OPINI
Gerakan Islam Antara Takut Celaan dan Trauma Masa Lalu
Oleh Dr. Ir. Masri Sitanggang Intelektual Muslim “MAU AKSI DAMAI TERUS APA MAU JIHAD?” Begitu seorang yang mengaku Abdullah Abdul Aziz memberi judul tulisannya di WAG, yang sampai juga ke hapeku menejelang Reuni 212. Dia tumpahkan “kekecewaannya” atau mungkin “kejengkelannya” itu dengan menulis begini : “Kita aksi damai terus, tapi ngak tau Ahok di mana, ... tapi pelaku penista terhadap agama Islam terus bertambah, …tapi aktivis Islam semakin banyak yg dipenjara, … tapi terjadi penginjakan Kitab Suci Al Qur\'an oleh oknum anggota BRIMOB di Mako Brimob tidak ada yg protes ,... Viktor Laskodat aman-aman saja, …perpu no 2 tahun 2017 disahkan jadi undang-undang, …banyak pengajian dibubarkan, …iklan penjualan Meikarta tidak ada yg bisa bendung, …berton-ton narkoba dari Cina masuk ke Indonesia, …ratusan ribu tenaga kerja ilegal Cina membanjiri ibu pertiwi, dst., …Kita aksi damai terus, tanpa ada arahan perjuangan yg jelas, …tanpa kita sadari negeri ini telah terjajah, ...dst…silahkan buat ribuan aksi lagi kalo itu memang dapat menyelesaikan persoalan negeri ini.” Tulisan itu ditutup dengan : “Salam jihad bil damai.” Senada dengan itu, Sri Bintang Pamungkas (SBP), di bawah judul “BARU JUGA KITA TAHU, BUNG…”, menulis : “Baru juga kita tahu, bahwa para Ulama, khususnya 411 dan 212, sebenarnya hanya suka dengan kebanggaan sewaktu-waktu. Padahal sejatinya mereka tidak berani melawan kezaliman hanya takut dikira intoleran dan radikal. Padahal kemenangan yang mereka dapat itu datangnya dari pertolongan Yang Maha Kuasa.” Dua tulisan itu bisa dinilai sebagai sindirian sinis untuk para alumni 212 yang sudah beberapa kali bereuni; bisa juga sebagai tumpahan kejengkelan dan kekecewaan akan respon umat terhadap situasi tak nyaman yang menerpa negeri dewasa ini; bisa pula sebagai luapan ketidaksabaran akan upaya-upaya perubahan. Tetapi bisa pula sebagai provokasi-motivasi kepada masyarakat untuk segera bertindak melakukan perubahan. Apa pastinya, hanya penulis dan Allah swt sajalah yang tahu. Yang pasti, tulisan itu boleh jadi mewakili banyak orang. Buktinya, banyak yang men-share, termasuk Bapak Sarwan Hamid yang Jendral Purnawirawan itu. SBP ada benarnya juga. Umat Islam –termasuk sebahagian ulamanya, sudah mengidap penyakit takut akan celaan. Mental umat memang sedang mengalami degredasi hebat akibat diserang dengan celaan-celaan seperti fundamentalis, radikal, intoleran, anti kebhinekaan bahkan isu teroris dan anti NKRI. Akibatnya, mereka lebih suka menghindari celaan itu dari pada tegak berdiri memperjuangkan kebenaran : persetan apa kata orang ! Mari kita bayangkan hal berikut. Bayangkan kita sedang memberikan materi diskusi tentang “Islam dan Persoalan Umatnya” pada satu majelis yang dihadiri seratusan jemaah yang peduli terhadap nasib umat. Tiba-tiba datang seorang non muslim dan duduk di antara jemaah, ikut mendengarkan. Bagaimana kemudian, kira-kira, jalannya diskusi itu ? Teruskah berlanjut dengan semangat yang sama seperti sebelum non muslim itu datang, atau berhenti ? Atau, diskusi berlanjut dengan tema yang diperhalus dan diperlunak ? Atau bahkan beralih ke tema lain ? Menurut pengalamanku, bila ada non muslim di majelis yang aku memberi ceramah, selalu saja ada jemaah atau panitia yang langsung membisikkan : “Bang, ada non muslim hadir di sini.” Pesan ini menghajatkan agar aku menyesuaikan isi ceramah dan gaya penyampaianku. Itu kalau yang hadir adalah non muslim biasa. Kalau dia pejabat kecamatan atau yang lebih tinggi, bagaimana jadinya kualitas diskusi itu ? Bayangkan, seratusan umat Islam harus menyesuaikan diri dengan satu orang ! Itulah mental umat Islam. Maka, tidaklah mengherankan bila kemudian 87 % penduduk muslim Indonesia harus menyesuaikan diri dengan yang hanya 13 % itu. Ini semua karena takut dicela sebagai intoleran. Sebagai seorang dai, mestinya kita bersyukur bila ke dalam majelis ada non muslim hadir. Sebab, itu artinya, kita sedang memiliki kesempatan untuk mendakwahkan Islam kepadanya. Kalau pun ia tidak datang, dalam rangka dakwah, mestinya kita yang mendatangi mereka. Itulah tugas dakwah. Tapi lihatlah sekarang. Demi mendapat gelar toleran dan tidak radikal, banyak pejabat Islam yang bukan saja memperlunak dan memperhalus pesan dakwahnya, melainkan juga mengikuti cara-cara non muslim dalam bersikap dan berkomunikasi. Contoh paling sederhana adalah ucapan-ucapan salam berbagai agama yang disampaikan setelah “Assalamau ‘alaikum wa rahmatullahi wa barakatuh” seperti “selamat pagi”, “salam sejahtera buat kita semua” dan seterusnya… Aku tidak yakin orang ini akan bisa merasa nyaman kalau satu ketika nanti ia tidak memberi salam dengan bermacam salam itu. Artinya, dia hanya bilang “Assalau alaikum warahmatullahi wa barakatuh”. Ia telah terbelenggu, mentalnya sudah kalah. Adakah ucapan salam yang lebih baik dari yang diajarkan Rasulullah bagi orang beriman ? Heboh Al-Maidah 51 memang telah membangkitkan semangat umat; dan dalam beberapa hal, telah memberikan hasil positip. Tetapi mungkin diskusi Al-maidah belum berlanjut ke ayat 54, sehingga mental takut celaan belum sembuh. Al-Maidah 54 menjelaskan bahwa generasi yang telah murtad, yang digambarkan pada ayat 51-53 surat itu, akan digantikan dengan suatu generasi baru yang sangat dicintai Allah. Karakter generasi pengganti yang dicintai Allah itu adalah : lemah lembut sesama orang beriman dan tegas terhadap orang kafir, senantiasa berjihad di jalan Allah dan tidak pernah takut kepada celaan orang-orang yang suka mencela. Catat, secara khusus Allah menyebut “tidak takut terhadap celaan orang-orang yang suka mencela”. Tidak takut, ya, tidak takut ! Mengapa begitu perlu Allah menyebut “tidak takut terhadap celaan orang-orang yang suka mencela”? Tentu karena persoalan celaan ini begitu penting. Ia ternyata merupakan satu bentuk serangan dalam satu pertempuran. Musuh-musuh Islam menggunakan bentuk serangan ini. Sasaran serangan bukan fisik, melainkan mental. Tetapi serangan ini sangat efektif melumpuhkan musuh. Bila mental telah kalah, telah lemah, maka pertempuran fisik tinggal finishing saja. Ingat, Kita sedang bertarung ! Syukurlah pertempuran fisik di negeri ini belum terjadi. Allah masih sayang kepada kita dengan lebih awal menurunkan Ahok. Tetapi bagaimana pun juga perlu waktu untuk memperbaiki kembali mental mujahid yang sudah lemah ini. Tentu saja