untuk diterapkan di Indonesia. Oleh: Sutoyo Abadi, Koordinator Kajian Politik Merah Putih RAPBN Tahun Anggaran 2022, alokasi belanja subsidi direncanakan sebesar Rp 206.96 triliun, terdiri atas subsidi energi sebesar Rp 134,03 triliun dan subsidi nonenergi sebesar Rp 72,94 triliun. Jumlah alokasi tersebut lebih rendah 16,7 persen apabila dibandingkan dengan outlook APBN Tahun 2021 sebesar Rp 248,56 triliun. Harga minyak melompat ke angka 120 dolar AS per barel. Nilai tukar rupiah sudah bergerak pada angka Rp. 15.000/dolar Amerika Serikat (AS). Ini bukan  hanya mengubah angka-angka yang ditetapkan dalam APBN, tetapi akan berdampak rakyat yang sudah sulit akan makin terjepit.  Pertahanan membela diri gaya jadul selalu menyampaikan bahwa data per hari ini secara ekonomi justru Indonesia jauh lebih bagus dibanding banyak negara lainnya, adalah cara membela diri yang sudah lapuk dalam kondisi negara berpotensi terjadi krisis ekonomi. Dengan realitas pemerintah tidak mungkin mengurangi belanja rutin, bahkan pasti makin besar. Di sisi lain ugal-ugalan belanja IKN dan infrastruktur berbasis “besar pasak daripada tiang”, diingatkan tetap bandel. Ini jelas akan mempercepat kondisi ekonomi mencari carut marut. Ini sangat berbahaya. Fakta data APBN kita mencatat adanya kenaikan utang Indonesia pada 2022 yang menembus angka Rp 7.000 triliun. Hingga 28 Februari 2022, utang Indonesia tercatat telah mencapai Rp 7.014,58 triliun. Naik signifikan jika dibandingkan dengan utang Indonesia per Januari 2022, yakni Rp 6.919,15 triliun. Kenaikan utang tersebut cukup signifikan dengan penambahan Rp 95,43 triliun per bulan. Bahkan kenaikan utang Indonesia menjadi rekor baru lantaran tembus di atas Rp 7.000 triliun. Tahun 2022 ini Pemerintah harus memenuhi pembayaran bunga utang dalam APBN 2022 sebesar Rp 405,9 triliun dengan total utang pemerintah dan BUMN kalau ditotal jumlahnya mencapai hampir Rp 9.000 triliun. Beban utang itu pasti akan berdampak pada keseimbangan ekonomi makro. Angka kemiskinan berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), rata-rata garis kemiskinan Indonesia pada Maret 2022 sebesar Rp 505.469 per kapita per bulan. Patokan angka tersebut artinya jika pengeluaran per bulan di bawah angka tersebut, masuk kategori miskin. Apa yang bisa dibeli dengan uang Rp 505.469 untuk belanja sebulan. Angka BPS mencatat jumlah penduduk miskin di Indonesia pada Maret 2022 mencapai 26,16 juta orang. Hitungan dalam angka jumlah kemiskinan tentu akan naik dua kali lipat jika standar miskin pendapatanya dibuat Rp 1 juta perbulan. Data BPS menunjukkan, jumlah pengangguran di Indonesia pada Februari 2022 adalah sebesar 8,40 juta penduduk. Inipun masih perlu dikritisi karena realitanya di lapangan bisa jauh lebih besar dari itu. Belum lama terdengar, Bloomberg bernyanyi indah dengan merilis 15 negara yang berpotensi masuk jurang resesi, adalah Indonesia. Banyak masalah yang melanda negeri ini di bawah kepemimpinan Presiden Joko Widodo, akibat mengelola negara asal asalan. Dari soal utang, harga harga kebutuhan hidup meroket, korupsi kian parah, ketidakadilan, resesi ekonomi, hukum yang pincang dan masih banyak lagi. Tiba waktunya rezim Jokowi mulai khawatir dan panik rakyat Indonesia akan mengimpor pola perubahan di Sri Lanka untuk diterapkan di Indonesia.  Ketakutan pemerintah bukan dengan cara-cara rasional kembali akan menipu, dengan cara akan rentalan jasa para ahli ekonomi dan akftivis pergerakan untuk menjelaskan bahwa Indonesia masih dalam kondisi normal, sekalipun kondisi riil sudah babak belur dibidang ekonomi. Untuk mengendalikan agar rakyat tidak marah dan terinspirasi gerakan perlawanan di Sri Lanka. Tapi, meski keadaan makin kacau dalam kondisi sulit seperti ini rezim tetap dikendalikan dipengaruhi dan dikuasai oleh kapitalis banci yang merupakan persekongkolan, antara lain seperti (conspiracy) para taipan, korporatokrasi (penghancur lingkungan alam dan sosial), 9 (sembilan) barongsai, oligarki, gorilla betina merah, dan neo colonialism. Mereka bersekongkol untuk berkuasa secara absolut, bagi kehancuran bangsa dan NKRI. Lebih parah lagi ketika tekanan politik terhadap Presiden Jokowi semakin menguat akibat resesi ekonomi, kenaikan harga komoditas dll, Menko Marves Luhut Binsar Panjaitan atas perintah Presiden malah ngawur memainkan jurus covid, polisi pun tidak mau ketinggalan: memainkan jurus teroris, jurus PKI, Islamophobia, dan jurus Khilafah. (*)  

Komparasi Kondisi Ekonomi Sri Lanka dan Indonesia

