OPINI

Bahaya Tionghoa (China) Era Jokowi

Apalagi negara terperangkap hutang yang sangat besar dengan RRC dan warga China yang sering disebut Oligarki itu sudah menguasai semua lembaga negara. Oleh: Sutoyo Abadi, Koordinator Kajian Politik Merah Putih PADA pertengahan abad ke-19, jumlah imigran Tionghoa yang masuk sudah mencapai seperempat juta orang. Jumlah itu terus meningkat hingga pada 1930. Orang-orang Tionghoa yang jumlahnya makin banyak itu kemudian tinggal berkelompok di satu wilayah yang berada di bawah kontrol pemerintah Hindia-Belanda. Biasa disebut Pecinan. Dalam bidang sosial-budaya, mereka digabung dalam organisasi Tiong Hoa Hwee Koan (THHK). Sementara, di bidang ekonomi, organisasi Siang Hwee, sebuah kamar dagang Tionghoa (Chineze kamer van koophandel) didirikan. Mereka selanjutnya tinggal untuk selamanya di Nusantara. Hasrat dan keinginan untuk menguasai Jawa seperti apa yang pernah dilakukan oleh Khubilai Khan tidak pernah surut dan padam. Orang orang China sepanjang sejarah terus berbondong-bondong masuk ke Nusantara. Pada 1619 Belanda menunjuk Souw Beng Kong menjadi Kepitein der Chinezen di Batavia. Dan, pada 1837 ditunjuk Tan Eng Goan sebagai Mayoor der Chinezen di Batavia. Ketika itu warga China yang melakukan penyuapan kepada pegawai kompeni sudah dipraktekkan. Dengan minum minuman keras hingga memberikan regognitiegeld (uang dibayar setiap tahun yang dibayarkan sebagai pengakuan atas hak). Belanda tidak akan mampu menguasai Nusantara selama 350 tahun tanpa bantuan opsir China. Itulah sebenarnya yang melakukan dan melaksanakan order penindasan. Berabad-abad Belanda mewariskan struktur ekonomi didominasi ke pedagang China. Penghianatan China di Nusantara antara lain: - Menjadi kaki tangan Belanda dalam menjajah Nusantara. - Mendzalimi warga pribumi dengan sebutan Inlander dan digolongkan dalam kelas terbawah. - Dalam pertempuran 10 November 1945 memberi ruang gerak sekutu. Wajar jika tidak peduli dengan warga pribumi yang berlumuran darah. Bahkan mengaktifkan prajurit kuncir yang kejam, dikenal dengan Poh An Tui. - Sebagai kaki tangan Belanda dalam pertempuran agresi pertama 21 Juli 1947. - Mendirikan dan mendanai PKI Muso termasuk mensuplai senjata. - Mendanai dan mendukung PKI DN Audit kemudian meletus G 30 S PKI. Paska tragedi G-30-S/PKI tersebut munculah Instruksi Presiden No. 14 tahun 1967 berisi antara lain pembatasan dan perayaan China. Disusul Surat Edaran No. 06/Preskab/6/67 tentang penggunaan nama China dan istilah Tionghoa/Tiongkok ditinggalkan. Gerak-gerik masyarakat China mendapatkan pengawasan ketat dari Badan Koordinasi Masalah China (BKMP) yang menjadi bagian dari Badan Koordinasi Intelijen Negara (Bakin). Muncullah Keputusan Presiden Kabinet No. 127/U/KEP/12/1966 tentang nama bagi masyarakat China. Beruntun keputusan Presiden Kabinet No. 37/U/IV/6/1967 tentang Kebijakan Pokok Penyelesaian masalah China. Pada tahun yang sama muncul Surat Edaran Presidium Kabinet RI No. SE.06/PresKab/6/1967 tentang kebijakan pokok WNI asing dapam proses asimilasi terutama mencegah kemungkinan terjadinya kehidupan ekslusif rasial. WNI yang masih menggunakan nama China diganti dengan nama Indonesia. Mereka memegang teguh ajaran dan filsafat Sun Tsu, Seni Perang, dipelajari dengan tekun dan sungguh-sungguh. Politik bisnis, bisnis itu perang. Kalau pasar adalah medan perang maka diperlukan strategi dan taktik. Sun Tsu menulis: “Serang mereka di saat mereka tak menduganya, di saat mereka lengah. Haruslah agar kau tak terlihat. Misteriuslah Agar kau tak teraba. Maka kau akan kuasai nasib lawanmu. Gunakan mata-mata dan pengelabuhan dalam setiap usaha. Segenap hidup ini dilandaskan pada tipuan”. Ketika Pribumi sedang terus terkena gempuran, keluarlah Instruksi Presiden No. 27 tahun 1998 tentang Penghentian Penggunaan Istilah Pribumi dan Non Pribumi. Sebuah Keputusan yang menghilangkan akar sejarah terbentuknya NKRI. Sementara, PBB justru melindungi eksistensi warga Pribumi. Melalui Sidang Umum PBB 13 September 2007, mengakui bahwa setiap belahan bumi itu ada penduduk asli (Indigenous People = Pribumi) yang harus dijaga. Pada pendiri bangsa ini sudah berfikir untuk melindungi anak cucu dari kejahatan yang akan memusnahkannya. Di situlah lahir Pancasila dan UUD 1945. Sebagai penghormatan pada kaum pribumi, maka lahirlah Asuransi Bumiputera. Pada masa Presiden Abdurrahman Wahid, Instruksi Presiden No 14/1967 yang melarang etnis China merayakan pesta agama dan penggunaan huruf huruf China dicabut, sehingga lahirlah Keputusan Presiden No. 6/2000, yang memberikan warga China kebebasan melaksanakan ritual keagamaan, tradisi, dan budaya kepadanya. Era Presiden Megawati Soekarnoputri mengeluarkan Keputusan Presiden No. 19 tahun 2002, hari Imlek menjadi hari libur Nasional. Sejarah terus berlanjut yang tidak pernah dipikirkan oleh para pendiri negeri tercinta ini. Pada Rapat Paripurna MPR RI pada 9 Desember 2001, amandemen ketiga UUD 45. Perjuangan bangsa dengan susah payah dijalani dan diperjuangkan tiba- tiba berahir. Hak Indigenous People terkenal dengan Trilogi Pribumisme dianggap tidak ada. Tidak lagi diakui Pribumi sebagai pendiri negara, penguasa dan pemilik negara. Pasal 6 ( 1 ) UUD 45 yang semula berbunyi: “Presiden ialah orang Indonesia Asli”, diganti menjadi: “Presiden dan Wakil Presiden harus warga negara Indonesia sejak kelahirannya dan tidak pernah menerima kewarganegaraan lain karena kehendaknya sendiri, tidak pernah mengkhianati negara, serta mampu secara rohani dan jasmani untuk melaksanakan tugas dan kewajibannya sebagai Presiden dan Wakil Presiden”. Sampai di sini mimpi Khubilai Khan sejak abad 13 terwujud dan berhasil menembus pusat kendali politik. Dipertontonkan kepada dunia warisan perjuangan bangsa dibelokkan, pagar negara dirobohkan. Peluang emas bagi warga khususnya keturunan China berlompatan, lalu mendirikan Partai Politik yang sudah diduga arahnya akan menguasai Nusantara. Pada masa Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, lahir Keputusan Presiden No. 12 tahun 2014 tentang pencabutan Surat Edaran Presidium Kabinet Ampera No. SE - 06/Pred.Kab/6/1967, isinya “kita tidak boleh menyebut China diganti Tionghoa atau komunitas Tionghoa. Sekilas sejarah ini luar biasa, Indonesia tidak pernah mempermasalahkan negeri leluhurnya disebut sebagai identitas aslinya (India, Arab, dll). Kita mengada-ada yang sebenarnya tidak ada yaitu: RRT (Republik Rakyat Tiongkok). Dalam sejarah di Nusantara terus sebagai penghianat bangsa dan negara. Tentu tidak menafikan ada beberapa warga keturunan China yang tampil patriotik membela negara bahkan sebagai menteri. Tibalah sejarah sedang mencatat di era Presiden Joko Widodo, negara sudah terbuka tanpa hambatan dengan dalih investasi masuklah TKA China tidak diwaspadai, bahkan dilindungi dengan berbagai macam dalih sebagai tenaga kerja ahli dan macam dalih lainnya. Ada keresahan masyarakat bahwa Indonesia sudah dekat, bahkan sudah dikuasi RRC, tidak bisa disalahkan dan tidak bisa diremehkan. Apalagi negara terperangkap hutang yang sangat besar dengan RRC dan warga China yang sering disebut Oligarki itu sudah menguasai semua lembaga negara. Mereka sudah menguasai semua sektor ekonomi dan arah politik negara Indonesia. Negara dalam bahaya – bahaya dan bahaya! (*)