kelemahan mental akibat bombardir celaan radikal, intoleran, teroris dls itu bukanlah satu-satunya faktor mengapa umat Islam belum “melempar jumroh” seperti diharapakan banyak orang, setidaknya oleh Abdullah Abdul Aziz dan SBP. Ummat masih saja terus aksi damai, aksi super damai dan reuni damai. Faktor lain yang tak kalah pentingnya adalah trauma masala lalu. Mohammad Natsir menggambarkan nasib umat Islam sebagai nasib pendorong mobil mogok. Ketika mobil telah berjalan, umat Islam ditinggal di belakang. Syukur kalau sopir masih melambaikan tangan tanda terimakasihnya. Atau, kata KH Jiteng Syarief, tokoh Masyumi di Medan yang menjadi guru ngajiku sejak aku kecil, seperti daun salam atau sereh. Kedua daun ini dicari ke manapun ketika seseorang ingin memasak gulai. Tetapi ketika gulai sudah siap untuk disantap, daun salam dan daun sereh dicampakkan sebagai sampah. Dalam perjalanan bangsa ini, umat Islam merasakan pengalaman itu. Umat Islam berjuang tanpa pamrih untuk Indonesia merdeka dari penjajah non Muslim. Tetapi setelah merdeka, mereka merasa ditinggal. Nilai-nilai yang memberi mereka kekuatan untuk berjuang melawan penjajah, yakni Islam, dipinggirkan. Zaman revolusi, agresi I dan II, memprtahanakan kemerdekaan, umat Islam juga begitu dirindukan perannya. Resolusi jihad dan takbir “ALlahu Akbar” menjadi pendorong menyingkirkan para agressor. Tapi lagi-lagi, nilai-nilai pendorong itu dan orang-orang yang mendorong itu, tertinggal di belakang atau dicampakkan bagai daun salam dan daun sereh. Begitu juga masa penumpasan PKI, ummat Islam ada di depan. Terakhir, di masa reformasi menggeser Orde Baru, peran Ummat Islam tidk kecil. Tetapi lagi-lagi, setelah berhasil, umat Islam justeru bukan saja di tinggal dan dicampakkan melainkan dijadikana target. Mereka dilabeli ektrim kanan, ditempatkan sebagai musuh seperti PKI yang berada di ekstrim kiri. Begitulah trauma masa lalu. Umat Islam terlalu polos dan jujur dalam berbangsa dan bertanah air. Mereka tertinggal atau ditinggal karena kejujuran dan keikhlasaannya. Itulah pengalaman memilukan dari teman sebangsa dan setanah air. Pengalaman yang tentu saja tidak boleh terjadi lagi. Oleh karena itu gerakan Islam haruslah hati-hati, pandai-pandai dalam melangkah. Pandai-pandai mencari teman seperjuangan. Di sini banyak orang tak jujur. Jalan yang tepat bagi gerakan Islam saat ini adalah bersabar mengonsolidasikan diri sembari menunggu keluarnya fatwa para ulama ! Wallahu a’lam bisshawab !
Sudah Bisakah Brigadir J Disebut Korban “Pembunuhan”?
Oleh Asyari Usman, Jurnalis Senior FNN Sejak persitiwa terjadi, tidak ada yang menggunakan kata “pembunuhan” untuk menyebut kematian Brigadir J. Media dan para wartawan sangat hati-hati. Begitu pula netizen di media sosial. Ini bisa dipahami karena orang takut terjerat pasal-pasal pidana jika terminologi “tembak-menembak” atau “baku tembak” yang digunakan Polri dalam keterbunuhan Brigadir J di rumah dinas Ferdy Sambo –Kadiv Propam non-aktif— diubah menjadi “pembunuhan”. Sebab, pembunuhan bisa bermakna bahwa Brigadir J bukan tewas karena baku tembak. Pembunuhan akan, antara lain, mengesankan bahwa Brigadir J tidak bersenjata. Atau, bisa juga ada kesan bahwa Brigadir J bersenjata tetapi dia menghadapi lawan lebih dari satu orang yang semuanya melepaskan tembakan ke arah dirinya. Kepolisian sejak awal ingin menghindarkan sebutan “pembunuhan Brigadir J”. Ini dapat dimengerti. Karena “pembunuhan” berimplikasi bahwa si korban berada dalam posisi “tak berdaya” baik dari sisi posisi, senjata, jumlah lawan, dlsb. Nah, bagaimanakah suasana yang dihadapi Brigadir J ketika “tembak-menembak” atau “baku tembak” itu terjadi? Berdasarkan penjelasan resmi Kepolisian, Brigadir J berada di tengah banyak “musuh”. Isteri Ferdy Sambo, yaitu Putri Candrawathi, adalah “musuh” pertama Brigadir J. Dari dialah keluar teriakan histeris minta tolong yang mengawali “baku tembak”. Setelah itu, Bharada E tampil menjadi “musuh” berikutnya. Dia turun dari lantai atas rumah dinas untuk “menyelamatkan” istri Ferdy yang dikatakan Polisi sempat ditodong dengan senjata (pistol) oleh Brigadir J. Polisi juga mengatakan Brigadir J melakukan pelecehan terhadap Putri. Todongan senjata dan pelecehan itu otomatis menjadikan Ferdy Sambo sebagai “musuh” Brigadir J juga walaupun, seperti kata Polisi, Pak Kadiv tidak berada di rumahnya ketika peristiwa terjadi. Sebagai suami Putri, tentulah wajar –bahkan wajib— bagi Ferdy menunjukkan keberatannya, ketersinggungannya. Selanjutnya, “musuh” berikutnya adalah senjata api (senpi) yang digunakan Bhadara E, yaitu Glock 17 yang berpeluru 17. Seorang pengamat senjata mengatakan pistol jenis ini termasuk senjata tempur untuk membunuh. Artinya, senpi ini sangat ‘powerful’. Saat ini sedang menjadi polemik apakah, dan mengapa, Bharada E boleh menggunakan Glock 17. Padahal, sesuai aturan, pistol ini untuk perwira yang berpangkap AKP ke atas. Ada lagi “musuh” Brigadir J, yaitu lokasi tempat dia tewas. Rumah perwira tinggi, konon pula rumah dinas Kadiv Propam, adalah salah satu kediaman yang paling ketat pengamanannya di kalangan Kepolisian. Di situ banyak polisi yang berjaga. Banyak kamera CCTV yang juga “musuh” Brigadir J. Sedekat apa pun Brigadir J dengan keluarga Ferdy, tetap saja rumah dinas beliau ini menjadi “musuh” bagi si ajudan. Sebab, bagaimanapun juga, Sang Brigadir sedang berada di rumah Jenderal. Brigadir J pastilah punya rasa lebih lemah dibandingkan rasa sangat kuat di pihak Ferdy Sambo. Brigadir J berada di tempat yang asing baginya meskipun para penguninya begitu dekat dengan dia. Jadi, banyak sekali “musuh” Brigadir J. Boleh dikatakan semuanya “musuh”. Dan dia menghadapi situasi itu sendirian. Tidak mungkinlah bisa menang atau selamat. Dari sini, kematian Brigadir J dalam terminologi “baku tembak” atau “tembak-menembak”, tidak lagi memiliki landasan etimologi dan kriminologi yang kuat. Pencermatan psikologi sosial menunjukkan publik menghendaki agar kematian ini disebut sebagai “pembunuhan”. Apakah itu “pembunuhan berencana” seperti dicurigai tim kuasa hukum Brigadir J, atau “bukan pembunuhan berencana”, masih harus dibuktikan oleh tim penyidik. Tulisan ini hanya bertujuan untuk bertanya apakah kematian Brigadir J yang berada di tengah banyak musuh itu, yang berada dalam posisi serbah lemah dari berbagai sudut tinajauan di atas tadi, tidak bisa disebut sebagai “pembunuhan”? Apakah kita, khususnya media massa, masih akan mengikuti narasi Kepolisian yang menyebut Brigadir J tewas dalam tembak-menembak, atau sudahkah saatnya menggunakan kata “pembunuhan”? Ini sangat penting mengingat intuisi publik yang bisa diamati dari komentar-komentar di media sosial dan thread komentar media besar (mainstream). Sekali lagi, masyarakat yakin Brigadir J adalah korban pembunuhan.[]
