Sisi Kiri Jokowi

Oleh: Yusuf Blegur | Mantan Presidium GMNI 

Rezim Jokowi membantah keras tudingan adanya PKI dalam pemerintahannya, dengan mengatakan isu PKI sebagai omong kosong. Namun dalam praktek kesehariannya, korupsi, kemiskinan dan pelbagai kejahatan kemanusian yang keji menjadi serba permisif.  Sekulerisasi dan liberalisasi agama juga begitu mengemuka di hadapan umat Islam. Lebih dari sekadar modus, agitasi dan propaganda, ideologi komunis telah menyeruak dalam ruang-ruang formal dan konstitusional penyelenggaraan negara.

Suka atau tidak suka, senang atau tidak senang, PKI telah dinyatakan sebagai bahaya laten. Terlepas dari stigma orde baru, PKI telah terbukti berulang-kali melakukan pemberontakan terhadap kedaulatan NKRI. Peristiwa yang terjadi pada tahun 1926, 1948 dan 1965 silam menjadi bukti dari sejarah yang tak terbantahkan. Komunisme sebagai ideologi yang diimpor dari luar dan bermanifesto dalam organisasi PKI di Indonesia. Telah menjadi gangguan dan ancaman strategis bagi upaya bangsa Indonesia dalam mengusir penjajahan dan setelah merebut kemerdekaan. Paham berbasis pemikiran Karl Marx itu, terus menjalar memasuki ranah struktural dan kultural  sepanjang pemerintahan republik yang ada,  baik secara terbuka maupun  tertutup. Kekuatan ideologi global selain kapitalisme yang tak pernah mati seiring peradaban manusia yang berorientasi materialisme.

Transisi kekuasaan  utamanya pada masa  orde lama ke orde baru yang merupakan dua rezim  terbesar dan paling berpengaruh sepanjang sejarah pemerintahan Indonesia. Hingga melewati masa reformasi tak pernah  surut menjadi kekhawatiran sekaligus ancaman bagi eksistensi negara, terlepas dari kontroversi dan polemik yang menyelimutinya. Betapapun sejarah akan ditulis oleh pemenang sekaligus pemegang kekuasaan, irisan komunis hingga kini tetap terasa menggeliat dan merangsek ke jantung penyelenggaraan pemerintahan.

Menjelang 25 tahun perjalanan reformasi yang diharapkan dapat menjadi antitesis terhadap kiprah orde lama dan orde baru. Pergantian dari rezim yang satu ke rezim yang lain justru bukan hanya menghasilkan penghianatan terhadap cita-cita reformasi. Lebih dari itu menjadi orde kekuasaan terburuk yang menghianati cita-cita proklamasi kemerdekaan Indonesia, khususnya selama dibawah rezim pemerintahan Jokowi. Dua perode pemerintahan yang jauh lebih buruk dan mengerikan bahkan dari orde lama dan orde baru. Rezim Jokowi dianggap mengalami kegagalan dan berpotensi membawa kehancuran bangsa. Pemerintahan dibawah kepemimpinan Jokowi yang dianggap boneka oligarki. Selain secara tertstruktur, sistematik dan masif menyelewengkan Pancasila, UUD 1945 dan NKRI. Jokowi sebagai presiden yang kadung dinilai publik pemimpin dibawah standar dan dibesarkan hanya dari pencitraan semu. Membuat Jokowi menjadi seorang diktator dan  ororiter dari rezim tirani yang disinyalir dikendalikan kekuatan komunis yang mencengkeram negeri ini.

Ada beberapa argumen yang bisa dirasionalisasi terkait dengan kegagalan Jokowi dan menjadi rezim yang terindikasi dibawah pengaruh komunisme.

Beberapa poin penting berdasarkan fakta dan data serta empris dari sinyalemen itu adalah sbb:

1. Naiknya Jokowi sebagai presiden sejak 2014 hingga 2019 tidak berbasis kualifikasi, rekam jejak yang tidak jelas dan proses demokrasi yang tidak sehat.