Tidak Sadar Dirinya Islamopobia

Oleh M. Rizal Fadillah | Pemerhati Politik dan Kebangsaan Mahfud MD membela bahwa pemerintah tidak Islamophobia, ia menyatakan \"yang mengatakan itu Abu Janda, bilang ke ini, lalu dibilang Islamophobia, dia yang fobi, pemerintah kan tidak\". Abu Janda sendiri kemudian nyeletuk \"Pak Mahfud, cuma orang tidak waras yang percaya ada Islamophobia di Indonesia\". Islamophobia adalah ketakutan berlebihan kepada Islam. Ketakutan itu muncul karena memang dia memegang keyakinan bukan Islam sehingga Islam adalah pesaing bahkan musuh. Atau timbul karena kebodohan atau kejahilan terhadap ajaran Islam sendiri. Komunitas ini terbanyak justru dari orang Islam. Muslim yang jahil pada Islam.  Tingkat kebodohan tertinggi adalah orang bodoh yang tidak menyadari bahwa dirinya bodoh. Orang yang benar-benar sakit jiwa adalah orang yang tidak meyakini bahwa dirinya sakit jiwa. Lebih parah dia berhalusinasi bahwa orang selain dia yang sakit jiwa. Ia yang paling sehat.  Abu Janda menyatakan bahwa orang tidak waras yang percaya ada Islamophobia di Indonesia. Itu sama saja dengan menuduh Pak Mahfud tidak waras, karena yang bersangkutan menganggap di masyarakat ada Islamophobia  hanya pemerintah tidak. Abu Janda sebenarnya mengakui dirinya tidak waras karena dia tidak sadar masuk dalam model dari kaum Islamophobia.  Empat bentuk sikap Islamophobia, yaitu : Pertama, menista atau menodai agama Islam seperti menyerang kenabian dan atribut Islam lainnya, menyimpangkan pemahaman Islam ke arah persepsi atau nafsunya sendiri, atau juga memprofankan kitab suci. Qur\'an yang semata dijadikan kitab akademis.  Kedua, memfitnah bahwa Islam menciptakan terorisme dan radikalisme. Anti kemajemukan dan hanya membangun fanatisme. Selanjutnya teror, radikal, intoleran itu digelindingkan secara masif untuk membangun ketakutan. Umat Islam dipojokkan dan dipinggirkan.  Ketiga, menyikapi berlebihan terhadap kelembagaan Islam. Pembubaran HTI maupun FPI lalu pembekuan ACT tanpa proses dan putusan Pengadilan adalah sebuah contoh.  Di sisi lain lembaga-lembaga yang mengatasnamakan agama padahal sesat dan meresahkan dibiarkan berkembang seperti Ahmadiyah, Syi\'ah,  Baha\'i, LDII, dan lainnya.  Keempat, kriminalisasi ulama dan tokoh atau aktivis Islam. Ulama atau tokoh Islam yang meninggal tidak wajar patut dicurigai sebagai pembunuhan. Butuh pembuktian lanjutan. Perkara sederhana yang didramatisasi atau proses yang dibuat berlarut-larut adalah bagian dari kriminalisasi.  Jangan gunakan istilah kafir, hindari terma jihad, khilafah, qital, qishash atau lainnya, salam harus untuk semua agama, kritisi pandangan keagamaan soal waris, jender, dan perkawinan beda agama, lalu kecam yang tidak bisa menerima LGBT atau budaya syirk, berdoalah dengan bahasa Indonesia dan jangan kearab-araban. Islam harus sesuai dengan adat dan budaya Indonesia. Nah, semua itu adalah Islamophobia.  Nyatanya di Indonesia itu marak Islamophobia baik yang terjadi di masyarakat maupun dilakukan oleh pemerintah. Hanya persoalan yang paling lucu dan aneh adalah bahwa mereka tidak mengakui dan menyadari atas perilaku Islamophobia itu. Berwajah suci bening, bijak dan tanpa dosa. Indonesia sangat menghargai Islam, katanya. Preet.  Bapak Abu Janda yang sangat Islami telah bersabda \"Cuma orang tidak waras yang percaya ada Islamophobia di Indonesia\". Bagus juga ya, artinya kita berantas orang tidak waras, kita basmi Islamophobia, kita gerakan bersama Anti-Islamohobia. Kita buat Undang-Undang Anti Islamophobia. Agar benar ucapan Bapak Abu Janda dan Bapak-Bapak lainnya bahwa di Indonesia tidak ada Islamophobia.  Hayo basmi Islamophobia, hidup Gerakan Anti Islamophobia! Bandung, 28 Juli 2022