Babak Baru Horor dan Teror Kasus Polisi Tembak Polisi
Kerja pers mengharukan. Sebagian besar media mengambil risiko besar. Walau sempat dihadang oleh Dewan Pers, otoritas tertinggi dunia pers kita. Tetapi mereka melawan. Pada waktunya, memang hanya konstitusi dan kode etik profesi yang wajib dipedomani oleh wartawan kita. Oleh: Ilham Bintang, Ketua Dewan Kehormatan PWI (Persatuan Wartawan Indonesia) Pusat “SEORANG pembunuh dianggap oleh dunia sebagai sesuatu yang mengerikan, tetapi bagi seorang pembunuh itu sendiri hanyalah manusia biasa. Hanya jika si pembunuh adalah orang baik maka dia bisa dianggap mengerikan.” (Graham Greene, penulis Inggris 1904-1991). Dalam berbagai tulisannya Graham Greene selalu menggambarkan bagaimana pertentangan antara kebaikan dan kejahatan. Dalam bukunya yang terkenal “The Power and The Glory”, ia menunjukkan bahwa kesabaran dan menjalani kesulitan adalah sebuah kebaikan. Karya-karyanya yang lain adalah “The Third Man”, “The Ministry of Fear” dan “This Gun For Hire”. Greene meninggal dunia pada 1991. Horor dan sekaligus teror peristiwa “Polisi Tembak Polisi” ternyata berhasil menyatukan publik. Sudah hampir dua minggu peristiwa itu: orang baik menembak orang baik di rumah orang baik. Orang baik yang saya maksud, adalah para polisi – para pengayom masyarakat, sesuai kedudukannya di dalam negara kita. Yang berperan memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat. Menegakkan hukum, memberikan perlindungan, pengayoman, dan pelayanan kepada masyarakat. Sebagai alat negara, kedudukan dan posisi Polri mendapat tempat terhormat : langsung di bawah Presiden. Buka saja Pasal 7 ayat (2) TAP-MPR RI Nomor VII/MPR/2000. Artinya, seluruh perilaku polisi menjadi tanggung jawab presiden. Wajah polisi adalah wajah presiden. Saya tidak akan menguraikan lagi kronologi peristiwa berdarah itu karena sudah menjadi pengetahuan masyarakat luas. Termasuk dengan update dari sumber resmi maupun dari sumber tidak resmi. Bagaimana bisa mengungkap peristiwa di rumah perwira tinggi kepolisian, Irjen Pol Ferdy Sambo, Kepala Divisi Propam Polri? Ini adalah perkara rumit. Kunci untuk membuka “gembok” yang bisa menjawab berbagai pertanyaan keraguan masyarakat akibat pelbagai keganjilan, berada di dalam penguasaannya, minimal di dalam penguasaan korpsnya. Beruntung Kapolri Jenderal Pol Listyo Sigit Prabowo bertindak tepat – meski terasakan sempat tersendat. Kapolri merespons masyarakat yang menuntut pihak yang berwajib mengusut tuntas horor itu. Yang tidak cukup dengan penanganan juridis formal kelembagaan, sebab muatannya berkaitan erat dengan masalah sosial dan mencedarai budaya bangsa. Lihat saja, praktis sejak peristiwa itu pelbagai spekulasi merebak di media sosial yang bahkan telah menganggap pendekatan juridis belaka omong kosong. Simak liputan mendalam seluruh media pers yang menggambarkan adanya jarak menganga antara pernyataan resmi polisi dengan fakta-fakta yang terurai dan telanjang, yang dengan mudah disimpulkan pun oleh orang awam. Kerja Pers Mengharukan Kerja pers itu mengharukan. Sebagian besar media mengambil risiko besar. Walau sempat dihadang oleh Dewan Pers, otoritas tertinggi dunia pers kita. Tetapi mereka melawan. Pada waktunya, memang hanya konstitusi dan kode etik profesi yang wajib dipedomani oleh wartawan kita. Pihak Dewan Pers pun menyadari kekeliruannya, yang mengimbau wartawan hanya menyiarkan keterangan resmi polisi. Ini jelas pernyataan dungu petinggi Dewan Pers. Tidak disadari justru itulah pemantik blunder dalam penanganan kasus memalukan bangsa ini. Selain imbauan itu sendiri berpotensi melanggar UU Pers 40/1999 dan berpotensi sebagai kejahatan (pidana) karena termasuk ikut menyembunyikan fakta peristiwa. Hanya berselang satu hari setelah imbauan Dewan Pers itu, Ketua Dewan Pers Prof. Azyumardi Azra dan Ketua Dewan Kehormatan PWI Pusat Ilham Bintang segera menyusulkan “joint statement” atau pernyataan bersama, yang berisi pesan sebaliknya. Justru mendorong seluruh wartawan melakukan “investigative reporting” atau liputan investigasi secara mendalam untuk menyingkap peristiwa tewasnya Brigadir Joshua di rumah atasannya. Saya harus mencatat dan memberi apresiasi kepada salah satu media yang menyajikan pertama kali liputan penunjuk titik terang, yaitu Kumparan. Dalam laporannya “Bukan Baku Tembak Biasa” (Senin, 18 Juli 2022), reportase Kumparan sangat kuat mengindikasikan pelaku adalah Irjen Ferdy Sambo sendiri. Kumparan bahkan menyebutkan di TKP (tempat kejadian perkara) ditemukan Cigar Cutter (pemotong cerutu), yang diasosiasikan sebagai alat pemotong jari Joshua, yang diungkapkan keluarganya kepada masyarakat. Presiden Jokowi Pun Terjaga Kapolri langsung membentuk tim khusus untuk mengungkap kasus itu dan menunjuk Wakapolri Komjen Gatot Eddy Pramono sebagai pimpinannya. Langkah selanjutnya, Kapolri menonaktifkan Irjen Ferdy Sambo, Senin( 18/7) petang. Berlanjut Rabu (20/7) malam, menonaktifkan Karo Paminal Divisi Propam Polri Brigjen Pol Hendra Kurniawan dan Kapolres Metro Jakarta Selatan (Jaksel) Kombes Pol Budhi Herdi Susianto. Kabar menggembirakan berikutnya ialah pengumuman penemuan rekaman CCTV saat kejadian penembakan Brigadir Joshua di rumah dinas mantan Kadiv Propam Polri Irjen Pol Ferdy Sambo. Ibarat black box pesawat, CCTV akan menyingkap banyak fakta. Penemuan tersebut bersamaan dengan keputusan untuk melakukan otopsi ulang terhadap jenazah Joshua. Kepala Divisi Humas Mabes Polri Irjen Pol Dedi Prasetyo menegaskan, dengan penemuan itu (CCTV), maka tim khusus dapat melakukan penyelidikan secara mendalam untuk mengungkap konstruksi kasus secara jelas. “Kita sudah menemukan CCTV yang bisa mengungkap secara jelas tentang konstruksi kasus ini. Dan CCTV ini sedang didalami oleh timsus yang nanti akan dibuka apabila seluruh rangkaian proses penyidikan oleh timsus sudah selesai,” ujar Dedi, Rabu (20/7) malam. Apresiasi tinggi patut pula disampaikan kepada seluruh keluarga almarhum dan kuasa hukumnya Kamaruddin Simanjuntak yang telah bekerja profesional dan menakjubkan. Pandangan hukum Kamaruddin seakan menghidupkan kembali pandangan penulis yang juga aktor Graham Greene yang mengatakan “... jika si pembunuh adalah orang baik maka itu mengerikan”. Ungkapan kengerian itulah yang membuatnya mendapatkan dukungan publik yang luas, dan akhirnya Kapolri pun menyetujui hampir semua “arahannya” itu atas kesamaan harapan bahwa polisi itu harus tetap baik dan dipandang sebagai “orang baik”. Meskipun masih akan melalui proses panjang dan melelahkan untuk memenuhi kaidah “scientific crime investigation” namun kasus “Polisi Tembak Polisi” relatif sudah “rampung”. Kuncinya, karena orang-orang baik itu “mengakui” kasus “Polisi Tembak Polisi” adalah kejahatan besar yang menjungkirbalikkan nilai-nilai sosial dan budaya bangsa. Selamat untuk kita semua yang untuk sementara terlepas oleh horor dan teror angkara murka. (*)
