OPINI

Selamat Bertarung Anies Baswedan

Politik identitas yang salah adalah menggunakan isu etnis dan agama untuk mendominasi. Sebaliknya, Anies Baswedan menggunakan identitas untuk emansipasi, afirmasi, dan anti kolonialisasi. Oleh: Dr. Syahganda Nainggolan, Sabang Merauke Circle TULISAN ini didedikasikan kepada komunitas pengundang saya di acara pelepasan 5 Tahun Anies Baswedan, Ahad, (25/9/22) di Warung Buncit. Ratu Elisabeth telah dimakam di Kastil Windsor, dekat London, beberapa hari lalu. Seluruh dunia melihat ke sana. Pemimpin-pemimpin besar negara-negara banyak yang melayat. Mereka bersedih. Sementara itu Truganini, terbaring dikuburannya sejak 146 tahun lalu. Dia, menurut Yuval Noah Harari, adalah perempuan orang asli (Aborigin) terakhir di Tasmania. Kedatangan Inggris, yang diperintahkan kakek-buyutnya Elisabeth, King George, telah memusnahkan semua orang pribumi asli di Tasmania. Tak tersisa. Diantara kesedihan ribuan manusia mengantarkan Queen Elizabeth ke liang kubur, jejak kejahatan imperialisme kulit putih masih menyisakan luka yang tidak bisa dikubur. Di Indonesia, untuk mempertahankan kaum pribumi, Anies Rasyid Baswedan, menegaskan dalam pidato kemenangannya 5 tahun lalu bahwa sudah saatnya pribumi bangkit. Bangkit maksudnya adalah untuk berkuasa di negerinya sendiri. Berkuasa artinya berdaulat, mandiri, dan bersolidaritas. Untuk statement penting Anies Baswedan ini, seorang anti nasionalis melaporkan Anies ke polisi, karena dianggap rasis. Tapi, setelah 5 tahun Anies memerintah di DKI Jakarta, semangat Anies dalam tema pribumi ini tidak pernah surut. Tepat seminggu lalu, ketika seorang supermodel senior, mempertemukan saya dengan Prof. Sri Edi Swasono, menantu Proklamator Indonesia, Bung Hatta, menceritakan syukur harunya ketika dua tahun belakangan ini dia tidak lagi membayar pajak rumah Bung Hatta, sang Proklamator. Selama ini Sri Edi, bahkan diantaranya, menjual berbagai aset keluarga, untuk membayar pajak rumah itu, Rp 140 juta. Padahal penghasilan dia hanya dari gaji seorang dosen saja. Menurutnya, rumah pendiri Republik Indonesia harus bertahan di Menteng, agar merupakan bagian sejarah. Beberapa rumah strategis dengan sejarah pejuang nasional terpaksa dijual keturunannya, karena tidak mampu lagi membayar pajak. Sejarah eksistensi pribumi ini menurut profesor Sri Edi telah dijaga Anies Baswedan. Itu adalah salah satu komitmen Anies mengutamakan pribumi. Komitmen Anies Baswedan pada isu pribumi juga terlihat pada kebijakan politik demografi di pantai utara Jakarta. Rezim Presiden Jokowi yang mendukung reklamasi pantai utara, menghadapi hadangan Anies Baswedan yang membatalkan reklamasi. Namun, gencarnya gerakan kekuasaan dan kekuatan rezim Jokowi tersebut, telah membuat Anies Baswedan \"terkalahkan\". Meski tidak kalah sepenuhnya. Namun, politik demografi Anies telah ditafsirkan sebagai upaya membatasi dominasi keturunan alias non pribumi di pantai utara Jakarta. Apalagi isu penjualan kawasan perumahan pantai utara saat itu ada yang ditujukan kepada pembeli luar negeri, dengan berbahasa Mandarin. Untuk kebijakan pengadaan perumahan murah, Anies juga merubah aturan luas kepemilikan tanah yang lebih kecil (1.000 M2), dari sebelumnya 6.000 M2, untuk pengusaha bisa terlibat bisnis perumahan murah. Alhasil, tuan tanah-tuan tanah pribumi bisa ikut menjadi pemain bisnis dalam pengadaan perumahan. Mengurus masa depan kaum pribumi adalah politik identitas. Tapi dalam bahasa asing itu disebut sebagai Nasionalisme. Jika tidak ada nasionalisme maka tidak berharga sebuah negara. Orang-orang Skotlandia dan Irlandia di Inggris, sampai kini juga, tetap menjaga nasionalisme mereka untuk tidak didominasi orang-orang English. Orang-orang yang memusuhi Anies Baswedan, tentu saja mencari celah untuk menghujatnya. Menghujat karena pertama terjadi perbedaan pengelompokan historis masyarakat dan kedua, mungkin karena dibandari cukong-cukong (oligarki) yang selama ini mencengkeram bangsa kita. Kelompok yang berbeda secara historis tentu saja gagal menyerang Anies dalam dimensi nasionalisme. Sebab, nasionalisme dalam versi yang diperjuangkan Anies mewakili historis, sebagaimana dikembangkan oleh Bung Karno dalam tulisannya Nasionalisme, Islamisme dan Marxisme, 1926. Dan juga perjanjian kebangsaan kita dengan meletakkan perkataan Pribumi, bahkan sebelumnya, Pribumi dan Islam, dalam UUD 1945. Jadi, siapapun yang menyerang Anies atas tuduhan atau argumentasi politik identitas telah salah dalam menafsirkan sejarah Bangsa Indonesia. Politik identitas yang salah adalah menggunakan isu etnis dan agama untuk mendominasi. Sebaliknya, Anies Baswedan menggunakan identitas untuk emansipasi, afirmasi, dan anti kolonialisasi. Anies Baswedan telah 5 tahun berjuang untuk kaum Pribumi. Bravo Anies Baswedan. Maju terus, pantang menyerah! (*)