Presiden Berpotensi Masuk Jebakan China

Kunjungan Presiden Jokowi saat ini ke China diduga kuat tak akan membawa kebaikan untuk bangsa dan negara ini, tetapi justru membayakan Indonesia untuk masa depan. Oleh: Sutoyo Abadi, Koordinator Kajian Politik Merah Putih PRESIDEN Republik Indonesia Joko Widodo berangkat ke Beijing pada Senin (25/7/2022), untuk kunjungan ke China. Agenda apa yang akan dibicarakan semua belum mengetahui. Peneliti Jepang, Masako Kuranishi dari Universitas Tsurumi dan Universitas Seigakuin Jepang mengingatkan Indonesia agar sangat hati-hati terhadap gerakan China di Asia terutama di Indonesia. Jangan sampai salah langkah kalau tak mau negeri Nusantara ini berantakan nantinya gara-gara China. China punya rencana atau konsep besar sejak Oktober 2013 terhadap Asia, yaitu Maritime Silk Road atau sering dijuluki One Belt One Road atau OBOR, sebuah ide yang dilemparkan oleh Presiden China Xi Jinping. Secara kasar dikatakan munculnya hegemoni China terhadap negara-negara di Asia, seperti di Indonesia akan dimulai dengan penguasaan Kereta Api (KA). Daerah yang dilewati akan dikuasai China. Awal kerja patungan 60% Indonesia dan 40% China. Ada agenda tersembunyi, China yakin Indonesia akan susah membayar dan pada akhirnya penguasaan mayoritas akan beralih ke pihak China. Demikian rencana tenaga kerja sejak awal sudah dirancang, akan didatangkan dari China. Gesekan dengan warga pribumi mereka sudah siap. China akan memberikan pinjaman yang sangat besar ke Indonesia. Kuranishi sampai heran Indonesia kok mau menerima pinjaman tersebut, dengan bunga 2%, padahal Jepang bisa memberikan pinjaman dengan bunga 1% per tahun. China dengan bermuka manis sengaja memberikan pinjaman, China itu tahu persis Indonesia akan kesulitan mengembalikan pinjamannya, sehingga akan lebih mudah dikendalikan dan dikuasai menyangkut sumber ekonominya. Itu kata Masako. China begitu manis untuk Indonesia. Bahkan, sejak awal China sudah mempersiapkan sebuah tindakan yang juga diperlukan apabila di Indonesia sampai timbul kerusuhan anti China. Masuklah proyek infrastruktur dari China: pembangunan 24 pelabuhan, 15 bandar udara (bandara), pembangunan jalan sepanjang 1000 km, jalan kereta api 8.700 meter, pembangunan tenaga listrik berkapasitas 35.000 Mega Watt. Itu terjadi setelah Jokowi pidato di KTT APEC di Beijing 8-12 Nopember 2014 yang meminta negara negara pasifik menanamkan modalnya di Indonesia. Ini langsung ditangkap peluang itu oleh China yang sejak abad ke-13 sudah akan menguasai Nusantara. Presiden Jokowi begitu ada tawaran utang (pinjaman) bergerak cepat tanpa berpikir tentang kemampuan membayar dan resiko utang yang akan terjadi. Pada 25-27 Maret 2015, China mengkongkritkan rencana pinjaman dan pembangunan yang dijanjikan China sebelumnya. Gayung bersambut disetujuinya delapan nota kesepakatan China-Indonesia. Dan pada 27 Mei 2015 Wakil Perdana Menteri China datang ke Indonesia. China akan mempererat kerjasama di bidang keamanan politik, ekonomi, dan perdagangan. Presiden Jokowi lengah. Dari kedelapan nota kesepahaman tersebut ada implikasi dan memunculkan isu strategis yang membahayakan negara dengan datangnya jutaan warga China masuk ke Indonesia. Karena penduduk China sudah mencapai 1,6 miliar jiwa. Masuknya warga China ke Indonesia jelas ada skenario lain dari RRC untuk melakukan Overseas Chinese, untuk menguasai sumber daya lain dengan nafas Post-neo-colonialism, juga Planted agent RRC di uar negeri. Kunjungan Presiden Jokowi saat ini ke China diduga kuat tak akan membawa kebaikan untuk bangsa dan negara ini, tetapi justru membayakan Indonesia untuk masa depan. Apalagi Jokowi ketemu Xi Jinping dalam kondisi sangat lemah dari dukungan ekonomi (karena hutang yang sudah jatuh tempo) dan politik (begitu berani  mengembalikan TKA yang sudah masuk ke Indonesia) akan ada ancaman dari China. Pengamat politik Rocky Gerung meyakini, Jokowi dalam pertemuan itu akan membahas masalah Ibukota Negara (IKN) dan utang luar negeri Indonesia.  mengangap, sikap Jokowi dalam membaca geopolitik cenderung dangkal dengan mengunjungi China, kata Rocky Gerung dikutip dari kanal YouTube-nya, Rocky Gerung Official, Selasa (26/7/2022). Bahkan kalau dengan dalih investasi ada agenda menambah hutang kepada China..habis sudah Indonesia. (*)

Kebangkitan dan Jati Diri Umat

Karenanya kerjasama dengan dan belajar tentang kebaikan dari siapa saja adalah tabiat alami dari Umat ini. Kerena percikan-percikan kebaikan itu di mana saja bersumber dari “Al-Haqq”. Oleh: Imam Shamsi Ali, Presiden Nusantara Foundation BERABAD-abad sebelum lahirnya Muhammad SAW, nabi dan rasul terakhir ke dunia ini, Barat (baca Yunani) dan Timur (baca Persia) telah banyak melahirkan filosof-filosof karya-karya besar pada masanya. Keduanya bahkan merupakan bangsa adi daya (super power) yang sangat berkompetisi. Menang-kalah dalam peperangan di antara mereka silih berganti. Dalam situasi itulah Rasulullah diutus dengan ajaran yang universal “laa syarqiyah wa laa ghorbiyah”. Bahwa ajarannya tidak terdefenisiikan oleh batas geografis, Barat atau Timur. Dan yang lebih penting ajaran itu bukan hadir untuk meniru yang dianggap pada masanya. Bahkan di atas dari semua itu dunia menilai peradaban identik dengan Peradaban Yunani (Greek Civilization) di Barat. Dan peradaban Persia (Persian Civilization) di Timur. Arab sendiri dianggap bangsa yang tiada peradaban. Hebatnya Rasulullah pun hadir dengan peradaban pertama yang paling universal dan kokoh. Dan uniknya adalah dalam proses menghadirkan peradaban itu Rasulullah SAW tidak meniru-niru kreasi Barat (Yunani) ataupun Timur (Persia) yang dianggap hebat di zamannya. Pelajaran terpenting dari cuplikan sejarah ini adalah bahwa tidak mungkin untuk Umat ini bangkit jika masih memiliki rasa minder (inferiority complex). Dan dalam proses kebangkitannya, Dan Umat ini tidak pernah kuat dengan belas kasih orang lain, Barat maupun Timur. Umar Ibnu Khattab pernah menegaskan: “Sungguh Allah telah memuliakan kita dengan Islam. Jika kita mencari kemuliaan tanpa Islam, Allah akan menghinakan kita kembali”. Sebenarnya bukan berarti Umat ini tidak perlu belajar dari orang lain. Karena yakinlah kebenaran dan kebaikan itu sifatnya universal. Kebaikan yang ada pada orang lain adalah hikmah-hikmah yang bertebaran dari Sumber yang sama. “Jangan sekali-kali ragu. Karena kebenaran itu dari Tuhanmu”. (Al-Quran). “Hikmah adalah mutiara yang hilang dari beriman. Di mana saja kamu dapatkan ambillah”. (Hadits). Karenanya kerjasama dengan dan belajar tentang kebaikan dari siapa saja adalah tabiat alami dari Umat ini. Kerena percikan-percikan kebaikan itu di mana saja bersumber dari “Al-Haqq”. Yang dimaksud tidak meniru dan menjiplak dari orang lain di atas lebih sesungguhnya sekedar sebagai peringatan agar Umat ini dalam mindset dan mentalitas jangan kehilangan jatidiri. Bahwa apapun dan bagaimanapun keadaan dunia, jati diri Umat ini tetap “iman-Islam”. “Wa laa tahinu wa laa tahzanu wa antum Al-a’launa in kuntum mukminin”. Maka dalam dunai yang berkarakter saling terkait (interconnected) dan saling memerlukan (interdependent) Umat harus mampu menjaga keseimbangan antara antara jatidiri (izzah) dan membangun kerjasama (ta’awun) bahkan belajar (ta’aruf) bersama dan dari orang lain. NYC Subway, 26 Juli 2022. (*)

