OPINI
Pistol Glock-17 dan Jasad Joshua Sudah “Bicara”: Super Sadis!
Kembali ke hasil autopsi kedua atas jasad Brigadir Joshua. Jika keterangan yang disampaikan pengacara Kamarudin soal kondisi organ ketika autopsi ulang itu sesuai fakta, jelas ini masuk kategori pembunuhan super sadis! Oleh: Mochamad Toha, Wartawan Forum News Network (FNN) SEPERTI yang sudah pernah saya tulis sebelumnya, jasad dan pistol itu bisa “bicara”. Jadi, biarkan jenazah Brigadir Nofriansyah Joshua Hutabarat alias Brigadir Joshua (J) dan senjata pistol Glock-17 yang dipakai Bharada Richard Eliezer Pudhihang Lumiu alias Bharada Richard (E) yang “bicara”. Kombinasi “kesaksian” hasil autopsi kedua atas jasad Brigadir Joshua dengan pistol Glock-17 setidaknya bisa memberikan keterangan perihal luka tembak di tubuh Joshua yang tidak mungkin bisa dielakkan lagi. Apalagi pihak Polri sendiri sudah mengakui bahwa senjata yang dipakai oleh Richard adalah pistol Glock-17, tentunya penyidik tidak perlu repot-repot lagi mencocokkan antara luka tembak dengan senjata yang digunakan. Menurut mantan Kepala Bais TNI Laksamana Muda TNI (Purn) Soleman B Ponto, polisi tinggal menelusuri siapa pemegang pistol Glock-17 buatan Austria itu. Apakah Bharada E atau terdaftar atas nama orang lain. “Apa yang disampaikan oleh Kapolres Jakarta Selatan dan polisi lainnya itu hanyalah cerita. Fakta yang pasti adalah matinya Brigadir J. Itu fakta,” tegas Soleman Ponto dalam tayangan video dari Kanal Corry Official pada Selasa 19 Juli 2022. Soleman Ponto meyakini polisi pasti sudah tahu siapa pembunuh Brigadir J. Sebab, ada pistol Glock-17 yang digunakan menembak Brigadir J. Menurut dia, pistol itu memiliki nomor registrasi. “Dari nomor pistol itu akan ketahuan siapa pemegangnya. Pasti polisi sudah tahu itu. Begitu pistol dipegang yang dilihat nomornya. Tinggal masukkan nomor pasti ketahuan. Apakah pemegang Glock-17 ini Bharada E atau siapa. Nggak usah diperdebatkan mengapa pistol ini ada di tangan E,” jelasnya. Soleman Ponto menyebutnya Glock-17 ini adalah pistol raja-raja. Karena itu harus diselidiki apakah ada nama raja di daftar pemegang Glock-17 tersebut. “Sehingga kalau mau mengungkap ini tidak usah jauh-jauh. Ikuti alur pistol itu. Kan ada 2 pistol yang katanya digunakan buat tembak menembak. Datang saja ke gudang senjata,” ujar Soleman Ponto. “Tinggal dimasukkan nomor pasti muncul siapa pemegangnya. Mudah, tinggal umumkan pistol nomor sekian dipegang oleh siapa. Kalau namanya itu tidak muncul, ini akan jadi pertanyaan lagi. Siapa yang memasukkan pistol itu,” lanjutnya. Dikatakan, setiap senjata yang masuk secara legal dan dipegang oleh orang yang sah, pasti yang bersangkutan memiliki kartu pemilik senjata (KPS). Jadi pertanyaannya, mungkinkah Polri “berani” membuka siapa pemegang Glock- 17 itu, seperti perintah Presiden Jokowi di atas, “buka apa adanya. Jangan ada yang ditutup-tutupi, transparan”? Polisi menyebut saat peristiwa terjadi Bharada Richard menggunakan pistol jenis Glock-17, sedangkan Brigadir Joshua menggunakan pistol jenis HS-9. Jika pemegang Glock-17 sebenarnya sudah diketahui Polri, tidak sulit untuk membuka hubungan kasualitas antara Bharada Richard dengan pemegang pistol tersebut. Karena, pistol itu biasanya dipegang oleh seorang perwira. Seperti kata Soleman Ponto, tidak usah diperdebatkan mengapa pistol ini ada di tangan Bharada E (Richard). Termasuk pula, tidak penting eksekusi itu apakah benar dilakukan di rumdin Irjen Ferdy Sambo, Duren Tiga 46 Jakarta Selatan atau di tempat lain, seperti dugaan pengacara keluarga Brigadir Joshua, Kamarudin Simanjuntak. Biarlah pistol Glock-17 menjadi “saksi” atas penembakan itu. Dan, juga jasad Brigadir Joshua yang “bicara” kebenaran usai autopsi ulang pada Rabu, 27 Juli 2022. Super Sadis! Yang jelas, hingga kini, kematian Brigadir Joshua masih menyisakan banyak misteri di benak masyarakat. Ada banyak pihak menilai kematian ajudan istri Ferdy Sambo, Ny. Putri Chandrawati itu penuh kejanggalan, terutama terkait luka-luka di tubuh jenazah. Untuk mengusut tuntas kasus ini, kepolisian pun memutuskan mengautopsi ulang jenazah Joshua, yang dilakukan tim kedokteran forensik independen di RS Sungai Bahar, Jambi pada Rabu, 27 Juli 2022. Kamaruddin Simanjuntak selaku pengacara keluarga Joshua mengungkap hasil autopsi ulang dalam acara live streaming Hendro Firlesso. Setelah 3-4 jam hasil autopsi, Kamarudin juga mengatakan untuk dilakukan pemakaman secara kedinasan dikarenakan ia meninggal gugur dalam tugas. Namun, masih terhambat administrasi. Kapolresta Jambi Kombes Pol. Eko Wahyudi S IK menjelaskan ke Kamaruddin bahwa bakal ada upacara pemakaman secara kedinasan untuk alm. Brigadir Joshua. Setelah pemakaman tersebut Kamaruddin menjumpai Magister Kesehatan Herlina Lubis dan salah satu dokter yang ditunjuk untuk mengamati dan menganalisa hasil autopsi dan visum. Ia melihat hasil forensik dan di-akta notariskan. “Yang dilaporkan kepada ahli kita pertama, ketika kepalanya dibuka otaknya sudah tidak ditemukan,” ujar Kamaruddin, seperti dilansir tribun-medan.com (Jumat, 29 Juli 2022 19:04 WIB). Setelah mereka raba-raba kepalanya ternyata ada semacam penempelan lem, setelah diraba-raba rambutnya ternyata disitu ada lobang disondek (ditusuk) lobang itu tembus kemata dan hidung. Diduga alm ditembak dari belakang kepala hingga jebol sampai ke hidung depan. Kemudian ditemukan juga di dalam tengkorak enam retakan diduga karena tembakan, mungkin juga akibat lain. Saat dibuka bagian perut sampai ke kepala, ditemukan otaknya yang pindah ke bagian perut. Kemudian kedua, ditemukan juga diduga tembakan dari leher mengarah ke bagian bibir. Ketiga, ditemukan lobang di dada diduga bekas tembakan. Yang keempat, ada lobang yang diduga juga keempat lobang tersebut bekas peluru. Selain itu juga ditemukan di bagian bahu ada luka terbuka yang dagingnya hampir terkelupas yang masih belum tahu apa penyebabnya, yang diduga bukan akibat peluru. Ditemukan juga di lengan bagian bawah patah, yang di mana masih belum diketahui patahnya kenapa masih harus disimpulkan oleh dokter forensik. Di bagian jari kelingking dan jari manis ditemukan patahan-patahan jari, di sekitar kukunya, dan sudah diambil sampelnya untuk dipastikan penyebab patahnya kenapa. Di punggung di bagian belakang juga ada memar, di bagian kaki sebelah kiri ditemukan ada memar dan sudah diambil sampelnya. Di pergelangan kaki kiri bawah ada juga lobang yang masih belum tahu itu penyebabnya. “Itulah secara umum, tetapi sebenarnya masih banyak lagi temuan-temuan, tapi itu semua sudah diaktakan notaris,” ujar Kamarudin. Sebelumnya, Brigadir Joshua diduga tewas setelah terjadi “tembak-tembakan” dengan Bharada Richard di rumah dinas Irjen Ferdy Sambo, di Duren Tiga 46 Jakarta Selatan, pada Jumat (8/7/2022) lalu. Seperti yang diketahui, kepolisian bersama pihak terkait telah melaksanakan pra-rekonstruksi insiden penembakan Brigadir Joshua di lokasi kejadian itu. Kemudian, Rabu (27/7/2022) lalu, jenazah Brigadir Joshua diotopsi ulang sesuai permintaan keluarga. Selanjutnya, tinggal menunggu hasil dari proses autopsi tersebut yang diperkirakan akan keluar 1 hingga 2 bulan dan akan digunakan untuk mengungkap kasus penembakan Brigadir Joshua. Tapi, informasi awalnya diketahui ada dugaan beberapa luka yang terdapat pada tubuh Brigadir Joshua. Dalam keterangannya, Dokter Forensik yang menangani proses autopsi ulang mengungkap temuan baru terkait luka yang ada pada tubuh Brigadir Joshua. Tim forensik memperoleh hasil pemeriksaan yang menunjukkan beberapa luka pada tubuh Brigadir Joshua tidak hanya diakibatkan oleh senjata api sehingga diperlukan konfirmasi lebih lanjut. “Dalam proses tadi kami berhasil meyakini adanya beberapa luka. Kami tetap harus melakukan penanganan lebih lanjut melalui pemeriksaan mikroskopik,” ungkap Ketua Umum Perhimpunan Dokter Forensik Indonesia (PDFI), dr. Ade Firmansyah Sugiharto di Jambi pada Rabu (27/7/2022), dilansir VIVA. Menurut Ade Firmansyah, proses autopsi ulang yang dilakukan itu berfokus kepada luka pada tubuh almarhum Brigadir J yang menuai kecurigaan dari keluarga. “Tentunya akan diperiksa secara intravitalitas. Apakah itu luka sebelum terjadi peristiwa atau setelah peristiwa,” ujarnya. Selain itu, dr. Ade juga mengungkapkan bahwa pihaknya sempat mengalami kesulitan dalam proses ekshumasi atau autopsi ulang dikarenakan kondisi jasad yang sudah mulai mengalami pembusukan dan terkena zat formalin. “Saya pernah sampaikan terkait autopsi jenazah Brigadir J ini pastinya ada memiliki beberapa kesulitan. Pertama, jenazah sudah diformalin dan sudah mulai alami pembusukan,” Pungkas dr. Ade. Selanjutnya, tim forensik akan membawa sampel untuk diuji kembali melalui pemeriksaan mikroskopik. Ade menuturkan, tentunya proses akan memakan waktu yang cukup lama yakni 1 bulan atau lebih. “Kami tidak ingin tergesa-gesa dalam pemeriksaannya, jadi diperkirakan hasil autopsi akhir dapat diketahui antara 4 pekan dan 8 pekan dari sekarang,” ujar Ade menjelaskan. Seperti halnya jasad aktivis HAM Munir Said Thalib yang tewas saat berangkat ke Belanda, 7 September 2004, hasil autopsinya baru diketahui dua (2) bulan kemudian. Hasil autopsi lembaga forensik pemerintah Belanda (Netherland Forensisch Instituut-NFI) disebutkan, dalam lambung Munir terdapat kandungan racun arsenik melebihi batas maksimal yang bisa ditoleransi tubuh: 456 mg. Kembali ke hasil autopsi kedua atas jasad Brigadir Joshua. Jika keterangan yang disampaikan pengacara Kamarudin soal kondisi organ ketika autopsi ulang itu sesuai fakta, jelas ini masuk kategori pembunuhan super sadis! Apalagi, sampai terjadi hal yang di luar dugaan: “otak Brigadir Joshua pindah ke bagian perut”, yang diduga dilakukan para dokter forensik sebelumnya. (*)