Penghargaan untuk Sang Teladan

Sikap menyayangi yunior diperlihatkan melalui terbukanya rumah beliau di Wijilan, Jogjakarta (tahun 1980-an) menjadi perpustakaan bagi mahasiswa yang kantongnya pas-pasan, dan melalui pemberdayaan yunior dalam forum-forum internasional. Oleh: Prof. Dr.  M. Fattah Santoso, Guru Besar Universitas Muhammadiyah Surakarta (UMS) UNIVERSITAS Islam Negeri Sunan Kalijaga Jogjakarta menggelar Sidang Senat Terbuka Penganugerahan Gelar Doktor Honoris Causa dalam Bidang Sosiologi Perdamaian kepada Muhammad Habib Chirzin, cendekiawan yang dinilai luar biasa dalam bidang sosiologi perdamaian. Saya bersyukur kepada Allah SWT yang telah menakdirkan bisa hadir dalam upacara penganugerahan Doktor Honoris Causa untuk Sang Teladan, Ustadz Drs. Muhammad Habib Chirzin, oleh UIN Sunan Kalijaga Jogjakarta, Rabu, 21 September 2022. Tahniah, aalaafu mabruuk, ustadzii. Beliau sudah sepantasnya mendapatkan penghargaan ini. Karena beliau adalah teladan dalam banyak hal: 1) Konsistensi dalam pilihan; beliau memilih aktivitas di Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) sejak 1970-an hingga kini. Yang menarik dari pilihan itu, beliau tidak tenggelam dalam dunia aksi/praksis, namun menjadikan LSM jembatan untuk meluaskan ilmu dan networking. Ilmu yang dipilih terfokus pada \"(sosiologi) perdamaian\". Networking yang dibangun nasional dan bahkan global, melintasi lima benua – seolah beliau berkata: \"Telah kugenggam dunia\". Pengembaraan empat dasawarsa yang memadukan aktivisme dan ilmu telah mengantarkan beliau tampil sebagai narasumber pada 109 forum ilmiah internasional. Per dasawarsa rata-rata lebih dari 25 forum ilmiah. Very very excellent. 2) Pembelajar penuh percaya diri dan piawai dalam berkomunikasi; sangat tidak mungkin \'konsistensi dalam pilihan\' yang begitu produktif tanpa menjadi pembelajar sepanjang hayat sekaligus penuh percaya diri (walau hanya dengan kemampuan berbahasa Inggris dari Gontor) sehingga melintasi batas-batas pendidikan formal – tidak canggung berwacana dan berdiskusi dengan doktor dan profesor, gagasan dan opininya diapresiasi sampai-sampai, misalnya beliau diberi amanah menjadi direktur International Institute of Islamic Thought (IIIT) Indonesia. Menjadi lengkap, beliau piawai dalam berkomunikasi dengan berbagai pihak tanpa membedakan, dan di hampir setiap akhir pertemuan beliau biasa berujar: \"Keep in touch\". 3) Dokumenter terbaik, par excellent; semua kegiatan di atas oleh beliau dan ibu Sri Hindun, isteri beliau, didokumentasikan dengan baik dalam bentuk soft-file maupun foto, hobi yang tidak banyak dilakukan orang. 4) Sense of humanity yang tinggi; memperlakukan kesetaraan dengan isteri dengan mengajaknya dalam forum-forum nasional dan internasional, hampir tidak ada kegiatan tanpa di samping beliau ibu Hindun – sebuah pasangan yang serasi, saling melengkapi, penuh kasih sayang. Selain itu, beliau juga menghormati yang senior dan menyayangi yang yunior, betapa capaian doktor honoris causa ini beliau persembahkan untuk para senior, terutama guru-guru beliau – alhamdulillah Trimurti Pondok Gontor sebagai simbol hadir lengkap. Sikap menyayangi yunior diperlihatkan melalui terbukanya rumah beliau di Wijilan, Jogjakarta (tahun 1980-an) menjadi perpustakaan bagi mahasiswa yang kantongnya pas-pasan, dan melalui pemberdayaan yunior dalam forum-forum internasional. Sungguh empat teladan yang tidak mudah diteladani oleh saya sekalipun. Sekali lagi, selamat, ustadzi, semoga bertambah berkah. (*)

Suku Bunga Acuan BI Biang Kerok Biaya Produksi Energi BBM dan Listrik Melejit (3)

Ini adalah pelanggaran sistem moneter internasional yang sangat kotor untuk menyelamatkan APBN yang jebol akibat utang. Kebijakan ini telah disemprit oleh IMF karena dinilai membahayakan. Oleh: Salamuddin Daeng, Pengamat Ekonomi Politik Asosiasi Ekonomi Politik Indonesia (AEPI) BANK Indonesia (BI) menyatakan bahwa inflasi bisa mencapai 6 % akibat kenaikan harga BBM. Wah, tinggi sekali ya? Ngukurnya bagaimana? Kapan ngukurnya? BI kok jadi komentator, mengambil alih tugas pengamat? Gak salah? Kalau Badan Pusat Statustik (BPS) wajar bicara sebagai pengamat, karena BPS itu lembaga survey. Begitu data dihasilkan oleh survey mereka, BPS umumkan inflasi sekian, penyebabnya ini, itu, dan seterusnya. Tapi BI tidak pantas melakukan itu, memprovokasi inflasi. Sementara BI adalah pembuat kebijakan, bisa melakukan segala langkah bagi pengendalian inflasi. Dengan menggunakan instrumen moneter yang di bawah kekuasaan BI. Apakah BI mau cuci tangan? Publik tahu bahwa ketidakmampaun BI dalam pengendalian moneter, mengendalikan devisa, merupakan penyebab meningkatnya biaya produksi BBM dan listrik di Indoensia. BI mungkin buta, tidak dapat melihat fakta bahwa faktor utama yang menyebabkan mahalnya biaya produksi energi Indoensia terutama BBM dan listrik adalah merosotnya nilai tukar rupiah terhadap USD. Mengapa? Karena membeli bahan baku minyak mentah dan Batubara maupun energi primer lainnya semua menggunakan mata uang dolar. Bahkan, energi primer yang dihasilkan di dalam negeri dibeli oleh Pertamina dan PLN dengan dolar Amerika. Mengapa demikian? Mengapa bisa terjadi? Bukankah ini adalah pelanggaran serius terhadap UUD dan UU tentang mata uang? Faktor kedua yang menyebabkan mahalnya biaya produksi energi di dalam negeri adalah suku bunga. Baik Pertamina maupun PLN meminjam uang bank dalam jumlah besar untuk menjalankan tugas sebagai operator minyak, gas dan listrik. Bunga utang mereka adalah salah satu komponen paling mencekik dalam kegiatan usaha di bidang energi. Faktor ketiga adalah inflasi. Kenaikan harga harga akan memicu naiknya biaya produksi energi. Dalam memproduksi energi tidak bisa dilepaskan dari inflasi, kenaikan harga barang secara umum akan mengakibatkan naiknya biaya produksi untuk menghasilkan energi. Inflasi kata presiden Jokowi adalah mahluk yang paling menakutkan. Ngono ya? Semua itu, menjaga nilai tukar, menetapkan suku bunga acuan, pengendalian inflasi? Itu tugas siapa? Itu adalah tugas Bank Indonesia menurut UU BI. Tugas yang mereka tidak jalankan dengan benar, mungkin karena mereka tidak tau caranya, mungkin juga karena mereka menjalankan misi tertentu sehingga nilai tukar harus merosot, suku bunga tinggi, inflasi tidak dikendalikan. Sekarang BI melakukan langkah keliru, menaikkan suku bunga acuan, bukan dalam rangka mengendalikan inflasi tapi mendorong agar rentenir internasional mau membeli obligasi BI agar BI bisa membeli SBN di pasar perdana. Ini adalah pelanggaran sistem moneter internasional yang sangat kotor untuk menyelamatkan APBN yang jebol akibat utang. Kebijakan ini telah disemprit oleh IMF karena dinilai membahayakan. Kebijakan inilah yang membuat Indonesia tidak lagi dipercaya dan membuat rupiah nyungsep! (*)