Brigadir Joshua: “Belajar” dari Kasus Marsinah dan Munir? (2)

“Tapi soal plat untuk cetak bungkus rokok yang dibuat oleh PT CPS Rungkut Surabaya. Dan, Marsinah tahu itu, karena dia pernah kerja di sana,” ungkap seorang advokat senior kala itu. Oleh: Mochamad Toha, Wartawan Forum News Network (FNN) SURAT Perintah Penyelidikan dan Penyidikan itu ditandatangani Pangdam V Brawijaya Mayjen TNI Haris Sudarno selaku Ketua Bakorstanasda Jatim, 30 September 1993 yang ditujukan kepada Kapolda Jatim Mayjen Polisi Emon Rivai Arganata. Haris Sudarno mulai menjabat Pangdam V Brawijaya mulai 30 Maret 1993, menggantikan Mayjen TNI R. Hartono (dengan jabatan terakhir KSAD pada 1995-1997 dengan pangkat Jenderal). (Saya tahu Sprint itu karena saat itu ditunjukkan oleh Asisten Intelijen Kodam V Brawijaya, Kolonel Riswan Ibrahim, ketika diminta datang ke kantornya dan ditanya perihal tulisan dalam FORUM Keadilan yang menulis, usai bertemu ke-13 buruh teman Marsinah pada 5 Mei 1993 yang diundang itu, Kapten Sugeng langsung pulang, tidak keluar lagi hingga esok harinya). Tim beranggotakan Kapolda Jatim dan Komandan Satgas Kadit Reserse Polda Jatim sebagai penanggungjawab. Sementara, anggotanya tim dari Polda Jatim dan Den Intel Kodam V Brawijaya sebagai penyidik/penyelidik. Keikutsertaan Bakorstanasda dalam penanganan kasus Marsinah ini, karena diduga ada keterlibatan anggota TNI, yang isunya mulai dikembangkan oleh Munir yang saat itu masih bergabung dengan LBH Surabaya. Pembunuhan Marsinah ini saat itu menjadi isu Nasional dan, bahkan Internasional. Singkat cerita, dari proses persidangan mereka diputus bersalah dan divonis penjara oleh PNegeri Surabaya dan PN Sidoarjo, serta PT Tinggi Jawa Timur, kecuali Yudi Susanto yang dibebaskan hakim PT Jatim. Jaksa Penuntut Umum yang menolak putusan bebas terhadap Yudi Susanto kemudian mengajukan pemohonan kasasi ke Mahkamah Agung, permohonan kasasi juga diajukan delapan terdakwa lainnya. Pada 3 Mei 1995, MA memvonis sembilan terdakwa Tidak Terbukti melakukan perencanaan dan membunuh Marsinah. Kapten Kusaeri, mantan Danramil Porong pun diputus bebas oleh Mahkamah Militer Surabaya karena memang tidak terkait dengan pembunuhan Marsinah itu. Selesaikah persoalannya? Ternyata tidak juga. “Persidangan dimaksudkan untuk mengaburkan militer tanggung jawab atas pembunuhan itu,” tulis Amnesty Internasional dalam laporannya: “Kekuasaan dan Impunitas: Hak Asasi Manusia di bawah Orde Baru”. Pada 2000 Presiden Abdurrahman Wahid meminta mengusut kembali kasus Marsinah. DPRD Jatim ditugasi Gus Dur membongkar ulang penyidikan dan pengadilan kasus Marsinah. Ketika itu, Ketua Pansusnya adalah Djarot Syaiful Hidayat dari PDIP. “Anda buka file-nya. Anda akan tahu hasilnya apa… dan siapa saya di mata Pansus DPR tingkat I Jatim,” ungkap Kolonel (Purn) CPM Nurhana dalam Nurhana Tirtaamijaya on Februari 22, 2008. “Tapi kenapa tidak diumumkan (ditulis) di media cetak Jakarta? Kenapa tidak diumumkan bahwa kasus Marsinah itu sudah selesai, tuntas secara hukum, yaitu Nebis in idem?” tegas mantan Dan Pomdam V Brawijaya itu. “Kalau Anda memang berniat ingin jadi wartawan yang berani to tell the truth, only the truth, saya dukung…tapi kalau takut…ya sekedar untuk rasa ingin tahu Anda saja,” lanjut Nurhana ketika saya diberi kesempatan wawancara dengan Kusaeri di Markas Pomdam V Brawijaya. Menurutnya, Indonesia tak akan pernah bangkit kalau di era kebebasan pers sekarang ini, “Kejujuran dan kebenaran hakiki tidak ditumbuh-kembangkan oleh para jurnalis kita yang terhormat.” Rupanya kasus Marsinah dimanfaatkan untuk mendeskriditkan TNI sehingga meski secara yuridis sudah selesai, namun secara politis masih dipersoalkan. Yang “dibidik” kali ini adalah Mayor Sugeng, mantan Pasie Intel Kodim 0826. Dasarnya adalah Surat Panggilan beberapa buruh PT CPS untuk menghadap ke Kodim 0816. Surat itu ditandatangani Sugeng. Inilah yang selalu dipakai dasar oleh Munir untuk “menyeret” Sugeng. Surat ini ditemukan dalam tas kresek hitam yang dibawa Marsinah di dekat gubuk hutan Wilangan itu. Secara logika, apa mungkin seorang pembunuh akan meninggalkan jejak seperti surat ini. Sementara, bukti baju yang dia pakai sudah dibakar oleh pihak RSUD Nganjuk. Kalau Marsinah bisa ditanya dan bercerita, dia akan tertawa sambil menangis sedih. Tertawa melihat betapa logika bisa diputar-balikkan oleh para penegak hukum, pakar hukum, pengamat politik, para pengacara terlibat. “Sehingga, sesuatu yang seharusnya sangat mudah menjadi jlimet dan susah dimengerti,” ungkap Nurhana. Marsinah telah mengancam CPS lewat Mutiari, HRD PT CPS, akan melaporkan PT CPS ke Polisi tentang pemalsuan arloji tangan yang diproduksi, apabila jadi mem-PHK 13 temannya. Mutiari kemudian lapor kepada Yudi Susanto, pemilik PT CPS. Yudi Susanto memerintahkan kepala Satpam PT CPS agar menangani Marsinah agar tidak lapor ke Polisi. Kepala Satpam PT CPS kemudian membawa Marsinah ke rumah Yudi Susanto untuk peringatan (bukan untuk dibunuh), tetapi ketika itu Marsinah melawan dengan keras. Selanjutnya mayat Marsinah ditemukan di Wilangan, Nganjuk, tiga hari kemudian. “Itulah hasil temuan Tim Mabes Polri pada 1995 yang dipimpin Brigjen Polisi Rusdiharjo, didampingi Kapolda Jatim Irjen Polisi Rusman Hadi. Tidak ada keterlibatan Sugeng dan Kusaeri sama sekali,” tegas Nurhana. Bahkan, Sugeng, Kusaeri, Busaeri Cs (7 orang) anggota Kodim Sidoarjo telah diperiksa dengan lie detctor oleh tim Forensik Mabes Polri, sampai sebanyak 3 kali diulang lagi hasilnya tetap tidak ditemukan kebohongan pada mereka. Demikian juga Markas Kodim 0816 Sidoarjo yang menurut Munir digunakan membunuh Marsinah, diperiksa oleh tim Forensik Mabes Polri untuk mencari bukti darah Marsinah/DNA-nya, hasilnya pun nihil. Menurut Nurhana, pemeriksaan oleh Mabes Polri itu betul-betul profesional dan jujur, justru pimpinan TNI AD (yang baru diganti saat itu) menghendaki dan memaksakan Sugeng dijadikan terdakwa. “Itu akibat konflik internal tingkat tinggi. Tapi, itu saya tolak, karena tidak terbukti sama sekali, semua adalah fitnah, termasuk Munir juga memfitnah Sugeng,” ungkap Nurhana. “Yang kemudian Sugeng bisa saya loloskan dari fitnah walau akibatnya saya dimutasi dari Dan Pomdam V Brawijaya dan dipindah ke Mabes TNI Jakarta, karena dianggap tidak loyal,” lanjutnya. Menariknya, pada awal penyidikan, sebenarnya Polda Jatim sudah menyita barang bukti berupa mobil Daihatsu Hijet 1000 milik PT CPS yang ditumpangi Marsinah juga malam itu. Di dalamnya juga terdapat bercak darah. Tapi, meski mobil itu sempat dibawa ke PN Surabaya, Kapten Kusaeri tidak bisa memastikan apakah benar itu mobil yang dipakai membawa Marsinah. Bukti “Surat Ancaman” Marsinah yang disita polisi, tidak ada. Konon, isinya bukan ancaman soal pemalsuan arloji di PT CPS, tapi perihal pemalsuan rokok “555” yang dulu dikenal dengan kasus “Triple Five”. Bukan soal rokoknya. “Tapi soal plat untuk cetak bungkus rokok yang dibuat oleh PT CPS Rungkut Surabaya. Dan, Marsinah tahu itu, karena dia pernah kerja di sana,” ungkap seorang advokat senior kala itu. Pabrik apa yang memalsu rokok “555” itu, silakan Anda googling sendiri. Yang jelas, pabriknya yang ada di kawasan Pandaan, Kabupaten Pasuruan, ungkap Sugeng, sempat disegel untuk proses penyidikan. Waktu pengungkapan pun nyaris bersamaan dengan proses penyidikan kasus Marsinah. Seperti dilansir majalah.tempo.co (Sabtu, 27 November 1993), ada 3 tokoh yang dituduh sebagai pemalsunya. Mereka yaitu Ir. Bambang Soelistyo alias Pek Thiam Ek, 40 tahun, Budiyanto Sukihardjo alias Tjwa Hwat Yong, 43 tahun, dan Tono Setiawan alias Lie Tik An, 53 tahun. Menurut penyidik di Polda Jatim, Bambang adalah pencetus ide pemalsuan tersebut. (*)