Pertaruhan Bagi Pak Kapolri
Oleh M. Rizal Fadillah Pemerhati Politik dan Kebangsaan Titik titik itu mulai merusak, tetes demi tetes nila merusak susu sebelanga. Penon-aktifan Kadiv Propam Irjen Pol Fredy Sambo, Karo Paminal Propam Brigjen Hendra Kurniawan, dan Kapolres Jakarta Selatan Kombes Budhi Herdi Susianto adalah titik-titik terang menuju pembuktian penyebab rusaknya susu sebelanga itu. Institusi Polri sedang menghadapi keruwetan akibat ulah anggota yang mengejutkan. Suara bising terus mendengung mengganggu agenda awal. Ada cerita tentang ambruknya skenario. Misteri 3 hari Jum\'at hingga Senin menyimpan banyak peristiwa. Sedikit demi sedikit terkuak akan keterlibatan banyak personal dan banyak jabatan. Baru tiga pejabat Polri yang dinon-aktifkan. Tuntutan pun masih terus berlanjut. Markas Besar mengalami guncangan akibat peristiwa Duren Tiga kelabu dengan tiga hari yang mengharu biru. Pemeriksaan dikualifikasi berjalan lambat. Untuk pembunuhan yang disana hanya ada 3 orang di samping korban yaitu Bharada E, Irjen Pol Ferdy Sambo dan Putri Chandrawati Sambo maka tersangka tentunya adalah salah satu atau dua di antaranya. Apalagi telah diakui penembak mati korban yaitu Bharada E. Sekurangnya Bharada E cepat ditetapkan sebagai tersangka. Munculnya temuan yang diungkap keluarga adanya penganiayaan sadis kepada korban Brigadir Nofriansyah Yoshua Hutabarat alias Brigadir J yang diduga terjadi sebelum ditembak telah membuyarkan skenario tembak menembak dan bela diri. Situasi menjadi bertambah sulit dan berbelit. Ayo tetapkan cepat tersangka pembunuhan dan penganiayaan Brigadir J. Bharada E atau Irjen Sambo atau orang lainnya?Jangan dibuat lambat yang bergerak menuju ke peradilan sesat kelak. Ini kasus pertaruhan bagi Polri dan tentu juga Kapolri. Susu sebelanga terancam rusak. Kasus Duren Tiga atau Rumah Singgah Kadiv Propam ini telah menyita banyak perhatian. Bagi Kapolri Jenderal Listyo Sigit yang telah mengambil langkah menon-aktifkan tiga pejabat struktural Polri patut mendapat apresiasi. Tindakan lanjutan sangat ditunggu termasuk memonitor pemeriksaan agar cepat, jujur dan terbuka. Menohok memang, huru hara ini terjadi di rumah dinas Kadiv Propam. Instansi yang menjadi benteng moralitas Kepolisian. Penjaga kejujuran, kedisiplinan dan keadilan. Biasa menghukum perbuatan tercela. Hukuman yang berbasis aturan bukan kesewenangan. Apalagi dengan kebrutalan atau kekejaman. Sayang kebrutalan atau kekejaman ini yang kini mungkin terjadi. Masyarakat mendukung langkah Kapolri tentang penuntasan kasus. Penanganan yang dilakukan secara transparan dan obyektif. Pertaruhan terlalu berat. Alangkah indahnya jika pada pertaruhan ini Pak Kapolri menegaskan dan memastikan akan kejujuran penuntasan dan jika masih ada upaya dari pihak-pihak tertentu untuk menutupi atau melakukan rekayasa, maka Pak Kapolri siap untuk meletakkan jabatan. Mundur. Kasus mengerikan telah terjadi di sebuah rumah besar yang telah merusak citra dari rumah yang lebih besar. Rumah kebangsaan kita terusik berat. Akankah perbuatan kriminal ini akan berdampak politik? Sejarah sedang mengamati. Bandung, 22 Juli 2022
Celotehan Bahlil
Oleh Ady Amar Kolumnis Namanya Bahlil, bukan Bahlul. Tepatnya, Bahlil Lahadalia. Sedang Bahlul adalah tokoh sufi yang suka dengan celetukan tidak biasa, nyeleneh. Hanya asyik ekstase dengan Tuhannya. Bahlul hadir di era Sultan Harun ar-Rasyid--sultan ke-5 dari Dinasti Abbasiyah--yang bijak. Bahlul menjadi tokoh spiritual kesayangan Sultan Harun ar-Rasyid. Sedang Bahlil hadir di era Presiden Joko Widodo (Jokowi). Apakah Bahlil tokoh paling disayang Jokowi, sepertinya belum tentu. Bahlil bukan Bahlul yang memilih menjaga jarak dengan kekuasaan. Bahlul menolak privilage istana. Memilih hidup serba kekurangan. Tidur pun tak menentu. Lebih asyik memilih tidur di pemakaman umum. Berkawan dengan jejeran nisan. Suatu hari Sultan Harun ar-Rasyid menanyakan, mengapa ia mesti tidur di pemakaman. Sultan acap menawarkan kehidupan yang lebih layak untuknya, tapi tak diindahkan. Selalu ditolaknya. Bahlul memilih menjadi orang bebas. Karenanya, sebutan bahlul (bodoh) disematkan pada namanya, itu karena pilihan hidupnya. Bahlul tentu bukan \"bodoh\" dalam makna sebenarnya. Bukan \"bahlul\" nalar. Jawab Bahlul, Tidur bersama para mayit itu bentuk latihan hidup sesungguhnya. Lanjutnya, agar nantinya tak merasa asing, seperti Anda yang tiba-tiba tak siap saat dikuburkan. Harun ar-Rasyid pun terperangah dan menangis mendengar jawaban Bahlul yang seperti sekenanya. Jawaban yang menyentak kesadaran. Bahlil memang bukan Bahlul. Bahlil Lahadalia adalah Menteri Investasi Indonesia yang merangkap Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM). Sebagai pembantu presiden, ia berkebalikan dengan gaya Bahlul. Bahlil pastilah punya dan memilih gaya tersendiri. Pastilah gaya yang menyenangkan Pak Bos. Bahkan Bahlil mampu menangkap perintah Pak Bos, meski tidak lewat lisan. Cukup lewat isyarat, itu sudah cukup buatnya untuk langsung eksekusi. Maka tidaklah perlu kaget dan merasa aneh jika Bahlil akhir-akhir ini berceloteh di luar tupoksinya. Mungkin ia sedang menangkap isyarat perintah dari Pak Bos. Atau ia memilih sikap seperti seniornya, yang menjadi menteri segala urusan. Merasa ahli pada semua bidang. Semua hal lalu mesti dikomentarinya. Bahlil terkadang memilih gaya \"mbah dukun\", yang menerawang peta politik ke depan. Saat lembaga survei Indikator Politik Indonesia (IPI) merilis hasil surveinya. Ada pertanyaan dari yang hadir di sana, tentang prospek diduetkannya