Kemunculan tiba-tiba sosok Jokowi yang sebelumnya tidak pernah diketahui publik selain menjabat walikota Solo. Hanya menampilkan konser paduan suara media massa dan lembaga  survey yang mewakili kekuatan oligarki . Jokowi praktis menjadi media darling dan kokoh menjadi sosok kuat dengan pencitraan.  Keluar masuk kampung kumuh, berinteraksi dengan orang miskin, masuk gorong-gorong dan kampanye berbusa dipenuhi janji manis. Perangai Jokowi dibuat seolah-olah pemimpin sejati yang menjadi satrio piningit. Rakyat terhipnotis oleh sihir massal yang digerakan oleh mesin politik pencitraan. Setelah melihat dan merasakan kerja dan  kinerja yang sesungguhnya, rakyat baru  tersadar bahwasanya telah memilih pepesan kosong dan tertipu.

2. Jokowi presiden dipenuhi isu dan intrik.

Belum pernah ada pemimpin selain Jokowi yang menjadi presiden melalui proses pemilu begitu kental dengan  aroma isu dan intrik yang sangat tajam. Bukan hanya agitasi, propaganda dan  fitnah keji serta pembunuhan melingkupi pilpres yang menguras anggaran negara. Proses demokrasi yang langsung memilih orang momor satu di negeri ini telah menyebabkan terjadinya pembelahan sosial hingga mengorbankan nyawa petugas pelaksana pemilu presiden tersebut. Tak tangung-tanggung ratusan anggota PPK-KPU yang meregang nyawa tidak jelas dan tuntas penyebab kematiannya sampai sekarang.

Fenomena itu penting menjadi pelajaran semua pihak yang terkait, mengingat bisa saja terjadi kecurangan dan manipulasi pada pilpres 2024 mendatang. Karena terendus kekuasaan incumben dan irisannya ditenggarai masih  melakukan intervensi dan memengaruhinya.

3. Poros politik Jokowi yang berkiblat ke negara Cina komunis.

Jokowi secara sadar dan sengaja telah merubah haluan  sekaligus menghianati sistem politik luar negeri Indonesia. Dengan sekonyong-konyong membangun kerjasama Indonesia dan Cina yang berlebihan dan tidak seimbang bagi kepentingan nasional.

Hubungan Indonesia dan Cina  secara teknis tidak layak dikatakan taktis dan strategis, tetapi merupakan relasi yang merugikan, merendahkan dan mengancam kedaulatan negara bagi kepentingan  Indonesia sendiri.

Dalam bidang ekonomi misalnya soal utang, Indonesia tidak hanya masuk dalam "debt trap" yang berpotensi membuat keuangan negara mengalami kebangkrutan. Lebih parahnya, posisi tawar Indonesia menjadi rendah di hadapan Cina karena utang menjulang dan melilit.

Kompensasi pemberian utang oleh Cina berupa TKA, teknologi dan sarana prasarana lainnya dari Cina, bukan hanya memperluas lapangan kerja bagi rakyat Cina dan  menyebakan bertambahnya angka pengangguran bagi rakyat Indonesia. Dampak susulan utang luar negeri dari Cina juga berpotensi   memiskinkan rakyat, saat pemerintah menghapuskan subsidi atau menghilangkan kewajiban negara membiayai kebutuhan rakyat, karena harus membayar bunga utang dan utang pokok yang sangat besar.

Dalam soal politik juga, belum pernah  ada beberapa partai politik yang melakukan pendidikan kader politik ke Cina yang notabene berlandaskan faham komunis. Termasuk PDIP dan  Golkar  serta beberapa partai berbasis nasionalis dan agama yang bangga dan menikmati mempelajari ideologi yang mengabaikan keberadaan Tuhan. Sangat naif dan konyol saat partai politik menjadi sumber dari segala sumber kekuasaan baik dalam tatanan legislatif, eksekutif dan yudikatif.gejala itu dapat dinilai bahwa komunisme sejatinya telah masuk terlalu dalam dan dominan dalam struktur partai politik dan pemerintahan.

4. Realitas obyektif negara gagal dibawah kepemimpinan Jokowi. 

Proses penyelenggaraan negara dan tata kelola pemerintahan sudah memasuki titik nadir kehancuran  bangsa. Bukan hanya "eror by human" perilaku kekuasaan juga telah merusak sistem dengan kekuatan  kapital yang memicu pola pragmatis dan transaksional. Semua bisa dibeli dengan kekuatan uang.  Jokowi menjadi pemimpin yang ikut bertanggungjawab membawa kehidupan rakyat seperti tanpa pemerintahan dan terasa menjadi negara gagal. Kepatuhan dan ketaatannya pada kekuatan oligarki baik pada korporasi maupun partai politik, telah mengorbankan kepentingan rakyat di pelbagai sendi kehidupan.

