Perjuangan Kiai Haji Ahmad Sahal
Kita bisa menjadi pemenang tanpa merendahkan siapa-siapa, karena kita punya apa yang orang lain tidak punya. Orang yang berhadapan dengan kita akan merasa rendah diri tanpa kita rendahkan.
Oleh: Muhammad Chirzin, Guru Besar UIN Sunan Kalijaga Jogjakarta
KIAI Haji Ahmad Sahal adalah salah seorang dari tiga bersaudara pendiri Pondok Modern Darussalam Gontor, Ponorogo, Jawa Timur. Beliau lahir di Desa Gontor, Ponorogo, pada 22 Mei 1901. Putra kelima dari Kyai Santoso Anom Besari, trah Pondok Pesantren Tegalsari Jetis, tiga km arah barat Gontor, tempat salah seorang Pujangga Keraton Surakarta Raden Ngabehi Ronggowarsito nyantri.
KH Ahmad Sahal menempuh pendidikan di Sekolah Rendah (Vervolk School) atau Sekolah Ongko Loro. Setamat Sekolah Rendah beliau mondok di berbagai pondok pesantren, antara lain di pondok Kauman Ponorogo; pondok Joresan Ponorogo; pondok Josari Ponorogo; Pondok Durisawo Ponorogo; Siwalan Panji Sidoarjo; Pondok Tremas Pacitan.
Setelah menjelajah berbagai kitab di berbagai pondok pesantren, beliau masuk ke sekolah Belanda Algemeene Nederlandsch Verbon (Sekolah pegawai zaman penjajahan Belanda), pada 1919-1921.
Pada tahun 1926 menjadi utusan ummat Islam daerah Madiun ke Kongres Ummat Islam Indonesia di Surabaya. Ketika itu Kongres hendak mengirim utusan untuk menghadiri Muktamar Islam se-Dunia. Kualifikasi utusan: mampu berbahasa Arab dan Bahasa Inggris sekaligus.
Namun tak seorang pun yang memenuhi kualifikasi tersebut. Salah satu tokoh mahir berbahasa Arab secara lisan, tetapi tidak cakap berbahasa Inggris, dan satu tokoh lagi memenuhi kriteria mahir berbahasa Inggris secara lisan, tetapi tidak cakap berbahasa Arab. Maka dikirimlah dua orang ini sebagai utusan. Pengalaman ini menginspirasi KH Ahmad Sahal untuk mendidik anak-anak yang cakap berbahasa Arab sekaligus cakap berbahasa Inggris.
Sepulang dari Surabaya KH Ahmad Sahal membuka kembali Pondok Gontor dengan program pendidikan yang dinamakan “Tarbiyatu-l-Athfal“. Setahun kemudian mendirikan Pandu Bintang Islam dan klub olah raga dan kesenian yang diberi nama “RIBATA” (Riyadhatu-l-Badaniyah Tarbiyatu-l-Athfal).
Pada 1929 mendirikan kursus Kader dan Barisan Muballigihin yang berakhir hingga tahun 1932. Pada 1935 beliau mengetuai Ikatan Taman Perguruan Islam (TPI), yaitu ikatan sekolah-sekolah yang didirikan oleh alumni-alumni TA di desa-desa sekitar Gontor. Pada 1937 mendirikan organisasi pelajar Islam yang diberi nama “Raudlatu-l-Mutaallimin”. Selain itu beliau juga mendirikan dan memimpin Tarbiyatu-l-Ikhwan (Barisan Pemuda) dan Tarbiyatu-l-Marah (Barisan Wanita).
Pada tahun 1977 tanggal 9 April tepat jam 17.00 WIB KH Ahmad Sahal wafat menghadap Allah SWT meninggalkan seorang istri (ibu Sutichah Sahal) dan sembilan orang putra dan putri.
1) Drs. H. Ali Saifullah, alumni Fakultas Pedagogy UGM; 2) Ir. Moh. Ghozi, alumni Fakultas Pertanian UGM; 3) Siti Arsiyah Zaini (istri Drs. H.M. Zainy); 4) Dra. Ruqoyyah Fathurrahman, alumni Fakultas Ilmu Pendidikan IKIP Jakarta; 5) Siti Utami Bakri SH, alumni Fakultas Hukum Unibraw Malang; 6) KH Hasan Abdullah Sahal, alumni Universitas Islam Madinah dan Al-Azhar Cairo, salah seorang Pimpinan Pondok Modern Darussalam Gontor;
7) Dra. Aminah Mukhtar, MAg, alumni S2 Universitas Muhammadiyah Malang, Pengasuh Pondok Pesantren Putri Al-Mawaddah Coper, Jetis, Ponorogo; 8) H. Ahmad Tauhid Sahal, Guru KMI Pondok Modern Darussalam Gontor; 9) Drs. Imam Budiono, alumni Fakultas Tarbiyah IAIN Yogyakarta.