Puan Maharani dan Anies Baswedan. Belum sempat Burhanuddin Muhtadi, direktur eksekutif IPI, menjawab. Muncul suara virtual dari seberang, Bagus itu. Bisa sekali putaran. Ternyata itu suara Bahlil. Tentu Bahlil punya pertimbangan tertentu menyebut dua nama tadi. Karena sebelumnya, Pak Bos pun setuju dengan pasangan Puan-Anies. Sebelumnya, saat polemik Jokowi 3 periode. Bahlil muncul dengan mengatakan, bahwa mayoritas pengusaha menghendaki Jokowi 3 periode. Tanpa menyebutkan pengusaha siapa yang menghendaki itu. Kata orang Jawa, waton ngomong. Celoteh Bahlil bisa dinilai punya nuansa politis menyenangkan Pak Bos. Setidaknya itu kesan publik atas celotehannya. Bahlil juga berceloteh tentang Ibu Kota Negara (IKN) Nusantara di Kalimantan Timur. Ia katakan bahwa pemindahan ibu kota itu harga mati. Padahal negara sedang kesulitan finansial. Artinya, meski pendanaannya harus ngutang ke sana ke mari. IKN mestinya tidak jadi prioritas untuk disegerakan. Sepertinya Bahlil akan terus memproduk celotehan-celotehan yang di luar kuasa kerjanya. Memilih model celotehan asal bapak senang. Mengingatkan akan Harmoko, Menteri Penerangan era Soeharto, yang selalu menyenangkan Pak Bos dengan narasi, \"menurut petunjuk bapak presiden\". Harmoko kurang kreatif celotehannya ketimbang Bahlil yang lebih variarif. Bahlil memang bukan Bahlul, yang memilih kehidupan asketik sesungguhnya. Jauh dari hingar bingar kuasa adigang-adigung-adiguna, yang cenderung rakus pada kekuasaan. Tapi asyik juga jika gaya Bahlil itu dipadukan dengan gaya Bahlul. Setidaknya keseimbangan sikap bisa didapat. Tidak ekstrem kanan maupun kiri... Wallahu a\'lam. (*)
Amerika Diantara Benci dan Rindu
Semua ini menjadi penyebab tumbuhnya prilaku paradox pada sebagian orang dalam memandang Amerika. Mereka kadang benci Amerika tapi (masih) juga merindukannya. Oleh: Shamsi Ali, TKI di Kota New York, US DARI dulu Amerika itu memang unik. Atau tepatnya Amerika selalu ingin tampil unik, beda dari negara/bangsa lain di mata dunia. Bahkan, Amerika tidak mau disamai atau disamakan dengan siapapun dalam hal-hal mendasar dan biasa dari kehidupan. Ketika orang lain menyebut bola kaki dengan football, Amerika menyebutnya Soccer. Ketika dunia menimbang sesuatu dengan ukuran kilogram, Amerika menyebutnya pound. Dunia mengukur lebar/panjang sesuatu itu dengan centimeter dan hektar, Amerika memakai kata feet dan acres. Ketika dunia menyebut panjangnya perjalanan dengan kilometer, Amerika menyebutnya mile. Demikian seterusnya. Kemampuan membangun imej atau persepsi itu menjadikan Amerika kadang ingin tampil berbeda (exceptional). Terlebih lagi ketika negara ini dipimpin oleh seorang Presiden yang rasis seperti Donald Trump. Kulit manusia pun ingin dipilah-pilah dengan penilaian kemuliaan dan kehinaan. Rasisme pun menjadi trademark keistimewaan yang menjijikkan. Akhir-akhir ini disebabkan oleh beberapa peristiwa buruk di dunia global, dosa tua Amerika di Afghanistan, sisa-sisa perang Irak/Suriah yang seolah menjadi dosa turunan, kini perang Ukraine dan banyak lagi isu-isu global menyeret Amerika ke dalam ragam masalah yang cukup rumit. Belum lagi krisis domestik yang klasik namun sangat rumit dan berbahaya. Permasalahan ekonomi akibat Covid, yang diperparah oleh perang Rusia-Ukraine misalnya sangat terasa dan mengkhawatirkan. Hal lain yang paling mengkhawatirkan akhir-akhir ini adalah kebebasan memiliki dan penyalah-gunaan senjata yang tak terkontrol. Pembunuhan terjadi hampir setiap hari di berbagai belahan negeri. Harga minyak yang berimbas melonjaknya harga hampir semua kebutuhan pokok. Bahkan, tidak sekedar harga yang melambung. Akibat dari harga minyak yang meninggi juga sangat mengganggu transportasi bahan-bahan pokok kebutuhan sehari-hari. Sehingga banyak toko yang kosong dari barang-barang jualan. Kesulitan demi kesulitan yang dialami oleh Amerika menimbulkan masalah-masalah non physical lainnya. Salah satunya adalah terjadi krisis kesehatan mental (mental health crisis) yang cukup akut. Hal ini semakin memperburuk masalah keamanan, khususnya yang terkait dengan kebebasan memiliki senjata. Akankah Amerika ambruk? Dengan semua permasalahan yang dihadapi Amerika saat ini sebagian melihat jika Amerika telah berada di ambang keambrukannya. Bahkan, sedemikian tidak sukanya (bencinya) sebagian orang kepada Amerika mereka ingin Amerika ambruk sekarang juga. Saya ingin menyampaikan bahwa dengan segala permasalahan yang dihadapi oleh Amerika saat ini, baik di luar maupun di dalam negeri, Amerika masih merupakan negara yang “powerful”. Saya lebih memilih kata powerful ketimbang “super power” karena beberapa pertimbangan. Satu diantaranya yang terpenting adalah bahwa dalam dunia global saat ini telah terjadi “power sharing” yang hampir merata. Dunia tidak lagi didominasi oleh kekuatan tunggal. Dan karenanya kata super power sesungguhnya sudah kurang relevan dalam dunia global saat ini. Selain itu dengan kemajuan informasi, khususnya media sosial, kekuatan dan keistimewaan (exceptionality) Amerika tidak bisa lagi direkayasa. Dunia dengan sangat mudah melihat berbagai kelemahan Amerika (dan semua bangsa). Kebohongan sebuah bangsa (atau pemimpinnya) dengan mudah tertelanjangi oleh dunia yang berkarakter terbuka. Karenanya tidak ada lagi rahasia di antara kita. Kembali kepada pertanyaan di atas. Akankah Amerika ambruk dalam waktu dekat karena permasalahan-permasalahan yang dihadapi saat ini? Dalam beberapa kesempatan saya sampaikan bahwa jangan cepat bermimpi melihat Amerika ambruk karena permasalahan ekonomi, militer, bahkan politik. Amerika memiliki fondasi yang kuat dalam semua itu. Sebagaimana kokohnya pembangunan kota New York yang direncanakan ratusan tahun silam, demikian kokohnya fondasi perekonomian, perpolitikan, apalagi pertahanan militer Amerika. Separah-parahnya perekonomian di negara ini warga Amerika tak seharusnya kelaparan. Berbagai institusi menyediakan layanan sosial bagi mereka yang membutuhkan. Satu Karakter paradoks Amerika yang di satu sisi individualistik. Tapi di sisi lain berkarakter sosial yang tinggi. Justru seperti sering saya sampaikan dalam beberapa kesempatan, kelemahan dan krisis terbesar Amerika saat ini adalah krisis moralitas. Krisis yang terjadi ini adalah konsekwensi langsung dari krisis spiritualitas (kegersangan batin) yang menimpa Amerika dan dunia Barat sejak lama. Saya tidak perlu lagi merinci berbagai manisfestasi