Analisis Gampangan Pergi ke Cina, Jepang, dan Korsel

Oleh M. Rizal Fadillah | Pemerhati Politik dan Kebangsaan PRESIDEN Jokowi pigi ke China, Jepang, dan Korsel untuk perjalanan singkat masing-masing kebagian satu hari. Lumayan juga sih dikunjungi daripada cuma mampir. Indonesia kan negara super power (less). Agenda katanya untuk membahas perkembangan kawasan dan kerjasama ekonomi seperti investasi,  perikanan, kesehatan, infrastruktur dan tentu ngait G-20.  Jepang dan Korea Selatan adalah blok Amerika yang sedang berhadapan dengan China dalam konflik global. Makanya nanti Agustus Amerika bareng bareng Jepang dan Korsel dalam Latihan Bersama dengan TNI AD. Isunya juga melawan klaim China atas kawasan Laut China Selatan. Tempat latihan di Kepulauan Natuna yaitu lokasi ributnya Indonesia dengan China. Berebut air eh perairan.  Tahun lalu saat Indonesia melakukan Latma Garuda Shield 2021 bersama US Army maka China menampar Indonesia dengan surat protes tanda kekecewaan. Kini Indonesia mengulangi Latma Garuda Shield 2022. Malahan pake \"Super\" segala.  Emang pesertanya luar biasa di samping Indonesia dan Amerika ada 14 negara lainnya ikut termasuk Jepang, Korsel, Inggris, Kanada dan Australia. Wuih.  Di tengah rencana dekat itu Presiden pigi ke China lalu Jepang dan Korsel. Misi yang sudah dipastikan gagal adalah mendamaikan China dengan Amerika. Persis seperti gembar-gembor mendamaikan Rusia dan Ukraina kemarin. Mimpi dapat nobel, malah pas Jokowi pulang Rusia membombardir dahsyat Ukraina. Kini Erdogan Turki yang bisa membawa keduanya ke meja perundingan. Erdogan mungkin belajar dari  pengalaman Jokowi. Jokowi is the best teacher.  Dalam perjalanan Jokowi kali ini sebagai bangsa besar kita Indonesia tidak mau dan tidak tega jika misi perdamaian Presiden RI dijawab dengan \"siapa eloe\" baik oleh China maupun Jepang dan Korsel. Tapi urusan bilateral baik hutang, investasi maupun kerjasama ekonomi lainnya bolehlah sedikit berharap. Tapi jangan terlalu jualan IKN yang di dalam negeri saja masih banyak pro dan kontranya.  Berkunjung ke China tentu menjengkelkan Amerika. Tapi Latma Super Garuda Shield juga menjengkelkan China. Rupanya Jokowi mahir membuat semua jengkel. Risikonya adalah mengambil posisi terjepit dan dapat kehilangan kepercayaan dari keduanya. Artinya Jokowi akan ditampar lagi oleh China, sementara Amerika pada sikap ekstrimnya mungkin akan mengancam kelangsungan kekuasaan Jokowi.  Ke Jepang dan Korea Selatan adalah kunjungan ke negara yang keduanya sekutu setia Amerika. Apa yang diputuskan soal kawasan oleh Jepang dan Korsel tidak akan keluar dari kebijakan atau restu Amerika. Jadi Indonesia mustahil bisa membawa misi China. Permasalahan ekonomi juga tidak mudah mendapat hasil yang signifikan. Jepang sakit hati pada Jokowi yang membohongi soal Kereta Cepat sementara Korsel tersaingi investasi oleh China yang dirangkul brutal oleh Pemerintahan Jokowi.  Nah, melihat kemungkinan gagalnya misi Jokowi dalam perjalanan saat ini, sebagaimana gagalnya misi ke Ukraina dan Rusia, maka ke luar negerinya lagi Pak Jokowi ke China, Jepang dan Korsel bukanlah dilakukan pada momen yang tepat. Karenanya ini hanya dilihat sebagai piknik intensif Pak Jokowi dan istri, bu Iriana.  Tidak apalah sedikit berbagi kebahagiaan kepada Pak Jokowi untuk berjalan-jalan ke luar negeri di saat rakyat sedang bingung dan susah menghadapi kenaikan berbagai harga kebutuhan dan kacaunya penegakkan hukum dan tertib politik. Di tengah agama Islam yang juga sedang diperlakukan tidak baik-baik saja.  Selamat jalan-jalan, Pak Presiden. You are the best traveller now. He he ada yang ngedumel, ga usah pulang lagi aja deh Pak.  Ah ini mah analisa gampang-gampangan, kok. Gak usah dibaca serius.  Bandung, 27 Juli 2022