Resepsi, Silaturahmi dan Konsolidasi
Oleh: Yusuf Blegur | Mantan Presidium GMNI Ada yang saling bersitegang dan berupaya menegasikan. Ada yang tidak mau berkomunikasi apalagi bertemu. Ada yang kalaupun mencoba berinteraksi tapi cuma sekedar basa-basi. Para pesohor dan pemangku kepentingan publik sering terlihat seakan menjalin hubungan yang baik, meski dengan agenda dan kepentingan masing-masing. Namun semua suasana psikopolitik itu tak dijumpai saat mereka berhadapan dan berkumpul di pesta pernikahan putri seorang Anies Baswedan. Lebih terbuka, hangat dan familiar terasa di antara mereka. Pantaslah acara hajatan sakral Anies itu disebut sebagai agregasi resepsi, silaturahmi dan konsolidasi. Politik tidak hanya tersaji dalam musyawarah atau konggres partai. Tidak juga selalu pada saat pemilu atau sesudahnya di parlemen. Komunikasi dan pesan politik bisa juga hadir di tengah hidangan meja makan, membuat video konten, membangun citra diri dan tampil beda dari yang sesungguhnya serta masih banyak lagi kreatifitas dan inovasi yang tak terbatas oleh ruang dan waktu. Dalam hal yang unik dan langka, kalau belum pantas disebut anti mainstream, ada celah politik yang bisa saja muncul dari pelbagai kesempatan. Misalnya suasana kedukaan, kebahagiaan dan beragam peristiwa langka yang bisa dijadikan momen politik. Entah disengaja atau tidak, dirancang ataupun tidak bahkan direkayasa atau terjadi secara alami pun, manuver politik selalu ditunggu-tunggu dan terbuka lebar. Begitupun acara pernikahan Mutiara Annisa Baswedan dengan Ali Saleh Alhuraiby yang menjadi begitu istimewa. Sebabnya, selain kebahagiaan turut menyertai bukan saja kepada kedua mempelai dan keluarganya. Lebih dari itu, pernikahan putri dari seorang gubernur Jakarta yang digadang-gadang menjadi capres pada pilpres 2024, menjadi momen spesial yang sarat nilai-nilai sosial, budaya, dan beraroma politik. Salah satu hajat menunaikan kewajiban orang tua sesuai amanat dan syariat agama itu, membuat kegiatan sakral Anies Rasyid Baswedan berefek seperti melakukan \"breaking ice\" dari kebekuan dinamika abdi pemerintahan dan para petinggi partai politik yang hadir. Kegiatan Walimatul Arsy putri Anies itu, seakan membuat polarisasi, konstelasi dan konfigurasi para pelaku kekuasan menjadi lebih cair. Kehadiran presiden Indonesia Bapak Joko Widodo, sejumlah birokrat dan pengusaha serta banyak tamu kalangan penting termasuk ketua umum partai politik. Membuat gelaran akad dan resepsi pernikahan tersebut memilik daya tarik tersendiri. Dalam sorotan publik, acara besanan Anies Basewdan dengan Saleh Ali Alhuraiby, selain resepsi, terangkai juga silaturahmi dan konsolidasi dari kunjungan para tamu terhormat. Disebut resepsi, silaturahmi dan konsolidasi pada kegiatan yang diselenggarakan pada 29, 30, 31 Juli 2022, di Putri Duyung Resort Ancol, yang tempatnya tidak jauh dari keberadaan Jakarta Internasional (JIS) yang megah dan perhelatan Formula E yang sukses luar biasa sebagai buah karya Anies. Menjadi memiliki filosofis dan makna tersendiri, beriringan dengan mungkin saja suasana kontestasi dan persaingan yang ada yang menyelimuti tamu-tamu undangan itu. Tak ada mimik, gimik dan gestur yang tampil tendensius memancarkan perang urat saraf, saling menjatuhkan dan jegal-menjegal bagi bakal capres, oleh masing-masing kandidat, para cukong atau oligarki beserta buzzernya pada acara pelaminan pengantin di kawasan Ancol itu. Semua seketika menjadi harmonis, selaras dan guyub, betapapun kepentingan dan orientasinya berbeda-beda. Lepas dari itu semua, apapun persfektif dan interpretasinya. Gelaran pernikahan satu-satunya anak perempuan Anies seperti membawa berkah. Bukah hanya kebahagian bagi pengantin dan kedua keluarga yang terlibat. Suasana teduh dan sejuk, atmosfer persahabatan dan persaudaraan serta senyum dan tawa keceriaan menjadi terasa menghinggapi undangan para pesohor dan memengaruhi rakyat, negara dan bangsa Indonesia. Boleh jadi selain menyimpan agenda politik, mereka juga ikut merasakan kebahagian yang ada, khususnya pada Anies. Semoga saja kebahagiaan pada Anies yang menjadi kebahagiaan elit pemerintah dan partai politik juga, tidak berhenti dan selesai pada waktu dan tempat dalam kawasan Ancol semata. Suasana kebahagian bersama terutama yang spesial dirasakan Anies, bisa juga menyeruak ke tempat yang lebih jauh dan lebih luas lagi. Di kawasan jalan Merdeka Barat misalnya, tepatnya di Istana Negara Merdeka. Kenapa tidak?, kalau resepsi, silturahmi dan konsolidasi sudah dianggap baik dan sukses penyelenggaraannya. Apa yang tidak mungkin di dunia ini, termasuk di negeri ini. Wallahu a\'lam bishawab. Munjul-Cibubur, 31 Juli 2022.
Tahun Baru Islam, Hijrah dan Kebangkitan Komunal Umat
Sebagaimana pesan Allah dalam Al-Quran: “Sesungguhnya Allah tidak akan merubah nasib suatu kaum kecuali kaum itu merubah diri apa yang ada pada diri mereka sendiri”. Oleh: Imam Shamsi Ali, Presiden Nusantara Foundation SALAH satu keunikan Islam adalah sebagai Diin tidak saja hadir sebagai petunjuk hidup. Tapi sekaligus menjadi identitas dasar bagi pemeluknya. Al-Quran menggariskan bahwa Dakwah itu tidak sekedar mengajak nanusia ke jalan Allah. Namun tidak kalah pentingnya adalah umat ini harus mampu menjadikan Islam sebagai identitasnya. “Dan adakah perkataan yang lebih baik dari siapa yang mengajak kepada Allah, beramal saleh, dan berkata: sesungguhnya aku adalah bagian dari orang-orang Islam”. Bagian akhir dari ayat di atas menggambarkan urgensi menampilkan identitas. Tentu kata “qaal” bukan sekedar secara lisan al-Kalimah (words). Tapi hal yang paling mendasar adalah secara lisan al-hal (action) atau ketauladanan. Satu dari sekian banyak identitas keislaman Umat ini adalah dalam identifikasi tahun atau kalender. Saya tidak mengatakan ada larangan menggunakan tahun masihi (Gregorian calendar). Saya hanya ingin menegaskan bahwa salah satu identitas kolektif Umat adalah kalender Islam yang lebih dikenal dengan tahun Hijriyah. Hari ini Jumat, 29 Juli, bersamaan dengan tgl 30 Dzulhijjah 1443H. Dengan demikian, Sabtu 1 Agustus sekaligus adalah tanggal 1 Muharram sebagai awal tahun baru Islam 1444 Hijriyah. Jika saja Umat Islam tahu dan sadar betapa pentingnya tahun baru Islam ini pastinya mereka akan menyambut dengan gegap gempita penuh dengan kegembiraan. Sayang yang kita rasakan hanya biasa saja. Hampir tidak ada penyambutan yang mengekspresikan kebahagiaan dan kebanggaan itu. Saya khawatir bahwa ini hanyalah salah satu penampakan dari penyakit kronis Umat yang sedang mengalami “inferiority complex” atau penyakit “minder” yang krusial. Tahun Baru dan Hijrah Kita mengenal dari sejarah bahwa Umat pertama kali menyepakati untuk memiliki kalender tahunan sendiri di masa khilafah Umar RA. Ketika itu ragam usulan sebagai identifikasi awal kalender. Ada yang mengusulkan tahun lahirnya Rasulullah atau Milad. Ada juga tahun diangkatnya beliau menjadi Rasul atau bi’tsah. Sebagian bahkan mengusulkan di hari wafatnya beliau. Namun Umar yang kita kenal memiliki ketajaman batin yang hebat memutuskan bahwa identifikasi tahun baru Islam adalah Hijrahnya Rasulullah SAW. Artinya hari pertama tahun Islam ditandai dengan berpindahnya Rasulillah SAW dari Mekah ke Madinah. Penetapan awal tahun Islam dengan Hijrah tentu bukan tanpa pertimbangan yang dalam. Satu di antaranya adalah bahwa Hijrah sesungguhnya dalam rentang sejarah perjalanan Umat ini dianggap sebagai tonggak kebangkitan Umat secara kolektif. Dengan demikian pemilihan Hijrah sebagai awal kalender Islam sekaligus menunjukkan bahwa Umat ini harus bangkit tidak saja secara individual (personal). Tapi juga sebagai Komunitas dan bangsa atau Umat. Fase-fase Perjalanan Umat Sejujurnya dalam perjalanan sejarah Umat ini adalah lima fase terpenting dalam sejarahnya. Dan semua fase-fase itu memiliki urgensinya masing masing. Pertama, kelahiran Muhammad SAW yang dianggap sebagai fase awal perjalanan Umat ini. Dengan lahirnya Muhammad berarti dunia siap mengalami perubahan besar. Dunia yang selama ini gelap gulita (zhulumat) kini akan tersinari dengan cahaya samawi dengan lahirnya manusia agung dan sempurna. Kedua, diangkatnya Muhammad SAW menjadi nabi dan