masalah yang dihadapi Amerika akibat krisis moralitas itu. Tapi kita lihat yang paling menonjol adalah hilangnya rasionalitas dan keseimbangan dalam pengambilan berbagai kebijakan publik. Beberapa contoh dapat saya sebutkan sebagai misal saja. Konsep kebebasan dan hak dasar menjadi alasan dilegalkannya perkawinan sejenis. Konsep kebebasan dan hak konstitusi juga menjadi dasar bagi bebasnya kepemilikan senjata. Liberalisme atau kebebasan tanpa batas (jika sejalan dengan paham mereka) dan tak terkontrol menjadi alasan untuk membebaskan terjadi berbagai perilaku yang jelas merusak tatanan moralitas dan kemanusiaan. Semua realita di atas sesungguhnya merupakan ancaman yang lebih nyata dan krisis yang lebih berbahaya bagi Amerika ketimbang resesi ekonomi atau perang Ukraine seperti yang disangkakan sebagai orang. Dan ini pulalah yang bisa menjadi pintu ambruknya negara kuat (powerful) ini. Jadi, jangan riang dulu dengan kebencian sebagian, yang ingin segera melihat Amerika ambruk. Kebencian memang kadang membawa mimpi-mimpi panjang untuk melihat orang lain jatuh. Tentu dengan harapan kita menjadi kuat dan menang. Padahal “over hatred” (kebencian berlebihan) ternyata sering menimbulkan halusinasi hidup. Sebaliknya diakui atau tidak, hingga detik ini juga masih banyak yang bermimpi datang ke Amerika. Lapangan kerja masih tersedia luas. Jaminan gaji lebih jelas dengan minimum wage (gaji minimum) yang juga terjamin. Jadi tukang cuci piring masih memungkinkan untuk anda mengendarai mobil sendiri di Amerika. Belum lagi Universitas-Universitas terbaik dunia masih ada di Amerika. Anda mau Harvard, MIT, Yale, Cornell, Princeton, atau juga Columbia dan NYU sekalipun. Semua ini menjadi penyebab tumbuhnya prilaku paradox pada sebagian orang dalam memandang Amerika. Mereka kadang benci Amerika tapi (masih) juga merindukannya. Kata anak bungsu saya, Ayman: Alhamdulillah still America, yetsss! NYC Subway, 20 Juli 2022. (*)
Pilpres 2024 Gelap Gulita
Tugasnya hancurkan semua aturan dan UU buatan/pesanan oligarki, ganti dengan aturan yang baru untuk bisa keluar dari kemelut dan menuju arah pelaksanaan Pilpres yang wajar dan normal sesuai amanah UUD 45 asli. Oleh: Sutoyo Abadi, Koordinator Kajian Politik Merah Putih HIRUK-pikuk yang sedang terjadi, yaitu koalisi partai-partai politik saat ini seperti koalisi kumpul kebo. Ciri makhluk yang terlibat dalam kumpul kebo, ditengarai sifat hedonis, nafsu terpuaskan, tidak tahu aturan dan semuanya serba instan, proyektilnya uang, uang, dan uang. Tidak penting soal Capres yang ideal, yang penting memiliki mahar politik yang bisa menjadi kesepakatan bersama. Kerjasama bisa long time atau shot time, tergantung dari uang sebagai instrumen amunisi yang bisa disepakati dan ditandatangani, maka munculah partai rentalan. Prediksi para normal pada Pilpres 2024 mendatang akan muncul pemilih tuyul, demit, dan setan. Mereka tidak pernah tampak tetapi suaranya akan mendominasi. Semuanya bisa dirasakan akibatnya sangat dahsyat tetapi bukti tidak akan pernah bisa diraba dan didapat. Di sisi lain, money politics sendiri jelas sudah disiapkan oleh para badut, bandar, dan bandit politik, semuanya demi pertaruhan menang atau menang. Proses dari hasil Pilpres 2024, bagi Oligarki tidak ada kamus untuk kalah. Bagi mereka kekalahan adalah bunuh diri, dibunuh atau harus melarikan diri. Resiko Pilpres adalah hidup atau mati. Jangan pura-pura buta: riil pertahanan jarak jauh sudah dibangun mulai konsolidasi para aparat kelurahan/desa, bupati dan gubernur, juga aparat keamanan khususnya kepolisian (yang terpantau masih sangat kejam dalam menghadapi demo-demo) harus disiapkan mental dan jumlah personilnya untuk menghadapi huru-hara yang lebih besar dan semua terjamah menerima bagi hasil atas sponsor oligarki. Dalam kondisi darurat seperti itu bisa saja TKA (indikasi kuat tentara China) yang sudah berada di dalam negeri, bisa diperbantukan bahkan kalau perlu dipersenjatai untuk mengawal kemenangan dalam Pilpres mendatang (sudah tercium adanya terorisme 9 Naga). Aparat hukum terkait dengan pengamanan hasil pilpres saat ini seperti MK sudah teruji dan lurus uji menolak Judicial Review Presidential Threshold 0 % (Nol Persen). Buzer dan rentalan survey baik untuk pengkondisian sebelum, selama, dan sesudah pemungutan suara sebagai dukungan legalitas hukum yang akan ditangani MK kalau ada keruwetan harus sudah kompak, berjalan sesuai arahan dan tidak boleh menyimpang dan salah dalam bekerja, sesuai protap perintah para bandar, bandit dan politik sebagai leader-nya. Jangan harap ada harapan Pilpres jujur, adil dalam pelaksanaan Pilpres yang akan datang. Rakyat datang ke TPS akan diskenariokan seolah bebas memilih, tetapi ketika proses hitung yang masih menggunakan sistem manual, sangat mudah yang akan muncul adalah angka demit. Bahkan, suara orang yang sudah matipun dan sakit jiwa bisa masuk dalam hitungan. Wajar kotak suara dari kardus tetap dipertahankan, personil main sulap, jelas harus sudah mendapatkan pelatihan pada level advance. Apakah gambaran dari skenario di atas hanya karangan orang yang sedang kesurupan? Mungkin ya mungkin tidak, hanya dengan yurisprudensi semua variabel kejadian sebelumnya dan fenomena saat ini adalah petunjuk yang bisa dibaca dan dianalisa dengan mudah, tidak perlu impor teori canggih dari manca negara. Sumber masalah akan terjadi dari kejadian tersebut adalah tampak dengan jelas ketika rezim saat ini indikasi kuat sudah tidak punya kuasa, daya dan nyali untuk melawan kekuasaan oligarki. Jangankan melawan, membantah remote perintahnya saja sudah lumpuh total, atas kuasa politik telepon koin dan radar yang terus mengawasi dengan segala resikonya. Keadaan makin dalam, kata Prof. Salim Said, Presiden saat ini sudah menjadi organ Oligarki. Ciri masyarakat agraris dengan mayoritas pemilih mengambang sangat rentan keterjang politik transaksional. Apalagi, masyarakat yang sedang susah dalam kehidupan mencari makan dan atau kemiskinan bisa saja untuk sementara harus dipertahankan. Tema-tema mengatasi kemiskinan apalagi tentang kesejahteraan pun rakyat sesungguhnya tidak masuk dalam skenario Oligarki. Rakyat miskin harus dipertahankan kalau perlu yang belum miskin harus dimiskinkan demi kemenangan dalam Pilpres 2024. Program politik transaksional akan berjalan lancar dan aman. Solusi untuk mengatasi keadaan yang hampir pasti akan terjadi dan sangat menakutkan, hampir semuanya tertutup tidak ada lagi. Masih tersisa cara untuk keluar dari kondisi tersebut adalah bubarkan rezim, dan ganti dengan rezim darurat. Tugasnya hancurkan semua aturan dan UU buatan/pesanan oligarki, ganti dengan aturan yang baru untuk bisa keluar dari kemelut dan menuju arah pelaksanaan Pilpres yang wajar dan normal sesuai amanah UUD 45 asli. Gerakan perubahan ini hanya bisa dilaksanakan oleh pemilik sah kedaulatan negara, yaitu rakyat dengan melakukan people power atau Revolusi. (*)