Brigadir Joshua: “Belajar” dari Kasus Marsinah dan Munir? (1)

Tanpa rasa curiga Marsinah ikut sampai ke pabrik. Ternyata, dari pabriknya, Marsinah dibawa ke rumah Yudi Susanto sang pemilik pabrik dengan mobil Daihatsu Hijet 1000 putih, di Jalan Puspita, Surabaya. Oleh: Mochamad Toha, Wartawan Forum News Network (FNN) ANDAI Polri mau mencari tahu pemegang pistol Glock 17 yang dipakai oleh Bharada Richard Eliezer Pudhihang Lumiu (sebelumnya disebut Bharada E, lalu RE) dengan dalih membela diri saat ditembak oleh Brigadir Nofriansyah Joshua Hutabarat (Brigadir J), tentu saja dengan mudah bisa diungkap siapa pembunuh sebenarnya. Dan, tentu saja, jika otak di balik penembakan itu sudah ditemukan, Polri tak perlu lagi melakukan autopsi ulang pada Rabu, 27 Juli 2022 di Jambi. Begitu pula tak perlu lagi memperdebatkan locus delecti terjadinya penembakan itu. Apakah di rumah dinas mantan Kadiv Propam Polri Irjen Ferdy Sambo, Jum’at (8/7/2022), atau di tempat lain – seperti disampaikan oleh pengacara keluarga Brigadir Joshua, Kamarudin Simanjuntak – antara Magelang hingga Jakarta. “Saya kan sudah sampaikan, usut tuntas, buka apa adanya. Jangan ada yang ditutup-tutupi, transparan. Sudah!” tegas Presiden Jokowi di sela kunkernya di Pulau Rinca, Kabupaten Manggarai Barat, NTT, Kamis (21/7/2022). Jokowi mengatakan, transparansi menjadi sangat penting dalam penyelidikan kasus penembakan yang menewaskan Brigadir Joshua, sehingga tidak muncul keraguan masyarakat terhadap institusi Polri. “Ini yang harus dijaga. Kepercayaan publik terhadap Polri harus dijaga,” papar Presiden Jokowi. Sebelumnya, Presiden Jokowi sudah menerima laporan dari Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo. Jika menyimak pernyataan Presiden Jokowi tersebut, memang terkesan dalam pengungkapan kasus Joshua ini seolah masih ada yang belum transparan. Ini bisa dilihat dari pra-rekonstruksi yang dilakukan pihak Polri di rumdin Ferdy Sambo itu, akhir pekan lalu yang diperankan penyidik. Bharada Richard tidak muncul dalam pra-rekonstruksi itu. Termasuk juga Ny. Putri Chandrawati, istri Ferdy Sambo yang disebut-sebut telah dilecehkan oleh Bharada Joshua. Dari sini dapat disimpulkan, Polri masih “berpegang” dengan narasi awal bahwa “tembak-tembakan” itu terjadi di rumdin Duren Tiga Nomor 46 (DT-46) Jakarta Selatan.   Banyaknya luka di tubuh Joshua mendorong pihak keluarganya minta autopsi ulang, karena diduga sebelum meninggal, mendiang disiksa dulu oleh pelaku penembakan yang hingga kini belum terungkap. Autopsi ulang serupa juga pernah dilakukan pada jasad almarhum Marsinah yang dibunuh secara keji dan dibuang di kawasan hutan Wilangan, Kabupaten Nganjuk, awal Mei 1993. Begitu pula kasus kematian tokoh Kontras M. Munir yang diracun saat terbang ke Belanda, pada 7 September 2004. Misteri Marsinah  Anda mungkin masih ingat kasus Marsinah. Buruh pabrik arloji PT Catur Putra Surya (CPS), Kecamatan Porong, Kabupaten Sidoarjo, yang ditemukan tewas pada 8 Mei 1993 di kawasan hutan Wilangan, Nganjuk. Narasi Polres Sidoarjo yang ketika itu dipimpin Letkol Polisi Sutanto (terakhir menjabat Kapolri dan Kepala BIN dengan pangkat Jenderal Polisi), Marsinah tewas setelah sebelumnya mendatangi Kodim 0816 Sidoarjo untuk mencari beberapa temannya yang dipanggil oleh Pasi I Intel Kapten Sugeng (terakhir berpangkat Mayor dan sudah almarhum), 5 Mei 1993. Karena tidak ditemukan, malam itu juga Marsinah langsung kembali ke kos-kosannya di Desa Siring, Porong. Saat itu Marsinah sempat bertemu  dengan teman lainnya. Setelah pamit pulang ke kosannya, sejak itu Marsinah hilang, dan baru ditemukan tewas pada 8 Mei 1993 di Nganjuk. Wanita asal Desa Nglundo, Sukomoro, Nganjuk, 10 April 1969, itu ditemukan tewas mengenaskan. Hasil autopsi di RSUD Nganjuk dan RSUD Dr Soetomo (jasad Marsinah ketika itu sempat diautopsi 2 kali) menyebutkan, di tubuh buruh pabrik PT CPS yang ini terdapat tanda-tanda bekas luka penganiayaan berat. Autopsi pertama dilakukan Haryono (pegawai Kamar Jenazah  RSUD Nganjuk). Otopsi kedua atas jasad Marsinah dilakukan oleh Prof. Dr. Haroen Atmodirono (Kepala Bagian Forensik RSUD Dr. Soetomo Surabaya). Ditemukan, ada luka tembak di bagian alat vitalnya. Marsinah juga mengalami penyiksaan sebelum dibunuh. Pada leher dan pergelangan tangannya terdapat bekas pukulan hingga menyebabkan menderita luka dalam. Penerima penghargaan Yap Thiam Hiem Award ini pada bagian alat vitalnya terlihat ada benda tumpul yang dimasukkan ke dalamnya. Kasus kematian Marsinah ini menarik perhatian pakar forensik almarhum Abdul Mun\'im Idries. Ia membukukan kasus Marsinah dalam sebuah buku karangannya yang berjudul Indonesia X File. Dalam kasus Marsinah, pakar forensik itu menemukan banyak kejanggalan. Ia menilai visum dari RSUD Nganjuk terlalu sederhana. Hasil visum hanya menyebutkan, Marsinah tewas akibat pendarahan dalam rongga perut. Tidak ditemukan laporan tentang keadaan kepala, leher, dan dada korban. Pembuat visum harusnya menyebutkan apa penyebab kematian, apakah itu karena tusukan, tembakan, atau cekikan? Menurut Mun’im, tidak benar jika hanya disebutkan mekanisme kematian, seperti pendarahan, atau mati lemas. Sementara dalam persidangan terungkap, alat vital Marsinah ditusuk dalam waktu yang berbeda. Namun dalam laporan hasil visum pertama, hanya ada 1 luka. Kejanggalan lain, kata Mun’im, adanya barang bukti yang dipakai untuk menusuk alat vitalnya ternyata lebih besar dari ukuran luka yang sebenarnya. Mun’im pun curiga, bahwa pembuatan visum itu tidak benar. Siapakah pelaku pembunuhan keji itu? Hingga kini belum juga terungkap, meski polisi sudah menyeret para tersangkanya yang di MA dinyatakan “Tidak Terbukti”. Dari hasil penyidikan polisi, ada 10 orang yang diduga terlibat pembunuhan. Ada beberapa orang dengan tugas yang berbeda-beda. Dan, salah satu dari 10 orang terduga pembunuh yang diperiksa Tim Terpadu Bakosrstanasda Jatim adalah anggota TNI. Mereka adalah Yudi Susanto (pemilik PT CPS), Judi Astono (pimpinan pabrik PT CPS Porong), Suwono (Kepala Satpam PT CPS Porong), Suprapto (satpam PT CPS Porong), Bambang Wuryantoyo (karyawan PT CPS Porong), Widayat (karyawan dan sopir PT CPS Porong), Achmad Sutiono Prayogi (satpam PT CPS Porong), Karyono Wongso alias Ayip (Kepala Bagian Produksi PT CPS Porong). Termasuk Mutiari (Kepala Bagian Personalia PT CPS Porong), satu-satunya perempuan yang ditangkap. Selain sembilan orang itu, Tim Terpadu juga menahan Komandan Rayon Militer (Dan Ramil) Porong Kapten Kusaeri, yang dianggap mengetahui kejadian namun tak melaporkan kepada atasan. Persidangan digelar di dua lokasi, yaitu PN Sidoarjo dan PN Surabaya. Mutiari dan Judi Astono disidangkan di PN Sidoarjo, sedangkan terdakwa lainnya di PN Surabaya terkait dengan dakwaan bahwa Marsinah dibunuh para pelaku di kediaman Yudi Sutanto yang berdomisili di Surabaya. Masih menurut polisi, pekerja di bagian kontrol PT CPS Suprapto, bertugas menjemput Marsinah.  Tanpa rasa curiga Marsinah ikut sampai ke pabrik. Ternyata, dari pabriknya, Marsinah dibawa ke rumah Yudi Susanto sang pemilik pabrik dengan mobil Daihatsu Hijet 1000 putih, di Jalan Puspita, Surabaya. Selama tiga hari Marsinah disekap, sebelum nyawanya dihabisi oleh satpam perusahaan bernama Suwono, yang memang ditugasi untuk mengeksekusi Marsinah. (*)