rasul Allah SWT. Peristiwa ini dikenal dengan bi’tsah dan ditandai dengan turunnya wahyu pertama kepada baginda Muhammad SAW. Fase ini adalah fase awal seruan (Dakwah) ke jalan Allah. Ketiga, seruan ke jalan Allah mengalami resistensi yang besar. Puncak dari semua itu adalah diboikotnya Bani Hasyim, keluarga dekat Rasulullah, oleh masyarakat Arab secara umum. Pada fase ini baginda Rasul mengalami goncangan yang luar biasa. Dua orang terdekat beliau meninggal dunia; Abu Thalib dan Khadijah RA. Keempat, sebagaimana janji Allah “ma wadda’aka Rabbuka wa maa qalaa” (Allah tidak meninggalkanmu dan menyia-nyiakan kamu), Allah mengajak hambaNya itu berjalan di malam hari bahkan baik ke dunia lain. Peristiwa ini adalah pemberian besar yang Allah berikan, termasuk karunia sholat sebagai hadiah besar. Peristiwa itulah yang dikenal dengan Isra’ Mi’raj yang sekaligus dikenal sebagai momentum kebangkitan Umat pada tataran individual. Kelima, dua tahun kemudian, tepatnya pada tahun ketiga belas kenabian Allah memerintahkan RasulNya untuk berhijrah ke Yatsrib yang belakangan dirubah menjadi Al-Madinah Al-Munawarah. Jika Isra’ Mi’raj dikenal sebagai momentun kebangkitan individual Umat, Hijrah sesungguhnya adalah peristiwa yang menyimbolkan kebangkitan umat secara kolektif. Setelah Hijrahnya Rasulullah ke Madinah berbagai peristiwa kemudian terjadi sebagai jalan alami menuju kemenangan yang dijanjikan. “Sesungguhnya janji Allah itu dekat” (Al-Quran). “Dan sungguh Allah tidak akan mengingkari janjiNya” (Al-Quran). Puncak dari semua itu adalah resistensi kaum musyrik Quraish bagi Rasulullah dan pengikutnya untuk menjalankan perintah Allah berhaji. Resistensi mereka inilah yang melahirkan “Perjanjian Hudaibiyah” yang juga sekaligus merupakan pintu yang membuka terjadinya kemenangan akbar atau Fathun Mubina. Yaitu ditaklukkannya Mekah oleh Rasulullah pada bulan Ramadan di tahun ke 8 Hijrahnya Rasulullah SAW. Kesimpulan Kesimpulan yang ingin saya garis bawahi kali ini adalah bahwa penetapan kalender Islam dimulai dengan peristiwa Hijrah Rasul ke Madinah. Hal ini karena Hijrah merupakan simbol kebangkitan Umat secara kolektif. Melalui Hijrah Umat terbentuknya. Bahkan dengan Hijrah perdaban dunia baru terbangun dari Madinah. Sekaligus mengingatkan kita bahwa Umat ini tidak mungkin akan bangkit kecuali kembali merajut identitasnya yang hakiki. Untuk memungkinkan merajut identitas itu diperlukan Hijrah. Tentu Hijrah dalam konteks masa kini adalah Urgensi bagi Umat ini untuk melakukan “self change” atau perubahan. Sebagaimana pesan Allah dalam Al-Quran: “Sesungguhnya Allah tidak akan merubah nasib suatu kaum kecuali kaum itu merubah diri apa yang ada pada diri mereka sendiri”. Dan perubahan itulah sejatinya esensi dari Hijrah dalam perspektif masa kini. Semoga! Jamaica City, 30 Dzulhijjah 1443 H. (*)
Mengetuk Pintu Langit
Oleh: Yusuf Blegur | Mantan Presidium GMNI ANIES telah menjadi bagian penting dari Indonesia dan Indonesia juga telah menjadi bagian penting dari Anies Ada kekhawatiran dan sikap pesimis banyak pihak terkait dukungan partai politik terhadap keinginan sebagian besar rakyat Indonesia yang menginginkan Anies sebagai presiden.* *Akankah Anies lolos atau tidak sebagai capres karena faktor partai politik. Sejarah mendatang akan memperlihatkan, apakah kebijakan partai politik akan linear dengan takdir Tuhan? Anies Rasyid Baswedan tak terbantahkan lagi telah mencapai tingkat populisme tertinggi dibanding capres yang lainnya. Tanpa rekayasa lembaga suvey dan framing jahat politisi busuk, buzzer rendahan dan ternak oligarki lainnya. Pemimpin masa depan Indonesia itu, berhasil meraih kemurnian simpati dan empati serta dukungan rakyat. Rakyat seperti gelombang air bah yang tak pernah surut mendeklarasikan capres figur Anies, dengan sukarela, mandiri dan dengan kecintaan yang luar biasa karena prestasi dan ahlaknya. Seiring menguatnya menguatnya populeritas Anies dan dukungan rakyat terhadap pencapresannya. Seiring itu pula, resistensi terhadap Anies mencecarnya. Mulai dari intrik, isu dan fitnah, perlakuan-perlakuan tidak etis dan tidak menyenangkan dalam pergaulan pemerintahan kerapkali menghinggapinya, meskipun Anies seorang pejabat penting dan strategis sekalipun. Belakangan Hasto Kristianto seorang sekjend PDIP, dengan terkesan bertendensi mengolok-olok di suatu forum menanyakan tentang 7 prestasi Anies. Memang begitu memprihatinkan budaya politik di Indonesia. Sekelas aktifis media sosial hingga petinggi partai politik besar, tak mampu lagi menunjukan kapasitas dan kualitas diri dengan menyerang lawan politik tanpa dasar, tanpa moralitas dan secara membabi-buta. Ambisi membunuh karakter dan ingin menjatuhkan sesorang, bisa mengalahkan etika dan keilmuan terhadap lawan politik. Rasa kebencian dan permusuhan terhadap seorang Anies menutupi rasa hormat bahkan terhadap integritas dan prestasi yang membanggakan yang telah diakui dalam skala nasional dan internasional sekalipun. Seperti yang pernah dikatakan oleh Buya Hamka seorang sastrawan dan ulama besar negeri ini, bahwasanya jalan kepemimpinan adalah jalan penderitaan. Pemimpin bukan saja harus sanggup menderita, ia juga harus menerima realitas kepemimpinannya ada yang suka dan ada yang tidak suka. Bahkan kalau mau mengambil hikmah yang lebih tinggi dari kisah para Nabi. Nabi Muhammad Shallallahu Alaihi Wasallam yang agung dan mulia, merupakan pemimpin yang memiliki pengikutnya, namun tidak sedikit yang membenci dan memusuhinya. Anies harus melewatinya, tak bisa terhindarkan betapapun rakyat mendukungnya tetap saja ada kepentingan-kepentingan tertentu yang ingin menjegal karir politiknya terutama pada perhelatan pilpres 2024. Saat capres-capres lain disinyalir berasal dan didukung oleh kekuatan oligarki baik dari korporasi maupun partai politik. Anies tetap tenang, fokus dan menyelesaikan amanat kepemimpinannya selaku gubernur Jakarta dengan sebaik-baiknya. Seperti peribahasa \"Anjing menggonggong kafilah berlalu\", Anies terus mengukir prestasi membawa karya nyata memanusiakan manusia untuk warga Jakarta dan seluruh rakyat Indonesia. Dalam banyak keraguan dan sikap pesimistis terhadap pencapresan Anies terkait dukungan partai politik yang akan mengusungnya. Menjadi perhatian penting bagi para pendukung Anies dan seluruh rakyat Indonesia yang akan memilihnya sebagai presiden RI dalam pilpres 2024. Setelah populeritas, euforia dan ketetapan hati untuk menjadikan Anies sebagai pemimpin nasional. Ada baiknya niat luhur dan keinginan terhadap kebaikan negara dan bangsa Indonesia itu, dilandasi dengan keyakinan spiritual yang sungguh-sungguh. Bahwa menjadikan Anies sebagai presiden merupakan bagian dari upaya memperbaiki dan meningkatkan kualitas kehidupan rakyat. Menjadikan kepemimpinan Anies bukan hanya sekedar ingin mewujudkan cita-cita proklamasi kemerdekaan Indonesia dengan melaksanakan Pancasila, UUD 1945 dan NKRI. Bukan cuma menghadirkan negara kesejahteraan yang di dalamnya terdapat keadaan rakyat yang adil dan makmur. Lebih dari itu, kehendak rakyat yang ingin menghantarkan Anies sebagai kepala negara sekaligus kepala pemerintahan itu, merupakan kesadaran ikhtiar dan tawaqal bagi bangsa Indonesia menuju negara yang \'baldatun thayyibatun wa rabbun ghafur\'. Menjadi perwujudan dari hakekat \'habluminnallah wa habluminannas\', yang menjadi dasar dari keimanan seseorang baik secara individu dan bagian dari sistem sosial yang ada menuju pengabdian kepada Tuhannya. Bukan hanya soal urusan partai politik, bahkan nasib dan masa depan rakyat dan negara bangsa Indonesia harus dilihat sebagai proses trasedental. Ada kekuasaan Tuhan yang paling tinggi di atas kekuasaan manusia, presiden dan rakyat sekalipun. Ada keputusan Tuhan yang berlaku yang jauh melebihi keinginan para oligarki termasuk di dalamnya korporasi dan partai politik. Jangankan hasil pilpres 2024, nasib oligarki berupa pemilik modal dan politisi itu sangat bergantung pada ketetapan Ilahi. Oleh karena itu, selayaknya seluruh rakyat Indonesia termasuk yang mendukung ataupun yang menentang Anies sebagai presiden. Harus bisa menyadari biar bagaimanapun hasrat dan ambisi dikobarkan terkait bagaimana melihat dan mengupayakan Indonesia ke depan. Sebagaimana keyakinan umat Islam, Allah tidak akan merubah nasib suatu kaum, kecuali kaum itu yang merubahnya sendiri. Tetaplah apapun yang terjadi, hanya takdir yang menjadi ketentuan Allah yang akan berlaku. Boleh jadi suka atau tidak suka, senang atau tidak senang, in syaa Allah Anies akan terpilih sebagai presiden dalam pilpres 2024. Selain kerja keras dan kerja cerdas dari para pendukungnya dan sebagian besar dari seluruh rakyat Indonesia. Akan ada kemenangan yang terhormat dan bermartabat dalam hajatan demokrasi tertinggi di republik ini, tentunya dengan doa dan harapan dari seluruh rakyat Indonesia serta mengharapkan rahmat dan keridhoan Allah Subhanahu Wa Ta A\'la dengan cara mengetuk pintu langit. Munjul-Cibubur, 29 Juli 2022.
