Jangan Sampai Bjorka Menutupi Mafia Sambo
Oleh Asyari Usman | Jurnalis Senior FNN
Dalam seminggu ini publik dihebohkan oleh Bjorka. Dia melakukan pembobolan data base tingkat tinggi Indonesia. Data tentang korespodensi dan data pribadi Presiden Jokowi, data pribadi Luhut Panjaitan, Erick Thohir, Menkominfo Johnny G Plate, Puan Maharani, dll, dibongkar oleh Bjorka.
Bjorka juga meretas data KPU. Dia mengklaim punya 100 juta data KPU. Bahkan 1.3 miliar data SIMCard. Pokoknya, Bjorka membuat kehebohan besar. Dia juga membongkar siapa yang membunuh pegiat HAM, Munir Said Thalib.
Dia akan membongkar lagi data siapa pun yang dia anggap perlu dibeberkan. Bjorka mengatakan bahwa penguasa Indonesia tak akan bisa menemukan dirinya.
Tak pelak lagi, ‘hacker’ yang mengaku bermukim di Polandia ini menyita perhatian media massa dan publik. Harus diakui, peretasan oleh Bjorka memang menyenangkan. Sebab, yang dia bongkar sejauh ini adalah data orang-orang penting yang berkuasa sewenang-wenang.
Bjorka seolah menjadi bagian dari gerakan oposisi. Tapi, benarkah Bjorka bertindak untuk menolong rakyat sebagaimana dia katakan sendiri?
Tidak sederhana persoalannya. Ada sebagian orang yang meragukan independensi Bjorka. Bahkan, ada yang meyakini dia berada di lingkaran kekuasaan.
Yang jelas, bongkar data yang dilakukan Bjorka berhasil mengalihkan perhatian publik dari aspek kejahatan mafia yang diduga dilakukan oleh Ferdy Sambo. Kita yang semula berharap Kapolri akan menghancurkan kelompok mafia Sambo yang melindungi perjudian dan peredaran narkoba, sekarang menjadi gagal fokus disebabkan kehebatan Bjorka.
Tindakan yang dilakukan oleh peretas ini memang gurih sekali. Enak dibaca dan menaikkan semangat juang untuk melawan kezaliman penguasa. Bjorka tampak berpihak ke publik yang melawan penguasa.
Boleh jadi ini benar. Namun, belum tentu bagus bagi perjuangan untuk membersihkan Polri dari kelompok Sambo yang sangat kuat itu. Hari–hari ini perhatian publik pindah ke Bjorka. Karena memang orang senang data para penguasa zalim dibongkar.
Tapi, pada saat yang bersamaan, perhatian ke kasus Sambo menjadi kendur. Ada kesempatan orang-orang Sambo untuk mengatur strategi. Para pengamat mengatakan jaringan mantan Kadiv Propam itu sudah terbangun luas dan kuat.
Ulah Bjorka mengurangi tekanan terhadap pimpinan Polri. Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo mulai merasa santai. Padahal, jaringan Sambo diduga bekerja terus tanpa jeda. Listyo tidak sepatutnya memperlihatkan seolah tidak ada masalah genting di Polri.
Di tengah eforia Bjorka saat ini, Kapolri merasa lepas dari tekanan publik agar Polri dibersihkan tuntas. Itu tak boleh terjadi. Kapolri jangan menyia-nyiakan momentum yang sangat mahal ini.
Seharusnya pimpinan Polri melihat pertarungan antara “good force” (kekuatan baik) melawan “evil force” (kekuatan jahgat) di era Sambo ini sebagai pertarungan hidup-mati. To kill or to be killed. Menyingkirkan atau disingkirkan. Listyo dan jenderal-jenderal yang baik semestinya berperan untuk menyingkiran yang bobrok, bukan disingkirkan oleh mereka.
Kita tidak perlu ikut larut bersama peretasan Bjorka. Dia memang membuat para pejabat tinggi tampak tak berdaya bercampur dungu. Kurang tahu apakah tontonan ini menyenangkan atau menyakitkan.
Tapi, jangan sampai tindakan Bjorka menutupi mafia Sambo. Kondisi di Kepolisian sangat buruk. Kapolri Listyo Sigit perlu diberi semangat dan kawalan agar dia tidak pura-pura membersihkan institusi ini dari praktik-praktik tercela.[]