OPINI
Menjajah Kemerdekaan
Oleh : Yusuf Blegur | Mantan Presidium GMNI Negeri kami tak lagi berada di tangan kolonialisme dan imperialisme lama. Negeri kami tak lagi dibawah kendali pemerintahan orang asing. Negeri kami tak lagi dibawah tekanan kekuatan tentara-tentara negara lain. Negeri kami tak lagi terjajah, karena telah mengumandangkan proklamasi kemerdekaan ke seluruh penjuru dunia. Negeri kami tak ada lagi rakyat yang berjalan menunduk dan merangkak di hadapan penguasa. Negeri kami tak ada lagi rakyat yang bertelanjang dada dan tak beralas kaki. Negeri kami sudah tak ada lagi yang kerja paksa tanpa upah dan diperbudak sehingga rakyat miskin dan mati kelaparan. Negeri kami tak lagi membedakan warna kulit, jenis rambut, asal usul keturunan dan kelas sosial serta perbedaan kaya miskin. Negeri kami sudah memberikan kebebasan rakyatnya untuk melaksanakan perintah agama dan kepercayaan masing-masing bagi pemeluknya. Negeri kami sudah memberikan kebebasan rakyatnya untuk sekolah dan bekerja sambil sesekali berwisata. Negeri kami juga memberikan kebebasan rakyatnya untuk menyampaikan pendapat dan kritik di hadapan umum. Negeri kami juga memberikan kebebasan rakyat untuk ikut terlibat mengatur dan mengelola negara serta menjadi pemimpin yang ditangannya nasib rakyat ditentukan. Tapi sayang, negeri kami tak pernah benar-benar terbebas dari cengkeraman kolonialisme dan imperialisme. Penjajahan itu hanya berubah wajah dan nama dan penampilannya saja. Sifat dan wataknya tetap sama, mengeksploitasi dan menindas rakyat, eksploiasi manusia atas manusia dan eksploutasi bangsa atas bangsa. Dari yang lama menjadi baru, dari yang tua menjadi muda, begitulah kolonialisme dan imperialisme hidup dan tumbuh subur di jaman modern. Tapi sayang, negeri kami tak benar-benar negeri yang kaya apalagi sejahtera. Kekayaan alam dan sumber daya lainnya benar-benar dikuasai dan dinikmati bangsa asing dan bukan oleh bangsa sendiri. Segelintir orang memiliki dan mengendalikan hajat hidup orang banyak. Segelintir orang memiliki harta, aset dan fasilitas yang seharusnya dikelola negara dan digunakan sebesar-besar untuk kemakmuran rakyat. Tapi sayang, meski dapat mengenyam pendidikan, kami harus bersusah payah karena betapa mahalnya dan sulit terjangkau biaya sekolah tinggi Betapapun kami rakyat kecil dapat bersuara dan berpendapat termasuk juga kritik, ancaman penjara dan kematian selalu membayangi. Betapapun kami rakyat kecil bekerja dan menapaki karir, bangsa kami tetap menjadi nomor dua, berpenghasilan rendah dan tetap menjadi kacung. Betapapun kami rakyat kecil ingin merubah nasib dan hidup lebih baik, kami tetap hidup serba kekurangan dan dalam belenggu kemiskinan. Tapi sayang, hukum hanya menjadi alat penindasan bagi kami rakyat kecil, sementara hukum dapat dibeli dan menjadi mainan bagi pengusaha, politisi dan aparat negara. Demokrasi kian mengalami sekarat dan berangsur-angsur mati, seiring itu di pelosok negeri dipenuhi wabah korupsi. Virus pembawa penderitaan dan kesengsaraan itu abadi membawa gen lama kolonialsme dan imperialisme, kini lahir dan berwujud oligarki. Sebuah penyakit menahun dan telah menjadi pandemi, yang menjajah kemerdekaan negeri kami. Munjul-Cibubur, 1 Agustus 2022.
Komnas HAM Sulit Dipercaya
Oleh M. Rizal Fadillah | Pemerhati Politik dan Kebangsaan Dari penjelasan yang buka tutup dalam kasus Duren Tiga pembunuhan Polisi oleh Polisi di kediaman Polisi nampaknya Komnas HAM bukan saja tidak profesional tetapi juga terkesan masuk angin. Arah penjelasan mengikuti ritme yang sudah ada. Komnas HAM semestinya fokus dalam kasus ini pada ada tidaknya pelanggaran HAM. Bukan berfungsi sama dengan atau sebagai humas Polri. Ketika Polri serba sulit dan serba salah memberi penjelasan terbuka pada publik atas peristiwa kriminal yang cukup aneh ini, maka Komnas HAM ternyata mengambil porsi seksi humas tersebut. Agenda dan langkah pemeriksaan menjadi bahan untuk diinformasikan dengan tahapan penjelasan yang bernuansa penggiringan. Komnas yang awalnya ingin mandiri nyatanya membebek juga. Dulu saat Komnas HAM dipercaya untuk menyelidiki kasus pembunuhan enam laskar FPI kerjanya juga ternyata kacau. Dasar penyelidikannya salah. Komnas HAM tidak mau mendasarkan diri pada ketentuan UU No 26 tahun 2000 tentang Pengadilan HAM yang memberi kewenangan besar bagi Komnas HAM untuk melakukan penyelidikan. Akibatnya saat proses peradilan hasil kerja Komnas HAM menjadi sia-sia atau tidak berguna. Dibuang ke tempat sampah. Kini terkesan Komnas HAM menjadi bagian kerja Kepolisian. Sebagaimana karakter rezim yang lip service, Komnas HAM juga menjadi bagian yang sama saja. Teriak ke publik independen namun prakteknya tidak menunjukkan independensinya. Tidak ada informasi baru dari Komnas HAM. Soal CCTV juga Polisi sudah mengumumkan akan keberadaan CCTV di sekitar TKP tersebut. Ekspos terakhir Komnas HAM soal jaringn komunikasi yang dibeberkan Choirul Anam. Video menggambarkan lembaran kertas yang dibeberkan dan diujungnya ternyata dilipat. Komnas HAM payah di satu sisi dibuka dilain sisi ditutup. Terlepas yang ditutup itu rahasia, tapi konperensi pers seperti ini sangat buruk. Begitulah Komnas HAM bekerja yang ujungnya \"ditutup\". Persis saat Km 50 yang aktif juga panggil sana sini seperti institusi independen, namun gagah di awal melorot di ujung. Di tengah juga mulai tanda-tanda loyo. Tidak berani keluar dari skenario. Seperti takut-takut mengungkap temuan dan merekomendasi \"cari aman\". Saat bekerja waktu itu Komnas HAM sudah ada yang mendorong agar sebaiknya dibubarkan. Kasus yang luar biasa aneh pada peristiwa yang terjadi di ruang kepolisian ini dimana penembak jelas dan yang ditembak juga jelas tetap saja tersangka tidak jelas. Komnas HAM lambat menegaskan pelanggaran HAM telah terjadi atau tidak, siapa dan berapa orang pelanggar HAM siapa pula yang dilanggar HAM nya, keluarga Ferdy Sambo, Brigadir J dan keluarganya, atau pihak lain. Komnas HAM bukanlah Polisi yang harus menjelaskan tahap penyidikannya. Komnas HAM tidak memberi solusi, bahkan dapat dianggap melakukan penggiringan opini. Ini tidak sesuai dengan visi penegakan Komnas HAM \"proses tindakannya dalam rangka pencarian kebenaran guna mengetahui terjadinya pelanggaran HAM serta memberi sanksi bagi siapapun yang terbukti melakukan pelanggaran tanpa adanya diskriminasi guna memberikan rasa keadilan\". Ingat di antara misi Komnas HAM adalah mempercepat dan memastikan pemajuan, perlindungan, penegakan, dan pemenuhan serta penyelesaian kasus pelanggaran HAM terutama pelanggaran HAM berat. Tugas Komnas HAM tidak lain untuk menguji serius dalam kasus penembakan di kediaman Irjen Ferdi Sambo itu ada pelanggaran HAM atau tidak atau mungkin juga terjadi pelanggaran HAM berat. Kasus ini serius karena ternyata diduga melibatkan banyak pihak. Bandung, 2 Agustus 2022
Terorisme, Radikalisme, dan Islamophobia