Nabi Khong Zi dan Kyai Pewaris Nabi

Oleh M. Rizal Fadillah - Pemerhati Politik dan Kebangsaan  NABI Khong Zi adalah tokoh dalam keyakinan agama Konghucu. Ia pelanjut Nabi sebelumnya Yao, Shu, Yu, Cheng Tang, Wen Wang, Wu Wang dan Chow Gong. Meski pernah menjadi Perdana Menteri di negeri Lu tetapi Khongzi lebih diakui sebagai guru spiritual. Memiliki murid 3000 baik pangeran maupun rakyat jelata.  Keyakinan agama Konghucu adalah bagian dari hal yang harus dihormati sepanjang Konghucu itu diakui sebagai agama resmi di Indonesia. Diawali masa Pemerintahan Gus Dur dahulu. Etnis Cina adalah penganut utama agama Konghucu di Indonesia. Meski terma Nabi melekat dengan agama Islam, tetapi adalah hak agama lain juga untuk menyebut tokohnya atau guru spiritualnya dengan Nabi.  Masalahnya muncul ketika terberitakan seorang Kyai membuka resmi acara ritual kelahiran Nabi Kongzi tersebut. Kyai yang bukan sembarang Kyai. Ia adalah Kyai Haji Ma\'ruf Amin, Ketua Dewan Pertimbangan MUI, mantan Ketua Umum MUI, dan tentu saja Wakil Presiden RI. Pada dirinya melekat dua predikat, yaitu Wakil Presiden dan Ketua Dewan Pertimbangan MUI. Sebagai Kyai Haji ia merepresentasikan seorang Ulama. Pewaris Nabi (Warosatul Anbiya).  Ketika Menteri Agama Yaqut Qoumas menyampaikan ucapan selamat pada umat Baha\'i dahulu di masyarakat khususnya umat Islam telah timbul pro kontra atau sikap kritis. Kesannya Menag Yaqut itu mengada-ada. Dalam konteks Kongzi pun Kementrian Agama di bawah Menteri Yaqut juga pernah mengucapkan selamat pada ritual wafatnya Nabi Kongzi.  Kini bukan lagi tingkat Menteri Agama tetapi Wakil Presiden. Sayangnya itu adalah seorang ulama bertitel Kyai Haji. Di samping mengucapkan selamat juga memberi kata sambutan dalam acara ritual kelahiran Nabi Kongzi di Pontianak.  Dahulu, bahkan hingga kini, mengucapkan selamat Natal saja masih dimasalahkan menurut syari\'at Islam. Apalagi ucapan selamat hari lahir kepada Nabi Kongzi yang asing didengar dalam kehidupan beragama, berbangsa, dan bernegara selama ini.  Kalangan umat dapat memberi penilaian beragam dari yang paling ekstrim yaitu murtad, medium tasyabbuh (ikut-ikutan dan tercemar) hingga yang ringan tasamuh (toleransi).  Penilaian yang wajar atas sikap kontroversial. Andai Wakil Presiden bukan Ulama atau Kyai Haji mungkin mudah untuk difahami dan dimaklumi. Namun ini berbeda.  Dalil \"Al ulama-u warotsatul ambiyaa-i\" itu relevansinya adalah para Nabi dalam agama Islam, bukan sembarang Nabi apalagi Nabi Kongzi.  Bapak KH Ma\'ruf Amin tentu sangat faham akan hal ini.  Semoga ke depan Pak Kyai dapat lebih berhati-hati dalam menjaga marwah dan muru\'ah sebagai Ulama.  Bandung, 24 September 2022.

Meranjang

Oleh Ady Amar Kolumnis  Dalam dunia perpuisian menjadi lazim jika kosa kata yang dipakai tidak selalu baku dalam mengungkap sebuah makna dihadirkan. Kata ditarik ke sana kemari sesukanya untuk menggambarkan suasana batin saat puisi itu dibuat. Maka \"meranjang\" menjadi kata yang boleh-boleh saja dipakai Adhie M. Massardi, yang memang punya latar belakang penulis puisi. Lebih pada puisi pamflet. Menjadi tidak aneh jika dalam memakai kata bertutur dalam keseharian, ia masih memakai idiom puisi untuk menyampaikan sebuah peristiwa yang muncul. Saat Mas Adhie menyampaikan kata \"meranjang\" itu, membuat setidaknya saya terkekeh. Satu kata \"meranjang\" untuk menggambarkan peristiwa besar. Sebuah keputusan tidak main-main yang setidaknya diwacanakan--tidak mustahil akan diambil jadi keputusan--oleh lembaga Mahkamah Konstitusi. Meranjang menjadi kata olok-olok satire yang mampu membuat senyum mengembang atau bahkan terkekeh sambil geleng-geleng kepala takjub. Mas Adhie mampu membuat kata \"meranjang\" punya greget pemberontakan pada etika tak sepatutnya. Meranjang dimakani suami-istri yang \"disatukan\" dalam sebuah ranjang perkawinan. Namun maknanya tidak dibuat sesempit itu, tapi ditarik pada kuasa kekuasaan yang bisa membuat apa saja, yang semua dimulai dari meranjang. Dari situ peristiwa-peristiwa besar dihasilkan. Tidak sekadar hubungan suami-istri biasa. Meranjang ditarik Mas Adhie pada peristiwa perkawinan lelaki paruh baya yang kebetulan menjabat sebagai Ketua Mahkamah Konstitusi (MK), Anwar Usman. Sedang permaisuri yang disuntingnya bukan perempuan biasa--yang kebetulan seorang janda--Idayati, adik Presiden Joko Widodo (Jokowi). Dari peristiwa ini meranjang maknanya menjadi luas. Ditarik pada peristiwa politik yang bisa mempengaruhi keputusan-keputusan besar hukum ketatanegaraan negeri ini. Meranjang menyeret kepentingan politik sempit, yang ditarik menjadi peristiwa besar. Bahkan mampu merubah undang-undang sesuai kehendak yang disampaikan/diinginkan, baik tersurat maupun tersirat sekalipun. Meranjang menjadi peristiwa sempit, tapi mampu ditarik seolah jadi kepentingan nasional. Dan itu tentang sang kakak ipar (Jokowi), yang tidak ingin menyudahi atau disudahi jabatan dua periodenya sebagai presiden. Dibuat tidak masalah jika jabatan berikutnya, ditetapkan sebagai calon wakil presiden (cawapres). Harapan yang setidaknya memberi pijakan konstitusi, meski belum tentu nantinya akan dipakai, ditinggal begitu saja karena marak umpatan publik tidak bisa menerima. Meranjang menjadi tidak seperti peristiwa sepasang suami istri biasa pada umumnya, tapi sarat kepentingan politik atau politik kepentingan yang menerabas etika kepatutan. Entah itu memang yang diminta kakak ipar, atau sang adik ipar yang meski tanpa menerima semacam perintah sudah mafhum apa yang mesti dilakukan. Sungguh adik ipar yang pandai melihat situasi psikologis yang sebenarnya. Alhasil, sebelum peristiwa meranjang itu disempurnakan dalam ijab-kabul, sakwasangka perkawinan politik ini akan bersinergi dalam kepentingan sempit, seperti mulai terkuak menemui kebenaran. Meranjang lalu menjadi kosa kata tidak lagi sempit, tapi luas sesuai latar belakang kepentingan. Memang belum sampai \"restu\" MK itu keluar dari mulut Ketua MK Anwar Usman atau institusi MK secara kelembagaan, putusan bolehnya maju sebagai cawapres, meski dua periode sudah ia jalani sebagai presiden. Wacana itu dilontarkan Juru Bicara MK Fajar Laksono, yang mengatakan bahwa dalam UUD 45 tidak diatur secara eksplisit bahwa presiden dua periode tidak boleh maju lagi sebagai cawapres. Fajar Laksono, seperti juga kita, tentu bukan bagian dari meranjang Ketua MK dengan Idayati yang adik Presiden Jokowi, yang lalu ditarik pada peristiwa politik besar. Tapi jubir MK mustahil berani bicara tanpa \"komando\" atasannya, yang sedang memainkan \"adegan\" meranjang yang tidak sebagaimana suami-istri biasa. Setidaknya arahan telah ia terima, meski tersirat. Agar meranjang tidak dimaknai punya misi politik tertentu, bahwa belum ada aturan yang dilanggar, jika ingin maju sebagai cawapres. Duh meranjang bukanlah peristiwa biasa, pertemuan suami-istri di ranjang perkawinan, tapi sudah melalui penerawangan jauh hari, bahwa pada saatnya bisa menjadi peristiwa politik tidak biasa. Setidaknya mampu melanggar etika kepatutan.  Mas Adhie M. Massardi setidaknya telah menampol adanya \"perselingkuhan politik\", itu dengan satu kata \"meranjang\" dengan baiknya, dan saya coba menafsirkan sebisanya ala kadarnya. Semoga tidak terlalu menyimpang dari apa yang dimaksudkannya, \"meranjang\" bukan sembarang meranjang... Wallahu a\'lam. (*)