Pemilu Mengancam Perpecahan Bangsa: Hentikan Dengan Dekrit Presiden!
Dengan Dekrit Presiden 2024, maka Indonesia akan kembali pada sistem negara berdasarkan Pancasila. Melakukan Retoling terhadap lembaga-lembaga negara, seperti yang dilakukan Soekarno dengan Dekrit Presiden 5 Juli 1959. Oleh: Prihandoyo Kuswanto, Ketua Pusat Kajian Studi Rumah Pancasila PEMILU pada 2024 sudah mulai pemanasan. Di sana-sini partai politik dan elit politik kasak-kusuk untuk mengatur strategi. Ada yang berkoalisi, ada juga yang menginginkan Presiden Joko Widodo dicalonkan lagi untuk ketiga kalinya, walau konstitusi membatasi masa jabatan presiden hanya dua kali masa jabatan. Tetapi ada yang ngotot ingin tiga kali dengan segala macam strategi termasuk menunda pemilu. Pergantian UUD 1945 dengan UUD 2002 telah terjadi perubahan yang sangat mendasar, bahkan telah menghabisi sistem negara berdasarkan Pancasila. Artinya telah terjadi pengkhianatan terhadap sistem yang telah dibangun oleh Soekarno dan bapak pendiri bangsa. Sejak awal mula Bung Karno selalu mengajarkan persatuan bangsanya. Sebab bangsa atau rakyat adalah satu jiwa. Jangan kita kira seperti kursi-kursi yang dijajarkan. Nah, oleh karena bangsa atau rakyat adalah satu jiwa, maka kita pada waktu memikirkan dasar statis atau dasar dinamis bagi bangsa, tidak boleh mencari hal-hal di luar jiwa rakyat itu Beograd. [Pancasila sebagai dasar negara, hlm. 37] Entah bagaimana tercapainya “persatuan” itu, entah bagaimana rupanya “persatuan” itu, akan tetapi kapal yang membawa kita ke Indonesia. Merdeka itu, ialah ….”Kapal Persatuan” adanya. [Di bawah bendera revolusi, hlm. 2] Rupanya kapal persatuan itu telah oleng dan bocor akibat badannya persatuan telah digerogoti oleh individualisme, liberalisme, pertarungan atas nama demokrasi. Amandemen UUD 1945 telah mengingkari salah satu prinsip, yaitu persatuan Indonesia. Logika akal sehat yang mana lagi yang kita dustakan kalau cara berdemokrasi kita pertarungan kuat-kuatan, kalah-menang, banyak-banyakan suara post truht. Apa bisa perstuan kita bangun dengan di atas permusuhan, kecurangan dan tidak adanya kepercayaan antar anak bangsa. Tidak ada dua bangsa yang cara berjuangnya sama. Tiap-tiap bangsa mempunyai cara berjuang Beograd, mempunyai karakteristik Beograd. Karena pada hakekatnya bangsa sebagai individu mempunyai kepribadian Beograd. [Pancasila sebagai dasar negara, hlm. 7] Bangsa adalah segerombolan manusia yang keras ia punya keinginan bersatu dan mempunyai persamaan watak yang berdiam di atas satu geopolitik yang nyata satu persatuan. (Pancasila sebagai dasar negara hlm. 58) Negara ini didirikan dan dibangun dengan 5 prinsip berbangsa dan bernegara yang disebut Pancasila. Amandemen UUD 1945 telah memporak-porandakan prinsip-prinsip yang sudah menjadi konsensus pendiri negeri ini. Akibat dari amandemen 1945 kita kehilangan jati-diri sebagai bangsa, kita kehilangan rasa nasionalisme ke Indonesiaan. Kehidupan berbangsa dan bernegara telah kehilangan roh kita tidak lagi mempunyai prinsip tersendiri justru kita menjadi bangsa yang tergantung pada negara Asing negara Imperalisme. “Saya benci imperialisme. Saya membenci kolonialisme. Dan saya takut konsekuensi perjuangan terakhir mereka untuk hidup. Kami bertekad, bahwa bangsa kami, dan dunia secara keseluruhan, tidak akan menjadi tempat bermain dari satu sudut kecil dunia.” (Soekarno Indonesia Menggugat). Nasionalisme kita adalah nasionalisme yang membuat kita ini menjadi “perkakasnya Tuhan”, dan membuat kita menjadi “hidup di dalam rokh”. [Suluh Indonesia Muda, 1928] Amandemen yang telah dilakukan terhadap UUD 1945 membuat negara ini porak-poranda. Sebab, sistem negara berdasarkan Pancasila telah diganti dengan sistem presidensial yang basisnya individualisme maka kekuasaan diperebutkan banyak banyak suara, pertarungan, kuat-kuatan, kalah-menang dan banyak-banyakan uang. Megawati Soekarnoputri dengan BPIP-nya masih ngotot me-ngunya-ngunya Pancasila. Padahal sistem negara sudah tidak berdasarkan Pancasila. Terus Badan Pembinaan Ideologi Pancasila Paradox terhadap sistem pemerintahan yang sedang dijalankan. Ini jika ditilik secara seksama tragedi amandemen UUD 1945 di zaman Presiden Megawati sampai sekarang. Faktanya, Pancasila justru tidak dijalankan, bahkan disingkirkan, dikesampingkan. Jika Pancasila dijalankan atau menjadi dasar negara tentu bukan sistem Individualisme liberalisme yang dijalankan tetapi Permusyawaratan perwakilan sesuai dengan pokok pikiran ke tiga pembukaan UUD 1945. Kini, sistem negara berdasarkan Pancasila diganti dengan sistem Presidensial, di mana kekuasaan diperebutkan dengan banyak-banyakan suara, kalah-menang, kuat-kuatan pertarungan. Yang menang mayoritas yang kalah minoritas jelas bertentangan dengan Pancasila. Jika kita sadar dengan keadaan bangsa saat ini harusnya melakukan koreksi total terhadap sistem berbangsa dan bernegara saat ini yang telah berkhianat terhadap Pancasila. Bagaimana tidak berkhianat terhadap pendiri negara yang diproklamasikan 17 Agustus 1945. Kalau visi-misi negara diganti dengan visi-misi Presiden dengan alasan karena sistem Presidensial, apa rakyat, TNI-Polri tahu kalau negara ini bukan lagi negara yang di-Proklamasikan Soekarno-Hatta yang mempunyai tujuan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia? Bagaimana mungkin tujuan bernegara itu terwujud manakala Keadilan sosial diletakkan pada sistem Individualisme dan liberalisme? Dan, bagaimana bisa terwujud kalau visi-misi negara sudah diganti dengan visi-misi presiden? Untuk menyelamatkan Indonesia perlunya membangun kesadaran pemangku kekuasaan. Jika Presiden Jokowi berani melakukan tindakan heroik dengan memengeluarkan Dekrit Presiden 2024, maka Presiden Jokowi akan dikenal oleh bangsa Indonesia selamanya. Dengan penyelamatan bangsa ini akan menjadikan Jokowi sekelas dengan pendiri negara ini. Dengan Dekrit Presiden 2024, maka Indonesia akan kembali pada sistem negara berdasarkan Pancasila. Melakukan Retoling terhadap lembaga-lembaga negara, seperti yang dilakukan Soekarno dengan Dekrit Presiden 5 Juli 1959. Kesempatan dan momentum ini tidak akan datang 2 kali dalam penyelamatan bangsa Indonesia menuju kehancurannya. (*)
Sejarah Pengkhianatan Warga China di Indonesia
Menurut laporan tersebut, terdapat USD 21 triliun (Rp 198.113 triliun) pajak pengusaha di seluruh dunia yang seharusnya masuk kantong pemerintah, namun diselewengkan. Oleh: Sutoyo Abadi, Koordinator Kajian Politik Merah Putih SURYA Darmadi alias Apeng dan kawan-kawan yang kabur membawa uang rakyat triliunan rupiah tidak bisa dilepaskan sejarah pengkhianatan warga China di Indonesia. Belanda tidak akan mampu menguasai Nusantara selama 350 tahun tanpa bantuan opsir China, itulah sebenarnya yang melakukan dan melaksanakan order penindasan. Selama berabad-abad Belanda mewariskan struktur ekonomi didominasi ke pedagang China. Penghianatan China di Nusantara antara lain: – Menjadi kaki tangan Belanda dalam menjajah Nusantara. – Menzalimi waga pribumi dengan sebutan Inlander dan digolongkan dalam kelas terbawah. – Dalam pertempuran 10 November 1945 memberi ruang gerak sekutu. Wajar tidak peduli dengan warga pribumi yang berlumuran darah. Bahkan, mereka mengaktifkan prajurit kuncir yang kejam di kenal dengan Poh An Tui – Sebagai kaki tangan Belanda dalam pertempuran agresi peratama 21 Juli 1947. – Mendirikan dan mendanai PKI Muso termasuk mensuplai senjata. – Mendanai dan mendukung PKI DN Audit kemudian meletus G 30 S PKI. Warga China memegang teguh ajaran dan filsafat Sun Tsu, “Seni Perang”, dipelajari dengan tekun dan sungguh-sungguh. Politik bisnis, bisnis itu perang. Kalau pasar adalah medan perang maka diperlukan strategi dan taktik. Sun Tsu menulis: “Serang mereka di saat mereka tak menduganya, disaat mereka lengah. Haruslah agar kau tak terlihat. Misteriuslah Agar kau tak teraba. Maka kau akan kuasai nasib lawanmu. Gunakan mata mata dan pengelabuhan dalam setiap usaha. Segenap hidup ini dilandaskan pada tipuan”. Ketika Pribumi sedang terus terkena gempuran, keluarlah Instruksi Presiden No. 27 tahun 1998 tentang Penghentian Penggunaan Istilah Pribumi dan Non Pribumi. Sebuah Keputusan yang menghilangkan akar sejarah terbentuknya NKRI. Berikut para taipan yang menggarong uang rakyat: 1. Eddi Tansil alias Tan Tjoe Hong atau Tan Tju Fuan. Lahir di Makassar, Sulawesi Selatan, 2 Februari 1953. Awal 1990-an membobol Bank Pembangunan Indonesia (Bapindo) sebesar Rp 1,5 triliun ketika nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika sekitar Rp 1.500,- per dollar. Kini, ketika nilai tukar rupiah mengalami depresiasi sekitar 700 %, berarti duit yang digondol Eddi Tanzil setara dengan Rp 9 triliun, lebih besar dari nilai skandal Bank Century yang Rp 6,7 triliun. 