Hal itulah yang menyebabkan Islamofobia dipahami di sini sebagai bentuk pemerintahan rasial yang bertujuan merusak identitas Muslim yang berbeda dengan apa yang dikehendaki oleh penguasa. Oleh: Muhammad Chirzin, Guru Besar UIN Sunan Kalijaga, Jogjakarta CATATAN saya terdahulu: http://fnn.co.id/post/mengapa-islam-kontra-radikal memperoleh respons penulis buku, Prof. Mukhlis Jamil, dengan mengirimkan pdf buku, tulisan-tulisan dalam jurnal, dan catatan. Tulisan saya tersebut juga mendapat respons kolega Shohibul Anshor Siregar di grup WA yang lain. Atas ijin yang bersangkutan saya salin tulisan-tulisannya berikut untuk memperoleh umpan balik dari para pembaca. https://nbasis.wordpress.com/2021/11/28/persaingan-dan-penjinakan-dunia-islam/ https://nbasis.wordpress.com/2021/06/28/chomsky-perang-melawan-teror/ https://nbasis.wordpress.com/2021/06/17/perang-baru-melawan-teror/ Kerja Terorisme: Terorisme Bukan Senjata Orang Lemah Itulah budaya di mana kita hidup dan itu mengungkapkan beberapa fakta. Salah satunya adalah fakta bahwa terorisme bekerja. Itu tidak gagal. Berhasil. Kekerasan biasanya berhasil. Itulah sejarah dunia. Kedua, adalah kesalahan analitik yang sangat serius untuk mengatakan, seperti yang biasa dilakukan, bahwa terorisme adalah senjata bagi yang lemah. Seperti cara kekerasan lainnya, itu terutama senjata yang kuat, pada kenyataannya. Ia dianggap sebagai senjata bagi yang lemah karena yang kuat juga menguasai sistem doktrin dan teror mereka tidak dihitung sebagai teror. Sekarang itu mendekati universal. Saya tidak bisa memikirkan pengecualian historis, bahkan pembunuh massal terburuk pun memandang dunia seperti itu. Jadi pilihlah Nazi. Mereka tidak melakukan teror di Eropa yang diduduki. Mereka melindungi penduduk lokal dari terorisme partisan. Dan seperti gerakan perlawanan lainnya, ada terorisme. Nazi melakukan kontra teror. Selanjutnya, Amerika Serikat pada dasarnya setuju dengan itu. Terorisme bukanlah senjata bagi yang lemah. Itu adalah senjata mereka yang melawan kita siapa pun kita kebetulan. Dan jika Anda dapat menemukan pengecualian historis untuk itu, saya akan tertarik untuk melihatnya. Sifat Budaya Kita: Bagaimana Kita Menganggap Terorisme Indikasi menarik dari sifat budaya kita, budaya tinggi kita, adalah cara memandang semua ini. Salah satu cara itu dianggap hanya menekannya. Jadi hampir tidak ada yang pernah mendengarnya. Dan kekuatan propaganda dan doktrin Amerika begitu kuat sehingga bahkan di antara para korbannya hampir tidak diketahui. Perang terhadap terorisme (war on terrorism) yang memaksa keterlibatan banyak Negara di dunia, dan terkadang secara kualitatif maupun kuantitatif mereduksi tajam kedaulatan Negara-negara yang dilibatkan dalam kerjasama, apalagi jika negara itu Negara lemah, terutama setelah peristiwa yang lebih dikenal dengan 911, begitu dahsyat untuk diabaikan dalam kajian hubungan internasional pasca perang dingin. Tentu saja pemupukan dominasi Negara adidaya dalam proses itu, yang sering terabaikan, juga sangat menarik. Aksi-aksi penistaan terstruktur satu kepada lain Negara atau penduduk suatu Negara, dengan mandat pemerintahan internasional pula, tak dapat diabaikan. Setelah kejadian 911, arah yang sangat jelas memusuhi Islam begitu kuat. Ini memang aneh. Definisi yang tidak ambigu dan dapat terterima oleh seluruh masyarakat internasional tentang terorisme itu sendiri sulit didapatkan hingga kini, termasuk oleh PBB sendiri. Tetapi ada keinginan besar untuk memaksakan kehendak oleh kekuatan internasional. Cukup popular pemahaman saat ini di seluruh dunia bahwa tidak semua muslim teroris, tetapi semua teroris adalah muslim. Ini sangat bertentangan dengan fakta sepanjang sejarah, dan cenderung menodai Islam dan pemeluknya. Statement itu adalah bagian dari bahasa dan publikasi dunia yang begitu besar dan secara hegemonik menentukan degradasi komunitas dan Negara muslim yang diposisikan secara peyoratif sebagai teroris, atau paling tidak tak memberi kepemihakan terhadap upaya war on terrorism itu. https://nbasis.wordpress.com/2016/04/11/terorisme-global/ https://nbasis.wordpress.com/2010/08/10/islamophobia-mereka-akan-bakar-al-quran/ https://nbasis.wordpress.com/2017/07/10/terorisme-isis-1/ Radikalisme dan ekstremisme adalah konsep yang sering digunakan (salah). Arti dari istilah-istilah ini tidak jelas dan batas-batas antara mereka dan antara salah satu dari istilah-istilah ini dan pemikiran dan praktik politik arus utama tidak jelas. Meskipun tidak ada definisi hukum tentang ekstremisme atau radikalisme di sebagian besar negara, namun demikian ada banyak program pemerintah yang berhubungan dengan [Melawan] Ekstremisme Kekerasan (CVE) dan Radikalisasi [De-] karena keduanya menyiratkan perubahan ke bentuk kekerasan politik tertentu: terorisme. Catatan Penelitian ini menyajikan hasil analisis terminologis dan konseptual definisi ekstremisme dan radikalisme yang digunakan (terutama, tetapi tidak secara eksklusif) di Jerman. Tujuannya adalah untuk mengembangkan definisi konsensus akademis dari istilah-istilah ini yang sebanding dengan pendekatan yang dikembangkan oleh Alex P. Schmid untuk mencapai Definisi Konsensus Akademik tentang Terorisme. https://nbasis.wordpress.com/2019/11/26/radikalisme-dan-ekstrimisme/ https://nbasis.wordpress.com/2019/11/05/radikalisme-dan-intoleransi/ Jika konsep Islamofobia masih terus menjadi perdebatan atau selama diabadikannya ketidaksediaan menerima kenyataan berbagai dampak menyedihkan yang diakibatkannya, hal itu adalah kondisi buruk yang akan terus menghalangi tindakan melawan atau menghapuskannya. Lalu, apa yang dapat dilakukan untuk mengatasi Islamofobia yang telah menyebar dan mengakar ini? Rekomendasi The Runnymede Trust yang dicantumkan dalam laporan 2017 dengan argumen yang kuat antara lain meminta: Pertama, mengadopsi definisi Islamofobia sebagai rasisme anti-Muslim. Islamofobia sebagai rasisme anti-Muslim adalah “pembedaan, pengecualian, atau pembatasan apa pun terhadap, atau preferensi terhadap, (atau mereka yang dianggap) Muslim, yang memiliki tujuan atau efek meniadakan atau merusak pengakuan, kenikmatan atau pelaksanaan, dengan pijakan yang sama, hak asasi manusia dan kebebasan fundamental dalam bidang politik, ekonomi, sosial, budaya atau bidang kehidupan publik lainnya.” Kedua, layanan publik dan swasta serta pengusaha sektor amal harus mengumpulkan lebih banyak data tentang Muslim dan kelompok agama lainnya untuk menyoroti besaran masalah dan penderitaan hukuman Muslim yang lahir sebagai konsekuensi Islamofobia ini. Ketiga, menindaklanjuti komitmennya untuk mengumpulkan data kesetaraan ras dan kendala-kendalanya, pemerintah harus mengadopsi strategi yang lebih luas untuk mengatasi ketidaksetaraan yang secara khusus memengaruhi Muslim Inggris. Keempat, harus ada penyelidikan penuh dan independen ke dalam strategi kontra-terorisme yang dilakukan pemerintah. Sebagaimana diketahui, di hampir semua negara yang merasa dipayungi oleh kebijakan global war on terrorism tindakan unlawfull killing selalu menjadi pengalaman buruk merendahkan Hak Asasi Manusia dan seolah hukum kemanusiaan tidak perlu dirujuk untuk peradilan yang menjunjung tinggi peradaban. Kelima, regulator media harus melakukan intervensi secara lebih proaktif dalam kasus-kasus pelaporan yang diduga diskriminatif, dan dengan demikian mencerminkan semangat regulasi kesetaraan. Dalam kasus Amerika Serikat misalnya (David L. Altheide, The Mass Media, Crime and Terrorism, Journal of International Criminal Justice, Volume 4, Issue 5, November 2006), media massa, sebagaimana diketahui, memainkan peran besar dalam persepsi publik dan penerimaan perilaku kriminal oleh negara itu. Penerimaan publik atas tindakan ilegal oleh pemerintah AS dalam Perang Irak, serta langkah-langkah yang diambil untuk memerangi terorisme, telah pula dipengaruhi oleh konten media hiburan dan logika media tentang kejahatan dan ketakutan. Ini semua memiliki konteks budaya dan komunikasi massa yang mendorong ketakutan akan kejahatan di satu sisi, sementara juga membenarkan tindakan ilegal negara untuk memerangi kejahatan di sisi lain. Propaganda dan manajemen berita (misalnya kompleks militer-media dan kegagalan jurnalisme) berkontribusi pada wacana ketakutan dan negasi simbolis dari orang lain, sebagai