Bank Indonesia (BI) Biang Kerok Membengkaknya Subsidi BBM (2)

Pertanyaannya siapa yang paling bertanggung jawab atas pelemahan nilai tukar secara terus menerus, berkelanjutan dan tak ada peluang menguat? Tentu saja Bank Indonesia. Oleh: Salamuddin Daeng, Pengamat Ekonomi Politik Asosiasi Ekonomi Politik Indonesia (AEPI) SUBSIDI BBM bisa membengkak, angkanya tidak rasional. Apa penyebabnya? Rasanya harga minyak dunia dari jaman dulu ya segitu-gitu saja, kadang naik kadang turun. Lalu mengapa bagi Indonesia turunnya harga minyak tidak bisa membuat subsidi BBM mengecil? Subsidi BBM mencapai Rp 700 triliun, uangnya darimana? Atau darimana uangnya? APBN tidak akan sanggup! Begitu kata Presiden Joko Widodo. Besar sekali memang angka subsidi BBM yang disebut presiden itu! Tapi apakah itu angka yang aktual terjadi dalam APBN 2022? Bukan! Itu bukan fakta, itu adalah signal atau tanda-tanda bahwa ekonomi Indonesia telah memburuk. Akibatnya, akan terjadi sesuatu yang secara significant membuat subsidi BBM membengkak secara tidak wajar. Apa itu? Harga minyak dunia tampaknya bukan merupakan faktor utama yang akan membuat subsidi BBM membengkak hingga hampir setara dengan penerimaan pajak saat ini. Harga minyak tampaknya tetap akan flugtuatif naik-turun, naik ke 120 dolar per barel atau turun kembali ke 80 dolar per barel. Lalu apa penyebab yang significant tersebut? Hampir pasti adalah nilai tukar. Mengapa nilai tukar? Itu karena nilai tukar adalah faktor utama kerentanan ekonomi Indonesia. Sekarang nilai tukar Indonesia hampir mendekati kondisi seperti pada krisis 98. Ke depan bahkan mungkin nilai tukar akan memburuk melewati level krisis yang dulu pernah memporak-porandakan negeri ini. Pada masa pemerintahan SBY 10 tahun lalu, nilai tukar rupiah terhadap USD berada pada kisaran rata-rata Rp 7.000 - Rp 8.000 per USD. Sementara rata- rata nilai tukar di masa pemerintahan Jokowi Rp 14. 000 - Rp 15.000 per USD. Setiap siklus 10 tahunan mata uang rupiah kehilangan nilainya separuh atau paling kurang sepertiga. Apa yang dikatakan Presiden Jokowi bahwa subsidi BBM bisa mencapai Rp 700 triliun bisa terjadi jika kurs sekitar Rp 20.000 - Rp 25.000 per USD. Mungkinkah? Mungkin saja. Nilai tukar Indonesia yang sekarang telah turun separuh dibandingkan masa presiden SBY. Jadi, kalau ke depan nilai rupiah turun 1/3 atau separuh dari nilai sekarang bukan hal yang tidak mungkin. Mengapa kurs bisa merosot begitu besar. Bisa? Penyebabnya sekarang justru menyedihkan. Tahun ini 2022 devisa Indonesia menurun 12 miliar dolar AS dibandingkan tahun lalu. Sementara utang luar negeri pemerintah Indonesia berkurang 13 miliar dolar dibandingkan tahun lalu. Ini bahaya bagi rupiah. Presiden Jokowi tampaknya tidak lagi dipercaya oleh pihak internasional, para investor dan lembaga keuangan multilateral. Ini adalah masalah serius sekali. Rupiah bisa ambruk! Apa yang terjadi? Pemerintah Indonesia tidak bisa mendapatkan aliran uang dalam mata uang asing dalam bentuk utang yang selama ini dipakai sebagai sandaran APBN. Sementara uang keluar atau capital outflows tidak bisa ditahan karena membiayai impor BBM dan membayar utang pemerintah yang sudah sangat besar. Maka akibatnya hancurlah nilai tukar rupiah! Capital outflows juga tinggi karena bandit SDA lebih senang menempatkan uangnya di luar negeri. Ini bahaya! Seharusnya BI bertindak. Benar kata teman saya, kalau para pengusaha bisa menahan agar aset mereka tidak berkurang separuh saja pada tahun-tahun mendatang, maka itu sudah sangat hebat. Katanya. Bisa jadi ini kemerosotan yang menyebabkan kehilangan separuh atau bahkan 2/3 dari apa yang Indonesia miliki sekarang. Itulah bahayanya kemerosotan nilai tukar rupiah terhadap USD. Penyataan Presiden Jokowi bahwa subsidi BBM Rp 700 triliun bukan angka riil, tapi adalah signal agar masyarakat Indonesia bersiap-siap menyongsong kejatuhan nilai tukar. Tidak ada yang dapat membendungnya. Pemerintah sulit untuk menahan kejatuhan ini, karena sudah kere. Pemerintah juga tidak bisa menghalau atau membatasi lalu lintas devisa. Sementara itu para bandit keuangan Indonesia, konglomerat busuk, oligarki parasit, telah bersiap dengan tidak menyimpan harta mereka dalam rupiah. Mereka selalu menyimpan uangnya di luar negeri. Mereka benar-benar bandit kutu busuk, tidak ada nasionalismenya sama sekali. Keruk sumber daya alam Indonesia, uangnya ditaruh di luar negeri. Dari dulu! Rasanya Presiden Jokowi tidak akan sanggup lagi menahan kejatuhan ini. Ini kejatuhan yang memalukan dan menyakitkan hati. Karena juga tidak ada yang dapat dilakukannya. Pasrah tak berdaya. Pertanyaannya siapa yang paling bertanggung jawab atas pelemahan nilai tukar secara terus menerus, berkelanjutan dan tak ada peluang menguat? Tentu saja Bank Indonesia. Mereka bisa saja menghalangi capital outflows, mengawasi uang haram keluar dari Indonesia, menghalangi agar bandit sumber daya alam tidak membawa kabur uangnya ke luar negeri. Tapi semua ini BI tidak lakukan. Kalau bukan BI biang keroknya, siapa lagi? (*)

