Memahami Langkah AS Menerbitkan UU Menurunkan Inflasi
Oleh: Dr Arcandra Tahar | Mantan Menteri dan Wakil Menteri ESDM.
SAAT ini banyak negara sedang berjuang untuk menurunkan tingkati inflasinya. Amerika Serikat (AS), salah satu negara dengan inflasi tertinggi di dunia, pada bulan Juli 2022 berada di level 8,5%, baru saja mengesahkan undang-undang (The Inflation Reduction Act)untuk menekan laju inflasi.
Pemerintah AS kelihatannya sangat serius dalam menangani inflasi yang terjadi tahun 2022 ini. Tak dapat dipungkiri bahwa akar dari lonjakan inflasi di dunia berawal dari naiknya harga energi seperti minyak dan gas (migas) dan batubara yang kemudian diikuti oleh naiknya harga komoditi lain.
Karena masalahnya bermula dari sektor energi, maka penyelesaiannya juga akan banyak menyentuh sektor strategis tersebut. Dengan kata lain, jika sektor energi berhasil dibenahi maka inflasi dengan sendiri bisa dikendalikan. Begitulah kira-kira cara berpikir pemerintah AS. Secara makro, inflasi di AS akan dikendalikan dengan cara pembelanjaan pendapatan negara lebih sedikit daripada yang dikumpulkan lewat pajak misalnya. Dalam jangka waktu tertentu jumlah uang yang beredar menjadi lebih sedikit.
Perbaikan di Sektor Energi
Namun secara mikro, pemerintah AS akan melakukan beberapa perbaikan di sektor energi di antaranya:
Pertama, meningkatkan penawaran blok-blok migas baru kepada investor. Harapannya, kegiatan eksplorasi migas akan kembali bergairah dan penemuan cadangan baru akan semakin terbuka. Inisiatif ini akan memberikan sinyal positif kepada pasar bahwa kegiatan migas tetap menjadi fokus pemerintah AS. Sentimen ini tentu akan ditangkap oleh pelaku bisnis migas dan mungkin bisa membantu menurunkan harga minyak dunia. Memang terkesan agak berlebihan. Apa betul dukungan pemerintah AS lewat penawaran blok migas mampu menurunkan harga minyak dunia? Waktu yang akan menjadi saksi atas inisiatif ini. Hemat kami, strategi inibdalam jangka pendek mungkin bisa membantu menurunkan harga ditengah polarisasi antara pengembangan Energi Baru Terbarukan (EBT) dan penggunaan energi fosil.
Kedua, memberikan insentif pajak yang lebih besar dengan harapan mampu menggairahkan investasi di sektor migas dan membuka lapangan pekerjaan. Salah satu insentif pajak yang tertuang dalam UU ini adalah mempercepat depresiasi dari belanja modal (capital expenditure-Capex). Yang sangat fenomenal diantaranya adalah drilling expenses sudah bisa dibiayakan sampai 80% pada tahun pertama. Akibatnya, pendapatan yang kena pajak (taxable income) akan kecil dalam tahun-tahun awal beroperasi. Penghematan dari pajak ini bisa digunakan untuk menambah kegiatan eksplorasi atau menambah sumur produksi. Insentif pajak ini memberikan pelajaran kepada kita bahwa perbaikan sektor energi dalam mengendalikan inflasi di AS tidak bisa dilihat sebagai masalah sektoral.
Sinergi di antara pembuat kebijakan sangat dibutuhkan sehingga punya daya dorong yang lebih masif.
Ketiga, menyelaraskan pengembangkan EBT dengan pengembangan energi fosil. Presiden AS Joe Biden yang berasal dari Partai Demokrat sangat mendorong percepatan pengembangan EBT dan membatasi pengembangan energi fosil. Komitmen pemerintah AS untuk mencapai target net-zero emisi pada tahun 2050 perlu agenda aksi. Namun demikian perusahaan energi AS sebagai pelaku agenda aksi lebih memilh strategi dekarbonisasi, dimana cara ini lebih menekankan kepada pengurangan emisi bukan beralih (diversifikasi) pada bisnis EBT. Dua strategi mainstream (dekarbonisasi versus diversifikasi) dalam masa transisi menuju net-zero emisi perlu dicarikan jalan tengahnya. Disinilah ide cemerlang dari pembuat kebijakan di AS muncul lewat beleid ini. Untuk masa 10 tahun yang akan datang, setiap tanah pemerintah federal yang digunakan untuk pengembangan listrik tenaga surya (PLTS) atau tenaga bayu (PLTB) harus diikuti oleh penawaran blok-blok migas baru. Untuk di darat, tidak akan ada izin penggunaan lahan (right of way) untuk PLTS dan PLTB kecuali sudah ada sekitar 2 juta acres lahan untuk explorasi migas ditawarkan dalam waktu 120 hari sebelum izin untuk PTS dan PLTB dikeluarkan. Semangat untuk pengembangan PLTS dan PLTB di laut juga hampir sama.
Strategi in mengajarkan kepada kita bahwa pengembangan EBT memang harus dilakukan dengan cermat, teliti dan cerdas. EBT dalam masa transisi belum mampu memenuhi kebutuhan energi dunia. Ini merupakan salah satu penyebab terjadi inflasi tinggi di banyak negara. Karena itu jalan kompromi harus ditempuh untuk mengendalikan inflasi lewat kegiatan ekplorasi dan produksi migas.
Keempat, menaikan royalty dari kegiatan migas untuk blok-blok baru. Minimum royalty yang dulunya hanya 12,5% sekarang naik menjadi 16,67%. Kemungkinan besar, kenaikan royalty dipicu oleh windfall profit yang didapat oleh pelaku usaha migas akibat harga crude yang sangat tinggi. Dana (cash) yang terakumulasi di perusahaan minyak sangat besar sekali. Dana ini banyak digunakan untuk membayar deviden ke pemegang saham atau membeli kembali (buyback) sahamnya di pasar modal. Deviden ini ditengarai juga sebagai penyumbang inflasi di AS. Strategi menaikan royalty ini untuk jangka pendek mungkin bisa member dampak yang positif.
Namun untuk jangka panjang dengan fluktuasi harga minyak bisa berakibat pada berkurangnya minat perusahaan migas untuk melakukan bisnis migas.
Sebagai penutup, UU yang diterbitkan oleh pemerintah AS diharapkan bisa menjadi obat mujarab yang mengobati penyakit dalam hal ini inflasi tinggi. Namun, jika kemudian langkah strategis itu hanya mampu mengobati symptom (gejala), tentunya reaksi cepat dari pemerintah AS ntuk menangani inflasi tinggi tetap perlu kita apresiasi. ****