Bank Indonesia (BI) Biang Kerok Membengkaknya Subsidi BBM (2)
Pertanyaannya siapa yang paling bertanggung jawab atas pelemahan nilai tukar secara terus menerus, berkelanjutan dan tak ada peluang menguat? Tentu saja Bank Indonesia.
Oleh: Salamuddin Daeng, Pengamat Ekonomi Politik Asosiasi Ekonomi Politik Indonesia (AEPI)
SUBSIDI BBM bisa membengkak, angkanya tidak rasional. Apa penyebabnya? Rasanya harga minyak dunia dari jaman dulu ya segitu-gitu saja, kadang naik kadang turun. Lalu mengapa bagi Indonesia turunnya harga minyak tidak bisa membuat subsidi BBM mengecil?
Subsidi BBM mencapai Rp 700 triliun, uangnya darimana? Atau darimana uangnya? APBN tidak akan sanggup! Begitu kata Presiden Joko Widodo. Besar sekali memang angka subsidi BBM yang disebut presiden itu! Tapi apakah itu angka yang aktual terjadi dalam APBN 2022?
Bukan! Itu bukan fakta, itu adalah signal atau tanda-tanda bahwa ekonomi Indonesia telah memburuk. Akibatnya, akan terjadi sesuatu yang secara significant membuat subsidi BBM membengkak secara tidak wajar. Apa itu?
Harga minyak dunia tampaknya bukan merupakan faktor utama yang akan membuat subsidi BBM membengkak hingga hampir setara dengan penerimaan pajak saat ini. Harga minyak tampaknya tetap akan flugtuatif naik-turun, naik ke 120 dolar per barel atau turun kembali ke 80 dolar per barel.
Lalu apa penyebab yang significant tersebut? Hampir pasti adalah nilai tukar. Mengapa nilai tukar? Itu karena nilai tukar adalah faktor utama kerentanan ekonomi Indonesia. Sekarang nilai tukar Indonesia hampir mendekati kondisi seperti pada krisis 98. Ke depan bahkan mungkin nilai tukar akan memburuk melewati level krisis yang dulu pernah memporak-porandakan negeri ini.
Pada masa pemerintahan SBY 10 tahun lalu, nilai tukar rupiah terhadap USD berada pada kisaran rata-rata Rp 7.000 - Rp 8.000 per USD. Sementara rata- rata nilai tukar di masa pemerintahan Jokowi Rp 14. 000 - Rp 15.000 per USD. Setiap siklus 10 tahunan mata uang rupiah kehilangan nilainya separuh atau paling kurang sepertiga.
Apa yang dikatakan Presiden Jokowi bahwa subsidi BBM bisa mencapai Rp 700 triliun bisa terjadi jika kurs sekitar Rp 20.000 - Rp 25.000 per USD. Mungkinkah? Mungkin saja. Nilai tukar Indonesia yang sekarang telah turun separuh dibandingkan masa presiden SBY. Jadi, kalau ke depan nilai rupiah turun 1/3 atau separuh dari nilai sekarang bukan hal yang tidak mungkin.
Mengapa kurs bisa merosot begitu besar. Bisa? Penyebabnya sekarang justru menyedihkan. Tahun ini 2022 devisa Indonesia menurun 12 miliar dolar AS dibandingkan tahun lalu. Sementara utang luar negeri pemerintah Indonesia berkurang 13 miliar dolar dibandingkan tahun lalu. Ini bahaya bagi rupiah.
Presiden Jokowi tampaknya tidak lagi dipercaya oleh pihak internasional, para investor dan lembaga keuangan multilateral. Ini adalah masalah serius sekali. Rupiah bisa ambruk!
Apa yang terjadi? Pemerintah Indonesia tidak bisa mendapatkan aliran uang dalam mata uang asing dalam bentuk utang yang selama ini dipakai sebagai sandaran APBN. Sementara uang keluar atau capital outflows tidak bisa ditahan karena membiayai impor BBM dan membayar utang pemerintah yang sudah sangat besar.
Maka akibatnya hancurlah nilai tukar rupiah! Capital outflows juga tinggi karena bandit SDA lebih senang menempatkan uangnya di luar negeri. Ini bahaya! Seharusnya BI bertindak.
Benar kata teman saya, kalau para pengusaha bisa menahan agar aset mereka tidak berkurang separuh saja pada tahun-tahun mendatang, maka itu sudah sangat hebat. Katanya.
Bisa jadi ini kemerosotan yang menyebabkan kehilangan separuh atau bahkan 2/3 dari apa yang Indonesia miliki sekarang. Itulah bahayanya kemerosotan nilai tukar rupiah terhadap USD.
Penyataan Presiden Jokowi bahwa subsidi BBM Rp 700 triliun bukan angka riil, tapi adalah signal agar masyarakat Indonesia bersiap-siap menyongsong kejatuhan nilai tukar. Tidak ada yang dapat membendungnya. Pemerintah sulit untuk menahan kejatuhan ini, karena sudah kere. Pemerintah juga tidak bisa menghalau atau membatasi lalu lintas devisa.
Sementara itu para bandit keuangan Indonesia, konglomerat busuk, oligarki parasit, telah bersiap dengan tidak menyimpan harta mereka dalam rupiah. Mereka selalu menyimpan uangnya di luar negeri. Mereka benar-benar bandit kutu busuk, tidak ada nasionalismenya sama sekali. Keruk sumber daya alam Indonesia, uangnya ditaruh di luar negeri. Dari dulu!
Rasanya Presiden Jokowi tidak akan sanggup lagi menahan kejatuhan ini. Ini kejatuhan yang memalukan dan menyakitkan hati. Karena juga tidak ada yang dapat dilakukannya. Pasrah tak berdaya.
Pertanyaannya siapa yang paling bertanggung jawab atas pelemahan nilai tukar secara terus menerus, berkelanjutan dan tak ada peluang menguat? Tentu saja Bank Indonesia.
Mereka bisa saja menghalangi capital outflows, mengawasi uang haram keluar dari Indonesia, menghalangi agar bandit sumber daya alam tidak membawa kabur uangnya ke luar negeri.
Tapi semua ini BI tidak lakukan. Kalau bukan BI biang keroknya, siapa lagi? (*)