Mewujudkan Khaer Ummah (Part-3)

Hanya sadar posisi, menempatkan diri secara proporsional, bahkan jadi pemimpin dalam dunia global ini, Islam bisa diklaim sebagai solusi (Al-hallu) bagi ragam permasalahan yang sedang dihadapi oleh dunia saat ini. Oleh: Imam Shamsi Ali, Presiden Nusantara Foundation PADA bagian yang lalu dari tulisan ini telah disampaikan pilar keempat untuk membangun “Khaer Ummah” atau a community of excellence (Umat terbaik). Bahwa umat ini tidak akan tampil sebagai Umat terbaik (best nation) ketika perilaku, baik pada tataran individu maupun kolektif, tidak terbenahi secara baik. Khaer Ummat itu termaknai salah satunya dengan ketauladanan (Al-Qudwah). Dan, esensi Al-Qudwah ini berakar pada karakter atau perilaku yang baik. Atau yang lebih populer dalam agama dengan akhlak yang mulia (Al-Akhlaq Al-karimah). Terlebih lagi jika karakter ini dikaitkan dengan posisi umat sebagai “pengajak” (da’i) kepada kebenaran dan kebaikan. Jalan terbaik dan terefektif untuk mengajak manusia ke jalan Allah adalah dengan ketauladanan. Kelima, bahwa umat ini harus mampu membawa atau menempatkan diri dalam tatanan dunia yang baru (new world) dan berubah secara konstan (terus-menerus) dan secara tidak dikira-kira (unexpected). Tentunya ini menjadikan dunia kita semakin kompleks. Kompleksitas ini mencakup segala lini kehidupan manusia. Dari situasi politik, ekonomi, militer, hingga ke budaya dan agama. Dalam bidang budaya misalnya telah terjadi relasi antar budaya yang saling mewarnai dan mempengaruhi (intercultural influence) di antara manusia. Kita melihat misalnya Jepang atau Korea yang pernah sangat ketat dengan kultur warisan mereka kini lebih terkenal dengan K-Pop yang selama ini lebih dikenal sebagai budaya Barat. Tentu pertanyaan yang kemudian timbul adalah dalam dunia yang deeply interconnected ini di mana Umat memposisikan diri. Para Khatib, penceramah atau ustadz bisa saja menggelegar berapi-api dalam ceramah mengingatkan agar jangan terbawa arus. Jangan terpengaruh dengan budaya asing. Tapi apakah retorika-retorika itu akan terbukti sakti membentengi umat? Wallahu a’lam. Dunia kita memang adalah dunia yang penuh ketidak-pastian. Dengan kemajuan sains dan teknologi, khususnya di bidang informasi dan lebih khusus lagi bidang media sosial menjadikan dunia semakin mengecil. Kita seolah hidup dalam satu rumah kecil yang mungil. Rumah kecil itu kemudian dikotak-kotak menjadi bagian-bagian yang boleh jadi saling menyapa. Atau sebaliknya saling mengganggu dan mengucilkan. Keadaan ini biasa disebut dengan interdependensi (interdependence) atau intekoneksi (interconnected) antar kelompok manusia dalam dunia (rumah) itu. Koneksi itu bisa saja berwajah dua. Koneksi dengan wajah manis, saling tersenyum, menyapa, saling membantu, bahkan sharing alat-alat perumahan. Tapi boleh jadi sebaliknya. Koneksi antar manusia dalam rumah itu adalah koneksi dengan wajah buruk dan seram. Saling curiga, membenci, bahkan bermusuhan dan berusaha untuk saling menghancurkan. Dengan situasi dunia yang demikian, sekali lagi, bagaimana seharusnya Umat menempatkan diri? Jawabannya hanya di dua kemungkinan tadi: menjadi bagian dengan wajah yang manis? Atau menjadi bagian dengan wajah seram dan menakutkan. Tentu sebagai umat yang sadar kita diingatkan oleh sebuah ayat dalam Al-qur’an di surah ke 48 (Al-Hujurat) ayat ketiga belas. Ayat ini mengingatkan kita tentang beberapa fakta kehidupan: Satu, bahwa manusia itu sesungguhnya memiliki keluarga universal yang tunggal. Ini yang saya sebut rumah. Semua diciptakan dari satu lelaki (Adam) dan satu wanita (Hawa). Dan karenanya semua harus sadar bahwa ada ikatan mendasar yang mengikatnya sebagai satu keluarga. Dua, kenyataan bahwa manusia semua terikat oleh satu keluarga besar, Islam juga mengakui adanya partikukaritas (keunikan-keunikan) pada masing-masing anggota keluarga. Manusia dijadikan berbangsa-bangsa dan bersuku-suku. Bangsa dan suku adalah dua entitas yang populer di masa lalu. Kini tentu menjadi lebih ragam lagi, termasuk dijadikan dengan pendangan dan keyakinan agama yang ragam. Tiga, keragaman yang merupakan tabiat alami dalam penciptaan Allah, perlu dikelolah dengan kesungguhan dan kehati-hatian. Hal itu karena manusia juga memiliki tendensi egoistik yang sering tak terbendung. Karenanya perlu dikelolah dengan proses “ta’aruf” atau saling belajar. Dengan belajar akan tahu apa dan siapa saja di antara anggota keluarga kemanusiaan itu. Empat, karena tendensi atau dorongan egoisitk manusia menjaidkannya sering “over proud” bahkan arogan dengan particularitasnya. Karakter rasis dan paham rasisme bisa terhinggap kepada siapa saja. Walaupun yang lebih terbuka saat ini adalah kaum putih. Tapi warga hitam atau yang lain juga bisa saja merasa lebih superior dari yang lain. Perasaan superior ini terjadi tidak saja dalam hal ras atau warna kulit. Bahkan dalam beragama juga sering ada perasaan lebih hebat dari yang lain. Ada kasus Arab merasa lebih beragama karena Rasulullah terlahir di Arab. Lupa kalau Abu Lahab juga ternyata terlahir di daerah yang sama. Atau sebaliknya karena ada asumsi umum yang terbangun jika manusia Nusantara lebih berakhlak (santun, sopan, ramah, dst) lalu terjadi “over pride” bahkan arogansi kenusantaraan. Terjadilah perasaan lebih hebat dengan klaim Islam Nusantaranya. Di sìnilah kemudian Islam hadir dengan solusi: “sesungguhnya yang paling mulia di antara kalian di mata Allah adalah yang paling bertakwa”. Dan ketakwaan tidak terdefenisikan dengan apapun, selain iman dan amal. Intinya ada pada hati dan Karakter (karya). Kesimpulannya umat harus menentukan posisi dan memainkan peranan untuk ikut menata dunia yang semakin kehilangan orientasi (disoriented World). Umat harusnya tidak saja menjadi bagian. Tapi menjadi leading nation (imaaman linnas) dalam tatanan dunia yang semakin tidak menentu. Hanya sadar posisi, menempatkan diri secara proporsional, bahkan jadi pemimpin dalam dunia global ini, Islam bisa diklaim sebagai solusi (Al-hallu) bagi ragam permasalahan yang sedang dihadapi oleh dunia saat ini. Masanya menghentikan klaim-klaim yang cenderung bisa saja dinilai orang lain sebagai retorika kosong…. (Bersambung). (*)