Utang Pemerintah untuk Belanja Produktif: Bodoh atau Pembodohan Publik? (2)

Oleh Anthony Budiawan – Managing Director PEPS (Political Economy and Policy Studies) Alasan kedua, bahwa rasio utang pemerintah terhadap PDB di bawah 60 persen masih aman, juga mencerminkan ketidakmengertian, atau pembodohan publik? Apa arti aman? Yang jelas, utang pemerintah saat ini sudah menjadi masalah *bagi rakyat*, meskipun rasionya di bawah 60 persen dari PDB. Beban bunga utang pemerintah terus naik pesat. Rasio beban bunga terhadap PDB naik dari hanya 11,6 persen pada 2014 menjadi 17,8 persen pada 2019, yang tentu saja disebabkan oleh kenaikan utang pemerintah yang melonjak pesat. Akibatnya, pemerintah menaikkan pajak (PPN) untuk menutupi kenaikan beban bunga utang. Artinya, masyarakat akhirnya yang menanggung beban utang pemerintah tersebut. Apa arti aman? Apakah tidak akan terjadi krisis seperti Sri Lanka? Permasalahan krisis Sri Lanka (dan Argentina atau Turki) pada dasarnya tidak terkait langsung dengan rasio utang pemerintah terhadap PDB. Krisis Sri Lanka merupakan krisis utang luar negeri (termasuk utang swasta dan BUMN), yang relatif terlalu besar dibandingkan dengan kemampuan negara dalam mendapatkan devisa dari ekspor, atau dikenal dengan debt service.  Semakin besar rasio debt service, semakin besar potensi krisis utang luar negeri, yaitu krisis cadangan devisa atau krisis valuta. Rasio debt servic Indonesia pada 2019 cukup tinggi (buruk). Artinya, risiko menjadi krisis cukup besar. Hal ini terbukti, kurs rupiah jatuh lebih dari 20 persen hanya dalam satu bulan saja, jatuh dari Rp13.765 pada 21 Februari 2020 menjadi Rp16.575 per dolar AS pada 23 Maret 2020. Kurs rupiah hanya “terselamatkan” setelah masyarakat internasional sepakat memberi pinjaman senilai 4,3 miliar dolar AS pada awal April 2020, melalui penerbitan global bonds. Artinya, Bank Indonesia ketika itu nampaknya sudah tidak ada kemampuan untuk intervensi kurs rupiah. Cadangan devisa milik Bank Indonesia dan pemerintah nampaknya sudah terkuras dan tidak cukup untuk intervensi. Kenaikan harga komoditas sejak April 2020 memang memberi keuntungan bagi ekonomi Indonesia. Rasio _debt service_ membaik. Tetapi, waspada, ketika harga komoditas turun maka potensi terjadi krisis utang luar negeri akan kembali membesar.  Alasan ketiga, bahwa utang pemerintah digunakan untuk belanja produktif, maka tidak masalah, juga merupakan alasan yang mengada-ada, terkesan bodoh, atau membodohi publik. Tidak ada satu negara di dunia yang (berani) mengatakan utang pemerintah digunakan untuk belanja produktif, atau belanja modal. Karena utang pemerintah tidak dapat dipilah-pilah digunakan untuk belanja yang mana. Apalagi kalau utang pemerintah tersebut berasal dari penerbitan surat berharga negara. Bagaimana memilahnya?  Lagi pula, apa artinya utang pemerintah digunakan untuk belanja produktif? Bagaimana mengukurnya? Apakah pertumbuhan ekonomi menjadi lebih tinggi? Atau rasio penerimaan pajak terhadap PDB menjadi lebih tinggi?  Ternyata, pertumbuhan ekonomi rata-rata per tahun untuk periode 2014-2019 lebih rendah dari periode 2004-2014, yaitu 5 persen versus 5,7 persen. Rasio penerimaan pajak terhadap PDB juga lebih rendah, hanya 10,2 persen rata-rata per tahun untuk periode 2015-2019, turun dari 12 persen pada periode 2005-2014. Jadi apanya yang belanja produktif? Karena itu, klaim bahwa utang pemerintah untuk belanja produktif sama sekali tidak masuk akal, hanya untuk pembenaran tanpa dasar, dan membuat publik menjadi lebih bodoh. Karena, berdasarkan landasan ekonomi, utang pemerintah timbul akibat pemerintah menjalankan defisit anggaran yang harus ditutup oleh utang. Sedangkan defisit anggaran merupakan bagian dari kebijakan fiskal ekspansif untuk menjaga atau meningkatkan pertumbuhan ekonomi, baik melalui belanja sosial maupun belanja modal.  Semoga tulisan ini dapat meluruskan alasan-alasan yang tidak masuk akal, yang menjadi pangkal pembodohan publik. (*)

Utang Pemerintah untuk Belanja Produktif: Bodoh atau Pembodohan Publik? (1)