Ingat, rupiah sempat anjlok hampir Rp2,810 atau sekitar 20,4 persen hanya dalam satu bulan: 20 Februari 2020 hingga 23 Maret 2020. Ekonomi Indonesia ketika itu diselamatkan ADB dengan pinjaman 3,5 miliar dolar AS. Oleh: Anthony Budiawan, Managing Director PEPS (Political Economy and Policy Studies) BEREDAR di Media Sosial Data Ekonomi Membandingkan Kondisi Sri Lanka dan Indonesia. Data tersebut membandingkan kondisi ekonomi kedua negara yang tidak sama: sebelum krisis versus sesudah krisis, sehingga terlihat sangat kontras. Yang perlu dilihat adalah data dan faktor risiko sebelum krisis, apa yang menyebabkan Sri Lanka krisis, dan apakah Indonesia berpotensi masuk krisis. Krisis seperti Sri Lanka (Pakistan, dan sebelumnya Argentina, Turki: 2018) semuanya masuk kategori Krisis Utang Luar Negeri, atau krisis Neraca Pembayaran, atau krisis Cadangan Devisa. Sehingga rasio utang pemerintah terhadap PDB tidak relevan. Yang jauh lebih relevan antara lain (External) Debt Service Ratio. Inflasi 2019 Sri Lanka: hanya 3,5 persen Indonesia: sekitar 3 persen Debt Service Ratio 2019 Sri Lanka: 31,7 persen Indonesia: 39,4 persen (lebih buruk) Pandemi Covid-19 membawa ekonomi kedua negara ke arah berlawanan, ekonomi Indonesia diselamatkan kenaikan harga komoditas, ekonomi Sri Lanka masuk krisis. Harga komoditas melonjak sejak april 2020, yang menyelamatkan ekonomi Indonesia, menghancurkan ekonomi Sri Lanka. Debt Service Ratio 2020 Sri Lanka: 39,3 persen (memburuk) Indonesia: 36,7 persen (membaik) Akibat kenaikan harga komoditas global, yang disebabkan oleh suku bunga global 0% dan Quantitive Easing: INFLASI 2020 Dan 2021 Sri Lanka: Melonjak Indonesia: relatif stabil (apa benar?) Ekspor 2020 turun. Sri Lanka: ekspor turun tajam dari USD 19,4 miliar menjadi USD 13,0 miliar. Memicu krisis valuta. Ekspor Indonesia 2020 juga turun, tapi ekspor turun lebih tajam, sehingga Neraca Perdagangan Indonesia 2020 mengalami surplus. Kenaikan harga komoditas 2021 semakin tinggi, surplus neraca perdagangan Indonesia semakin membesar, mengurangi tekanan defisit transaksi berjalan, mengurangi tekanan neraca pembayaran (balance of payment) Pertanyaannya, apa yang akan terjadi pada semester II tahun ini dan 2023? Apa yang akan terjadi kalau faktor keberuntungan Indonesia, yaitu lonjakan harga komoditas, berbalik menjadi anjlok, yang mana merupakan hal yang pasti akan terjadi? Suku bunga global akan naik terus untuk memerangi inflasi global. Artinya Global akan memerangi lonjakan harga komoditas: Global berupaya keras untuk menurunkan harga komoditas. Hal ini akan membawa kondisi ekonomi Indonesia kembali ke tahun 2019, dengan debt service ratio cukup besar: risiko krisis neraca pembayaran cukup besar. Kalau harga komoditas turun terus dengan drastis, maka ekonomi Indonesia (awal 2023) dapat mengalami shock: masuk krisis, bukan hal yang tidak mungkin. Ingat, rupiah sempat anjlok hampir Rp2,810 atau sekitar 20,4 persen hanya dalam satu bulan: 20 Februari 2020 hingga 23 Maret 2020. Ekonomi Indonesia ketika itu diselamatkan ADB dengan pinjaman 3,5 miliar dolar AS. Sedangkan bantuan kepada Sri Lanka ditunda-tunda terus. Sepertinya komunitas global memang sengaja mau menurunkan Presiden Rajapaksa. Bagaimana Indonesia? Jakarta, 16 Juli 2020. (*)  

“Presidential Threshold” 20 Persen Melanggar Kedaulatan Rakyat

Oleh sebab itu partai politik juga ingin menghabisi politik identitas. Padahal adanya Pancasila dan Bhineka Tunggal Ika itu karena bangsa ini berdiri di atas identitas bermacam-macam suku, agama, dan adat istiadat. Oleh: Prihandoyo Kuswanto, Pusat Studi Kajian Rumah Pancasila DEMOKRASI yang sedang dijalankan di negeri ini adalah demokrasi liberal, juga bukan demokrasi yang benar. Sebab demokrasi dioplos dengan amplop, sembako, intimidasi, serangan fajar, kaos, dan secara masif blantik-blantik demokrasi liberal terus melakukan rekayasa mulai dari mendatangkan konsultan politik diramu dengan jajak pendapat. Dan yang lebih canggih menggunakan media darling, dan kecurangan bagian dari strategi merampok kedaulatan rakyat dengan buzer yang siap mengadu domba, fitnah, segala kebencian pecah-belah terhadap rakyat, racun ini terus ditebar buzer terhadap rakyat. Di rana aturan agar hanya mereka yang bisa mencalonkan sebagai calon Presiden maka dibuat aturan ambang batas. Padahal, dalam perundangan tidak ada yang mengatur tentang ambang batas pencalonan presiden atau presidential threshold 20 persen. “Undang-Undang Dasar pasal 6 A ayat 2 hanya mengatakan presiden diajukan oleh partai politik atau gabungan partai politik,” demikian isinya. Sudah sangat jelas tidak perlu tafsir lagi, sebab pasal itu sudah sangat jelas tidak ada perintah ambang batas 20 %. Kalau ada ambang batas 20 % akan bunyi di pasal ini. Pokok Pikiran III di dalam pembukaan UUD 1945 menyatakan, bahwa negara berkedaulatan rakyat, berdasar atas kerakyatan dan permusyawaratan