Proses Pemiskinan Melalui Konversi Kompor Gas ke Kompor Listrik

Jika perubahan daya dilakukan, maka akan ada tambahan anggaran untuk satu paket kompor listrik. Misalnya, saat ini dengan daya 800 watt itu Rp 1,8 juta, maka dengan daya 1.000 watt bisa mencapai Rp 2 juta per paket. Oleh: Anthony Budiawan, Managing Director PEPS (Political Economy and Policy Studies) PEMERINTAH kini gencar sosialisasi migrasi kompor LPG ke kompor listrik. Katanya, kalau LPG tidak disubsidi, biaya pemakaian energi kompor listrik lebih murah dari kompor LPG: Rp 10.250 versus Rp 13.500, untuk 7 jam pemakaian. Apakah pernyataan PLN ini benar? Menurut perhitungan PLN: 1 kg LPG = 7 kwh listrik: konversi ini tidak benar! Menurut flogas.co.uk, 1 liter LPG = 7 kWh, dan 1 kg LPG = 14 kWh, karena 1 kg LPG = 1,969 liter: sehingga, biaya 7 jam pemakaian LPG lebih murah dari listrik: Rp 6.750 vs Rp 10.250? Mohon PLN klarifikasi. Dengan harga LPG non-subsidi saat ini sekitar Rp 19.000 per kg, biaya pemakaian 7 jam kompor LPG juga masih lebih murah dari kompor Listrik: Rp 9.500 versus Rp 10.250? Mohon PLN klarifikasi. Sebelumnya diberitakan, sumber energi untuk keperluan memasak saat ini beragam. Dari berbagai sumber energi tersebut, LPG dan listrik yang cukup banyak dimanfaatkan masyarakat. Lalu, lebih hemat mana? Dalam keterangan PLN dijelaskan harga keekonomian LPG sebelum disubsidi APBN adalah Rp 13.500 per kg, yang kemudian Harga Eceran Tertinggi (HET) LPG subsidi dibanderol Rp 7.000 per kg. Artinya, pemerintah mengeluarkan anggaran Rp 6.500 untuk subsidi per kg LPG. “Jadi seakan-akan LPG ini lebih murah dari kompor listrik. Padahal ini membebani APBN. Ada komponen subsidi dari APBN sekitar Rp 6.500,\" ujar Direktur Utama PLN Darmawan Prasodjo dalam keterangan tertulis, dikutip Sabtu (19/2/2022). Versi PLN, menghitung perbandingan berbasis kalori, 1 kg LPG setara dengan 7 kWh listrik. Harga keekonomian 1 kg LPG yaitu Rp 13.500 jelas lebih mahal daripada 7 kWh listrik yang biayanya sekitar Rp 10.250. Artinya harga keekonomian menggunakan LPG lebih mahal Rp 3.250 per kg dibandingkan dengan pemanfaatan listrik. PLN memastikan pasokan listrik di seluruh sistem kelistrikan dalam kondisi cukup. Hingga satu setengah tahun ke depan, PLN mempunyai cadangan daya hingga 7 gigawatt (GW). Lebih lanjut, PLN menilai, konversi ke kompor induksi akan menjadi pintu masuk kemandirian energi, dari yang sebelumnya impor menjadi pemanfaatan listrik yang bersumber energi domestik. “Ini agenda bersama. Kita gotong royong untuk menuju kedaulatan energi di Indonesia. Apalagi sumber energi domestik kita sekarang melimpah dan dapat dimanfaatkan,” jelas Darmawan. \"Subsidi yang selama ini digunakan untuk membiayai LPG, ke depan dapat dimanfaatkan untuk program yang lebih berdampak untuk masyarakat. Seperti pendidikan, infrastruktur, air bersih, dan sebagainya,” tambahnya. Yang menarik, subsidi BBM untuk rakyat, katanya salah sasaran, makanya harus dicabut. Padahal tidak ada kriteria sasaran. Di lain sisi, tax amnesty, tax holiday, tax incentive, semua adalah subsidi, diberikan langsung kepada orang kaya: kapitalis. Sudah tepat sasaran? Harga minyak mentah dunia rata-rata bulanan untuk Agustus 2022 turun sekitar 17,8 persen dibandingkan Juni 2022: turun dari $116,8 per barel (06/022) menjadi $95,97 per barel (08/2022). Dan masih cenderung turun pada bulan ini. Kapan harga Elpiji non-subsidi akan turun? Daya listrik 450VA, maksimal 450 watt, tidak cukup untuk kompor listrik. Agar cukup, pemerintah akan mengganti MCB menjadi 3.500 watt? Ini artinya sama saja menaikkan daya listrik menjadi 3.500 watt. Dan sama saja menghapus 450VA: tidak ada 450VA=3.500 watt? PLN seharusnya lebih transparan dan mendidik: mengganti MCB menjadi 3.500 watt (16 ampere, C16) pada prinsipnya menaikkan daya, mengakibatkan biaya pemakaian listrik melonjak. Kalau mereka tidak mampu membayar, akibatnya runyam: rumah gelap, dan tidak bisa masak. Kemiskinan naik. Kalau sampai itu terjadi, PLN dan Banggar harus tanggung jawab. PLN harus menjamin ketersediaan listrik bagi pengguna kompor listrik hasil konversi kompor gas, meskipun mereka tidak mampu membayar tagihan pemakaian listrik atau mengisi token listrik, akibat daya listrik naik. Konversi kompor gas ke kompor listrik berpotensi meningkatkan kemiskinan, karena biaya pemakaian kompor listrik akan lebih mahal dan membengkak, meskipun menggunakan TDL 450VA atau 900VA, apalagi kalau dibandingkan dengan Elpiji bersubsidi. Menurut pemerintah, daya listrik 450VA tidak dihapus: hanya mengganti MCB menjadi 3.500 watt, yang intinya menaikkan daya listrik, dan dengan sendirinya daya 450VA terhapus? Menggunakan bahasa saja bercabang, tidak jujur? Semoga Parpol lain menyusul Gerindra. Diberitakan, Partai Gerindra keberatan terhadap rencana konversi gas 3 kg menjadi kompor listrik. Gerindra tidak setuju karena kompor listrik memakan daya besar. Hal itu disampaikan Sekjen Partai Gerindra Ahmad Muzani saat menghadiri acara pelantikan pengurus DPC Partai Gerindra Kabupaten Cianjur pada Rabu (21/9/2022). Sekjen Gerindra ini juga menyampaikan sikap partainya berkaitan isu penghapusan daya listrik 450 VA. Partai Gerindra dengan tegas menolak wacana tersebut karena itu akan membebani rakyat kecil. Dia mengatakan Gerindra juga menolak rencana konversi gas 3 kg menjadi kompor listrik dengan daya 1.200 watt. “Ada pandangan yang mengingankan agar listrik dengan daya 450 VA akan dihapus, kami tidak setuju, kenapa? Karena listrik dengan daya 450 VA ini dipakai oleh orang-orang kecil, penghuni kontrakan petakan, para buruh, nelayan, dan petani. Dan kita bersyukur Presiden Jokowi tidak meneruskan rencana ini,” jelas Wakil Ketua MPR ini. “Termasuk keberatan kami terhadap rencana konversi gas 3 kilo menjadi kompor listrik. Kami tidak setuju karena kompor listrik ini sekali colok memakan daya besar, 1.200 watt. Maka rakyat kecil, rakyat miskin kota, para UMKM tidak bisa menikmati itu dan hanya membebani mereka. Lebih baik kelebihan pasokan listrik ini dialihfungsikan kepada industri-industri dan pengembangan mobil listrik yang sedang tren,” tutup Muzani. Paket kompor listrik gratis dari dana APBN berpotensi merugikan keuangan negara: dengan menyalahgunakan APBN, mengingat tidak ada anggaran belanja kompor listrik di APBN 2022: realokasi anggaran tidak diperkenankan. Terkesan proyek dadakan yang dipaksakan? Sebelumnya diberitakan, Pemerintah akan membagikan paket kompor listrik secara gratis kepada 300 ribu rumah tangga yang terdaftar di Data Terpadu Kesejahteraan Sosial (DTKS). Pembagian ini adalah upaya pemerintah dalam program konversi kompor LPG ke kompor listrik. Lantas, apa saja isi paket kompor listrik itu? Sekretaris Jenderal Kementerian ESDM Rida Mulyana mengatakan isi paket tersebut terdiri dari satu kompor listrik, satu alat masak dan satu Miniature Circuit Breaker (MCB) atau penambah daya khusus untuk kompor listrik. “Rencananya tahun ini 300 ribu (penerima). Jadi satu rumah itu dikasih satu paket, kompornya sendiri, alat masaknya sendiri, dayanya dinaikkan,” ujarnya saat ditemui usai rapat dengan Banggar DPR, Selasa (20/9). Rida menjelaskan harga paket kompor listrik ini sekitar Rp1,8 juta, sehingga jika sasarannya 300 ribu rumah tangga, maka anggaran yang dibutuhkan tahun ini sekitar Rp 540 miliar. Namun, ia juga menyebut besaran ini masih bisa berubah. Pasalnya, ada masukan agar data kompor listrik yang dibagikan dinaikkan. Rida menuturkan saat ini daya yang bakal dibagikan sebesar 800 watt untuk dua tungku. Namun, ada masukan dari DPR agar dayanya dinaikkan menjadi 1.000 watt. “Perencanaan awal, sama-sama dua tungku, awalnya 800 watt, sekarang mau dinaikkan lagi salah satunya 1.000 MW. Jadi biar masaknya lebih kencang (cepat),” kata Rida. Jika perubahan daya dilakukan, maka akan ada tambahan anggaran untuk satu paket kompor listrik. Misalnya, saat ini dengan daya 800 watt itu Rp 1,8 juta, maka dengan daya 1.000 watt bisa mencapai Rp 2 juta per paket. “Cuma sekarang masih uji coba, ada usulan yang satu tungkunya dirubah lebih gede. Nah, masih dikalkulasi berapa harganya, harusnya enggak Rp 1,8 juta lagi, pasti lebih naik, sekitar Rp 2 jutaan,” ujarnya. (*)  