2. Hartati Murdaya. Ketua umum WALUBI (Wali Umat Buddha Indonesia) ini ditangkap KPK karena menyogok Bupati Buol, Sulawesi Tengah, Arman Batalipu, yang merupakan kader Golkar. Uang suap diberikan agar usaha perkebunan Hartati mendapat konsesi perkebunan. 3. Di penghujung tumbangnya orde baru, sejumlah pengusaha dan bankir panen BLBI (Bantuan Likuiditas Bank Indonesia). Banyak diantara mereka yang kemudian melarikan diri ke luar negeri dengan meninggalkan aset rongsokan sebagai jaminan dana talangan. 4. Sudono Salim alias Liem Sioe Liong sekitar Rp 79 triliun. 5. Sjamsul Nursalim alias Liem Tek Siong Rp 65,4 trilioun. 6. Sudwikatmono Rp 3,5 triliun. 7. Bob Hasan alias The Kian Seng Rp 17,5 triliun. 8. Usman Admadjaja Rp 35,6 triliun, Modern Group Rp 4,8 triliun dan 9. Ongko Rp 20,2 triliun. 10. Andrian Kiki Ariawan, terlibat dalam korupsi BLBI Bank Surya. Perkiraan kerugian negara mencapai Rp 1,5 triliun. Proses hukum berjalan di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. Andrian kabur ke Singapura dan Australia. Pengadilan kemudian memutuskan melakukan vonis in absentia. 11. Eko Adi Putranto, anak Hendra Rahardja ini terlibat dalam korupsi BLBI Bank BHS. Kasus korupsi Eko ini diduga merugikan negara mencapai Rp 2,659 triliun. Ia melarikan diri ke Singapura dan Australia. Pengadilan Negeri Jakarta Pusat menjatuhkan vonis in abenstia 20 tahun penjara. 12. Sherny Konjongiang, terlibat dalam korupsi BLBI Bank BHS bersama 13. Eko Adi Putranto dan diduga merugikan negara sebesar Rp 2,659 triliun. Ia melarikan diri ke Singapura dan Amerika Serikat. Pengadilan menjatuhkan vonis 20 tahun penjara, in absentia. 14. David Nusa Wijaya, terlibat dalam korupsi BLBI Bank Servitia. Ia diduga merugikan negara sebesar Rp 1,29 triliun. Sedang dalam proses kasasi. David melarikan diri ke Singapura dan Amerika Serikat. Namun, ia tertangkap oleh Tim Pemburu Koruptor di Amerika. 15. Samadikun Hartono, terlibat dalam korupsi BLBI Bank Modern. Dalam kasus ini ia diperkirakan merugikan negara sebesar Rp169 miliar. Kasus Samadikun dalam proses kasasi. Ia melarikan diri ke Singapura. Total jendral, duit rakyat yang dikemplang tujuh konglomerat hitam (meminjam istilah Kwik Kian Gie) dalam kasus ini sekitar Rp 225 triliun. Pasca Orde Baru, muncul lagi pengusaha yang membawa kabur uang dalam jumlah yang luar biasa besarnya. Misalnya: 16. Hendra Rahardja alias Tan Tjoe Hing, bekas pemilik Bank Harapan Santosa, yang kabur ke Australia setelah menggondol duit dari Bank Indonesia lebih dari Rp 1 triliun. Hendra Rahardja tepatnya merugikan negara sebesar Rp 2,659 triliun. Ia divonis in absentia seumur hidup di PN Jakarta Pusat. Hendra meninggal di Australia pada 2003, dengan demikian kasus pidananya gugur. 17. Sanyoto Tanuwidjaja pemilik PT Great River, produsen bermerek papan atas. Sanyoto meninggalkan Indonesia setelah menerima penambahan kredit dari bank pemerintah. 18. Djoko Chandra alias Tjan Kok Hui, yang terlibat dlm skandal cessie Bank Bali, meraup tidak kurang dari Rp 450 miliar. Ketika hendak ditahan Djoko kabur keluar negeri. 19. Maria Pauline, kasus pembobolan BNI. Diperkirakan kerugian negara mencapai Rp 1,7 triliun. Proses hukumnya masih dalam penyidikan dan ditangani Mabes Polri. Maria kabur ke Singapura dan Belanda. 20. Anggoro Widjojo, kasus SKRT Dephut. Merugikan negara sebesar Rp 180 miliar. Dalam proses penyidikan ke KPK. Anggoro lari ke Singapura dan masuk dalam DPO. 21. Robert Dale Mc Cutchen, kasus Karaha Bodas. Rugikan negara senilai Rp 50 miliar. Ia masuk dalam DPO, lari ke Amerika Serikat. 22. Marimutu Sinivasan, kasus korupsi Bank Muamalat. Kasus ini merugikan negara Rp 20 miliar. Masuk dalam proses penyidikan Mabes Polri. Marimutu melarikan diri ke India. 23. Lesmana Basuki, diduga terlibat dalam kasus korupsi Sejahtera Bank Umum (SBU). Dalam kasus ini diduga merugikan negara sebesar Rp 209 miliar dan 105 juta dollar Amerika. Lesmana divonis di Mahkamah Agung 14 tahun penjara. Ia melarikan diri ke Singapura dan menjadi DPO. ICW menyatakan tak jelas perkembangan terakhir kasus ini. 24. Tony Suherman, diduga terlibat dalam kasus korupsi Sejahtera Bank Umum (SBU). Dalam kasus ini diduga merugikan negara sebesar Rp 209 miliar dan 105 juta dollar Amerika. Tony divonis 2 tahun penjara. Ia melarikan diri ke Singapura dan menjadi DPO. ICW menyatakan tak jelas perkembangan terakhir kasus ini. 25. Dewi Tantular terlibat kasus Bank Century. Kasus ini merugikan negara Rp 3,11 triliun. Kasus tersebut dalam penyidikan di Mabes Polri, Namun, menurut ICW perkembangan kasus tersebut tak jelas. Ia dikabarkan lari ke Singapura. 26. Anton Tantular terlibat kasus Bank Century. Kasus ini merugikan negara Rp 3,11 triliun. Kasus tersebut dalam penyidikan di Mabes Polri, Namun, menurut ICW perkembangan kasus tersebut tak jelas. Ia dikabarkan lari ke Singapura. 27. Sukanto Tanoto, terlibat dalam dugaan korupsi wesel ekspor Unibank. Ia diduga merugikan negara sebesar 230 juta dollar Amerika. Ia lari ke Singapura. Menurut ICW, Sukanto masih terduga namun diberitakan menjadi tersangka. Proses hukum tidak jelas. (Nama Sukanto Tanoto dicabut dalam daftar ini. Kasusnya telah selesai. Pada tahun 2010, mantan kepala ekonom konsultan McKinsey, James Henry, menerbitkan hasil studinya soal penyelewengan pajak di luar negeri (tax havens). Menurut laporan tersebut, terdapat USD 21 triliun (Rp 198.113 triliun) pajak pengusaha di seluruh dunia yang seharusnya masuk kantong pemerintah, namun diselewengkan. Sembilan diantara para pengusaha pengemplang pajak itu berasal dari Indonesia, seperti: James Riady, Eka Tjipta Widjaja, Keluarga Salim, Sukanto Tanoto, dan Prajogo Pangestu. (*)
Lanjutan Pro-Kontra Islamophobia di Indonesia
Isu pengeras suara di masjid, isu uji kompetensi penceramah, dsb. Terlalu banyak untuk disebut satu per satu. Semua karena ketakutan yang tak jelas terhadap Islam. Oleh: Muhammad Chirzin, Guru Besar UIN Sunan Kalijaga, Jogjakarta KEJAMNYA jejak digital. Setiap kalimat yang terucap dari mulut pejabat maupun rakyat terpateri di pusat data dunia maya. Orang bisa memaafkan, tapi tak mungkin melupakan. Nasi telah menjadi bubur. Alangkah menjijikkan bila seseorang menjilat ludahnya sendiri, dan lebih tercela bila orang berjanji tapi tidak menepati. Janji tinggal janji. Simpelnya, ada aksi ada reaksi. Ada api ada asap. Ada asap tandanya ada api, tapi apakah asap menyebabkan api? Apa, siapa, dan bagaimana Islamophobia, ternyata jejaknya sudah ada sejak dulu kala. Para nabi dan rasul dari masa ke masa menghadapi musuh-musuh, baik dari kalangan jin maupun manusia. Nabi Nuh tinggal di tengah-tengah kaumnya seribu tahun minus lima puluh. Dia menyeru untuk beriman dan bertakwa kepada Tuhan siang dan malam. Sungguh pun demikian, yang beriman kepadanya cuma sedikit saja. Lalu Tuhan membuat perhitungan atas keingkaran mereka. Begitu pula kaum rasul-rasul sesudahnya. Ada yang dibinasakan dengan hembusan angin dingin yang sangat ekstrem berhari-hari, ada yang dibinasakan dengan wabah, dan ada yang ditenggelamkan di laut. Tuhan begitu sayang kepada umat Nabi akhir zaman. Apa pun dan bagaimana pun kelakuan mereka, Dia tangguhkan hukuman, dan Dia beri waktu untuk insyaf kembali ke jalan-Nya. Andaikata di negeri ini ada 1001 macam kejahatan, termasuk hujatan terhadap Islam dan pemeluknya, Tuhan tidak serta merta turun tangan. Tapi selamanya, sebuah kesalahan tidak akan berubah menjadi kebenaran karena perjalanan waktu. Manusia akan menguji kesahihan setiap ucapan, gerak, langkah, dan keputusan siapa saja yang telah beredar di media massa. Usai membincangkan tentang ada atau tidak ada Islamophobia di Indonesia, salah seorang Guru Besar PTKIN mengunggah tulisan Prof. Nurhaidi Hasan yang menyatakan bahwa narasi Islamophobia di Indonesia adalah produk kelompok radikal untuk memojokkan pemerintah. Indonews.id melaporkan bahwa Islamophobia menjadi istilah yang cukup populer digunakan oleh kelompok radikal dalam beberapa waktu belakangan ini. Narasi ini muncul tak hentinya untuk memfitnah pemerintah yang dituding sebagai aktor yang berusaha memecah-belah umat Islam di Indonesia. Prof. Noorhaidi Hasan menyayangkan narasi Islamophobia sebagai fitnah terhadap pemerintah. Ia menilai narasi Islamophobia yang berkembang di tengah masyarakat belakangan ini tak lebih dari sebuah pertarungan kepentingan politik. “Islamophobia menurut saya sudah pasti akan terjadi di negara Muslim mana pun dan tidak terelakkan. Sejauh ini isu Islamophobia sebenarnya hanya dijadikan framing oleh kelompok yang tidak suka dengan pemerintah,” ujarnya di Yogyakarta, Kamis (10/2/2022). “Islamofobia itu bisa jadi framing yang dimanfaatkan oleh kelompok-kelompok tertentu untuk menurunkan kepercayaan kepada pemerintah. Perlu ada pendalaman lebih lanjut dari pemerintah dan lembaga terkait untuk mengidentifikasi kelompok-kelompok yang gencar melayangkan tudingan Islamophobia di tubuh pemerintah. Kita harus melihat kelompok mana yang mengatakan Islamophobia itu. Kalau berbicara kelompok radikal tentunya range-nya juga lebih luas siapa kelompok radikal itu. Pasalnya, narasi dan tudingan Islamophobia terhadap pemerintah ini jika dibiarkan dapat menimbulkan perpecahan dan kebingungan di tengah masyarakat.” Pemerintah harus berupaya menjelaskan dan menjernihkan permasalahan tersebut agar masyarakat yang awam itu paham. Menurutnya, jalan keluar yang efektif dan konkrit untuk keluar dari permasalahan narasi radikal yang memecah-belah adalah dengan me-manage keragaman dan menyadarkan kepada tokoh dan masyarakat terkait esensi kehidupan bangsa Indonesia yang Bhinneka Tunggal Ika ini. Konsep multikulturalisme mengajarkan bahwa semua umat beragama punya hak yang sama untuk beribadah dan menjalankan agamanya.