perwakilan. Oleh karena itu, sistem negara yang terbentuk dalam Undang-Undang Dasar harus berdasarkan kedaulatan dan berdasar pemusyawarakatan perwakilam. Di sini secara jelas tampak bahwa pokok pikiran ini identik dengan Sila ke-4 dari Pancasila. Pasal 28 C ayat 2: “Setiap orang berhak untuk memajukan dirinya dalam memperjuangkan haknya secara kolektif untuk membangun masyarakat, bangsa dan negaranya.” Pasal 28 ayat d: “Setiap warga negara berhak memperoleh kesempatan yang sama dalam pemerintahan.” Jika kita mengkaji pasal 28 UUD 1945 tentang hak asasi, maka hak untuk memperoleh kesempatan yang sama dalam pemerintahan juga tidak boleh dibatasi dengan barier yang berupa ambang batas 20%. Sejak UUD 1945 diganti dengan UUD 2002 dalam pengkaderan kepemimpinan nasional telah dimonopoli oleh partai politik. Tidak ada lagi pemimpin dari golongan-golongan. Jadi, semua rakyat Indonesia dalam memilih pemimpin semua hanya milik partai politik. Padahal proses kepemimpinan itu juga ada golongangolongan masyarakat. Golongan fungsional misal Dokter dengan IDI, Insinyur dengan PII, atau dalam keagamaan Muhammadyah, Nahdatul Ulama, adalah tempat pembentukan calon-calon pemimpin dan negarawan, bukan hanya partai politik. Jadi, kesalahan Amandemen UUD 1945 adalah menjadikan negara ini hanya milik satu golongan yaitu golongan partai politik. Sejak digantinya UUD 1945 dengan UUD 2002 kedaulatan rakyat itu sejatinya telah dirampok dan diganti oleh partai politik. Calon Presiden dan calon wakil rakyat tergantung Ketua Partai politik, ketua partailah yang menentukan calon presiden bukan rakyat. Rakyat hanya memilih yang telah dipilih oleh ketua partai. Ambang batas yang ada dalam UU pemilu jelas bertentangan dengan UUD 1945, dan memasung rakyat untuk menentukan calon pilihannya. Rakyat hanya bisa memilih pilihan ketua partai politik. Oleh sebab itu partai politik juga ingin menghabisi politik identitas. Padahal adanya Pancasila dan Bhineka Tunggal Ika itu karena bangsa ini berdiri di atas identitas bermacam-macam suku, agama, dan adat istiadat. Sekarang kok menafikan Pancasila dan Bhineka Tunggal Ika dan menjadikan negara hanya satu golongan-golongan kepartaian. Jadi, UUD 2002 ternyata bukan hanya menambah dan mengurangi pasal tetapi aliran pemikiran ke-Indonesia-an, Pancasila dan UUD 1945, Bhineka Tunggal Ika telah diganti. (*)

DPR dan KPU Memang Dungu

India setiap TPS hanya dilayani oleh 3 orang saja, sementara TPS Indonesia dilayani oleh 7 petugas. Dengan beban lebih 3 kali lipat, petugas TPS India tidak kelelahan. Oleh: Sutoyo Abadi, Koordinator Kajian Politik Merah Putih MEMANG itu adalah tugas DPR dan KPU, DPR telah menyetujui Rp 76 triliun anggaran Pemilu 2024 yang diajukan KPU. Anggaran itu sangat besar. Ahmad Doli Kurnia, Ketua Komisi II DPR, mengatakan DPR menerima usulan KPU berdasar dua alasan. Pertama, KPU membayar petugas KPU 300% lebih banyak daripada 2019, yaitu Rp 1,5 juta/petugas. Kedua, KPU bermaksud membangun sekertariat dan gudang. Kerja asal ketok anggaran, itu dungu. Apa tidak dibahas minimal petugas sama atau dikurangi. TPS India hanya dilayani oleh 3 orang saja, sementara TPS Indonesia dilayani 7 petugas. Dengan beban lebih 3 kali lipat, petugas TPS India tidak kelelahan. India telah mengadopsi teknologi Electric Voting Machine. Teknologi ini terus diperbaiki, sekarang memiliki teknik self-verification yang menjamin adanya kepercayaan publik 99,99%. Jadi, teknologi ini sangat membantu KPU India memperoleh hasil penghitungan suara yang cepat, terpercaya, efisien dan menghemat penggunaan kertas jutaan kubik. Indonesia dengan populasi sekitar 273 juta jiwa, setelah AS (338 juta jiwa) 59 kali pemilu, India (1,447 juta jiwa) 17 kali pemilu. Indonesia telah menyelenggarakan pemilu 11 kali sejak 1955, mestinya sudah menggunakan dengan mengadopsi teknologi Electric Voting Machine, bukan bersikukuh dengan cara manual yang terbukti telah menimbulkan keruwetan dan manipulasi suara. Harga sebuah mesin EVM di India sekitar 660 dolar/unit. Sehingga hanya membutuhkan 6,8 triliun untuk melengkapi 700 ribu TPS Indonesia dengan sebuah EVM. Anggaran fantastis itu muncul akibat dari peristiwa bahwa pada pemilu 2019 terdapat kematian 854 petugas KPPS dan 5.175 petugas lainnya jatuh sakit. Sejak kapan ada kepastian mereka mati dan sakit akibat kelelahan. Sampai sekarang ini peristiwanya ditutup rapat tanpa ada proses lebih lanjut sebab- sebab kematian dan sakitnya. Fenomena ini sampai kapanpun akan menyisakan rasa pilu luar biasa di masyarakat. Karena kematian yang begitu besar kepolisian tidak pernah menyelidiki sebab-musababnya. Alasan KPU menjelaskan bahwa petugas KPPS mengalami kelelahan luar biasa menyebabkan