Waspada Munculnya Dewan Kolonel

Bukan lagi kaitan dengan kontestasi Pilpres 2024, tetapi bisa saja ada benang merah dengan kebangkitan PKI sesuai fakta yang tumbuh subur di era rezim Jokowi. Oleh: Sutoyo Abadi, Koordinator Kajian Politik Merah Putih SUDAH cukup waktu kader-kader PKI bernaung cukup nyaman di PDIP, bahkan dari mereka bisa masuk sebagai anggota Legislatif (DPR). PDIP sendiri dengan berbagai dalih (alasan) merasa tidak masalah dengan kader-kader PKI bernaung di partainya. Menjelang perhelatan Pilpres 2024, terpantau sebagai putri mahkota, Puan Maharani akan maju sebagai RI 1. Wajar berbagai rekayasa politik akan dilakukan karena Megawati Soekarnoputri tentu tidak mau kecolongan untuk kedua kalinya dimana PDIP memberikan tiket capres bukan dari garis dari trah Soekarno. Muncullah tim pengawal pemenangan adalah upaya Ketum PDIP itu supaya tidak “kecolongan” kembali dalam kontestasi Pilpres 2024 nanti. Terekam saat ini muncul Dewan Kolonel. Apapun alasan politisnya sontak mengingatkan peristiwa G 30 S PKI. Menjelang peristiwa G-30-S/PKI beredar isu yang dihembuskan PKI, adanya pembentukan “Dewan Jenderal”. Kemudian terjadilah penculikan oleh PKI yang berbuntut pembantaian atas 6 Jenderal dan 1 Kapten TNI AD. Ingatan masyarakat akan sejarah kelam otomatis muncul kembali dari rekam jejak sejarah telah mencatat peristiwa kelam tersebut yang sulit dihilangkan dari benak pikiran rakyat. ]Ada apa dengan munculnya “Dewan Kolonel”. Kajian Politik Merah Putih bergerak cepat, dan hasil dari rekamannya telah mencatat bahwa ide ini dari anggota Komisi Hukum DPR Fraksi PDIP Johan Budi. Johan mengaku sebagai inisiator dibentuknya Dewan Kolonel. Johan menjelaskan, Dewan Kolonel dibentuk tiga bulan lalu. Mulanya, kelompok ini terdiri dari 6 orang, di antaranya Johan Budi, Trimedya Panjaitan, Hendrawan Supratikno, Masinton Pasaribu, dan Agustina Wilujeng. “Kami di fraksi ada sekelompok orang, ingin menjadi timnya Mbak Puan untuk persiapan pemilihan presiden (pilpres). Tentu kita masih menunggu keputusan Ibu Ketua Umum siapa yang dipilih. Tapi kami sudah prepare duluan kalau misalnya nanti Mbak Puan yang ditunjuk, tim ini sudah siap,” kata Johan di kompleks parlemen, Senayan, Jakarta, seperti dikutip berbagai media, Selasa (20/92022). Dewan Kolonel ini dimaksudkan ingin membantu sosok Ketua DPP PDIP Puan Maharani yang juga Ketua DPR RI agar bisa mendapat kepercayaan, sehingga jalan menuju Pilpres 2024. Johan menyebut Dewan Kolonel merupakan inisiasi para penggemar Puan. Ia menolak Dewan Kolonel dikaitkan dengan kepengurusan pusat PDIP. Ada alasan politis lain bahwa spirit lahirnya Dewan Kolonel untuk menandingi timses Ganjar Pranowo, Ganjarist, untuk mendapatkan tiket 2024 mendatang. Dalam logika politik alasan ini sangat tidak masuk akal dan terkesan hanya mengada-ada. Ganjar Pranowo adalah kader PDIP sendiri, riil kekuatannya dalam kontestasi Pilpres 2024, jelas bukan tandingan Puan Maharani. Mengikuti Dewan Kolonel ala Johan Budi, relawan Ganjar pun, akhirnya juga membentuk dewan serupa bernama \"Dewan Kopral\".  Lantas munculnya Dewan Kolonel akan kemana, wajar muncul kecurigaan dari netizen dugaan kuat memiliki arah dan jangkauan politik yang lebih luas, mengingat ada sejumlah kader PDIP yang sekolah pendidikan politik di China (Partai Komunis China). Sekjen PDIP Hasto Kristiyanto mengungkapkan bahwa Dewan Kolonel hanya guyonan saja. Ia bahkan mengklaim Megawati terkejut dengan ramainya pembicaraan soal Dewan Kolonel demi tercapainya Puan Maharani Presiden pada 2024. Terkonfirmasi: “Bahkan tadi pagi pun, Ibu Mega ketika melihat di running text pada saat saya laporan ke beliau. Beliau juga kaget, dan kemudian ya akhirnya mendapat penjelasan bahwa tidak ada Dewan Kolonel,” ujar Hasto, seperti dikutip dari laman Detikcom, Rabu (21/9/22). Megawati saat ini memegang kendali beberapa lembaga negara yang sangat strategis dan ikut sebagai tokoh yang menentukan kebijakan negara. Semua keputusan politik PDIP ada di kuasa keputusan Ketua Umum PDIP. Basa basi adanya Dewan Kolonel yang menurut Megawati (via saluran politik Hasto), bahwa Dewan Kolonel tidak ada maka seharusnya melalui inisator anggota dewan ]di DPR, segera mengumumkan untuk membubarkan diri. Jadi, omong kosong jika Hasto dan Megawati mengaku terkejut dengan adanya Dewan Kolonel. Bukankah Johan Budi sudah menyampaikan bahwa Dewan Kolonel itu dibentuk 3 bulan lalu? Masa’ sekelas Sekjen tidak tahu anggota Fraksi PDIP sudah membentuk Dewan Kolonel? Kalau Ibu Megawati sudah mengatakan tidak ada Dewan Kolonel, tetapi istilah dan gerakannya masih saja muncul, dugaan kuat hanya test the water. Begitu tak ada reaksi dari masyarakat, tiba saatnya Dewan Kolonel bisa metamorfosa menjadi Dewan Jenderal jilid 2. Bukan lagi kaitan dengan kontestasi Pilpres 2024, tetapi bisa saja ada benang merah dengan kebangkitan PKI sesuai fakta yang tumbuh subur di era rezim Jokowi. Semua masyarakat harus tetap waspada, mendeteksi secara dini akan adanya kebangkitan PKI gaya baru – lawan dan tutup rapat munculnya kembali PKI di Indonesia. (*)