Oleh Anthony Budiawan – Managing Director PEPS (Political Economy and Policy Studies) Hanya di Indonesia, utang pemerintah menjadi polemik dan debat publik. Debat yang tidak produktif sama sekali. Debat yang membuat masyarakat bingung, dan menjadi lebih bodoh. Utang pemerintah tahun 2021 sudah tembus Rp6.900 triliun. Melonjak dahsyat dibandingkan 2014 yang hanya sekitar Rp2.600 triliun. Bertambah sekitar Rp 4.300 triliun, atau rata-rata Rp614 triliun per tahun. Padahal, selama 10 tahun sejak 2004 hingga 2014, utang pemerintah hanya bertambah Rp1.300 triliun, atau rata-rata hanya Rp130 triliun per tahun. Karena itu, dapat dimengerti kalau masyarakat prihatin atas lonjakan utang pemerintah era Jokowi ini. Masyarakat khawatir utang pemerintah pada akhirnya akan membebani masyarakat, membebani anak dan cucu kita, melalui pajak. Kekhawatiran masyarakat ternyata terbukti. Di tengah ekonomi yang masih sulit, tahun ini, pemerintah menaikkan tarif pajak pertambahan nilai (PPN) dari 10 persen menjadi 11 persen, di samping juga memperluas barang kena pajak, termasuk produk pangan. Pemerintah bijak seharusnya mengerti kekhawatiran masyarakat. Pemerintah seharusnya menjelaskan secara bertanggung jawab. Karena masyarakat merupakan struktur tertinggi di dalam sebuah negara: kedaulatan rakyat, sebagai pembayar pajak, sebagai penanggung jawab akhir atas beban utang negara. Pemerintah memang mencoba memberi penjelasan dengan berbagai alasan. Tetapi, alasannya malah memperkeruh situasi, tidak masuk akal, sehingga terkesan bodoh, atau membodohi publik? Alasan pertama, aset pemerintah lebih besar dari utangnya, maka tidak masalah, alias aman. Alasan Kedua, rasio utang pemerintah di bawah 60 persen dari PDB, di bawah batas undang-undang, maka tidak masalah, alias aman. Dan alasan ketiga, utang pemerintah digunakan untuk belanja produktif, maka tidak masalah. Ketiga alasan tersebut tidak ada dasar rujukan sama sekali. Apalagi rujukan teori ekonomi. Malah terkesan tidak mengerti ekonomi, terkesan bodoh atau membodohi publik?  Alasan bahwa utang pemerintah tidak masalah karena aset pemerintah lebih besar dari utang, menunjukkan tidak paham ekonomi, terkesan membodohi publik. Pertama, pemerintah tidak seperti perusahaan yang bisa _default_ atau gagal bayar. Pemerintah tidak bisa _default_ atas utang dalam rupiah kepada penduduk dalam negeri. Karena pemerintah selalu bisa membayar utangnya dengan menarik utang baru, atau dengan mencetak uang, atau dengan menaikkan pajak. Pemerintah hanya bisa _default_ atas utang luar negeri, yang akan dijelaskan lebih lanjut. Kedua, tidak semua aset pemerintah bisa dijual (divestasi) kepada pihak ketiga, misalnya bendungan, jalan nasional, taman nasional, dan sejenisnya. Karena alasan peraturan dan undang-undang, atau tidak mempunyai nilai komersial. Ketiga, aset pemerintah, lebih tepatnya aset negara, pada dasarnya “tidak terbatas”. Semua lahan, hutan atau pulau yang tersebar di seluruh Indonesia pada prinsipnya aset negara, dan pemerintah bisa “menjual”-nya apabila diperlukan, meskipun aset tersebut tidak tercatat di dalam neraca keuangan negara. (*)

Panggung Politik Kebinatangan Manusia

Oleh: Yusuf Blegur | Mantan Presidium GMNI  Zaman membawa manusia memasuki kehidupan yang disebut modern, namun sesungguhnya sebagian besar hanya menampilkan watak jahiliyah dan lebih barbar dari kaum  primitif. Teknologi memang membawa manusia pada aktifitas yang serba lebih mudah, lebih cepat dan lebih terjangkau. Setiap pergerakan  dirancang guna menghasilkan capaian yang maksimal dengan cara-cara yang efisien dan efektif. Penggunan teknologi di segala bidang memicu produktifitas yang membuat manusia mampu memenuhi bukan saja \"basic human need\". Lebih dari itu, berdampak juga pada keinginan menikmati kepuasan dan  pemenuhan hawa nafsu manusia yang tak akan pernah tercukupi. Di belahan dunia manapun termasuk di negeri ini, kecenderungan dualisme  akan terus mengiringi interaksi sosial  manusia. Tidak sekedar pola hubungan dengan sesamanya, peradaban manusia cenderung mengalami fluktuasi kemanusiaannya pada tataran kualitas dan kuantitas. Termasuk korelasinya pada dinamika hubungan dengan alam dan  keyakinan pada nilai-nilai spiritual termasuk pengakuan dan pengabaian eksistensi Ketuhanan. Pada distorsi yang akut, perangai manusia bisa menempatkan dirinya sebagai mahluk yang paling  buas dan mematikan. Ketika jiwanya sudah dirasuki kebencian dan sikap permusuhan, maka sejatinya manusia telah menjadi binatang yang paling berbahaya terhadap mahluk hidup lainnya di muka bumi. Perang, kejahatan HAM,  korupsi, manipulasi demokrasi, kerusakan  lingkungan dsb. Menjadi realitas tidak sedikit di bumi,  hewan yang  berwujud manusia. Ambisi yang berlebihan pada harta, wanita dan jabatan, membuat kebanyakan orang telah kehilangan kesadaran kemanusiaannya sendiri. Seketika yang tampil bukan saja sikap ego dan ingin menang sendiri. Kerakusan dan keserakahan membentuk mentalitas predator mewujud kanibal yang membunuh dan memakan daging saudaranya sendiri. Tetesan keringat, cucuran air mata dan tumpahan  darah serta kehilangan  nyawa pada banyak orang menjadi sah demi mempertahankan kelangsungan hidup dirinya, komunitas atau kelompoknya sendiri. Wujudnya bagai kebodohan seperti hewan ternak,  keganasannya seperti binatang  buas jenis karnivora. Bertabiat tamak dengan pola hegemoni dan dominasi  yang  memaksakan  dirinya paling unggul dan menguasai orang lain. Wajah kekuasaan baik di dunia maupun di negeri ini, sudah dapat dipastikan sebagai pemburu paling ramah terhadap  \"pooling kapital\" dan beringas terhadap keyakinan religius, terutama Islam. Selain sebagai agama tauhid yang berisi ajaran membentuk sikap ketaatan dan trasendental kepada Sang Khalik. Islam juga memelihara kekuatan  suci yang dapat mengendalikan sifat kebinatangan manusia. Meskipun hal demikian itu tak mudah mengingat faktanya, Islam karena kebenaran dan kemuliannya telah menjadi musuh dunia. Populasi manusia semakin begitu berjarak dengan kekuatan yang hakiki, semakin tak manusiawi dan bertingkah layaknya binatang. Kebinatangan yang liar  di pangung-pangung  politik nasional dan internasional. Globalisasi menyatukannya, menjadi sebuah  panggung politik kebinatangan manusia. Munjul-Cibubur, 26 Juli 2022.