\" Noorhaidi juga mengapresiasi peran Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) dalam upaya menggugah kesadaran masyarakat tentang bahaya radikalisme. Secara persentase kesadaran masyarakat tentang bahaya radikalisme terorisme itu sudah sangat tinggi sekali, namun menurutnya, tidak cukup hanya peran BNPT saja untuk mengatasi fenomena manipulasi agama yang terjadi di tengah masyarakat, tapi juga perlu peran serta tokoh agama dan masyarakat guna mempersempit ruang gerak kelompok radikal. Sudah seharusnya tokoh-tokoh agama juga berperan menyebarkan Islam yang rahmatan lil alamin, Islam yang damai, wasathiyah, Islam Nusantara, yang bersahabat dengan budaya lokal. Di samping itu Noorhaidi menilai, penyebaran nilai Pancasila yang luhur kepada masyakarat juga penting dilakukan guna mempersempit ruang gerak kelompok radikal. “Kampanyekan di masyarakat, otomatis ruang gerak kelompok-kelompok radikal yang sering mengatakan islamophobia itu akan semakin sempit, dan tidak akan bisa mempengaruhi opini publik.” Terakhir, Noorhaidi berpesan kepada seluruh pihak terkait, khususnya cendekiawan, tokoh agama, dan masyarakat serta pemerintah untuk terus menggelorakan wacana tentang perdamaian, tentang Islam yang cinta damai untuk memperkuat ketangguhan masyarakat melawan radikalisme. Wacana tentang perdamaian itu harus terus kita gelorakan di masyarakat, bahwa Islam itu cinta damai, yang akan memperkuat ketangguhan kultural masyarakat kita dalam melawan radikalisme. Tulisan itu pun mendapat apresiasi dari para pendukung dan simpatisannya. Penulis merespons dengan mengunggah tulisan tersebut dan mengangkat kembali catatan tentang pro-kontra Islamophobia di Indonesia, sebagai penyeimbang wacana. Bahwa Islamophobia dalam pengertian takut dan khawatir terhadap eksistensi Islam beserta perjuangan amar makruh, nahi mungkar, dan penegakan keadilan di Indonesia itu real ada, dan bukan narasi untuk mendiskreditkan penguasa/pemerintah. Beberapa respons kontra terhadap tulisan Prof. Nurhaidi Hasan tersebut antara lain sebagai berikut. Prof Noorhaidi terlalu membela penguasa dengan memojokkan umat Islam. Mestinya dia melihat persoalan ini secara fair. Lihatlah umat Islam sebagai korban kebijakan penguasa. Dari sisi politik, ekonomi, dan hukum. Dia tidak memahami kenapa isu radikalisme dan terorisme ini terus digaungkan. Antara lain karena para pembenci Islam tidak sudi umat Islam itu merdeka. Di samping itu proyek pemberantasan terorisme itu besar sekali anggarannya, sehingga tak ingin proyek itu berhenti. Secara umum Islamofobia itu bukan berasal dari umat Islam, tapi sebagai akibat kebijakan peguasa terhadap umat Islam. Karenanya orang harus melek fakta di lapangan. Baru-baru ini ditemukan sejumlah amunisi dan senjata AK 47 di rumah seorang warga keturunan China di Bandung. Tapi sampai sekarang tidak diusut. Tidak ada tersangkanya. Coba kalau itu ditemukan di rumah orang Islam. Mungkin sudah didor di tempat. Nah, ini cuma satu fakta saja. Masih banyak yang lain. Isu pengeras suara di masjid, isu uji kompetensi penceramah, dsb. Terlalu banyak untuk disebut satu per satu. Semua karena ketakutan yang tak jelas terhadap Islam. Siapa beropini harus siap menanggung segala reaksi dan konsekuensi. Ada ruang untuk menjawab bila tanggapan-tanggapan pada opininya dirasa tidak memadai. (*)
Brigadir Joshua: “Belajar” dari Kasus Marsinah dan Munir? (3)
Menurut Kolonel (Purn) CPM Nurhana, kasus Marsinah, Munir, dan Sugeng adalah hasil konspirasi tingkat tinggi yang sulit dilacak oleh wartawan biasa, “Kecuali wartawan yang punya dedikasi to tell the truth only the truth.” Oleh: Mochamad Toha, Wartawan Forum News Network (FNN) “PANGLIMA Sampoerna Mengurus Rokok Palsu”. Begitulah judul berita yang ditulis majalah.tempo.co (Sabtu, 27 November 1993). Ketika itu ditulis Tempo, bekas direktur produksi PT HM Sampoerna segera disidangkan, dituduh memalsukan rokok 555 dan Craven A. “Itu urusan pribadi saya,” katanya. Ia punya usaha sampingan mengekspor burung. Tiga tokoh dituduh sebagai pemalsunya: Ir. Bambang Soelistyo alias Pek Thiam Ek, 40 tahun, Budiyanto Sukihardjo alias Tjwa Hwat Yong, 43 tahun, dan Tono Setiawan alias Lie Tik An, 53 tahun. Mereka sudah diadili di PN Surabaya dan divonis bersalah. Menurut penyidik di Kepolisian Daerah Jawa Timur, Bambang adalah pencetus ide pemalsuan tersebut. Pertanyaannya, adakah kaitan antara “surat ancaman” Marsinah yang disita polisi kepada PT Catur Putra Surya (CPS) yang isinya tentang pembuatan plat bungkus rokok merek 555 itu yang membuat Marsinah dibunuh? Pasalnya, jangka waktu antara Marsinah terbunuh dengan proses penyidikan kasus pemalsuan rokok 555 itu hanya berselang sekitar 5 bulan saja, setelah ditemukannya jasad Marsinah, 8 Mei 1993. Pengusutan kasus Marsinah pun baru ditangani Bakorstranasda Jatim mulai Oktober 1993, setelah ada Surat Perintah dari Pangdam V Brawijaya sebagai Ketua Bakorstranasda Jatim kepada Kapolda Jatim pada 30 September 1993. Dus, pertanyaannya, sebegitu rumit dan sulitkah mengusut kasus Marsinah itu sampai menelan waktu sekitar 5 bulan? Adakah kendalanya yang berarti saat itu, hingga akhirnya harus diambil-alih Bakorstranasda Jatim? Bagaimana kinerja Polres Sidoarjo dan Polda Jatim sendiri ketika itu? Inilah yang masyarakat jadi penasaran. Kasus yang seharusnya tidak sulit untuk diungkap, menjadi jlimet seperti penembakan Brigadir Joshua ini. Seperti halnya Brigadir Joshua, jasad Marsinah pun sempat diautopsi dua kali dan, bahkan tiga kali, karena terdapat perbedaan antara autopsi pertama dan kedua. “Tapi, yang ketiga akhirnya tidak jadi karena jasadnya sudah rusak,” tutur seorang advokat senior di Surabaya yang pernah menjadi penasehat hukum terdakwa kasus Marsinah. Akhirnya muncul kecurigaan, sebenarnya ada dua jasad yang dimakamkan saat itu: jasad Marsinah “asli” dan Marsinah “palsu”. Jasad Marsinah “asli” diautopsi di RSUD Nganjuk yang dimakamkan sebagai “Mrs X” di Nganjuk. Sedangkan Marsinah “palsu” dimakamkan di desa tempat tinggal Marsinah sendiri. Kasus kematian Marsinah ini menarik perhatian pakar forensik almarhum Abdul Mun\'im Idries. Dokter forensik pada RSCM Jakarta itu menemukan banyak kejanggalan. Ia menilai visum dari RSUD Nganjuk terlalu sederhana. Hasil visum hanya menyebutkan, Marsinah tewas akibat pendarahan dalam rongga perut. Tidak ditemukan laporan tentang keadaan kepala, leher, dan dada korban. Pembuat visum harusnya menyebutkan apa penyebab kematian, apakah itu karena tusukan, tembakan, atau cekikan? Menurut Mun’im, tidak benar jika hanya disebutkan mekanisme kematian, seperti pendarahan, atau mati lemas. Sementara dalam persidangan terungkap, alat vital Marsinah ditusuk dalam waktu yang berbeda. Namun dalam laporan hasil visum pertama, hanya ada 1 luka. Mengapa hasil autopsi pertama dan kedua bisa berbeda? Kejanggalan lain, menurut Mun’im, adanya barang bukti yang dipakai untuk menusuk alat vitalnya ternyata lebih besar dari ukuran luka yang sebenarnya. Mun’im pun curiga, bahwa pembuatan visum itu tidak benar. Dua orang yang terlibat dalam autopsi pertama dan kedua jenazah Marsinah, yaitu Haryono (pegawai kamar jenazah RSUD Nganjuk dan Prof. Dr. Haroen Atmodirono (Kepala Bagian ForensikRSUD Dr Soetomo Surabaya). Karena adanya perbedaan hasil autopsi pertama (di RSUD Nganjuk) dengan autopsi kedua (di RSUD Dr. Soetomo) itulah kemudian dilakukan autopsi ketiga. Tapi, upaya ini gagal dilaksanakan karena jenazah sudah rusak. Lebih parah lagi, barang bukti berupa baju Marsinah yang dikenakan ketika dibunuh dan merupakan barang bukti sangat penting dibakar begitu saja. Hal ini terungkap dalam persidangan di PN Surabaya pada Senin 7 Februari 1994.Pembakaran baju Marsinah terjadi hanya berselang beberapa minggu setelah jenazahnya dibawa ke RSUD Nganjuk. Alasan pihak rumah sakit, karena tak ada petunjuk dari Polres Nganjuk.Sebelumnya, setelah autopsi, barang-barang yang melekat di badan Marsinah memang disimpan di RSUD Nganjuk. Namun, itu