Bank Indonesia (BI) Biang Kerok Kenaikan Harga BBM dan Inflasi (1)

Kalau Menkeu dan BI bisa menguatkan nilai tukar rupiah menjadi Rp 1.000 per Dolar AS, maka biaya pokok minyak mentah untuk menghasilkan BBM hanya senilai Rp 500 per liter. Kalau Jokowi mau, bisa melakukan ini. Kalau pembantunya tidak bisa coba cari yang bisa. Oleh: Salamuddin Daeng, Pengamat Ekonomi Politik Asosiasi Ekonomi Politik Indonesia (AEPI) JIKA Bank Indonesia (BI) bisa mengendalikan nilai tukar, maka harga BBM tidak harus sebesar saat ini. Tapi lembaga ini tidak menunjukan peran apa apa, mereka menonton sambil melongo nilai tukar rupiah ambruk separuh selama masa Pemerintahan Presiden Joko Widodo. Harga minyak mentah seharusnya tidak perlu ditakutkan oleh pemerintah, asal pemerintah serius menjaga nilai tukar dan menguatkannya terhadap mata uang asing terutama terhadap US Dolar. Caranya banyak. Asal berani saja. Pada masa pemerintahan SBY rata nilai tukar rupiah sebesar Rp 8.000 per US dolar. Kalau harga minyak sekarang 90 US dolar maka biaya pokok minyak mentah untuk menghasilkan BBM Rp 4.500 per liter BBM. Waktu itu Menteri Keuangan SBY adalah Sri Mulyani. Karena kepotong kasus Ban Century jadi Sri Mulyani tidak menjadi menteri lagi. Sri Mulyani kembali di jaman Jokowi tapi nilai tukar rupiah terhadap US dolar ambruk menjadi Rp 14.750 per dolar AS. Meski harga minyak mentah sama 90 dolar per barel seperti jaman SBY dulu, tapi biaya pokok minyak mentah untuk menghasilkan BBM naik dua kali lipat menjadi Rp 10.000 per liter BBM. Jadi, Bapak Presiden Jokowi cobalah perintahkan kepada Sri Mulyani sebagai Menkeu, supaya diskusi dengan Gubernur BI bagaimana cara menguatkan kembali nilai tukar rupiah terhadap USD. Karena sekarang ini Indonesia itu beli minyak menggunakan dolar. Bukan menggunakan Yuan atau Rubel. Sri Mulyani mudah-mudahan bisa. Pengalaman belasan tahun jadi Menkeu masa’ iya cuma bisanya membuat nilai tukar rupiah terhadap dolar terus merosot. Sekali-kali Sri Mulyani tunjukkanlah kepintarannya dengan menaikkan nilai tukar rupiah ini. Sri Mulyani silakan berkoordinasi dengan BI selalu Ketua Komite Stabilitas Sektor Keuangan. Jika BI tidak mau taat kepada pemerintah maka bisa diusulkan ke DPR agar BI segera direform dan diletakkan kembali di bawah Menteri Keuangan seperti sebelum reformasi. Kalau Menkeu dan BI bisa menguatkan nilai tukar rupiah menjadi Rp 1.000 per Dolar AS, maka biaya pokok minyak mentah untuk menghasilkan BBM hanya senilai Rp 500 per liter. Kalau Jokowi mau, bisa melakukan ini. Kalau pembantunya tidak bisa coba cari yang bisa. Jadi, demikian jika nilai tukar Rp 1.000 per dolar maka biaya pokok Rp 500 per liter, ditambah PPN 11 persen, ditambah PBBKB 5 persen, ditambah pungutan BPH Migas, biaya pokok BBM hanya Rp 650-750 per liter. Pertamina bisa jual pertalite Rp 5.000 per liter untungnya bisa segaban. Kalau sekarang dengan biaya pokok BBM  Rp 10.000 per liter (harga minyak mentah x kurs 14.750/159 liter sebarel) maka ditambah PPN 11 persen, ditambah PBBKB 5 persen, ditambah pungutan BPH Migas, ditambah pungutan lain-lain, biaya pokok BBM mencapai 12 ribu sampai 13 ribu rupiah. Pertamina jual 10 ribu ya lama-lama Pertamina Pecok. Ngono lo... (*)