Demi perjuangan, tanah warisan dari orang tua mereka wakafkan untuk pengembangan pondok pesantren, sehingga anak keturunan mereka tidak berhak sedikit pun atas tanah yang telah diwakafkan itu.
Di antara semboyan pendidikan di Pondok Modern Darussalam Gontor Ponorogo ialah firman Allah SWT dalam Al-Quran,
۞وَمَا كَانَ ٱلۡمُؤۡمِنُونَ لِيَنفِرُواْ كَآفَّةٗۚ فَلَوۡلَا نَفَرَ مِن كُلِّ فِرۡقَةٖ مِّنۡهُمۡ طَآئِفَةٞ لِّيَتَفَقَّهُواْ فِي ٱلدِّينِ وَلِيُنذِرُواْ قَوۡمَهُمۡ إِذَا رَجَعُوٓاْ إِلَيۡهِمۡ لَعَلَّهُمۡ يَحۡذَرُونَ
“Seharusnya jangan semua kaum mukmin berangkat (ke medan perang). Dari setiap golongan di antara mereka beberapa orang tinggal untuk memperdalam pengetahuan mereka tentang agama, dan untuk memberi peringatan kepada kaumnya apabila mereka telah kembali kepadanya, supaya mereka itu dapat menjaga diri”. (QS At-Taubah/9:122)
Pancajiwa Pondok Modern Gontor: Keikhlasan; Kesederhanaan; Ukhuwah Islamiyah; Berdikari; Bebas.
Motto Pondok Modern Gontor: Berbudi tinggi; Berbadan sehat; Berpengetahuan luas; Berpikiran bebas
Prinsip kelembagaan/organisasi Pondok Modern Gontor: Di atas dan untuk semua golongan.
Sikap Hidup 0.
KH Ahmad Sahal:
Saya tidak rela tempat tinggal saya lebih baik daripada tempat tinggal santri, dan makanan saya lebih enak daripada apa yang dimakan santri.
Saya rela mati jika masjid jami` Gontor sudah jadi. (Lokasi masjid berada di tanah di mana dahulu rumah Pak Sahal berada).
Pak Sahal tidak tidur di kamar dengan kasur yang empuk, tetapi di sudut ruang tamu di bale-bale.
Etos Perjuangan KH Ahmad Sahal:
Bandha, bahu, pikir, lek perlu sak nyawane pisan (berjuang dengan harta, tenaga, dan pikiran; bila perlu dengan mengorbankan nyawa sekalian).
Sugih tanpa bandha (merasa kaya tanpa harta).
Kita mempunyai kekayaan yang lebih berharga daripada harta. Tidak perlu berkecil hati atau menjadi manusia minder dengan apa yang kita punya. Kekayaan yang patut diwariskan ialah kaya hati dan pikiran.
Nglurug tanpa bala (melawan tanpa kawan).
Maksudnya melawan diri sendiri dan hawa nafsu, karena memang untuk melawan diri sendiri tidak dibutuhkan siapa-siapa. Sebisa-bisanya dilakukan sendiri, tetapi kalau kita menolak untuk melawan dorongan nafsu sendiri, maka yang bisa melawannya ya hanya diri sendiri.
Digdaya tanpa aji-aji (Digdaya tanpa kesaktian).
Dengan hati dan pikiran baik, secara tidak langsung seseorang membentuk perilaku mulia, sehingga orang lain menghargai dan segan dengan kita, walaupun kita tidak punya kelebihan harta, pangkat, jabatan, dan sebagainya.
Menang tanpa ngasorake (menang tanpa merendahkan).
Kita bisa menjadi pemenang tanpa merendahkan siapa-siapa, karena kita punya apa yang orang lain tidak punya. Orang yang berhadapan dengan kita akan merasa rendah diri tanpa kita rendahkan.
Yen waniyo ing gampang, wediyo ing pakewuh, sabarang ora kelakon. (Bilamana seseorang hanya berani menghadapi urusan yang mudah saja, dan takut menghadapi kesulitan, maka tidak akan menghasilkan karya apa pun).
Tata, titi, tatag, tutug (tertib, teliti, berani, dan tuntas).
Berani hidup tak takut mati. Takut mati jangan hidup. Takut hidup mati saja. (KH Ahmad Sahal). (*)