tak berlangsung lama. Dari fakta persidangan terungkap ada kejanggalan mengapa baju dan barang bukti lainnya dibakar pihak rumah sakit.Dalam surat yang ditandatangani Kepala RSUD Nganjuk Dr Djarwo P Siswanto, ia sudah memberitahukan Kapolres Nganjuk (Letkol Polisi Hendrajit) bahwa barang bukti itu telah dibakar pihak rumah sakit pada 24 Mei 1993. Alasannya, karena Polres Nganjuk tifak kunjung membalas surat yang mereka kirim sebelumnya.Itulah sepenggal cerita perihal kasus Marsinah yang hingga kini tidak bisa terungkap siapa pelaku sebenarnya, karena 9 tersangka yang diadili sudah dinyatakan “tidak bersalah” oleh Mahkamah Agung. Bagaimana dengan kasus Munir? Mengapa Munir harus dibunuh? Akhirnya dipertanyakan juga, siapa pembunuh aktivis HAM tersebut? Misteri Munir Fakta yuridis, Mayjen TNI (Purn) Muchdi Purwopranjoyo, mantan Deputi V Badan Intelijen Negara (BIN), terdakwa pembunuh Munir Said Thalib, pada 31 Desember 2008 divonis bebas oleh majelis hakim yang diketuai Suharto di PN Jakarta. Jaksa Cyrus Sinaga dinilai tak bisa membuktikan “motif dendam”. Sebelumnya, Jaksa Cyrus mengurai motif mantan Danjen Kopassus tersebut “menghabisi” terkait langkah Munir mengungkap kasus penculikan aktivis mahasiswa 1997-1998 oleh Tim Mawar Kopassus. Seperti dilansir RADAR Surabaya (Senin, 5 Januari 2009), ia lalu dicopot dari Danjen Kopassus yang baru diemban 52 hari. Ini menyebabkan Muchdi sakit hati dan dendam. Dakwaan pada Muchdi juga didasarkan atas keterangan Corporate Security PT Garuda Indonesia Pollycarpus Budihari Priyanto (telah divonis 20 tahun). Polly mengaku sudah mendapatkan “ikan besar” di Singapura. Maknanya, lanjut Jaksa Cirus, dia berhasil membunuh Munir. Atas tuduhan itu, BIN tak bisa begitu saja lepas tangan dari konsekuensi hukum yang dihadapi Muchdi. Apalagi, Polly, mantan Dirut Garuda Indra Setiawan, dan Direktur VI BIN Budi Santoso, juga menyebut Muchdi, mantan Kepala BIN Hendropriyono, serta Wakilnya M. As’ad Ali di persidangan. Mengapa Munir dibunuh? Siapa sebenarnya pelakunya? Adakah ini berkaitan dengan aktivitasnya sebagai pembela HAM Indonesia? Adakah ini hasil operasi Indonesia Contra? Artinya, Munir justru dihabisi intelijen asing dalam operasi Indonesia contra? Mengapa Polly terbang satu pesawat dengan Munir? Ini tak diungkap secara transparan. Apa benar “ikan besar” itu adalah Munir? Rencana Munir melanjutkan studinya di Belanda sebenarnya telah diketahui banyak pihak. Selain untuk studi dengan biaya sebuah lembaga asal Amerika Serikat (AS), sedianya pada 7 September 2004 itu Munir mau menyerahkan “dokumen rahasia” pelanggaran HAM. Konon, Munir dari Jakarta membawa 2 tas. Koper berisi pakaian, dan tas kerja hitam isinya dokumen pelanggaran HAM di Indonesia seperti peristiwa Tanjungpriok, Warsidi Lampung, Timor-Timur, dan Daerah Operasi Militer (DOM) Aceh. Jadi, “ikan besar” itu adalah sandi dari “dokumen rahasia”? Ketika rehat Bandara Changi, Polly dan Munir turun dan minum di Café Bean, Changi. Mereka memesan minuman. Tas berisi dokumen yang dibawa Munir gagal diserahkan ke agen asing. Karena gagal, agen asing yang menyaru sebagai pelayan café itu meracuni minuman Munir dengan arsenik cair. Padahal, Polly sempat mencegah Munir agar tak meminumnya, dan menawarkan kopi pesanannya, tapi ditolak. Beberapa saat sebelum meninggalkan cafe, Munir mulai tampak linglung. Bisa jadi, Munir itu dibunuh karena dianggap membahayakan jika BIN menangkap Munir dan agen asing penerima tas itu. Supaya jaringan intelijen asing ini tak terbongkar, maka Munir harus dihabisi. Selang sekitar 3 jam setelah Garuda meninggalkan Bandara Changi, Singapore melanjutkan perjalanan ke Amsterdam, Munir mulai sakit perut dan muntah. Pertolongan dr. Tarmizi Hakim di atas pesawat, gagal: Munir tewas! Anehnya, hasil autopsi lembaga forensik pemerintah Belanda (Netherland Forensisch Instituut-NFI) baru diketahui 2 bulan kemudian. Disebutkan, di lambung Munir terdapat kandungan racun arsenik melebihi batas maksimal yang bisa ditoleransi tubuh: 456 mg. Mengapa NFI menyerahkan hasil autopsinya kepada Indonesia begitu lama? Mungkinkah lembaga intelijen Belanda FDN terlibat dalam operasi Indonesia contra ini? Di mana dokumen rahasia yang ketika itu dibawa Munir hingga di Bandara Changi itu? Sayangnya, begitu Munir ditemukan tewas, tas hitam itu raib. Entah dari intelijen mana yang mengambilnya. Dengan kematian Munir, pihak yang paling dirugikan yaitu BIN. Sebab, Munir adalah aset negara yang bisa membantu membongkar jaringan intelijen asing yang beroperasi di Indonesia. Jadi, tidak mungkin BIN terlibat pembunuhan Munir. Apalagi, penyebab kematian Munir adalah racun arsenik cair yang tak dimiliki BIN. Dari puluhan jenis racun arsenik, yang meracuni Munir adalah satu jenis arsenik yang hanya dimiliki asing. Setelah kasus itu, pelayan yang mengantar minuman sudah tidak ada lagi di café tempat Munir minum. Terungkap pula, ternyata si pelayan baru bekerja di café itu sekitar 3 bulan. Setelah Munir terbunuh, pelayan ini menghilang. Pemilik café juga berganti. Jadi, sejak tiga bulan sebelumnya, Munir menjadi target operasi Indonesia contra. Bagi intelijen asing, dokumen yang dibawa Munir itu sangat penting. Sebab, dengan dokumen tersebut, mereka bisa menyeret Indonesia ke Mahkamah Internasional di Den Haag, Belanda. NFI sendiri cenderung mempersulit pemerintah Indonesia ketika meminta hasil autopsi dan sample organ Munir. Entah apa alasannya, organ Munir disimpan di NFI. Itu yang memperkuat dugaan, operasi Indonesia contra atas Munir ini juga melibatkan intelijen FDN. Terlebih lagi, Suciwati, istri Munir menolak autopsi ulang. Padahal, dengan autopsi ulang atas jenazah Munir, bisa mengungkap dugaan adanya keterlibatan agen asing dalam pembunuhan Munir ini. Sayangnya, Polri tak berusaha menyentuh dugaan tersebut. Polri lebih suka mengusik mantan pejabat BIN seperti Muchdi. Padahal, tidak semua operasi intelijen bisa dibuka secara transparan. Menurut Kolonel (Purn) CPM Nurhana, kasus Marsinah, Munir, dan Sugeng adalah hasil konspirasi tingkat tinggi yang sulit dilacak oleh wartawan biasa, “Kecuali wartawan yang punya dedikasi to tell the truth only the truth.” “Sampai sekarang memang hanya Allah, Tuhan semesta, yang paling tahu apa sebenarnya yang terjadi dalam kasus-kasus tersebut,” lanjut Nurhana yang menjabat Dan Pomdam Brawijaya (1993-1996) itu. Akibatnya memang pasti ada korban berikutnya akibat carut-marut kondisi peradilan di Indonesia. “Dan opini publik yang dibentuk oleh pihak sponsor tertentu,” ungkap Nurhana. (*)
Memilih "Muslimin " Hanya Sekadar Nama
Oleh Ady Amar | Kolumnis APALAH arti sebuah nama, kata Shakespeare. Itu bisa ditemukan dalam karya novel masterpiece-nya Romeo and Juliet. Sebuah novel roman yang berakhir tragis. Ada dialog di sana yang diucap Romeo, \"What\'s in a name? That which we call a rose by any other name would smell a swett.\" Dalam Islam tentu tidak demikian. Memberi nama anak mesti dengan nama yang baik. Setidaknya punya arti baik. Berharap sang anak akan tumbuh sebagaimana nama yang disematkan. Memberi nama yang baik, itu bukti awal harapan orang tua pada sang anak. Bagian dari doa kebaikan pada sang anak. Konon kelak di surga, nama yang tersemat di dunia adalah nama yang dipakai di sana. Maka jika nama indah disematkan pada sang anak, pertanda memang ia pantas sebagai penghuni surga. Tapi bukan berarti penghuni surga kelak tidak ada yang dipanggil namanya dengan nama yang tidak bermakna, atau nama yang bahkan kurang elok untuk diucap. Di surga kelak ia akan tetap dipanggil dengan nama yang melekat di dunia. Tidak tahu pasti, apa bisa menukar nama di surga kelak. Nama yang kurang elok bisa diganti dengan nama indah. Wallahu a\'lam. Hari-hari ini pemberitaan pemberian nama sang anak, dan itu untuk menegaskan identitas agama yang dianutnya, Muslimin, jadi pembicaraan ramai. Niat orang tua itu pastilah baik, agar sang anak dengan menyandang nama Muslimin, ia akan tumbuh dengan tetap memegang panji agamanya dengan kokoh. Akan merasa malu jika melakukan perbuatan tidak terpuji. Niat orang tua itu mulia. Pasti banggalah orang tuanya melihat sang anak bisa berkarir di militer. Dengan pangkat terakhir Kopral Dua (Kopda). Hari-hari ini berita tentang Kopda Muslimin bersaing ketat dengan berita tembak-menembak polisi di rumah dinas Irjen Ferdy Sambo. Dalam mengungkap Kopda Muslimin tampak polisi tidak kesulitan. Bisa diacungi jempol. Secepat kilat 4 tersangka eksekutor ditangkap. Sekaligus otak pelakunya, Kopda Muslimin. Berkat CCTV peristiwa penembakan Rina Wulandari (34), istri Kopda Muslimin, itu bisa diungkap. Rina Wulandari ditembak eksekutor bayaran. Didalangi sang suami. Konon sudah 4 kali rencana niat menghabisi sang istri diupayakan Kopda Muslimin. Dengan berbagai cara. Coba diracun, diguna-guna, seolah adanya