Rakyat Menolak Kenaikan Harga BBM
Oleh : Marwan Batubara | IRESS
PADA tulisan kedua ini diuraikan beberapa alasan lain mengapa kenaikan harga BBM harus ditolak. Alasan tersebut terutama terkait pernyataan pemerintah bahwa APBN akan “jebol” jika harga BBM tidak naik akibat semakin membengkaknya subsidi BBM di APBN karena naiknya harga minyak dunia. Diyakini APBN tidak akan jebol, meskipun untuk menahan agar harga BBM tidak naik, subsidi BBM di APBN meningkat sekitar Rp 200 triliun. Selain itu, diungkap faktor utama yang menjadi penyebab jebolnya APBN, seperti diuraikan berikut ini.
Kenaikan harga BBM berdampak luas pada perekonomian, mulai dari naiknya inflasi, terpangkasnya daya beli, tertahannya pemulihan ekonomi (terutama setelah pendemi korona), melambatnya pertumbuhan, hingga meningkatnya kemiskinan dan pengangguran. Jika inflasi tinggi, maka garis kemiskinan pun ikut naik (dari sekitar Rp 480.000 menjadi Rp 505.000). Maka, populasi orang miskin bertambah (dari 26 juta menjadi sekitar 28 juta). Hal-hal ini yang menjadi alasan utama mengapa kenaikan harga BBM harus ditolak.
Dengan akibat yang demikian luas, maka BLT tidak akan cukup menutup semua dampak negatif kenaikan harga BBM, terutama karena penerima BLT hanya sebagian kecil dari rakyat yang terdampak. Apalagi, pembagian BLT pun hanya bersifat sementara, mungkin 3-4 bulan, sementara biaya hidup rakyat telah terlanjur naik, dan naiknya biaya ini terus berlaku berkepanjangan.Prinsipnya hidup rakyat semakin susah dan menderita.
Padahal agar harga BBM tidak naik, seperti disinggung pada tulisan pertama, kenaikan subsidi BBM masih bisa ditanggung APBN. Sebab, dengan windfall income dari sektor batubara, CPO dan migas, penerimaan APBN justru meningkat. Menkeu Sri Mulyani Mengatakan surplus APBN sampai akhir Juli 2022 adalah Rp 106 triliun (8/8/2022). Diperkirakan windfall income APBN hingga akhir 2022 bisa melebihi Rp 200 triliun, lebih dari cukup untuk menutup kenaikan subsidi energi jika BBM tidak naik.
Terlepas dari surplus APBN di atas, pemerintah harus membuka secara transparan, berapa sebenarnya windfall income tersebut. Diperkirakan jumlahnya lebih kecil dari potensi, terjadi akibat moral hazard pembuatan & pelaksanaan kebijakan. Ditengarai harga crude yang harus dibeli (kilang) Pertamina over-valued, dan hal ini menjadi beban rakyat. Pada sisi lain, penerimaan migas negara bertambah signifikan untuk menutup kekurangan anggaran subsidi BBM jika BBM tidak naik.
Sedangkan harga batubara acuan (HBA) untuk ekspor ditengarai ditetapkan under-valed, tidak transparan, serta royalti dan pajak masih rendah. Biasanya terjadi tansfer pricing, cost, dll. Hal-hal ini jelas menguntungkan para pengusaha oligarkis. Namun sekaligus mengurangi penerimaan negara/APBN.
Hal yang sama diyakini terjadi pada CPO, terutama terkait ketentuan pajak dan kebijakan harga yang berhubungan dengan biodiesel (B20 atau B30) yang hak produksinya “diberikan” hanya kepada segelintir konglomerat seperti Sinar Mas, Wilmar, dll. Keuntungan dari kebijakan yang tidak transparan dan bernuansa moral hazard ini sangat besar untuk dinikmati oligarki. Namun pada saat yang sama, sangat signifikan mengurangi penerimaan negara/APBN. Rakyat harus menuntut audit menyeluruh atas kebijakan-kebijakan tersebut.
Di samping windfall income, pemerintah bisa menambal kenaikan subsidi BBM dengan menunda berbagai proyek pro oligarki seperti IKN, KA Cepat Jakarta-Bandung, dan sejumlah proyek infrastruktur yang tidak mendesak. Sebab, jika pengusaha untung besar, maka para penguasa pembuat kebijakan pun ikut menerima keuntungan dan kekuasaan pun bisa langgeng. Untuk itu, pemerintahan Jokowi lebih memilih menghemat anggaran subsidi BBM yang berdampak sangat menyengsarakan rakyat dibanding merealokasi dan menghemat APBN dari proyek-proyek oligakis.