Ombudsman Turun Tangan Penghancuran Masjid yang yang Berubah Jadi Indomaret
Oleh M. Rizal Fadillah Pemerhati Politik dan Kebangsaan Perusakan dan penghancuran bangunan cagar budaya Masjid \"Nurul Ikhlas\" di Jl Cihampelas 149 Bandung oleh PT KAI yang kini berubah fungsi menjadi toko Indomaret jelas merupakan perbuatan pidana. Pihak-pihak yang bertanggungjawab atas penghancuran Masjid ini dapat diseret ke meja hijau. Pada tahap awal DKM Masjid Nurul Ikhlas telah melaporkan kepada Ombudsman atas dugaan mal administrasi instansi. Ombudsman Jawa Barat melakukan pemeriksaan. Meminta keterangan dari berbagai pihak di lingkungan Pemkot Bandung. Keterangan Dinas Cipta Karya, Bina Konstruksi dan Tata Ruang tanggal 1 Nopember 2021 telah mengeluarkan surat teguran kepada PT KAI Daop 2 Bandung bahwa bangunan toko yang kemudian menjadi Indomaret tidak memiliki Izin persetujuan Bangunan Gedung (PBG). Kepala Satuan Pamong Praja Kota Bandung membenarkan bahwa pembangunan gedung toko tidak memiliki PBG. Ada pernyataan dari penanggungjawab untuk bersedia tidak melaksanakan pembangunan sampai terbit PBG dan tidak mengoperasikan masjid (yang dibuat di belakang toko) sampai terbit PBG. Hingga bangunan selesai bahkan toko Indomaret beroperasi, PBG tidak dimiliki dan sayangnya tidak ada penyegelan untuk penghentian, yang ada hanya penempelan stiker bahwa bangunan tidak memiliki PBG. Stiker itupun kini hilang. Satuan Pamong Praja menyatakan bahwa pengrusakan atau penghancuran Masjid \"Nurul Ikhlas\" jika cagar budaya jelas melanggar UU No 11 tahun 2010 tentang Cagar Budaya dan Perda Kota Bandung No 7 tahun 2018 tentang Pengelolaan Cagar Budaya. Penghancuran itu adalah perbuatan pidana. Penyidikan Kepolisian dilakukan atas laporan Walikota melalui Dinas kepada penyidik Kepolisian. PT KAI memohon untuk solusi atas penghancuran Masjid cagar budaya kepada Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kota Bandung, namun setelah pertemuan dengan Tim Ahli Cagar Budaya, solusi itu tidak jelas. Bisa difahami penghancuran Masjid cagar budaya tidak mungkin ada solusi selain proses penyidikan pidana. Fakta tidak bisa direkayasa. Ombudsman masih membuka tanggapan Pelapor, namun tentu sulit Ombudsman Jawa Barat untuk membuat konklusi selain fakta bahwa telah terjadi perusakan Masjid cagar budaya oleh PT KAI dan mal administrasi Pemkot Bandung yang berakibat bangunan Indomaret dapat terselesaikan dan beroperasi. Publik berhak menuntut agar terhadap bangunan Indomaret yang tidak memiliki izin/PBG itu segera disegel dan Indomaret di bawah PT Indomarco dilarang untuk beroperasi. Atas perusakan atau penghancuran Masjid \"Nurul Ikhlas\" yang merupakan cagar budaya patut untuk segera dilaporkan dan diproses penyidikan atas pelanggaran pidananya. PT KAI atau pihak lain yang turut serta harus menerima konsekuensi hukum dari perbuatan kriminal tersebut. Bandung, 21 Juli 2022
Ferdy Non-Aktif, Istri dan Bharada E Minta Perlindungan, Antibody Indonesia Naik
Oleh Asyari Usman - Wartawan Senior FNN Judul tulisan yang ‘enggak ‘nyambung. Mungkin banyak yang menyimpulkan begitu. Apa hubungan antara ketiga tindakan itu dengan antibody? Tunggu dulu. Jangan buru-buru ‘dismissive’. Kita simak penjelasan berikut ini. Ada perkembangan yang menarik. Ferdy Sambo, Kadiv Propam, dinonaktikan. Tujuannya hanya satu: agar penyelidikan dan penyidikan peristiwa “polisi tembak-polisi” di rumah Ferdy berjalan objektif. Tidak ada intervensi, tidak ada rekayasa. Sebelum tindakan Kapolri menonaktifkan Ferdy, istri beliau, Putri Candrawathi, meminta perlindungan dari Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK). Banyak yang terperangah. Istri polisi pangkat tinggi kok minta perlindungan? Ancaman dari mana? Bharada E (atau Bharada RE) yang dikatakan polisi terlibat baku tembak dengan Brigadir J, juga meminta perlindungan LPSK. Padahal, menurut penjelasan Polisi, Baharada E itu “membela diri” dari tembakan Brigadir J. Sebelum diuraikan analisis tentang ini, ada satu hal yang perlu disampaikan kepada semua orang. Bahwa pencopotan jabatan Kadiv Propam dari Ferdy, istrinya yang meminta perlindungan dari LPSK dan juga Bharada E yang meminta perlindungan serupa, memberikan dampak yang sangat positif kepada seluruh rakyat Indonesia. Khususnya para pasien berbagai penyakit. Pertama, bakal banyak pasien yang sembuh dari sakit mereka. Kedua, bakal banyak pasien yang akan naik status menjadi setengah sembuh. Ketiga, akan banyak orang yang tak jadi sakit. Nah, kok bisa? Tentu saja bisa. Sebab, pencopotan Ferdy dan langkah istrinya serta Bharada E meminta perlindungan LPSK itu membuat seluruh rakyat gembira. Semua orang, baik yang sehat maupun yang sakit, merasa gembira. Semua merasa bahagia. Gembira dan gembira karena apa? Rakyat gembira dan bahagia karena penyelidikan dan penyidikan kemungkinan akan berjalan apa adanya. Transparan. Tidak ada yang ditutup-tutupi. Ada harapan bahwa slogan “equality before the law” (sama di mata hukum) itu akan bermakna. Inilah yang membuat semua orang gembira. Bahagia! Nah, seluruh ulama psikologi sepakat bahwa perasaan gembira, perasaan bahagia, perasaan senang, mampu menaikkan daya tahan tubuh alias imunitas. Bisa meperkuat antibody manusia. Karena antibody naik, maka kekuatan badan untuk menolak penyakit, konon, semakin tinggi. Baik. Sekarang, apa arti pencopotan Ferdy? Simpel saja. Kekuasaannya dilucuti. Dia menjadi perwira non-job. Dia tak punya anak buah lagi. Tidak ada yang harus meminta izin dari beliau. Dia lemah dan menjadi ‘bukan siapa-siapa’ lagi. Tidak ada yang memerlukan tanda tangannya. Untuk sementara ini, paling tidak. Karena Ferdy lemah setelah dicopot, maka tim penyidik menjadi kuat. Ini merupakan konsekuensi logisnya. So, sampai selemah apa Ferdy nantinya? Bisa sangat lemah. Bahkan tidak tertutup kemungkinan beliau akan tergiring menjadi tersangka. Setidaknya tim penyidik tidak perlu ragu-ragu. Tidak