Pinjaman Luar Negeri (PLN): Bahaya Serius Dalam Nilai Tukar
Intinya adalah negatif cash flow akan membahayakan nilai tukar. Pemerintah tidak pernah fokus pada perbaikan nilai tukar. Sepanjang era reformasi yang terjadi adalah pelemahan ekonomi Indonesia melalui perlahan nilai tukar secara rapi dan sistematis.
Oleh: Salamuddin Daeng, Pengamat ekonomi politik dari Asosiasi Ekonomi Politik Indonesia (AEPI)
SAAT arus pinjaman luar negeri sudah negatif maka siap-siaplah nilai tukar akan memburuk. Apakah ada yang diuntungkan? Selalu ada, lihat cadangan devisa melemah pada saat harga komoditas tinggi.
Berarti ada yang menyimpan uang hasil ekspornya dalam mata uang asing dalam jumlah besar. Mereka menunggu kejatuhan rupiah untuk mengambil alih semuanya di dalam.negeri. Termasuk membeli kepala pemerintahan.
Semua bahaya yang akan dihadapi oleh pemerintahan sekarang dan ke depan semunya berawal dari penyusunan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) yang memang didesain untuk menguntungkan segelintir orang dan menjadikan negara sebagai bancakan oligarki nasional kolaborator bandit internasional.
Bagaimana alurnya? Perhatikan fakta berikut. Masih tinginya Pinjaman Luar Negeri (PLN) merupakan instrumen utang yang lebih dulu dimanfaatkan oleh Pemerintah untuk membiayai defisit APBN.
Hal itu sejalan dengan usaha pemerintah untuk semakin meningkatkan peran investor domestik melalui penerbitan SBN dan mengurangi ketergantungan terhadap sumber pembiayaan luar negeri.
Masalahnya adalah pinjaman luar negeri terus mengalami penurunan secara relatif terhadap total utang. Namun demikian, peran penting pinjaman luar negeri tidak dapat dipungkiri dalam mendukung pendanaan proyek terutama proyek infrastruktur. Realisasi penarikan pinjaman tunai dalam periode 2018-2021 rata-rata mencapai target sebagaimana yang direncanakan dalam APBN.
Realisasi tertinggi pinjaman tunai terjadi pada tahun 2020 saat Pemerintah menarik pinjaman tunai senilai US$ 6,9 miliar, yang antara lain bersumber dari World Bank sebesar ekuivalen US$ 1,2 miliar, dan Asian Development Bank (ADB) sebesar ekuivalen US$ 1,6 miliar.
Penarikan pinjaman tunai pada tahun 2020 juga melebihi target karena adanya tambahan penarikan pinjaman program sampai dengan Rp 102.25, triliun atau 473,4 persen dari APBN sebagai bagian strategi pemerintah dalam rangka penanganan pandemi Covid-19 serta pemulihan ekonomi nasional. (Ini bahasa APBN, gak salah ini? Lihat prosentasenya).
Secara bruto, realisasi penarikan Pinjaman Luar Negeri periode tahun 2018-2022 rata-rata mencapai 186,7 persen dari target penarikan dalam APBN. Di samping melakukan penarikan pinjaman luar negeri, Pemerintah juga melakukan kewajiban pembayaran cicilan pokok PLN sesuai dengan jadwal jatuh tempo.
Bahayanya sekarang adalah perkembangan realisasi pembayaran cicilan pokok PLN terutama dipengaruhi oleh perkembangan nilai tukar rupiah terhadap mata uang asing dan jadwal pembayaran pinjaman jatuh tempo.
Penarikan pinjaman tunai dalam mata uang asing tahun 2023 direncanakan sebesar US$ 2,0 miliar atau ekuivalen Rp 29.5, triliun. Sementara itu, untuk 2024-2027 penarikan pinjaman tunai dalam mata uang asing direncanakan sebesar US$2,0 miliar atau ekuivalen dengan Rp28.9 triliun.
Target penarikan pinjaman program tersebut dapat disesuaikan dengan mempertimbangkan kondisi pasar SBN, kapasitas mitra pembangunan multilateral dan bilateral, serta kesiapan pemenuhan policy matrix. Angka ini mengecil, karena kapasitas Indonesia tidak layak lagi dapat pinjaman.
Akibatnya Aliran uang Pinjaman Luar Negeri (PLN) yang masih Negatif. PLN (neto) dalam RAPBN tahun anggaran 2023 direncanakan sebesar negatif Rp 17.37 triliun, yang terdiri atas penarikan PLN (bruto) sebesar Rp 62.05 triliun. Sementara pembayaran cicilan pokok PLN sebesar negatif Rp 79.42 triliun. (Ingat ini sudah negatif, akan ada bahaya besar dalam nilai tukar, memang ini desainnya, gak bakal bisa ditahan).
Dengan demikian, penarikan PLN (neto) RAPBN tahun anggaran 2023 lebih rendah jika dibandingkan dengan target outlook APBN tahun 2022 sebesar Rp 44.401,1 miliar terutama disebabkan oleh lebih rendahnya rencana penarikan pinjaman tunai. (Perhatikan sebenarnya ini logika dibuat-buat, yang terjadi ada tidak mungkin lagi menarik pinjaman luar negeri karena geopolitik, dan situasi politik nasional yang tidak lagi baik bagi investor).
Dari sisi mata uang, cicilan pokok PLN jatuh tempo pada tahun 2023 akan dibayarkan terutama dalam mata uang dolar Amerika Serikat, yen Jepang, dan Euro.
Sedangkan dari sisi kreditur terbesar, cicilan pokok PLN jatuh tempo tahun 2023 akan dibayarkan kepada kreditur bilateral seperti Jepang, Jerman, dan Korea Selatan, serta kreditur multilateral seperti ADB dan World Bank.
Intinya adalah negatif cash flow akan membahayakan nilai tukar. Pemerintah tidak pernah fokus pada perbaikan nilai tukar. Sepanjang era reformasi yang terjadi adalah pelemahan ekonomi Indonesia melalui perlahan nilai tukar secara rapi dan sistematis.
Pergantian pemerintahan SBY ke Jokowi Indonesia kehilangan separuh dari daya nilai tukar mata uangnya. Sekarang transisi pemerintahan tampak akan kehilangan separuh lagi. Jadi, kurs ini bisa jadi diproyeksikan berada pada Rp 25 ribu sampai 30 ribu per USD. Jadi apa kira kira, Men? (*)