Daya beli rakyat jatuh terjun bebas dan lebih dalam  terperosok semakin miskin akibat tingginya harga kebutuhan pokok. Tak cukup merasakan mahal dan langkanya sembako, gas dan listrik serta BBM. Rakyat juga harus sesak napas karena pajak yang mencekik. Angka kemiskinan yang terus meningkat berbarengan dengan tingginya angka kejahatan, sepertinya menjadi ciri dan  menyuburkan komunisme dalam tubuh NKRI.

Sama halnya dengan yang kaya semakin kaya dan yang miskin semakin miskin karena praktek-praktek korupsi, kolusi dan nepotisme berkeliaran di penjuru negeri. Hukum juga terus terbiasa menindas yang lemah dan tak berpunya, namun memuliakan yang berduit meski sebagai penjahat dan hina namun tetap  mengurus negara. Korporasi, politisi dan birokrasi berpesta di atas penderitaan rakyat dengan sokongan uang dan senjata dari dukungan asing. Tak bisa dipungkiri,  semua itu menjadi kenyataan negara di bawah rezim Jokowi. Kekuasaan yang membunuh demokrasi dan begitu represif, tega berlaku keji kepada bangsanya sendiri demi merebut dan melanggengkan kekuasaan. Gagal di dua periode tapi nekat dan tanpa malu minta tiga periode atau perpanjangan jabatan.

5. Dalam kesengsaraan dan penderitaan  yang sedemikian rupa, kehidupan rakyat begitu miris dan memprihatinkan. Semua serba dikuasai Cina. Selain ideologi, ekonomi, politik, hukum, budaya dan bahkan pertahanan keamanan semua dikendalikan Cina. Pribumi yang jelata hanya menjadi budak di negerinya, bagai  terasing di rumahnya sendiri. Seakan mengingatkan kembali publik, pada situasi  pergolakan tahun 1966 usai tragedi G 30 S PKI/1965 yang memunculkan Tritura. Juga yang terjadi menjelang peristiwa tahun 1998 saat lahir sepuluh tuntutan reformasi. Saat rakyat menjadi bulan-bulanan hidup miskin dan tertindas oleh kekuasaan yang korup dan manipulatif. Kesadaran kritis dan semangat perlawanan pada rezim yang terindikasi dipengaruhi ideologi komunis ini seketika mulai membangkitkan kembali gerakan mahasiswa dan pelajar dari tidur panjang. Generasi milenial yang diwakili mahasiswa,  pelajar dan buruh,  merasa tertantang  tak ingin ketinggalan momentum dan kehilangan peran sejarah seperti yang pernah digeluti generasi KAMI/KAPPI dan aktifis 98'. Apalagi jika rezim Jokowi yang bisa disebut orde distorsi ini memaksakan tiga periode atau perpanjangan jabatan presiden. Hanya ada kata,  bangkit melawan atau diam tertindas.

Tak bisa dibayangkan, jika tragedi demi tragedi harus terjadi dan  terulang kembali di bawah kekuasan  rezim Jokowi yang menjadi anasir komunis. Mungkin bukan hanya beresiko sekedar terjadi kerusuhan dan pertumpahan darah semata atau bisa jadi perang saudara, lebih dari itu jika tidak bisa diantisipasi menjadi  rentan menenggelamkan keberadaan dan masa depan Pancasila, UUD 1945 dan NKRI. Saatnya semua bahu-membahu dan bergotong royong menyelamatkan Indonesia tercinta. Tak cukup sekedar kata-kata untuk melakukan perubahan, harus ada sikap dan tindakan patriotis. Tak cukup hanya mahasiswa, pelajar, buruh dan emak-emak yang harus turun ke jalan menuntut perbaikan negara.  Pada akhirnya seluruh rakyat Indonesia terlebih umat Islam dan dengan dukungan TNI yang bisa menyelamatkan republik ini. Demi kebenaran serta kebaikan rakyat, negara dan bangsa, tak ada kata tak bisa untuk melawan komunisme maupun kapitalisme global dengan cara menjebol dan membangun sistem dari rezim Jokowi dan oligarki yang menyebabkan  krisis multi dimensi. 

Sembari terus mewaspadai kemunculan kembali kekuatan komunis di Indonesia melalui neo  PKI dan kiri Jokowi.

*) Catatan dari labirin kritis dan relung kesadaran perlawanan.

340

Related Post