kriminal atau teroris — dan, dalam prosesnya, menghargai tindakan kriminal sebagaimana diperlukan dan heroik. https://nbasis.wordpress.com/2021/05/08/islamofobia-laporan-the-runnymede-trust/ Kini “Islamofobia” adalah istilah yang telah diterapkan secara luas pada ide dan tindakan anti-Muslim, terutama sejak tragedi 9 September, sebagaimana Andrew Shryock mengemukakan tanpa sedikit pun keraguan (Islamophobia, Islamophilia: Beyond the Politics of Enemy and Friend, 2010). Kritiknya dalam eksplorasi kegunaan konsep untuk memahami konteks dimulai dari Abad Pertengahan hingga Zaman Modern. Beranjak dari penjelasan umum tentang aneka konsep yang dilahirkan dengan semangat permusuhan seperti stereotip Muslim yang baik atau Muslim yang buruk; atau konsekuensi-konsekuensi psikologis dan politik yang dihasilkan oleh introduksi istilah “benturan peradaban” (Clash of civilization, Huntington, 1991), para kontributor dalam karya ini menggambarkan mitra Islamofobia, Islamofilia, yang menyebarkan oposisi serupa untuk kepentingan mendorong penerimaan publik terhadap Islam. https://nbasis.wordpress.com/2021/04/05/islamofobia-amerika-dan-eropa/ Self-Hating Muslim Dunia Islam tidak berada dalam ruang hampa pengaruh. Hatem Bazian dalam uraian berjudul Religion-building and Foreign Policy menegaskan Islamofobia yang berbeda dan terfokus secara historis dalam masyarakat mayoritas Muslim dengan menempatkan Islamofobia terutama sebagai proses yang muncul dan dibentuk oleh wacana hegemoni Eurosentris kolonial yang berasal dari akhir abad ke-18, yang juga menekankan peran internalisasi oleh elit pasca-kolonial. Karena itu selain telaah sejarah yang sahih, buku ini menyarankan untuk melihat Islamofobia melalui lensa teori sistem dunia, rasisme epistemik, dan sekularisme. Menggunakan konsep orientalisasi diri dan Westernisasi diri, buku ini cukup tuntas menjelaskan bagaimana beberapa segmen masyarakat Muslim menyatakan identitas mereka, tradisi mereka dan pandangan dunia mereka sendiri yang justru melalui pandangan asing, yaitu orientalisme Barat. Proses inilah yang menjadi jawaban atas kemungkinan terjadinya fenomena jamak berupa kebencian pada diri sendiri oleh Muslim (self-hating Muslim) yang ditengarai tidak hanya berakar pada penjajahan, tetapi lebih umum lagi dalam perjumpaan dengan Barat sekuler-modern khususnya yang terjadi begitu dahsyat pada pergantian abad kesembilan belas. Hal itulah yang menyebabkan Islamofobia dipahami di sini sebagai bentuk pemerintahan rasial yang bertujuan merusak identitas Muslim yang berbeda dengan apa yang dikehendaki oleh penguasa. Jika pemimpin-pemimpin Indonesia bisa menjadi tauladan, niscaya tak akan sebesar ini kontroversi ijtihad terhadap idiologi negara. Makin besar penyimpangan terhadap Pancasila akan makin besar keinginan untuk menggantinya. Dosa siapa ini? Pemerintah wajib menjawab. Islamofobia melahirkan berbagai macam instrumen politik, hukum dan budaya yang terus mempersempit tempat bagi agama ini. Konsep-konsep turunannya seperti moderasi Islam, muslim moderat, dan Islam moderat, yang awalnya diciptakan oleh media dan akademisi yang memberi pemaknaan terutama atas revolusi Iran (1979) dengan pembobotan subjektif tertentu, kini di banyak negara menjadi wacana dalam pengarusutamaan politik dan budaya. (*)
Dubes RI Promosikan Kebudayaan Indonesia di Televisi Tunisia
Jakarta, FNN - Duta Besar RI untuk Tunisia Zuhairi Misrawi mempromosikan kebudayaan dan nilai-nilai Indonesia di jaringan televisi terbesar di Tunisia, TV Wataniya pada Minggu (31/7).Dubes Zuhairi Misrawi dalam kesempatan itu secara khusus menyampaikan pemikiran Trisakti presiden pertama RI Soekarno, yaitu berdaulat dalam politik, berdikari dalam ekonomi, dan berkepribadian dalam kebudayaan, menurut keterangan KBRI Tunis yang diterima di Jakarta, Senin.\"Kami di Indonesia berpijak pada pemikiran Bung Karno perihal pentingnya berkepribadian dalam kebudayaan. Politik dan ekonomi harus didukung oleh kebudayaan sebagai kearifan lokal dan jati diri bangsa,\" kata Dubes Zuhairi.Untuk itu, kata dia, KBRI Tunis memberikam perhatian pada diplomasi kebudayaan melalui puisi, film, musik, novel, tarian, kuliner, dan pemikiran.\"Indonesia dan Tunisia sama-sama mempunyai perhatian terhadap kebudayaan sehingga pemikiran kebangsaan kokoh dan kuat di dalam sanubari warga kedua negara,\" ujarnya.Dubes Zuhairi juga menyampaikan perlunya diplomasi kebudayaan sebagai jembatan untuk memperkokoh dan memperkuat hubungan bilateral antara Indonesia dan Tunisia.\"Diplomasi kebudayaan akan mendekatkan hubungan di antara sesama warga kedua negara. Saya melihat dan merasakan langsung betapa warga Tunisia mempunyai kegemaran terhadap kebudayaan Nusantara. Citarasa kebudayaan mereka sangat tinggi,\" ucapnya.\"Ketika melihat tarian, mendengarkan dangdut, dan menikmati kuliner Nusantara, warga Tunisia sangat mengapresiasi. Sebab itu, mereka menyambut baik diplomasi kebudayaan yang diinisiasi KBRI Tunis. Dari Tunisia, semoga kebudayaan Nusantara makin dikenal di kawasan Timur Tengah dan Afrika,\" lanjut Zuhairi.Dalam program tayang bincang di stasiun TV Wataniya itu, Dubes Zuhairi Misrawi juga membacakan puisi dalam bahasa Arab berjudul \"Huruf-Huruf Cahaya: Indonesia-Tunisia\" yang merupakan karya penyair asal Indonesia Jamal D Rahman.Sebelumnya, kegiatan KBRI Tunis perihal diplomasi puisi Indonesia-Tunisia mendapatkan respons sangat baik dari media dan warga Tunisia. (Sof/ANTARA)
Kejujuran Pak Kapolri Sedang Ditunggu
Oleh Dr. Margarito Kamis Jakarta FNN - Brigadir J telah almarhum. Dia telah dimakamkan. Menarik karena kematiannya baru terungkap ke panggung publik setelah tiga hari. Begitu terungkap ke publik, segera terjadi kehebohan. Heboh, karena fakta yang tersaji di sana-sini mengundang keraguan. Sebab kematian muncul menjadi pusat keraguan. Baku tembak atau ditembak? Itu satu persoalan. Persoalan kedua, almarhum J itu, begitu pernyataan resmi Mabes Polri, melecehkan istri Irjen Pol. Ferdy Sambo. Fakta yang disodorkan Mabes Polri ini berhari-hari mendominasi panggung publik. Rupanya penyidikan, setidaknya penyelidikan kasus ini dipandu oleh fakta ini. CCTV yang di rumah Irjen Ferdy Sambo, entah bagaimana - kata Mabes Polri - rusak. Pertanyaan segera muncul. Rusak atau dirusak? Keraguan lain juga segera menyusul. Apa betul Ferdy, sang Kadiv Propam ini, benar-benar sedang berada di luar rumah menjalani tes PCR atau ada di rumah pada saat terjadinya tembak-menembak atau almarhum ditembak? Tetapi sudahlah. Lupakan dulu semua keganjilan lain. Terutama keganjilan-keganjilan nyata setelah pihak keluarga almarhum Bripda J menyajikan fakta lain dengan nada menantang yang produktif. Tak diduga, berbekal fakta yang diyakini kebenarannya, pihak keluarga melalui kuasa hukumnya melaporkan ke Bareskrim Mabes Polri adanya kemungkinan almarhum dibunuh secara berencana. Fakta yang saling menyangkal antara Mabes Polri dan keluarga almarhum, sungguh menarik. Inilah poin paling krusial. Andai saja Brigadir J yang pada awal kejadian ini disajikan melakukan pelecehan terhadap Ibu Putri, istri Ferdy Sambo tidak mati, maka logis penyidik menempatkan “pelecehan” itu sebagai fokus penyidikan. Pra rekonstruksi yang dilakukan di Polda Metro Jaya, suatu tindakan dalam kerangka penyidikan, yang harus diakui, tidak dikenal dalam KUHAP. Namun logis juga dilakukan oleh penyidik. Soalnya, Brigadir J itu telah jadi almarhum, mati. Untuk apa kegiatan pra-rekonstrukti itu? Siapa yang mau dibebani tanggung jawab pidana kasus pelecehan? Jelas dalam semua aspek, fokus ini mengandung persoalan. Apa relevansi