Pemerintah pun sangat gencar "memasarkan" proyek IKN kepada “investor” dan negara asing, Untuk itu pemerintah memaksakan diri membangun berbagai *infrastruktur dasar IKN. Agar biayanya terlihat kecil, sejumlah proyek infrastruktur IKN “diseludupkan” dalam mata anggaran berbagai kementrian. Bahkan, dana APBN pun telah digunakan sebelum UU IKN No.3/2022 berlaku. Dengan demikian, sebenarnya anggaran APBN untuk IKN yang dialokasikan di APBN lebih besar dari yang tertulis.
Nafsu besar oligarki berburu rente berdaya rusak sangat besar pada keuangan negara. Meski penerimaan negara terbatas, proyek-proyek oligarkis tetap menjadi prioritas pemerintah. Tak peduli defisit APBN sangat tinggi. Defisit ditutup dengan menambah hutang, maka hutang negara terus meningkat (Juli 2022: Rp 7.163 triliun!). Selain itu, agar layak terus dapat berhutang, credit rating harus tinggi, maka pembayaran bunga dan pokok hutang harus lancar. Untuk itu, mata anggaran pembayaran hutang menjadi prioritas dalam APBN, mengalahkan anggaran subsidi yang dinikmati ratusan juta rakyat, bahkan meskipun rakyat akan sekarat.
Prinsipnya, salah satu penyebab utama defisit APBN adalah pembayaran bunga hutang sangat besar. Tahun 2022 ini pengeluaran APBN untuk utang jatuh tempo (Rp 443 triliun) dan bunga (Rp 405 triliun) mencapai Rp 848 triliun. Bunga hutang meningkat akibat jumlah hutang negara yang terus meningkat, dan menjadi sangat pesat selama pemerintahan Jokowi. Besarnya peningkatan jumlah hutang tersebut terutama diakibatkan ambisi oligarki penguasa-pengusaha membangun proyek-proyek mercusuar, tidak mendesak dan tidak layak, yang diyakini sarat KKN dan perburuan rente melalui penggelembungan biaya.
Demi proyek oligarki, sebesar apa pun peningkatan hutang dan dampaknya terhadap rusaknya APBN, tampaknya pemerintah tidak peduli. Di sisi meskipun dinikmati mayoritas rakyat, subsidi BBM di APBN dikorbankan. Tampaknya di mata pemerintahan Jokowi, sagelintir manusia oligarkis jauh lebih penting dibanding ratusan juta rakyat.
Fakta lain, guna mendukung pendanaan proyek oligarkis, pemerintah terus menyuntik modal berupa Penyertaaan Modal Negara (PMN) ke BUMN. Bahkan modusnya pun ditengarai dimanipulasi. Untuk menambah modal BUMN, di samping suntikan PMN, BUMN dibiarkan leluasa membuat hutang. Namun bunga hutang BUMN tersebut menjadi tambahan beban negara. Ringkasnya, karena proyek-proyek BUMN bernuansa oligarkis, beban APBN bertambah, baik melalui PMN maupun melalui bunga hutang BUMN. Modus pertambahan hutang BUMN ini tampaknya diambil agar terhindar dari pembahasan dan persetujuan DPR. Sehingga jelas telah melanggar UU Keuangan Negara No.17/2033 dan UUD 1945.
Ternyata, setelah proyek-proyek infrastruktur BUMN tersebut selesai dibangun, sebagian besar justru mangkrak atau diobral kepada “investor oligarkis” dan asing. Maka pembangunan infrastruktur dan proyek BUMN bukannya mensimulasi ekonomi nasional, tetapi justru menambah beban negara melalui penjualan aset jauh di bawah nilai investasi, menambah beban operasi pemeliharaan dan menambah beban bunga hutang.
Sebagai rangkuman, prinsipnya windfall income migas, batubara dan CPO lebih dari cukup untuk menutup peningkatan subsidi BBM. Selain itu, jika pro rakyat, belanja APBN bisa direlokasi, proyek-proyek infrastruktur penyebab utama membengkaknya bunga hutang, bisa ditunda atau bahkan dibatalkan, sehingga subsidi BBM bisa dinaikkan. Dengan demikian, kenaikan harga BBM dapat dicegah. Yang jadi masalah, pemerintah pro oligarki, termasuk investor asing, terutama China. Tak heran kepentingan rakyat dikorbankan. Rakyat masih tetap diam? (*)