perampokan di rumahnya dengan niat membunuhnya. Dan terakhir, ditembak dengan proyektil tembus ke perutnya. Rina Wulandari sakti, tidak juga. Hanya takdir belum menjemputnya. Tapi pada kasus tembak-menembak polisi di rumah Irjen Ferdy Sambo, polisi tampak kesulitan mengungkapnya. Brigadir Polisi Nofriansyah Yosua Hutabarat, yang bertugas sebagai sopir istri Irjen Ferdy Sambo mati mengenaskan. Beberapa peluru menembus tubuhnya. Keluarga Brigadir Yosua membuka peti jenazah menemukan goresan di beberapa bagian tubuhnya, beberapa jari tangan patah, mata lebam seperti kena bogem, dan seterusnya. Seperti dituduhkan ada penyiksaan sebelum ia dihabisi. Peristiwa Kopda Muslimin yang berencana menghabisi sang istri, itu mudah diurai. Bahkan motif pembunuhannya. Ada wanita idaman lain yang disangkutkan pada Kopda Muslimin. Mungkin Kopda Muslimin ingin berpoligami, tapi persyaratan sebagai anggota militer itu ribet, bahkan sulit bisa ditempuhnya. Maka memilih pilihan gila dengan membunuh sang istri jadi pilihannya. Kasus Kopda Muslimin tidak perlu ada pressure dari masyarakat untuk mengungkapnya. Mulus-mulus saja dan dalam waktu relatif singkat peristiwa dan motifnya bisa diungkap. Pada kasus kematian Brigadir Yosua untuk mengungkapnya, apalagi sampai siapa aktor intelektualnya, perlu tekanan luar biasa. Masyarakat etnis Batak, tidak terima melihat kematian \"saudaranya\" yang dianggap tidak wajar. Mau tidak mau kasus ini dipaksa untuk diungkap transparan. Irjen Ferdy Sambo dan beberapa petinggi polisi sudah di-non aktifkan. Presiden Joko Widodo pun perlu meminta Kapolri untuk mengungkapnya secara transparan. Tapi sayang pada kasus Km 50--terbunuhnya 6 laskar FPI--sikap Jokowi pasif. Bahkan eksekutornya pun diputus bebas murni. Ketidakadilan memang acap dipertontonkan. Duh, Gusti! Siang ini kabar menyesakkan dada muncul. Kematian Kopda Muslimin beredar luas. Bahkan beberapa media televisi menganggapnya sebagai berita penting dan perlu menempatkan pada breaking news. Kopda Muslimin pagi hari (28 Juli) meminta maaf pada bapaknya, di Kendal, Jawa Tengah. Disarankan sang bapak untuk menyerahkan diri saja. Muslimin masuk pada salah satu kamar, dan ditemukan tak bernyawa dengan diawali muntah-muntah. Rasanya ia tak kuat menanggung malu, dan tentu hukuman berat bakal menanti. Bunuh diri jadi jalan pintas menuju kematiannya. Betapa hancur luluh hati orang tuanya. Upaya memberi nama yang baik pada anak lelakinya, mendidiknya secara baik, dan menikahkannya. Kewajiban selaku orang tua sudah ditunaikan. Tampaknya itu masih kurang. Dan sang anak memilih jalan takdirnya sendiri. Memilih \"Muslimin\" hanya sekadar nama. Memilih neraka jahanam selama-lamanya. Kopda Muslimin dan Brigadir Yosua memilih jalan takdir kematiannya sendiri. Meski motif pembunuhan Brigadir Yosua belum terang benderang. Tapi spekulasi mengendus adanya motif asmara antara Brigadir Yosua dan istri Irjen Ferdy Sambo. Pada waktunya kotak pandora kematiannya akan terbuka terang benderang, atau justru tertutup rapat-rapat. Satu hal yang pasti, di neraka kelak tidak dikenal nama Kopda Muslimin atau lainnya. Antarpenghuni neraka tidak saling menyapa. Mereka sudah disibukkan dengan siksa neraka yang maha dahsyat. Dan itu mengerikan. Naudzu Billahi min Dzalik. (*)
Kekuasaan tanpa Rakyat
Oleh: Yusuf Blegur | Mantan Presidium GMNI Institusi negara secara masif dan berjamah telah dimanfatkan sebagai alat memperkaya diri sekaligus menjadi kekuatan represif. Rakyat yang telah memberikan kewenangan dan otoritas kepada aparatur pemerintahan, terus menerus menjadi korban eksploitasi. Babak belur dan terniaya bahkan harus kehilangan nyawa secara tragis oleh pelbagai perilaku wakil-wakil dan petugas rakyat sendiri. Kematian HAM, Kematian demokrasi dan kematian konstitusi menjadi serba permisif di negeri yang Pancasila digali dari buminya tempat berpijak. Mungkin rakyat Indonesia sudah saatnya harus melakukan refleksi dan evaluasi total terhadap proses penyelenggaraan kehidupan berbangsa dan bernegara. Koreksi menyeluruh terhadap apa yang disebut dengan konsensus nasional. Jujur ke dalam pada perjalanan sejarah dan mampu mengambil hikmah dari arus besar politik dan Ideologi yang mengakar pada entitas Indonesia. Memikul dan terpikul natur menggerakan revolusi sosial demi mencapai cita-ciia dan tujuan proklamasi kemerdekaan. Menjadi bangsa yang benar-benar beradab, bersungguh-sungguh mengupayakan kemakmuran dan keadilan di dalam negeri dan ikut menciptakan perdamaian dan ketertiban dunia. Boleh jadi ada yang salah baik secara personifikasi maupun sistemik dari perjalanan kebangsaan Indonesia selama ini. Selain kuatnya hegemoni dan dominasi dari kapitalisme dan komunisme global, negara dan rakyat Indonesia semakin terpuruk karena ketiadaan karakter nasional bangsa. Budaya materialistis dan kebebasan tanpa ahlak menyebabkan Indonesia hanya menjadi negara dan bangsa pasar, menjadi sekedar bahan baku dan komoditi dari pemain-pemain utama industri skala besar dunia. Ekonomi, politik dan budaya menjadi konsumsi impor dari bangsa asing yang kekayaannya justru didapat dari negerinya sendiri. Sejatinya Indonesia telah menjadi bangsa kerdil dalam kebesarannya, menjadi pecundang dari nasionalisme dan patriotisme yang erat melekat dalam jatidirinya. Sebuah negara yang rakyatnya hidup dan menjadi korban dari eksploitasi manusia atas manusia dan eksploitasi bangsa atas bangsa. Seperti kata salah satu pendiri bangsa dan sang proklamator, Indonesia tak ubahnya telah mewujud sebagai bangsa kuli di atas bangsa kuli. Negeri para bedebah dan bangsa yang tergolong hipokrit. Miskinnya kehadiran pemimpin nasional yang berkarakter dan mencintai rakyatnya, menjadi faktor signifikan terjadinya kemiskinan bangsa. Sangat sulit menemukan pemimpin yang dapat diandalkan dalam mengemban amanat penderitaan rakyat. Hanya ada para pejabat yang kebanyakan bermental pengecut dan korup. Praktek-praktek KKN, kebijakan yang menindas rakyat dan penghianatan terhadap Pancasila, UUD 1945 dan NKRI. Telah dianggap sebagai kelaziman dan berlaku dalam keseharian. Kini, bukan hanya menggerus hak dan kewajiban, kehidupan rakyat juga terancam keamanan dan keselamatan hidupnya. Tragedi mengintai kapan saja dan siapa saja, terlebih bagi mereka yang tergoling kelas bawah dan hidupnya akrab dengan keterbatasan dan kekurangan. Rakyat jelata seperti itulah yang terus diintai kriminalsasi dan dibayangi maut oleh distorsi aparatur penyelenggara negara. Hukum telah menjadi alat penindasan bagi si miskin dan yang lemah, sementara orang kaya dan berpengaruh memainkannya sesuka hati. Segelintir orang dan kalangan minoritas, secara perlahan telah menjadi tirani atas mayoritas. Sedikit orang telah mengatur dan menentukan nasib dan kehidupan rakyat banyak. Penguasaan hajat hidup orang banyak mulai dari tanah dan lahan produktif, kawasan hutan dan perkebunan, wilayah laut dan kepulauan tertentu, serta wilayah-wilayah yang menjadi sumber energi berupa pertamigas. Telah menjadi perampasan dan perampokan kekayaan alam dan aset negara yang dilegalkan atas nama konstitusi. Produk undang-undang dan kebijakan strategis lainnya, telah berubah sebagai kedok sekaligus alat perlindungan bagi penjahat negara yang bersembunyi dibalik birokrasi, korporasi, politisi dan semua yang terafiliasi dengan kepemilikan modal besar. Negara pada esensi dan substansinya, hanya berupa daerah jajahan bagi kolonialisme dan imperialisme modern dalam bentuk oligarki. Konspirasi jahat para pemilik modal dengan birokrasi dan partai politik serta ternak-ternak oligarki lainnya yang telah membajak negara. Pada akhirnya situasi yang demikian, telah menjadi realitas obyektif dan kenestapaan panjang bagi seluruh rakyat Indonesia. Apa yang telah diperjuangkan dan dikorbankan rakyat dari generasi kegenerasi tak pernah mendatangkan kebahagian bagi rakyat. Negara bangsa Indonesia seperti mengalami mimpi abadi tentang kemakmuran dan keadilan. Tak pernah tersadar dan bangun untuk mewujudkannya. Alih-alih menghadirkan negara kesejahteraan, Indonesia kembali harus memeras keringat, meneteskan air mata dan menumpahkan darah rakyatnya sendiri karena bangsa asing dan segelintir bangsanya sendiri. Kesinambungan penderitaan rakyat dalam jangka panjang dan tanpa batas waktu, ketika negara hadir tanpa pemimpin dan hanya ada penguasa. Ketika banyak pemimpin yang begitu berjarak antara nilai-nilai dan tindakannya. Negara yang terus memisahkan pemimpin dengan rakyatnya terasa seperti suasana tanpa pemerintahan dan ranpa negara. Saat di satu sisi feodalisme melahirkan pertentangan kelas sosial, di sisi lain liberalisasi dan sekulerisasi mereduksi nilai-nilai kemanusiaan. Ketika itu rakyat akan terus menjadi korban dari kekuasaan yang euforia dan fatalistik. Sebuah wajah Kekuasaan tanpa rakyat. Munjul-Cibubur, 28 Juli 2022