kematian. Penjelasan KPU itu dungu, sekadar teori dan ngarang sendiri, karena KPU tidak pernah menyampaikan bukti. Polisi melarang otopsi jenazah, bahkan polisi menangkap sejumlah dokter yang mengungkap misteri itu. Kelelahan petugas sama sekali tidak rasional dengan melipat gandakan nilai anggaran. Anggaran yang disetujui DPR itu sama dengan 140% dari 4 kali biaya pemilu sebelumnya bila dijumlahkan. Biaya pemilu adalah Rp 4,5 triliun (2004), Rp 8,6 triliun (2009), Rp 15,6 triliun (2014) dan Rp 25,59 triliun (2019). Perkiraan jumlah pemilih 200 juta pada tahun 2024 pemilu Indonesia akan menelan 25,8 dolar AS per pemilih. India dengan pemilih sebanyak 912 juta jiwa, biaya pemilu per kepala di India adalah 3,3 dolar AS per memilih. Sementara menurut laporan MIT Election Data, biaya pemilu di Amerika Serikat adalah 8,1 dolar per pemilih, dengan ongkos biaya yang lebih mahal. Angka di atas menjadi petunjuk kedunguan dan matinya rasa untuk KPU dan DPR. Mestinya berpikir petugas dikurangin berbasis teknologi dan ongkos petugas naik dan akurasi data pemilu sampai pada angka 99.09 dijamin otentik riil murni suara rakyat. India setiap TPS hanya dilayani oleh 3 orang saja, sementara TPS Indonesia dilayani oleh 7 petugas. Dengan beban lebih 3 kali lipat, petugas TPS India tidak kelelahan. KPU Indonesia sampai sekarang masih menggunakan prosedur penghitungan suara manual seperti dilakukan 67 tahun yang lalu. KPU hanya menggunakan teknologi scanner dan facsimile untuk mengirimkan dokumen C1 ke server Sistem Informasi Penghitungan Suara KPU. Namun sejak 2004 situng KPU selalu bermasalah. KPU seharusnya menempatkan diri sebagai “arsitek pemilu” bukan “tukang pemilu”, DPR bukan asal ketok anggaran. KPU dan DPR sama-sama dungunya dengan mematikan rasa dan akal sehatnya, hanya menjadi beban pemilu dan pilpres. (*)

Tugas Negara

Itulah prinsip Syuro dalam sistem tata negara kita yang asli. Atau dapat kita sebut sebagai D.N.A. asli bangsa Indonesia. Konsepsi inilah yang tertuang di dalam naskah Undang-Undang Dasar 1945 naskah asli. Oleh: AA LaNyalla Mahmud Mattalitti, Ketua Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia MENGAPA saya jawab dengan kata; ‘Alhamdulillah’, ketika presenter Kompas TV menanyakan komentar saya atas penolakan Mahkamah Konstitusi (MK) terhadap gugatan DPD RI terhadap Pasal 222 UU Pemilu tentang ambang batas pencalonan presiden? Karena saya bersyukur. Berarti ladang amal ibadah kami di DPD RI untuk terus bekerja memperbaiki kondisi negara ini diberi waktu lebih panjang lagi. Tugas negara ini diperluas. Sekaligus diperberat. Sehingga benar-benar harus fundamental. Bagi saya, beginilah cara Allah SWT memberi hikmah atas ketetapan-Nya. Sehingga harus kita yakini, perjuangan ini akan menjadi ladang jariyah bagi kita semua. Sehingga saat itu saya katakan, penolakan MK adalah kemenangan sementara Oligarki. Tetapi bukan kemenangan abadi. Karena kemenangan abadi akan diraih oleh rakyat Indonesia, sebagai pemilik negara ini. Pemerintah silih berganti. Pejabat negara juga silih berganti. Semua akan meninggalkan dunia ini. Hakim MK juga akan mati. Oligarki – sekaya apapun – juga akan mati. Tetapi rakyat dan negara ini harus tetap ada. Karena tunas-tunas generasi bangsa masih dilahirkan di bumi pertiwi ini. Masa depan merekalah yang harus kita perjuangkan hari ini. Karena itu saya katakan juga melalui siaran pers saya dari Makkah bahwa saya akan memimpin gerakan untuk mengembalikan kedaulatan rakyat. Mengembalikan kekuasaan di tangan rakyat. Mengembalikan nilai-nilai Pancasila yang menjamin kedaulatan ada di tangan rakyat. Saya harus konsisten dengan pilihan perjuangan yang harus saya lakukan dalam kapasitas sebagai pejabat negara, melalui kelembagaan DPD RI. Di mana saya dipilih melalui Pemilu, dan diberi amanat oleh anggota DPD RI untuk memimpin. Saya juga harus konsisten dengan nilai-nilai Pancasila yang telah final dan seharusnya menjadi grondslag bangsa ini. Sehingga menjadi tujuan hakiki dari gerakan mengembalikan kedaulatan rakyat ini. Saya harus membangun kesadaran bersama, bahwa kedaulatan rakyat adalah jalan keluar satu-satunya untuk mewujudkan cita-cita hakiki negara ini, yaitu: Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia. Maka saya katakan, siapapun yang menolak mewujudkan kedaulatan rakyat sesuai nilai-nilai Pancasila, maka dia adalah pengkhianat bangsa. Dialah yang menginginkan ratusan juta rakyat Indonesia tetap terbelenggu dalam jurang kemiskinan dan ketidakadilan. Sejatinya, para pendiri bangsa ini telah merancang konsepsi utuh Kedaulatan Rakyat yang paling sesuai dengan watak dasar bangsa yang super majemuk ini. Kedaulatan Rakyat untuk mengatur pemerintahan negara yang berada