menyelidiki perbuatan pidana yang pelakunya telah mati? Siapa yang mau dibebani tanggung jawab pidana? Tidak mungkin penyidikan ini dimaksudkan untuk hal lain, selain memastikan siapa yang secara hukum harus dibebani tanggung jawab pidana. Andai terjadi pelecehan kepada istri Ferdy, maka hanya almarhum yang harus dibebani tanggung jawab pidana. Padahal dia telah mati. Ilmu hukum tidak menyediakan kaidah untuk meminta tanggung jawab pidana kepada orang yang sudah mati. Justru sebaliknya ilmu hukum pidana menyediakan kaidah, kematian menjadi sebab utama terhapusnya tanggung jawab pidana. Menariknya, penyidik, entah dari Mabes Polri atau Polda Metro Jaya, melakukan ekhumasi (otopsi ulang) kepada jasad almarhum Bripda J. Hasilnya belum disajikan kepada publik. Soalnya adalah untuk apa dilakukan otopsi ulang? Sekadar memenuhi rasa keingintahuan beralasan dan sungguh-sungguh dari pihak keluarga almarhum? Munginkah Mabes Polri, berdasarkan fakta yang diperoleh, misalnya CCTV merekam sejumlah keadaan hukum? Selain itu memperoleh keyakinan berbeda dari fakta yang disajikan sendiri oleh Mabes Polri pada awalmya? Keyakinan baru itukah yang membawa penyidik melakukan autopsi ulang atas jasad almarhum Brigadir J? Temuan autopsi ulang, sekali lagi, sejauh belum diperoleh, apalagi disajikan secara otoritatif. Andai autopsi ulang menyajikan fakta berbeda dengan autopsi awal, maka untuk alasan esensial rule of law, Kapolri mesti membalut seluruh tindakan hukum dengan kejujuran paripurna. Tanpa ragu pada semua aspek. Skema dan ruang lingkup tindakan hukum, termasuk etik, menjadi penentu. Kedangkalan ruang lingkup tindakan justru akan memanggil dan menebalkan keraguan atas ketebalan kejujuran Pak Kapolri. Jujur, sekali lagi jujur, karena hanya itu satu-satunya hal yang tersedia. Wajib dijadikan sikap dalam menyajikan keadilan pada kasus ini. Tak ada alasan sekecil apapun untuk menjadikan Brigadir J sebagai fokus penyidikan. Brigadir J telah mati ditembak. Apapun alasan dan keadaan yang menyertainya, beralasan hukum rasional dan cukup untuk meletakan tanggung jawab pidana pada si penembak. Membentuk Tim Khusus dan menarik penyidikan kasus ini ke Mabes Polri, untuk alasan kenyataan saat ini, terasa belum beralasan menandai ketebalan kejujuran Kapolri. Membebaskan Ferdy Sambo dan Kapolres Jakarta Selatan dari jabatannya, juga sama, terasa belum cukup berlasan untuk menandai ketebalan kejujuran Pak Kapolri. Kasus ini terlalu sederhana Pak Kapolri. Brigadir J mati ditembak. Dia ditembak atau tertembak oleh orang. Bukan setan, iblis dan sejenisnya yang menembak Grigadir J. Melakukan pelecehan seksual kepada orang lain siapapun dia, jelas melanggar hukum. Sama, melakukan satu tindakan yang mengakibatkan matinya orang, apapun motif dan alasannya, juga melanggar hukum. Pak Kapolri, orang mati itu, dalam ilmu hukum pidana, tidak dapat dimintai tanggung jawab pidana. Sebaliknya orang yang hidup, kecuali dia gila, harus dibebani tanggung jawab pidana. Pak Kapolri, ini kasus yang sangat sederhana. Anak buah Pak Kapolri yang membuat masalah kematian Brigadir J ini menjadi rumit dan njelimet. Sungguh tidak masuk akal bila penetapan tersangka dalam kasus ini harus menunggu hasil autopsi ulang. Menjadikan hasil autopsi ulang sebagai penentu dalam penetapan tersangka dalam kasus ini, jelas terlalu konyol dan ngawur. Yang tidak konyol adalah hasil autopsi ulang menjadi penentu kualifikasi perbuatan pelaku. Semua peluru yang ditembakkan senjata Briptu J, yang kabarnya merupakan seorang Sniper, lucu, aneh dan ajaib, tidak mengenai sasaran. Sebaliknya 5 (lima) peluru yang ditembakkan oleh si penembak mengenai tubuh Brigadir J. Fakta ini menjadi sebab satu-satunya Brigadir J mati. Hebat apa konyol itu Pak Kapolri? Pak Kapolri, hukum apa atau hal apa yang mau dicari untuk disajikan ke publik, sehingga penyidikan kasus ini terlihat tidak dibuat berliku-liku? Menunggu hasil autopsi ulang untuk menetapkan tersangka dalam kasus ini hanya akan mempertebal kebingungan Pak Kapolri. Hemat saya, penentu penetapan tersangka kasus ini, untuk alasan hukum, bukan ditentukan dari hasil autopsi ulang. Hasil autopsi ulang hanya berfaedah dalam rangka konstruksi hukum untuk kualifikasi perbuatan pelaku. Hanya itu. Titik lebih dari itu Pak Kapolri. Terasa beralasan menyodorkan level ketebalan kejujuran Kapolri sebagai penentu utama percepatan penetapan tersangka dalam kasus ini. Mudah-mudahan di dalam rumah Ferdy Sambo, tempat matinya Brigadir J, hanya ada almarhum Brigadir J, si penembak plus Ibu Putri, istri Ferdy Sambo. Ukuran ketebalan kejujuran Pak Kapolri dalam perspektif saya, menyapu bersih semua tantangan non-hukum. Tentu bila itu ada. Kejujuran Pak Kapolri tak memiliki tandingan apapun dalam memandu dan menuntun setiap usaha mencari dan menemukan keadilan. Kejujuran adalah perisai dan mahkota orang-orang hebat dan berkelas Pak Kapolri. Penulis adalah Pengajar Fakultas Hukum Universitas Khairun Ternate.
Geliat Naga Melilit Garuda
Selangkah lagi target warga China harus bisa jadi Presiden Indonesia. Mereka sudah berhasil mengubah pasal 6 (1) UUD 45 adalah prestasi gemilang sebagai pintu masuk China sebaga penguasa di Indonesia. Oleh: Sutoyo Abadi, Koordinator Kajian Politik Merah Putih CHINA adalah the emerging super power, kebijakan awal yang diambil negaranya adalah \"Yo bian dao\" (condong ke satu sisi), penyatuan negara komunis dalam satu komando, saat itu di bawah kokomando Uni Soviet. Pada 1992 Deng Xiaoping melakukan perjalanan ke selatan untuk membuka dan meneruskan pembangunan ekonomi. Sehingga, pada 2008 dalam kondisi ketika krisis global pertumbuhan China mencapai 7,9 persen. Kebijakan China perantauan pada abad 21 meliputi: ekonomi, budaya, dan politik. Sebelumnya, pada 1991 Lee Kuan Yew kerja sama dengan RRC di Singapura mengumpulkan China perantauan (Overseas Chinese) 800 penguasaan besar dari 30 negara, termasuk penguasaan China dari Indonesia. Diaspora orang China telah berhasil melahirkan budaya kapitalisme sendiri. Dinasti Qing telah mengadopsi hukum kewarganegaraan dengan prinsip Ius Sanguinis atau hak satu darah. Mao Zedong mengatakan bahwa semua orang China di seluruh dunia termasuk Indonesia adalah warga negara RRC. Dalam perkembangannya, China dengan cerdik menawarkan pada ASEAN satu traktat perdagangan yang dikenal dengan CAFTA (China - ASEAN Free Trade Area), untuk menciptakan Sinosentrismo sesuai kepentingan ekonomi dan politiknya. Ini adalah permainan jangka panjang China yang cerdik berlindung dan ingin ASEAN secara otomatis memperhitungkan kepentingan dan ketergantungan kepada China, termasuk Indonesia. Dan, saat ini kita kenal dengan strategi dengan nama One Belt One Road (OBOR). China memberi hutang dan menawarkan investasi kepada Indonesia bukan hanya bermotif ekonomi tetapi jelas ada motif politik ketergantungan Indonesia kepada China. China sangat mengerti dan paham Indonesia akan kesulitan saat harus mengembalikan hutang-hutangnya, dengan segala resikonya. Dari sinilah rezim saat ini kurang hati hati menerima sikap manis Cina apapun yang diminta Indonesia. Terpantau sikap, ucapan, dan gerak-gerik serta postur tubuh Presiden Joko Widodo sangat lemah di depan Presiden Xi Jinping. Tawaran manis dari China diterima dengan suka-cita, tanpa menyadari semua resiko yang akan terjadi. Bahkan, di beberapa media Menlu RI Retno Marsudi meminta rakyat Indonesia bertepuk tangan. Semua nota kesepahaman dari China ada beberapa implikasi strategis dan membahayakan keselamatan anak cucu, khususnya tentang kedatangan jutaan warga China dengan alasan untuk kerja