ada yang membayangi mereka. Sehingga, semua hal bisa ditelusuri oleh tim. Semuanya. Apa saja yang terkait dengan peristiwa yang menewaskan Brigadir J itu, bisa diungkap tanpa hambatan. Bagaimana dengan Putri Candrawathi dan Baharada E yang meminta perlindungan dari LPSK? Ini malah lebih menarik. Lebih bombastis lagi. Putri dan Baharada E bisa jadi meminta perlindungan karena mereka ingin memaparkan kejadian di rumah dinas yang terletak di Duren Tiga, Jakarta Selatan, itu secara blak-blakan. Mereka mungkin sudah tak sabar untuk menjelaskan apa adanya tentang kronologi peristiwa. Dan tentang siapa-siapa saja yang ada pada waktu itu. Tentang siapa yang berperan apa. Banyak orang heran untuk apa Putri dan Bharada E meminta perlindungan LPSK. Mana mungkin orang berani mengganggu mereka? Kalau melihatnya seperti itu, memang benar Putri dan Bharada E tak perlu dilindungi. Tapi, itu tadi. Kedua orang ini kelihatannya merasa tidak aman. Sebab, mereka adalah saksi peristiwa. Mereka ada di dalam drama itu. Ini yang barangkali membuat mereka cemas. Putri dan Bharada E sangat sadar bahwa pada gilirannya nanti penyidikan akan sampai juga di depan mereka. Inilah yang kelihatannya merisaukan pikiran Nyonya Ferdy dan Bharada E. Mereka punya pilihan untuk berbicara apa adanya. Ini artinya mereka bisa menguraikan dengan jujur tentang semua yang mereka ketahui, mereka lihat, mereka dengar dan semua yang mereka lakukan. Jika skenario ini yang diikuti Putrid an Bharada E, pastilah ada orang yang akan terpojok. Dalam peristiwa berskala seperti ini, tentu orang yang terpojok bisa kehilangan kontrol. Biasa menjadi sangat berbahaya. Bisa mengancam keselamatan. Kemungkinan lain yang mendorong mereka meminta perlindungan LPSK adalah karena mereka merasa tak percaya pada perlindungan yang diberikan Polisi. Begitu lebih-kurang. Jadi, perkembangan yang cukup drastis dan dramatis dalam 1-2 hari ini memang sangat melegakan, meminjam istilah kolega saya sesama FNN, Agi Betha, dalam percakapan dengan kolega lainnya, Hersubeno Arief, di acara kanal Off the Record yang dirilis Selasa (19/7) kemarin. Melegakan. Persis! Dan dari sinilah bersemi rasa gembira dan bahagia melihat perkembangan penyelidikan dan penyidikan keterbunuhan Brigadir J. Sekali lagi, rakyat gembira dan bahagia karena di balik horizon “Anda Percaya Polisi?” ada terlihat cahaya transparansi dan keadilan yang mulai merekah perlahan. Inilah yang membuat antibody (imunitas) Indonesia naik meroket.[]
Bukannya Waspada Malah Nuduh Sakit Jiwa
Oleh M. Rizal Fadillah Pemerhati Politik dan Kebangsaan Adalah Luhut Panjaitan yang menuduh sakit jiwa orang yang mengaitkan gerakan perlawanan rakyat Sri Lanka dengan keadaan Indonesia. Ia menepis dengan dalih bahwa keadaan tidak sama. Seharusnya Luhut menghargai siapapun yang meminta pemimpin Indonesia untuk waspada agar tidak bernasib sama. Luhut terlalu berlebihan menganggap pengelolaan negara sudah baik dan tidak mungkin seperti Sri Lanka. Masalah yang dihadapi rakyat Sri Lanka relatif sama dengan rakyat Indonesia. Harga bahan pokok naik dan naik, enerji seperti BBM melesat setiap saat, pinjaman luar negeri gede pisan, investasi infrastruktur juga berbasis hutang. Debt trap China. Korupsi, kolusi dan nepotisme merajalela, perilaku dan gaya hidup pejabat yang kontradiksi dengan keadaan rakyatnya. Dominasi kekuasaan Presiden dan oligarki. Megawati Soekarnoputri Ketum PDIP mengingatkan kekhawatiran Indonesia dapat seperti Sri Lanka, karenanya perlu antisipasi atas krisis pangan dan resesi akibat inflasi dunia. Peringatan yang wajar dalam merespon perkembangan global termasuk dinamika politik akibat kondisi ekonomi di Sri Lanka. Rakyat marah kepada Pemerintah atas beratnya beban kehidupan. Pakar Kebijakan Publik Achmad Nur Hidayat minta agar Pemerintah adil dan fair dalam menyikapi perkembangan Sri Lanka. Indonesia dan Sri Lanka memiliki trajektori yang sama. Perkembangan tax ratio terhadap PDB yang turun terus menerus. Debt Service Ratio (DSR) Sri Lanka itu 39,3 persen dan Indonesia 36,7 persen. Ini yang harus diwaspadai. Tuduhan sompral Luhut soal sakit jiwa tentu tidak pantas. Sebagai Menteri semestinya introspeksi dan korektif atas pandangan kritis. Terlalu percaya diri bahwa Indonesia baik-baik saja membuat sikap arogan. Apalagi nantang-nantang segala. Indonesia ini sedang mengalami krisis kepercayaan pada pemimpin. Akibat pemimpin yang tidak amanah dan salah urus dalam mengelola negara. Negara pimpinan Pak Jokowi dan Pak Luhut ini kini sedang tidak baik baik saja. Investasi ambrol, hutang luar negeri ambyar, penegakkan hukum amburadul, demokrasi awut-awutan, moralitas dekaden, kesenjangan menganga, dan KKN merajalela. Para menteri jalan sendiri-sendiri. Presiden sendirian berjalan. Di pinggir rel, di sawah, di hutan dan di lokasi bencana. Pak Luhut yang percaya diri, dulu Soekarno merasa kuat dan keadaan baik-baik saja. Ia mampu membubarkan Masyumi dan memenjarakan pengkritiknya. Tangan kiri menggenggam PKI tangan kanan memegang TNI. Politik keseimbangan mampu ia mainkan. Soekarno dan kabinetnya jumawa. Nah jatuh juga pak. Kepercayaan berlebihan pada PKI justru merontokkannya. Rakyat muak pada penguasa otoriter. Pak Luhut yang percaya diri, dulu Soeharto juga sedang berjaya dan baru medapatkan kursi Presiden untuk ke sekian kali. Golkar di tangan kiri TNI di tangan kanan. MPR dan DPR dikuasai. Ekonomi tidak buruk sekali. Indonesia tidak bangkrut. Tapi jatuh juga, pak. Rakyat sudah tidak percaya lagi. Soeharto dan Soekarno itu tokoh kuat. Berbeda dengan Pak Jokowi yang tidak sekuat keduanya. Lebih mudah jatuh. Nah pak Luhut, jangan abaikan perkembangan global apakah Rusia Ukraina, China Amerika atau lainnya. Juga Sri Lanka yang terjebak oleh China. Makanya waspadai China, pak. Meski tidak perlu membalas bahwa Pak Luhut sakit jiwa, tetapi menuduh mereka yang mengingatkan kewaspadaan akan peristiwa Sri Lanka sebagai orang sakit jiwa adalah kesombongan. Luhut Panjaitan itu Menteri saat ini, tapi esok bukan siapa-siapa. Rajapaksa itu Presiden dan Wickremesinghe adalah Perdana Menteri, tetapi setelah rakyat marah maka Rajapaksa dipaksa kabur dan Wickremesinghe dibakar rumahnya. Keduanya menjadi bukan siapa-siapa. Jokowi dan Luhut kini berkuasa, besok juga bukan siapa-siapa. Salah-salah turun dari singgasana dengan terhina. Sri Lanka memberi peringatan. Mengabaikan sama dengan sakit jiwa. Bandung, 20 Juli 2022