pada rakyat. Artinya, rakyat berdaulat dan berkuasa untuk menentukan cara bagaimana mereka (rakyat) harus diperintah oleh pemerintah yang mereka bentuk. Keputusan rakyat tersebut harus diambil dalam forum permusyawaratan yang ditetapkan dengan cara mufakat perundingan. Bukan menang-menangan dan banyak-banyakan angka. Karena pikiran dan pendapat itu harus ditimbang. Bukan dihitung. Sehingga, bangsa ini membutuhkan Lembaga Tertinggi, sebagai perwujudan Kedaulatan Rakyat. Di mana Lembaga tersebut adalah wadah yang utuh. Yang menampung semua elemen bangsa. Tidak boleh ada yang ditinggalkan. Mereka semua harus equal. Harus mendapat hak yang sama untuk ikut menentukan arah perjalanan bangsa ini. Sehingga Demokrasi yang kita perjuangkan menjadi Demokrasi yang memberi manfaat kepada seluruh rakyat. Karena hakikatnya Demokrasi adalah alat bagi rakyat untuk menentukan masa depannya. Termasuk memaksa negara untuk mengelola kekayaan negara untuk sepenuhnya kemakmuran rakyat. Jadi, ini adalah Demokrasi yang melahirkan Pemerintahan yang diperintah oleh rakyat. Karena pemerintahan itu dibangun atas kehendak rakyat. Inilah yang disebut Demokrasi dari Rakyat, Oleh Rakyat dan Untuk Rakyat. Karena pada hakikatnya Kedaulatan itu adalah Superanus, yang berarti “yang tertinggi” (supreme). Dan untuk bisa menjadi perwakilan di Lembaga Tertinggi haruslah para hikmat dan para bijaksana. Konsepsi paripurna dari Demokrasi Pancasila inilah yang belum pernah kita laksanakan secara murni. Bahkan kita tinggalkan total sejak Amandemen Konstitusi tahun 1999-2002 silam. Inilah yang membuat perjalanan bangsa ini semakin menjauh dari cita-citanya. Dan rakyat, sebagai pemilik negara ini semakin menderita. Karena seperti diungkap sejumlah ekonom, masih ada ratusan juta rakyat yang berpenghasilan 1 juta rupiah per bulan. Padahal negeri ini seharusnya gemah ripah loh jinawi. Kedaulatan Rakyat harus berada dalam wadah yang utuh. Yang menampung semua elemen bangsa yang super majemuk ini. Di dalam wadah tersebut, terdapat partai politik. Terdapat wakil-wakil dari daerah. Dari Sabang sampai Merauke. Dari Nias sampai Rote. Terdapat wakil-wakil dari golongan-golongan di negara ini. Badan-badan kolektif, koperasi, petani, nelayan, veteran, raja dan sultan Nusantara, ulama dan rohaniawan, cendekiawan, guru, seniman dan budayawan, maha putra bangsa, penyandang cacat dan seterusnya.  Terdapat juga wakil-wakil dari TNI dan Polri sebagai alat pertahanan negara dan pelindung masyarakat. Partai Politik pun harus kembali kepada spirit terbentuknya partai politik yang mengacu kepada Maklumat Wakil Presiden Muhammad Hatta, 3 November 1945 tentang Pendirian Partai Politik. Di mana di dalamnya jelas memberi Restriksi agar partai politik juga memiliki tanggung jawab mewujudkan cita-cita negara ini. Sehingga sudah seharusnya anggota DPR RI diisi oleh kader dan aktivis partai terbaik, yang sangat memahami platform perjuangan lahirnya bangsa ini. Bukan diisi oleh siapa saja yang mampu mendulang suara terbanyak dalam pemilu legislatif. Demikian pula dengan wakil-wakil dari golongan. Mereka adalah tokoh-tokoh terbaik yang diberi mandat oleh organisasinya atau atas pilihan di antara mereka. Sehingga bukan ditunjuk dari atas. Tetapi benar-benar aspirasi dari bawah. Sedangkan wakil-wakil dari daerah adalah tokoh-tokoh putra daerah yang terpilih. Sehingga prinsip bahwa semua elemen bangsa terwakili mutlak menjadi ciri Demokrasi Pancasila. Untuk kemudian mereka yang disebut dengan Para Hikmat tersebut bermusyawarah mufakat untuk menentukan arah perjalanan bangsa ini. Sekaligus memilih Presiden dan Wakil Presiden untuk diberi mandat dalam menjalankan roda pemerintahan. Sehingga Presiden dan Wakil Presiden adalah mandataris rakyat. Alias petugas rakyat, yang secara berkala melaporkan kinerjanya kepada pemberi mandat. Itulah prinsip Syuro dalam sistem tata negara kita yang asli. Atau dapat kita sebut sebagai D.N.A. asli bangsa Indonesia. Konsepsi inilah yang tertuang di dalam naskah Undang-Undang Dasar 1945 naskah asli. Saya tidak mengatakan UUD 1945 naskah asli sempurna. Mutlak harus dilakukan perbaikan, agar kita tidak mengulang apa yang terjadi di masa lalu. Tetapi penyempurnaan itu harus dilakukan melalui cara yang benar. Bukan ugal-ugalan dan mengganti total Konstitusi, seperti yang kita lakukan di tahun 1999-2002 silam.  Makkah, Jum\'at 15 Juli 2022. (*)  

Memaknai Gerakan Anti Islamopobia Menjadi Gerakan Kebangsaan Indonesia