di proyek yang didanainya. Kita tidak bisa mengesampingkan kemungkinan adanya agenda lain di balik itu semua. Karena strategi China dengan sengaja mendiasporakan rakyatnya keluar ke negara lain. Dan, itu merupakan kebijakan luar negeri China, antara lain untuk mengurangi kepadatan penduduk di negaranya. China sudah masuk Indonesia untuk tujuan imperium. Sifat ekspansionisme dan semangatnya dalam geopolitik adalah bagian dari konsep China Raya, mereka butuh tanah baru. Maka benar analis dan pengamatan politik bahwa TKA China dalam strategi tidak akan kembali ke China setelah masuk di Indonesia. Tak cukup sampai di situ, RRC juga menyiapkan China di perantauan untuk jadi penguasa. Indonesia sudah lama menjadi targetnya. Saat ini China di Indonesia sudah sudah mulai masuk dalam pertarungan politik praktis dengan mendirikan partai politik dan menguasai partai politik dan sudah menguasai pada penguasa pengambil kebijakan negara. Selangkah lagi target warga China harus bisa jadi Presiden Indonesia. Mereka sudah berhasil mengubah pasal 6 (1) UUD 45 adalah prestasi gemilang sebagai pintu masuk China sebagai penguasa di Indonesia. Mereka terus mencoba dan berusaha keras menggeser posisi politik kaum Pribumi Nusantara dan terus bergerak untuk menguasai wilayah Jakarta sebagai Center of Gravity Indonesia untuk dikuasai. Bahkan telah ikut merekayasa memindahkan Ibu Kota Negara ke Kalimantan, langsung atau tidak langsung ada dalam pengaruh dan kendalinya. Geliat Naga Melilit Garuda sudah terjadi. Kecepatan China menguasai untuk Indonesia berperan besar karena kelemahan Presiden kita sendiri yang minim kapasitas dan minim pemahaman sejarah dan lemah dalam pengetahuan geopolitik yang sedang dimainkan China. Parahnya lagi, indikasi kuat semua kebijakan negara sudah dalam kendali oligarki. (*)
Simulacra, Oligarki Kekuasaan, dan Derita Rakyat
Situasi ekonomi akan cenderung stagnan, bahkan memburuk dan rakyat cenderung makin mengalami kesulitan. Oleh: Ubedilah Badrun, Analis Sosial Politik Universitas Negeri Jakarta (UNJ) SALAH satu konsekuensi dari praktik demokrasi adalah munculnya mayoritas pemenang yang mengatur dan mendominasi (majority rule). Sebagian ilmuwan politik menyebutnya fenomena itu sebagai tirani mayoritas politik, sebagian yang lain menyebutnya sebagai dominasi mayoritas politik. Dominasi mayoritas politik misalnya terjadi ketika koalisi besar memenangkan kontestasi dalam pemilihan umum. Parahnya di negara yang pemilihan umumnya berbiaya mahal seringkali politik dikendalikan oleh oligark. Ini akan membuat dominasi politik semakin mencengkeram. Apalagi ketika seluruh proses politiknya betul-betul sepenuhnya dibawah kendali oligarki. Para Oligark membeli pemilu. Dengan kekuatan finansialnya menyulap para politisi, seolah-olah merakyat, dibingkai populisme. Apapun varian populismenya, atas nama wong cilik maupun populisme atas nama agama. Populisme kiri atau populisme kanan, termasuk populisme yang dibungkus nasionalisme. Dalam dominasi mayoritas politik itu, ketika penguasanya gagal menjaga demokrasi bahkan menyepelekanya, wajah politik akan terlihat tidak lagi berkualitas. Bahkam makin memburuk. Simulacra Para oligark pandai menyulap kandidat elit seolah merakyat padahal menindas petani. Meminjam terminologi Jean Baudrillard (1929-2007) dalam Simulacres et Simulation (1981), mungkin tepat jika wajah politik semacam itu dinilai sebagai simulacra politik (politik citra). Rakyat dijejali realitas semu yang dikonstruksi melalui proses pencitraan (politik simulacra). Saking simulakrumnya seringkali mengabaikan hal substansi dari demokrasi, mengabaikan partisipasi publik. Hak-hak warga negara bahkan secara vulgar diabaikan. Elit politik sibuk pencitraan disaat yang sama rakyat direpresi dan diabaikan hak-hak nya. Politik citra itu menggeser rasionalitas menjadi tidak rasional. Memainkan perasaan publik. Publik hanya dibuat suka dan tidak suka, diiming-imingi, ditakut-takuti, diberi janji-janji manis, dikelabui dengan citra tertentu dan tidak diajak berfikir. Politik menjadi sangat buruk karena mengabaikan rasionalitas publik. Saat ini sesungguhnya perlahan tetapi pasti politik Indonesia semakin memburuk. Ini ditandai dengan merosotnya demokrasi. Demokrasi Indonesia memang terus merosot. Datanya menunjukkan kemerosotan itu. Data kuantitatifnya Indeks demokrasi kita masih di bawah 6,50. Secara kualitatif demokrasi di Indonesia kian banyak cacatnya (flaws), seperti pengabaian aspirasi, pembungkaman kritik dengan cara tertentu, represi, penangkapan dan pemenjaraan aktivis, dll. Sejumlah ilmuwan membenarkan kesimpulan itu. Dari Edward Aspinall (2020), Vedi R Hadiz (2020), dan lain-lain hingga Azyumardi Azra (2020). Arogansi Produksi Regulasi Di antara hal yang mengancam kemanusiaan warga negara ketika dominasi mayoritas politik terjadi dengan mengabaikan substansi demokrasi adalah munculnya Arogansi dihampir seluruh proses produksi regulasi. Undang-undang tidak lagi dibuat dengan cara-cara demokratis, bahkan semakin telanjang melecehkan kehendak publik. Aspirasi publik dianggap seperti anjing menggonggong, disaat yang sama elit politik terus saja berjalan dengan jumawa memproduksi undang-undang dan semua aturan turunanya yang sesungguhnya merugikan masa depan rakyatnya. Elit politik merasa sebagai mayoritas politik, sebagai pemenang, apalagi misalnya menguasai 80 persen lebih di parlemen. Mereka merasa berhak membuat aturan apapun yang penting disetujui mayoritas anggota parlemen. Rakyat tidak perlu didengar. Mereka lupa antara kepala mereka dan kepala rakyat pernah bertemu saat politik elektoral bekerja dengan gegap gempita bertabur rupiah melalui pemilihan umum. Setelah itu kepala mereka berpisah, atau memisahkan diri. Kepala rakyat berfikir dengan nalarnya sendiri sebagai publik, elit politik berfikir dengan kepentinganya sendiri. Memikirkan diri dan kelompoknya sendiri. Jika elit yang ada di parlemen dan di istana mengklaim sebagai representasi rakyat karena dipilih rakyat melalui pemilu mestinya rakyat didengar aspirasinya, bukan diabaikan. Dalam kasus Indonesia, revisi UU KPK tahun 2019, pengesahan Omnibus Law UU Ciptakerja tahun 2020, penyingkiran para penyidik berintegritas di KPK tahun 2021 melalui TWK dan kini pembahasan RKUHP (2022) adalah wajah Arogansi Kekuasaan. Aspirasi dari rakyat, buruh, mahasiswa, cendekiawan, kelompok civil society dan lain-lain nampak tidak didengar. Publik rasional diabaikan dengan cara yang sombong atas nama politik mayoritas, atas nama dipilih rakyat dan berlindung dibalik jubah populisme. Mirisnya ini terjadi ditengah derita rakyat. Derita Rakyat Gambaran tentang derita rakyat saat ini tidak cukup menceritakan penderitaan rakyat yang sebenarnya. Sebab faktanya rakyat memang jauh lebih menderita dari yang digambarkan. Hasil riset lembaga kredibel yang dirilis 26 April lalu menemukan alasan utama rakyat tidak puas terhadap pemerintah saat ini. Alasan utama rakyat tidak puas adalah karena harga bahan pokok yang meningkat (38,9 persen). Maknanya rakyat betul-betul sedang berat untuk memenuhi kebutuhan pokoknya. Sedang mengalami derita yang makin dalam. Tragisnya, diantara derita yang dialami rakyat ada yang memilih jalan mengakhiri hidupnya, bunuh diri. Sebab, ternyata data bunuh diri di Indonesia kini semakin meningkat seiring kesulitan ekonomi yang dialami rakyat saat ini. Sejak 2014 sampai 2019 datanya menunjukan bahwa Suicide Mortality Rate Indonesia mencapai 2,4 per 100.000 populasi (Worldbank). Tahun 2020, Suicide Mortality Rate Indonesia ternyata mencapai 3,4 per 100.000 Populasi (Researchgate). Maknanya angka bunuh diri di Indonesia terus meningkat. Lebih detail memang ada banyak peristiwa bunuh diri terjadi di Indonesia karena mengalami kesulitan ekonomi. Di Jember, Jawa Timur misalnya, di awal tahun ini, seorang tukang servis eletronik nekat menghabisi nyawa seseorang karena tidak mendapat pinjaman uang. Ia nekat menghabisi nyawa seseorang karena ia mengalami kesulitan ekonomi. Di Brebes, Jawa Tengah, Mei lalu, seorang Kakek bunuh diri karena kesulitan ekonomi yang dialaminya. Sebelumnya, masih di provinsi yang sama, pada Februari lalu, di Wonogiri seorang kakek yang sakit tidak sembuh-sembuh tidak mampu berobat karena tidak memiliki uang, ia memilih bunuh diri. Ada semacam akumulasi penderitaan, sakit dan kesulitan ekonomi. Ada juga anak muda berusia 26 tahun di Katingan, Kalimantan Tengah, ditemukan tewas dengan kondisi gantung diri. Korban nekat mengakhiri hidupnya disebabkan frustasi kesulitan ekonomi. Sebelum bunuh diri ia menceritakan kepada pamanya bahwa ia terkena Pemutusan Hubungan Kerja (PHK). Kini ditengah kondisi ekonomi yang masih sulit pemerintah mulai membuat kebijakan menaikan harga tarif listrik dan bahan bakar minyak. Meski kenaikan listrik dan BBM dikenakan untuk pelanggan dengan kategori kelas menengah keatas, pebisnis dan pelanggan pemerintah (R2,R3,P1,P2,P3 dan Pertamax Turbo, Dexlite, Pertamina Dex). Tetapi dampaknya akan dahsyat juga terhadap rakyat kecil. Misalnya, dampak kenaikan BBM terhadap nelayan. Sebab kapal-kapal dengan ukuran di atas 10-30 gross ton (GT) pengguna BBM yang naik ada sekitar 6.700 kapal, jika masing-masing kapal berisi 30 orang nelayan, maka yang akan terdampak ada sekitar 200 ribu nelayan akibat kenaikan BBM tersebut (KKP,2022). Sementara kapal yang kapasitasnya di atas 30 GT ada sekitar 200 ribu kapal. Jika masing-masing kapal berisi 10 nelayan, ada sekitar 2 juta nelayan terancam menganggur atau makin mengalami kesulitan ekonomi karena kapal yang berlayar berkurang atau bahkan berhenti berlayar, jikapun berlayar penghasilan nelayan akan berkurang drastis karena terpotong biaya BBM yang naik (KKP,2022). Sementara itu, jenis elpiji juga naik meskipun untuk elpiji non-subsidi yaitu elpiji ukuran 5,5 kg dan 12 kg jenis Bright Gas. Tentu ini akan berdampak pada kenaikan harga terutama harga makanan dan memungkinkan akan menurunkan daya beli masyarakat. Situasi ekonomi akan cenderung stagnan, bahkan memburuk dan rakyat cenderung makin mengalami kesulitan. Mirisnya ditengah rakyat yang makin menderita justru Indeks Persepsi Korupsi Indonesia juga rapotnya masih merah skornya masih dibawah 40, persisnya mendapat skor 38 (Transparency International, 2021). (*)
Indonesia Dalam Cengkeraman China
Ini jelas sejalan dengan rencana Khubilai Khan sejak abad-13 yang memang RRC sudah lama tanpa henti strategi menguasai Nusantara akan terjadi, dan saat ini telah bisa kita lihat bersama. Oleh: Sutoyo Abadi, Koordinator Kajian Politik Merah Putih MENURUT Sun Tsu yang sangat dipercayai etnis China bahwa menang itu sangat penting, apapun caranya. Hanya dalam praktek lapangan dikatakan bahwa: “Semua orang berkata, menang di medan tempur itu baik, padahal tidak. Jendral yang memenangkan setiap pertempuran bukanlah jagoan sejati. Membuat musuhmu kalah tanpa bertempur itulah kuncinya. Lebih baik menjaga keutuhan negeri dari pada menghancurkannya. Mengalahkan lawan tanpa bertempur itulah puncak kemahiran”. Kalimat Sun Tsu tersebut jelas memberikan semangat hampir di semua warga China di muka bumi ini. Tak terkecuali di Indonesia. Bertempur terbaik adalah digunakannya tipu daya licik, cara untuk mengelabuhi, membuat jengkel, membingungkan musuh sebelum menjatuhkan pukulan kepada mereka. Ada saatnya untuk menggencarkan kekuatan. Semua terlebih dahulu harus dilakukan mati-matian termasuk berbalik dan lari. Dalam strategi dagang, baik berupa investasi, operasi bisnis ini, juga diperlukan penyamaran. Semua harus dilakukan secara halus dan terduga. Tujuannya bisa cengkerama ekonomi dan merambah ke ranah politik. Etnis China di muka bumi ini dengan pemerintah China sebagai leluhurnya tidak tinggal diam yakni dengan memberlakukan kebijakan double citizen (kewarganegaraan ganda). Meski tidak ditujukan khusus ke Indonesia, kebijakan itu telah memberi sign. Bahwa etnis China yang tersebar di seluruh dunia dan menjadikan warga negara di mana mereka bertempat tinggal, tetap diakui dan harus menganggap bahwa dirinya adalah orang China. Kebijakan ini dikunci dengan doktrin One China. Sejumlah berita marak di media sosial. Di antaranya soal Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia (Kemenkumham) yang memberikan status Warga Negara Indonesia (WNI) kepada ratusan warga tanpa identitas. Memberikan kemudahan ijin tinggal khususnua warga China. (Kalau itu benar) adalah suatu kebijakan yang sangat berbahaya. Apalagi warga TKA yang masuk bersamaan dengan dalih tenaga kerja sebagai konsekuensi ikutan penanan investasi China di Indonesia seperti sudah tidak terkendali. Bahkan, pernyataan mantan Kepala Badan Intelijen Negara (BIN) Letjen (Purn) Sutiyoso sudah memperingatkan bahwa Indonesia akan dijajah oleh tenaga kerja asing (TKA) asal China. Presiden Joko Widodo bertemu dengan Presiden RRT Xi Jinping dan Perdana Menteri (Premier) RRT Li Keqiang di Villa 14, Diaoyutai State Guesthouse, Beijing. Presiden Jokowi dengan Presiden Xi maupun Premier Li berfokus untuk meningkatkan kerja sama ekonomi yang saling menguntungkan dan kerja sama di bidang prioritas lainnya, antara lain perdagangan, investasi, kesehatan, maritim, dan isu kawasan dan dunia. Pembangunan ekonomi hijau, antara lain di bidang energi terbarukan, pengembangan mobil listrik, pengembangan industri baterai, dan pengembangan \'green industrial park\'. Kedua pemimpin juga membahas peningkatan investasi untuk mengembangkan industri hilirisasi petrokimia dan sektor telekomunikasi serta semi konduktur. Pada awal sambutannya, Presiden Jokowi mengatakan bahwa Indonesia merupakan negara yang senasib dan sepenanggungan ketika bertemu Presiden Xi Jinping di Beijing, Selasa (26/7/2022) sore. Juga mengatakan bahwa China merupakan mitra komprehensif strategis Indonesia. Dari kesepakatan yang sudah disiapkan oleh para menteri sebelumnya, terkait kerja sama kedua negara menyepakati beberapa kesepakatan lainnya yakni: 1. Pembaruan MoU Sinergi Poros Maritim Dunia dan Belt Road Initiative; 2. MoU Kerja sama Pengembangan dan Penelitian Vaksin dan Genomika; 3. MoU mengenai Pembangunan Hijau; 4. Pengaturan Kerja sama Kelautan; 5. Protokol mengenai ekspor nanas Indonesia; 6. Pengaturan Kerja Sama Pertukaran Informasi dan Penegakan Pelanggaran Kepabeanan; 7. Rencana Aksi Kerja Sama Pengembangan Kapasitas Keamanan Siber dan Teknologi. Masuknya investasi asing ke Indonesia pasti akan disambut gembira oleh rakyat Indonesia. Tetapi dari pengalaman riil yang terjadi selama ini dengan dalih investasi ternyata sebagai pintu masuk warga China (TKA yang numpang Investasi) makin luas di semua wilayah Indonesia, indikasi kuat mereka juga organ tentara China yang akan mendukung politik hegemoni di Indonesia adalah sulit dinafikan bahaya yang akan terjadi. Ini jelas sejalan dengan rencana Khubilai Khan sejak abad-13 yang memang RRC sudah lama tanpa henti strategi menguasai Nusantara akan terjadi, dan saat ini telah bisa kita lihat bersama. Secara ekonomi dan politik Indonesia sudah jatuh pada penjajah dari Utara yaitu RRC (China). Bahkan oligarki keturunan China sudah lebih dahulu ambil posisi menguasai ekonomi dan politik negara ini. (*)
Mengapa Islam Kontra Radikal?