Oleh ; Anton Permana - (Direktur Tanhana Dharma Manggruva Institute Hadir hari ini bersama para Ulama, tokoh nasional, aktifis dan emak/emak di aula Buya Hamka Masjid Al-Azhar sungguh memberi makna dan arti yang esensial holistik bagi saya yang notabone baru keluar penjara dan di vonis 10 bulan. Kenapa esensial? Karena in put pertemuan hari ini dalam mendeklarasikan Gerakan Nasional Anti Islam Phobia, menandakan sebuah kesadaran kolektif bersama dari ummat Islam di Indonesia khususnya mulai muncul dan tumbuh mekar mewangi. Sebuah kesadaran kolektif, yang secara holistik merupakan out put dari sebuah ghiroh (semangat) dan cinta terhadap agama yang mayoritas serta berperan besar atas berdirinya sebuah bangsa bernama Indonesia. Peran ummat Islam yang terbesar bagi bangsa ini adalah sebuah fakta sejarah yang tak akan bisa di pungkiri. Sebuah kesadaran kolektif, bahwa ada masalah bahkan musibah besar yang sedang menimpa ummat Islam saat ini. Bagaimana sebuah komunitas besar spritual keagamaan yang secara quantity dan quality sejatinya adalah sebuah kekuatan besar dunia, namun saat ini bagaikan tak berdaya di perlakukan semena/mena oleh banyak kelompok. Bahkan dari kalangan ummat Islam itu sendiri.  Sebuah komunitas spritual keagamaan yang ikut juga berkonstribusi membangun peradaban agung dunia ini setidaknya selama 1333 tahun lamanya, dalam enam masa ke Khalifahan yang dalam catatan sejarah menjadi salah satu dari tiga kekuatan imperium terbesar yang pernah ada di muka bumi. Yaitu imperium Islam, Romawi (barat) dan imperium mongolia (timur). Namun mirisnya, pasca perang dunia ke dua sejak runtuhnya ke khalifahan Utsmani Ottoman 1924 (Turkey), peran dan kewibawaan ummat Islam mulai kalah oleh kolonialisasi dan terpecah belah dalam sekat negara-negara bangsa. Out putnya seperti yang kita rasakan hari ini. Ummat Islam banyak tapi bagaikan buih di lautan. Punya sumber kekayaan alam yang melimpah, tapi justru miskin di peras oleh kekuasaan elit global. Adapun kaya raya tapi juga menjadi budak dunia. Punya Al-Quran dan Hadist sebagai pedoman kehidupan, tapi kalah di singkirkan oleh pemikiran/pemikiran liberalisme-sekulerisme-atheisme-zionisme atas nama moderenisme kemajuan zaman. Di banyak tempat, negara Islam yang lemah di invansi dan di perangi. Siapa saja pemimpin Islam yang tidak ikut keinginan elit global, maka akan di jatuhkan dengan berbagai cara. Arab spring, Libya, Mesir, Sudan, adalah contoh konkritnya. Ketika Islam kuat dan mayoritas, maka akan di tuduh diktator, ketika Islam minoritas maka akan di injak dan di tuduh radikal.  Tidak sampai di situ. Atas nama modernisme, atas nama HAM, atas nama kekuasaan dan konstitusi hukum, ajaran Islam justru sering di nistakan dan di buang sejauh/jauhnya. Ibarat sampah menakutkan dengan berbagai alibi dan rekayasa berita. Makanya, Gerakan Nasional Anti Islamphobia hasil dari turunan resolusi PBB 15 maret tahun 2022 yang lalu adalah sangat tepat dan jitu. Karena ; Pertama, secara falsafah negara kita Pancasila. Upaya dan prilaku Islamphobia (menciptakan rasa kerakutan berlebihan terhadap ajaran Islam) sangat bertentangan dengan nilai-nilai Pancasila itu sendiri. Seperti, sila pertama Ke Tuhanan Yang Maha Esa, dimana nilai tauhid adalah sandaran utama dalam konsepsi bernegara kita. Karena ini juga jelas tercantum dalam UUD 1945 pasal 29 (ayat) 1 yang berbunyi, “Negara Indonesia berdasarkan atas Ke Tuhanan Yang Maha Esa”. Jadi sangat tidak mungkin ada satu agamapun di muka bumi ini tujuannya adalah untuk kejahatan dan menakutkan. Agama lahir dan di turunkan Tuhan sebagai pedoman hidup manusia agar lebih baik. Artinya, menciptakan rekayasa, menstigmanisasi wajah Islam menjadi seolah ancaman dan menakutkan adalah salah dan bertentangan dengan sila pertama Pancasila. Selanjutnya sila ke dua Kemanusian Yang Adil dan Beradab. Artinya, ber-agama adalah hak azazi kemanusiaan setiap manusia yang harus di junjung tinggi kehormatan dan martabatnya. Islamphobia hampir sama dengan upaya melecehkan dan menistakan agama sudah pasti juga sama melecehkan sila Ke Tuhanan Yang Maha Esa serta Kemanusiaan Yang Adil dan Beradab. Manusia yang benci agama hanya mereka yang berpaham komunis dan atheis.  Selanjutnya, prilaku Islamphobia ini juga pasti akan merusak rasa persatuan Indonesia. Karena Islam adalah agama mayoritas di Indonesia. Membangun rasa ketakutan berlebihan dan tidak proporsional terhadap agama Islam, itu juga tergolong sebuah penistaan terhadap Islam. Dimana otomatis tentu hal ini juga akan melahirkan rasa ketidak adilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia (sila ke lima Pancasila). Dengan demikian, prilaku Islam phobia ini seharusnya kalau bangsa dan pemerintahan ini jernih dan fair, harus menjadi sebuah gerakan bersama kebangsaan. Karena prilaku Islam phobia ini jelas melanggar konstitusi, hukum positif, konstitusi, dan etika moralitas yang hidup di bumi Nusantara.  Apalagi kalau kita berbicara dalam hal penegakan hukum. Seharusnya tidak pernah terjadi prilaku seperti para buzzer yang “dengan sengaja” seolah berjibaku menggoreng sedemikian rupa Islamphobia ini. Mengidentifikasi cadar, celana cingkrang, rajin ibadah, bendera tauhid, dan pesantren yang kuat Islam dengan radikalisme bahkan teroris. Isu khilafah di jadikan isu menakutkan melebihi korupsi dan narkoba. Lalu yang mesti juga kita pahami bersama adalah. Bagaimana melihat permasalahan Islamphobia ini kedalam bentuk dua cara pandang. Pertama yaitu Islamphobia secara Makro dan secara Mikro. Cara pandang Islam phobia secara Mikro itu adalah, bagaimana melihat program Islamphobia ini adalah sebagai instrumen yang tidak berdiri sendiri. Dimana Islamphobia ini adalah bahagian dari sebuah instrumen besar dari sebuah kelompok elit global (invisible hand) yang memusuhi Islam dalam rangka program bagaimana ajaran Islam, symbol Islam, peradaban Islam itu di jauhi, di tinggalkan, bahkan di buang oleh pemeluk Islam itu sendiri karena menakutkan. Islamphobia adalah ujung tombak dari sebuah instrumen “sekulerisasi dan liberalisasi” ummat Islam dari agamanya. Bagaimana Ummat Islam itu, secara identitas KTP adalah Islam, tapi secara pikiran, budaya, cara hidup, jauh dari ajaran Islam. Maka dibuatkah skenario Islamphobia, bagaimana menciptakan stigmanisasi wajah Islam itu sangat menakutkan dan di jauhi ummatnya. Apalagi pemeluk agama lain. Apa tujuannya ? Tidak lain adalah dalam rangka, agar ummat Islam ketika jauh dan meninggalkan agamanya mudah di kuasai dan di taklukan. Karena sudah sunatullah, dimanapun ummat Islam berada maka di bawah tanah, laut dan udaranya Allah SWT memberikan berkah kekayaan yang melimpah. Dan ajaran Islam yang rahmatan lilalamin sangat bertentangan dengan konsep pemikiran para musuh Islam itu. Seperti dalam hal riba, prositusi, narkoba, alkohol, LGBT, semuanya haram dalam Islam. Namun di satu sisi semua itu adalah boleh dan sumber pundi-pundi ekonomi bagi para musuh Islam. Cara pandang kedua adalah, melihat program dan instrumen Islamphobia ini secara makro. Yaitu, melihat dan menjadikan program Islamphobia ini adalah bentuk nyata dari sebuah kebatilan dan kemungkaran yang di lakukan oleh para musuh Islam secara sistematis dan terencana. Dimana hal ini juga sudah sunatullah terjadi sejak zaman para Nabi. Artinya, pertarungan terhadap Islamphobia ini adalah pertarungan nyata antara Haq dan kebatilan. Secara mikro dalam konteks kita bernegara yang di jamin dan di lindungi konstitusi. Secara makro, ini adalah “beranda” awal dari pertarungan hegemoni ideologis (peradaban) seperti yang di tulis Samuel P Huntington dalam bukunya “The Clash of Civilization”. Jadi, untuk menghadapinya tentu juga tidak lain juga dengan cara pendekatan amar ma’ruf dan Nahi munkar. Kalau perlu Jihad Fisabilillah dalam menegak kan kalimatullah. Jangan sampai, sudah jelas Islamphobia ini adalah kemungkaran, namun kita sebagai ummat Islam masih berleha-leha menganggapnya sebagai hal yang biasa dan perbedaan pikiran atau aliran biasa semata. Cuma permasalahannya adalah, bagaimana kalau program Islamphobia ini di topang, di lahirkan, di dukung penuh oleh kekuasaan dan kekuatan elit global yang besar ? Jawabannya juga sederhana. Inilah saatnya ummat Islam instropeksi diri dan mulai memilah serta memetakan mana yang musuh dan mana yang kelompok satu perjuangan. Ummat Islam tak bisa berbasa-basi lagi. Artinya, inilah momentum yang sangat tepat ummat Islam untuk mengkonsolidasikan diri secara berjamaah. Karena kekuatan utama ummat Islam itu ada pada persatuan dan kesatuan ukuwah Islamiyah. Kalau ummat Islam bersatu dalam satu kalimatullah, maka atas izin Allah tak ada satu kekuatan di dunia yang bisa mengalahkannya. Ini sudah terbukti dan menjadi fakta nyata dalam sejarah peradaban ummat Islam. Dan dalam konteks negara Indonesia, GNAI ini harus segera menjadi gerakan dakwah bersama yang masif, terstruktur dan elegan. Tanpa memandang kelompok, mahzab, aliran dan partai politik. Karena saat ini, ummat Islam sudah punya musuh bersama yang sama yaitu “Pelaku Islamphobia”.  Siapapun, apapun, kelompok manapun, yang tidak mau ikut atau justru berada di pihak pelaku Islamphobia maka dialah musuh bersama, musuh negara, musuh bangsa dan musuh agama yang harus di lawan dan di kalahkan. Dan semoga GNAI ini tidak hanya berhenti sampai di sini, tapi terus di gerak kan, menjalar, bagai gelombang tsunami sampai ke daerah-daerah. Agar kedepan tidak ada lagi yang sewenang-wenang melecehkan dan menistakan agama Islam. InsyaAllah. Di tunggu kerja keras dan kerja cerdas para Mujahid Islam dimanapun berada. Allahu Akbaru ! Jakarta, 15 Juli 2022.

Presiden Bakal Tumbang?