Sebagai komunitas agama, bangsa kita sudah terlalu jauh menyimpang, terlampau banyak orang-orang yang kita zalimi, teramat besar jumlah saudara kita yang menjadi miskin karena kesewenang-wenangan kita. Oleh: Muhammad Chirzin, Guru Besar UIN Sunan Kalijaga Jogjakarta KOLEGA Guru Besar PTKIN (Perguruan Tinggi Keagamaan Islam Negeri) Prof. Dr. M. Mukhsin Jamil menulis buku berjudul “Islam Kontra Radikal: Meneguhkan Jalan Moderasi Beragama”, diterbitkan oleh SEAP-Southeast Asian Publishing Semarang Indonesia dengan ISBN 978-623-96405-2-3. Buku ini menawarkan perspektif baru, sekaligus mengoreksi perspektif konvensional yang monolitik dan parsial terhadap radikalisme. Kita membutuhkan perspektif baru yang lebih luwes untuk memahami kompleksitas radikalisme agama, yang tidak memisahkan analisis agama dan analisis empiris dalam memahami radikalisme. Perspektif baru itu adalah perspektif gerakan sosial. Pada buku ini, Anda juga akan menemukan pembacaan melalui analisis wacana kritis atas narasi-narasi radikal dalam jejaring literatur kelompok Islamis di Indonesia. Karena dari sanalah wacana radikal terus diproduksi. Tidak disadari ada banyak warisan bermasalah dari tradisi wacana agama. Oleh karenanya, kontra radikalisme jelas membutuhkan strategi jitu: memahami kompleksitas gerakan radikal, memahami narasi-narasinya, dan sekaligus meneguhkan jalan moderasi beragama. Pada konteks inilah diperlukan sense of urgency bagi tokoh-tokoh agama untuk menyikapi warisan bermasalah pada tradisi wacana agama. Pembongkaran terhadap warisan bermasalah tersebut mutlak diperlukan, dan kemudian meneguhkan jalan baru melalui moderasi beragama. Selamat membaca...! Demikian deskripsi buku ini pada cover belakangnya. Cover depan dihiasi ilustrasi gambar wajah perempuan terbelah menjadi dua. Sebelah kanan wajah perempuan berjilbab hitam tersenyum, dan sebelah kiri wajah perempuan bertutup dengan sorban, kecuali bagian mata, disertai atribut khas pejuang di pundaknya. Penulis mengapresiasi unggahan sampul buku tersebut di grup WA Profesor PTKIN sebagai berikut. Alangkah senang dan terima kasih sekali, Prof. Mukhsin Jamil, bila kita memperoleh versi pdf-nya di sini. Syukur sekalian dibedah bersama via zoom. Siap menyimak pandangan Prof. Yudian Wahyudi, Prof. Nurhaidi, Prof. Amin Abdullah, Prof. Fauzul Iman, Prof. Abdurrahman, Prof. Imam Suprayogo, Prof. Hasan Bakti, Prof. Syaiful Anwar, Prof.Siswanto, dan para Guru Besar PTKIN semua, tanpa kecuali. Pasti seruuu... Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, kata radikal memiliki tiga arti: (1) secara mendasar (sampai kepada hal yang prinsip); (2) dalam ranah politik amat keras menuntut perubahan (undang-undang, pemerintahan); (3) maju dalam berpikir atau bertindak. Kecuali nomor dua, kosakata radikal mengandung makna positif. Jadi, bila buku tersebut berjudul Islam Kontra Radikal, maka radikal yang tepat dalam buku tersebut adalah untuk arti yang kedua. Menurut Fazlur Rahman, Islam datang membawa ajaran radikal tauhid yang menentang segala bentuk kemusyrikan, termasuk penyembahan berhala. Paruh pertama QS Al-Ma\'un yang termasuk ayat-ayat periode Mekkah mula-mula. \"Adakah kaulihat orang yang mendustakan hari kiamat? Dialah yang mengusir anak yatim dengan kasar, dan tidak mendorong orang memberi makan orang miskin.\" Prof. Kuntowijoyo menyebut Pancasila sebagai pandangan hidup radikal yang menjadi dasar hukum dan sumber segala sumber hukum di Negara Kesatuan Republik Indonesia. Oleh sebab itu segala peraturan dan undang-undang yang bertentangan dengan Pancasila harus dinyatakan batal demi hukum. Menjadi tugas seluruh warga negara untuk merawat, menjaga, dan mengamalkan nilai-nilai luhur yang terkandung di dalam Pancasila. Sejak Pancasila disahkan pada 18 Agustus 1945, sesungguhnya tidak ada pihak yang mempertentangkan Islam dengan Pancasila atau sebaliknya. Islam pada dirinya sendiri adalah jalan hidup yang moderat. Oleh sebab itu Islam tidak memerlukan moderasi. Usaha moderasi Islam dapat dipahami sebagai upaya penjinakan Islam dan demilitansi Islam. Para cendekiawan menengarai bahwa radikalisme, ekstremisme, terorisme, dan Islamophobia adalah proyek internasional untuk menyudutkan Islam, setelah AS menjadi satu-satunya polisi dunia. Sudah saatnya umat Islam berhenti ikut-ikutan menyudutkan sesama muslim dengan label-label tertentu yang merugikan umat Islam dan bangsa Indonesia. Mari simak pesan almarhum Dr. K.H. Hasyim Muzadi berikut. Duhai Bangsaku, Pulanglah! Setelah sekian tahun bangsa ini mengembara entah ke mana, kini segalanya menjadi amat gelap. Jalan-jalan kebenaran yang dulu pernah tertanam kuat dalam diri, menjelma ibarat sketsa patah-patah yang teramat sulit untuk ditafsirkan apalagi dimengerti. Tuntunan agama menjadi kabur, ajaran adat menjelma menjadi kepingan kaca yang susah disambung kembali. Untuk pulang kembali ke Rumah Bunda Pertiwi, tampaknya sulit dilakukan. Untuk kembali ke hadirat Allah, sungguh akan jauh lebih rumit. Hanya kasih sayang dan hidayah Allah yang dapat mengembalikan ini semua. Setelah berjalan jauh dari nilai-nilai kebenaran, kini saatnya sebagai sebuah entitas bangsa berusaha sekuat daya yang tersisa, mengumpulkan serpihan-serpihan kesadaran ilahiyah secara bersama untuk “mudik” ke kampung halaman. Tidak ada jalan paling elegan untuk ditempuh kecuali dengan “tobat”, apalagi kita dikenal sebagai bangsa yang religius dan amat menjunjung tinggi nilai-nilai religiusitas. Sufi Al-Junaid berkata: “Tobat mempunyai tiga makna. Pertama, menyesali kesalahan. Kedua, berketepatan hati untuk tidak kembali pada apa yang telah dilarang Allah SWT. Ketiga, menyelesaikan dan membela orang teraniaya.” Sudahkah kita menyiapkan diri untuk bertobat? Kita harus mengakui secara jujur dan ikhlas bahwa moral sebagai fondasi kehidupan berbangsa kita rusak parah. Proses recovery atas semua krisis yang kita ciptakan sendiri, harus dimulai dari kesadaran tertinggi bahwa kita sudah sangat jauh mengembara dengan nafsu, dan melupakan janji abadi kita dengan Penguasa Tunggal atas alam semesta. Sebagai komunitas agama, bangsa kita sudah terlalu jauh menyimpang, terlampau banyak orang-orang yang kita zalimi, teramat besar jumlah saudara kita yang menjadi miskin karena kesewenang-wenangan kita. Kesadaran pribadi sangatlah tidak memadai dijadikan starting-point, karena kita hidup sebagai sebuah bangsa. Mari bersama-sama mendekati garis yang sebenarnya, sambil meneguhkan persatuan. Hindari saling caci, saling umpat, dan saling sanggah. Sebuah kesalahan kolektif yang terencana. Kita hidup dalam jiwa sempit di tengah alam yang luas, kita hidup sesak dalam ruangan yang lebar, kita gelisah dalam negeri yang damai, kita khawatir dalam kekayaan yang menumpuk, dan di Indonesia ini hanya ada dua orang yang tenang, sementara yang lainnya susah. Pertama, orang yang benar-benar dekat dengan Allah; dan kedua, orang-orang yang sama sekali tidak tahu urusan. (*)
Memahami Hijrah
Dan, hakikat Hijrah itu sendiri adalah perubahan. Sebagaimana Allah SWT berfirman: “Sesungguhnya Allah tidak akan mengubah keadaan suatu bangsa kecuali bangsa itu sendiri yang mengubahnya”. Oleh: Imam Syamsi Ali, Direktur Jamaica Muslim Center/Presiden Yayasan Nusantara SALAH satu peristiwa sejarah penting dalam sejarah Islam adalah Al-Hijrah atau hijrahnya Nabi Muhammad SAW ke Yastrib, yang kemudian dikenal dengan Madinah Al-Munawwarah. Itu terjadi pada tahun ke-13 Nubuwwat (pengangkatan Muhammad sebagai Nabi dan Rasul). Hijrah atau Migrasi penting di antara peristiwa sejarah Islam karena berbagai alasan. Namun salah satu alasannya adalah karena dianggap sebagai awal kebangkitan umat ini sebagai sebuah bangsa; titik awal umat ini untuk membangun jati dirinya sebagai bangsa yang besar (dikenal sebagai umat). Perkembangan Islam dapat dibagi menjadi beberapa tahap atau divisi. Pertama adalah kelahiran Nabi. Sejak kelahirannya Islam mendapat dorongan untuk menyebar. Kelahiran Muhammad (saw) seperti \"noor\" yang telah datang untuk mencerahkan dunia. Dia mewakili \"nur Allah\" (cahaya Allah bagi dunia). Kedua, pengangkatannya sebagai Nabi dan Rasul. Ini diidentifikasi oleh wahyu pertama (Al-Quran) yang turun kepadanya dari Allah. Dengan menerima wahyu dia resmi diangkat sebagai Rasul Allah ke dunia. Ketiga, pemboikotan Bani Hasymi yang berujung pada peristiwa Al-Isra (perjalanan malam) dan Al-Mi’raj (kenaikan) Nabi Muhammad ke surga. Peristiwa bersejarah ini dianggap sebagai jalan bagi umat ini untuk bangkit secara individu. Melalui Isra\' Mi\'raj Nabi (dan umat) menjadi diberdayakan secara spiritual dan individu. Keempat, sekitar dua tahun setelah Isra’ Mi’raj Nabi, Allah memerintahkannya untuk hijrah atau hijrah ke Madinah Al-Munawwarah, yang dulu bernama kota Yatsrib. Ini terjadi sekitar tahun ke-13 Al-Bi\'thah (pengangkatan Nabi menjadi kenabian). Akibatnya Hijrah menyebabkan banyak peristiwa besar lainnya dalam sejarah Islam. Di antara peristiwa tersebut adalah pertempuran melawan kaum atheis Mekkah (mushrikuun Mekkah), Bai\'ah Hudaibiyah (kesetiaan Hudaibiyah) dan sebagainya. Kesetiaan Hudaibiyah konsekuen mengarah ke Fath Makkah atau penaklukan Makkah. Ketika kita mempelajari sejarah para Nabi, kita akan menemukan bahwa Hijrah sebenarnya adalah jalan Nabi. Banyak dari mereka, jika tidak semua, telah memiliki jenis Hijrah (migrasi) tertentu selama hidup mereka. Nuh atau Nuh (saw) melakukan Hijrah melalui kapal selama banjir. Ibrahim (saw) melakukan Hijrah dari Babel ke Yerusalem dengan istrinya Sarah. Musa (saw) melakukan Hijrah beberapa kali selama hidupnya. Yang paling penting adalah dari Mesir ke tanah Palestina. Juga Isa (saw) melakukan Hijrah dari Yerusalem ke Mesir dan kembali ke Yerusalem. Hijrah Nabi Muhammad SAW Menjelang akhir tahun ke-13 nubuwwat (kenabian) ia mulai mempersiapkan hijrahnya ke Madinah. Bahkan, bertahun-tahun sebelumnya beberapa delegasi datang dari Madinah ke Mekkah untuk memberikan kesetiaan mereka kepada Nabi dan mengundangnya untuk pindah ke Madinah. Setelah menerima perintah Allah (petunjuk) untuk hijrah Rasulullah (saw) memulai persiapan. Pertama, dia mulai mengirimkan belas kasihnya ke Madinah secara diam-diam, kebanyakan setelah tengah malam. Tak satu pun dari para sahabat itu meninggalkan Madinah secara terang-terangan, kecuali Umar (RA). Bahkan sebelum meninggalkan Makkah Umar pergi ke Masjidil Haram untuk menantang para pemimpin Mekah dengan mengatakan: “Jika ada di antara kalian yang ingin istrinya menjadi janda dan anak-anaknya menjadi yatim piatu, temuilah di belakang gunung ini malam ini. Saya akan meninggalkan Makkah ke Madinah malam ini”. Rasulullah sengaja meminta dua orang terdekat untuk tetap tinggal di Makkah bersamanya; Ali, menantunya dan Abu Bakar, calon mertuanya. Pada malam dia meninggalkan Mekah, dia meminta Ali untuk menggantikannya di tempat tidurnya. Sementara dia meminta Abu Bakar untuk menemaninya dalam perjalanan ke Madinah. Sementara itu orang Mekkah telah mendengar bahwa Muhammad (saw) akan meninggalkan Mekah ke Madinah malam itu. Mereka kemudian menugaskan 10 pembunuh muda paling terampil untuk memenggal kepala Nabi. Mereka ingin dia mati sebelum meninggalkan Makkah ke Madinah. Para pembunuh muda mengepung rumah Nabi. Saat yang penting tiba. Setelah tengah malam Nabi meminta Ali untuk berbaring di tempat tidurnya. Sementara dia sendiri menyelinap keluar dari pintu secara diam-diam. Tapi secara simbolis melemparkan beberapa debu ke wajah para pembunuh itu. Dengan kehendak dan kekuatan Allah, mereka tertidur. Muhammad (saw) tidak langsung pergi ke Madinah. Sebaliknya, dia pergi ke arah yang berlawanan, ke sebuah gua yang dikenal sebagai Thuur, tempat dia dan Abu Bakar bersembunyi selama 3 hari tiga malam. Sementara itu, di pagi hari para pembunuh kemudian menyadari bahwa Muhammad telah melarikan diri dari rumahnya. Mereka mengikuti jejaknya ke gua. Namun ketika mereka tiba, di pintu gerbang gua ditemukan sarang burung dan jaring laba-laba. Jadi mereka pikir tidak mungkin Muhammad berada di dalam gua. Tapi Muhammad dan rekannya Abu bisa melihat kaki dan pedang mereka di depan pintu. Abu Bakar menangis, mengkhawatirkan nasib kekasihnya, Rasulullah (saw). Tetapi Rasulullah berkata kepadanya: “Jangan takut, sesungguhnya Allah bersama kita”. Hal ini kemudian dicatat dalam Al-Qur\'an dalam Surat 9 ayat 40. Setelah tiga hari tiga malam di gua itu Muhammad dan Abu Bakar memulai perjalanan ke Madinah. Para pemimpin Mekkah mengumumkan bahwa siapa pun yang menangkap atau menemukan Muhammad hidup atau mati akan diberi hadiah 100 unta. Seseorang bernama Suraqah mengikuti Nabi dalam perjalanannya ke Madinah. Ajaibnya setiap kali dia mendekati Nabi kudanya jatuh dan dia tidak bisa mencelakai Nabi. Sementara itu, umat Islam di Madinah menunggu kedatangan Nabi dengan penuh harap. Dan ketika mereka melihatnya mendekati Madinah, mereka sangat gembira dan menyanyikan sebuah lagu berjudul “tola’a al-badaru alaina”… Singkat cerita, Nabi tiba di Madinah. Setiap Muslim di Madinah ingin dia tinggal di rumahnya. Namun Rasulullah memutuskan akan tinggal di mana. Dia menunggu tanda dari Allah. Akhirnya unta-nya berhenti di depan rumah milik seorang sahabat bernama Abu Ayyub Al-Ansori. Nabi memutuskan untuk tinggal di rumahnya. Tapi, bahkan sebelum masuk ke rumah ia mulai mendirikan masjid pertama yang pernah dibangun dalam sejarah Islam. Masjid ini sekarang disebut \"masjid Kuba\". Pembentukan Komunitas Hanya dalam beberapa tahun Nabi Muhammad (saw) berhasil membentuk masyarakat atau komunitas yang solid dan bersemangat (Ummah). Ada beberapa langkah yang dilakukan Rasulullah untuk mewujudkan Jamaah tersebut. Pertama, seperti yang disebutkan sebelumnya, ia mendirikan masjid. Masjid adalah tempat bagi umat Islam tidak hanya untuk melakukan perbuatan ritual, tetapi sebagai simbol ketaatan yang mendalam kepada Yang Mahakuasa. Dengan mendirikan masjid, Nabi ingin mengajarkan umatnya bahwa masyarakat Islam adalah masyarakat yang taat. Kedua, Nabi membangun rekonsiliasi internal yang kokoh antara mereka yang bermigrasi dari Makkah (dikenal sebagai Muhajirun) dan penduduk asli Madinah (dikenal sebagai Ansor). Hal ini dikenal dalam Islam sebagai ukhuwah antar anggota masyarakat. Melambangkan pentingnya persatuan dan persaudaraan di antara mereka sebagaimana ditegaskan Al-Qur’an. Ketiga, ia mendirikan konstitusi sipil pertama dalam sejarah umat manusia. Konstitusi ini dikenal dengan Piagam Madinah. Piagam tersebut menjadi sangat penting untuk memastikan bahwa semua warga Madinah, Muslim dan non-Muslim, dapat hidup bersama secara harmonis. Keempat, membangun ekonomi dan pasar. Hal ini diawali dengan pembelian sumur dan pasar dari Komunitas Yahudi di Madinah yang menekankan pentingnya pemberdayaan ekonomi bagi masyarakat. Kelima, dia kemudian dipaksa untuk mempersiapkan pertahanan. Tidak lama setelah migrasi orang Mekkah menyiapkan sejumlah besar tentara untuk menyerang Madinah. Nabi kemudian menyadari pentingnya membangun pangkalan militer untuk pertahanan negaranya. Banyak pertempuran terjadi dalam 10 tahun dia tinggal di Madinah. Keenam, Nabi terlibat dalam diplomasi global. Dia mengirim surat kepada semua pemimpin emporium besar, termasuk kaisar Romawi, Raja Persia dan lainnya. Beberapa menerima dan ramah. Tetapi banyak yang marah dan berencana untuk menyerang negara yang baru didirikan ini. Ketujuh, akhirnya setelah wahyu kewajiban haji (haji) Nabi memulai misi internasionalnya. Dia membawa para sahabatnya untuk haji tetapi ditolak ke Mekkah oleh para pemimpin Mekkah. Akibatnya penolakan tersebut membawa kepada dua peristiwa penting dalam sejarah Islam; perjanjian Hudaibiyah yang kemudian mengarah pada yang terpenting dalam sejarah Islam, Fath Makkah atau penaklukan Makkah. Dengan menaklukkan Mekkah kita dapat mengatakan bahwa Nabi menyelesaikan misi penting pertamanya. Sisanya adalah tentang memperluas misi ke seluruh planet ini sebagai bagian dari mewujudkan Islam sebagai “rahmah lil-alamin” (rahmat bagi seluruh umat manusia). Sebagai penutup, saya ingin menggarisbawahi dua poin: Pertama, penanggalan Islam diidentikkan dengan Hijrah dengan alasan bahwa Hijrah merupakan simbol perkembangan Islam sebagai sebuah komunitas. Yang juga berarti bahwa umat ini harus bangkit dan mencapai kesuksesan dan kejayaan kolektif mereka. Kedua, umat ini tidak dapat mencapai kesuksesan dan kejayaan kolektif tanpa Hijrah. Dan, hakikat Hijrah itu sendiri adalah perubahan. Sebagaimana Allah SWT berfirman: “Sesungguhnya Allah tidak akan mengubah keadaan suatu bangsa kecuali bangsa itu sendiri yang mengubahnya”. Selamat Tahun Baru semuanya. Semoga Anda mendapatkan yang terbaik dan lebih banyak berkah di hari-hari mendatang. Aamiin! Kota New York, 30 Juli 2022. (*)