Saat yang genting TNI pasti akan menyatu dengan kekuatan rakyat sebagai pemilik kedaulatan negara. Oleh: Sutoyo Abadi, Koordinator Kajian Politik Merah Putih KEJADIAN di Sri Lanka secara langsung atau tidak langsung akan memantik semangat perjuangan rakyat melawan pemerintah di Indonesia. Semua akan terjadi karena kesamaan sebab-akibat yang sama. Sementara ini ada pihak-pihak dari pemerintah sendiri mencoba menyewa para ilmuwan dan politisi untuk menyangkal bahwa kejadian di Sri Lanka tidak akan berpengaruh di Indonesia. Adalah rekayasa sia-sia dan hanya untuk bertahan sementara. Toh, kekuatan membangun kroni kekuasaan di Sri Lanka sangat kuat untuk mempertahankan kekuasaan akhirnya jebol dan porak-poranda. Gambaran sekilas bisa dilihat dan dikaji secara seksama. Semua jabatan penting dalam negara telah mereka kuasai mulai dari nama Mahendra Rajapaksa, Gotabaya Rajapaksa (adiknya), Yoshita Rajapaksa, Namal Rajapaksa (menteri, anak dari Mahendra), Sharsee Indra Rajapaksa (anak Gotabaya). Berikutnya, Chamal Rajapaksa (kakak Mahindra), Basil Rajapaksa, dan sederat kerabat Presiden Sri Lanka itu semua menduduki jabatan menteri. Keluarga Rajapaksa telah menguasai negara kepulauan itu selama 2 (dua) dekade terakhir. Betapa kuatnya pertahanan kabinet untuk menjaga kekuatan dan kekuasaan Gotabaya Rajapaksa agar tetap menguasai kekuasaannya. Sebelum menjabat presiden, Gotabaya telah memegang posisi senior di Kementerian Pertahanan dan dipuji oleh sebagian orang karena caranya menangani perang saudara. Basil (adik Chamal) memegang di Kementerian Keuangan dan Pembangunan Ekonomi. Mahinda Rajapaksa dan Gotabaya itu sama wataknya membuka jalan bagi keluarganya untuk menjarah kekayaan negara demi keuntungan finansial mereka sendiri tidak peduli dengan rakyatnya dalam penderitaan hidupnya. Kesamaan yang terjadi antara Sri Lanka dan Indonesia: Ketika negara mengalami krisis ekonomi, akibat ketidakbecusan memimpin dan mengelola ekonomi negara, korupsi merajalela dan hutang ke negara China yang tidak terkendali itu, resiko politik yang pasti akan meledak. Kesulitan ekonomi telah mendorong banyak kalangan yang tadinya memilih Gotabaya tapi kini membawa spanduk bertuliskan “Gota go home”. Kalimat itu bermakna ganda. “Gota pulanglah” barangkali plesetan dari ungkapan bahasa Inggris “Gota go home” serta Gota yang merujuk nama panggilan sang presiden. Itu juga sudah muncul di Indonesia. Anti klimaks kebencian rakyat kepada pemerintah di Sri Lanka telah merubah bentuknya rakyat menyerbu kediaman resmi PM Sri Lanka setelah kawanan pro-pemerintah pergi ke lokasi unjuk rasa damai di dekat situ dan menyerang para demonstran tersebut. Ini alamiah, semakin keras aparat keamanan melawan kekuatan rakyat akan semakin besar perlawanan rakyat kepada penguasa. Maka tak lama kemudian bentrokan menyebar ke seluruh negeri dan pengunjuk rasa yang marah lantas membakar beberapa properti milik keluarga Rajapaksa, termasuk juga rumah keluarga mereka di Hambantota. Para pengunjuk rasa juga menghancurkan makam orang tua Rajapaksa serta tugu peringatan yang didedikasikan untuk mereka. Sebagai presiden, Gotabaya dituduh menyalahgunakan dana negara untuk membangun tugu peringatan tersebut. Pada hari Jumat (6 Mei 2022), Gotabaya mengumumkan keadaan darurat untuk kedua kalinya dalam sebulan setelah pemogokan massal berbuntut penutupan toko-toko dan bisnis di seluruh negeri. Akhirnya Gotabaya harus melarikan diri. Presiden Joko Widodo kalah jauh dengan bangunan dinasti Rajapaksa, yang baru menempatkan anak dan menantunya sebagai Walikota. Memang, dia cukup cerdik berlindung di balik Oligargi dan mengira akan ada perindungnan jangka panjang, lupa kepentingan oligarki hanya kepentingan ekonomi dan politik menguasai sumber daya alam. Sifatnya rentan, begitu keterjang kekuatan rakyat pasti ambyar dan mereka akan kabur membawa kekayaannya. Kekuasaan Presiden Jokowi pada posisi yang sangat rentan ketika terjadi krisis ekonomi, korupsi di mana-mana dan rakyat telah men-stigma Presiden hanya memperkaya diri bersama kroni kroninya, tidak mungkin akan bisa berlindung dengan kekuatan apapun termasuk berlindung pada TNI. Sekalipun di internal TNI sedang ada gangguan tetapi TNI akan tetap pada posisinya sebagai alat pertahanan negara, berfungsi sebagai; penangkal atas setiap bentuk ancaman militer dan ancaman bersenjata dari luar dan dalam negeri terhadap kedaulatan, keutuhan wilayah, dan keselamatan bangsa. Saat yang genting TNI pasti akan menyatu dengan kekuatan rakyat sebagai pemilik kedaulatan negara. Presiden sudah di ujung tebing, tidak hati-hati dan terus mengabaikan suara rakyat cepat atau lambat akan jatuh dan sangat mungkin akan berakhir tragis sama dengan presiden Sri Lanka. (*)