Meranjang

Oleh Ady Amar Kolumnis 

Dalam dunia perpuisian menjadi lazim jika kosa kata yang dipakai tidak selalu baku dalam mengungkap sebuah makna dihadirkan. Kata ditarik ke sana kemari sesukanya untuk menggambarkan suasana batin saat puisi itu dibuat.

Maka "meranjang" menjadi kata yang boleh-boleh saja dipakai Adhie M. Massardi, yang memang punya latar belakang penulis puisi. Lebih pada puisi pamflet. Menjadi tidak aneh jika dalam memakai kata bertutur dalam keseharian, ia masih memakai idiom puisi untuk menyampaikan sebuah peristiwa yang muncul.

Saat Mas Adhie menyampaikan kata "meranjang" itu, membuat setidaknya saya terkekeh. Satu kata "meranjang" untuk menggambarkan peristiwa besar. Sebuah keputusan tidak main-main yang setidaknya diwacanakan--tidak mustahil akan diambil jadi keputusan--oleh lembaga Mahkamah Konstitusi.

Meranjang menjadi kata olok-olok satire yang mampu membuat senyum mengembang atau bahkan terkekeh sambil geleng-geleng kepala takjub. Mas Adhie mampu membuat kata "meranjang" punya greget pemberontakan pada etika tak sepatutnya.

Meranjang dimakani suami-istri yang "disatukan" dalam sebuah ranjang perkawinan. Namun maknanya tidak dibuat sesempit itu, tapi ditarik pada kuasa kekuasaan yang bisa membuat apa saja, yang semua dimulai dari meranjang. Dari situ peristiwa-peristiwa besar dihasilkan. Tidak sekadar hubungan suami-istri biasa.

Meranjang ditarik Mas Adhie pada peristiwa perkawinan lelaki paruh baya yang kebetulan menjabat sebagai Ketua Mahkamah Konstitusi (MK), Anwar Usman. Sedang permaisuri yang disuntingnya bukan perempuan biasa--yang kebetulan seorang janda--Idayati, adik Presiden Joko Widodo (Jokowi).

Dari peristiwa ini meranjang maknanya menjadi luas. Ditarik pada peristiwa politik yang bisa mempengaruhi keputusan-keputusan besar hukum ketatanegaraan negeri ini. Meranjang menyeret kepentingan politik sempit, yang ditarik menjadi peristiwa besar. Bahkan mampu merubah undang-undang sesuai kehendak yang disampaikan/diinginkan, baik tersurat maupun tersirat sekalipun.

Meranjang menjadi peristiwa sempit, tapi mampu ditarik seolah jadi kepentingan nasional. Dan itu tentang sang kakak ipar (Jokowi), yang tidak ingin menyudahi atau disudahi jabatan dua periodenya sebagai presiden. Dibuat tidak masalah jika jabatan berikutnya, ditetapkan sebagai calon wakil presiden (cawapres). Harapan yang setidaknya memberi pijakan konstitusi, meski belum tentu nantinya akan dipakai, ditinggal begitu saja karena marak umpatan publik tidak bisa menerima.

Meranjang menjadi tidak seperti peristiwa sepasang suami istri biasa pada umumnya, tapi sarat kepentingan politik atau politik kepentingan yang menerabas etika kepatutan. Entah itu memang yang diminta kakak ipar, atau sang adik ipar yang meski tanpa menerima semacam perintah sudah mafhum apa yang mesti dilakukan. Sungguh adik ipar yang pandai melihat situasi psikologis yang sebenarnya.

Alhasil, sebelum peristiwa meranjang itu disempurnakan dalam ijab-kabul, sakwasangka perkawinan politik ini akan bersinergi dalam kepentingan sempit, seperti mulai terkuak menemui kebenaran. Meranjang lalu menjadi kosa kata tidak lagi sempit, tapi luas sesuai latar belakang kepentingan.

Memang belum sampai "restu" MK itu keluar dari mulut Ketua MK Anwar Usman atau institusi MK secara kelembagaan, putusan bolehnya maju sebagai cawapres, meski dua periode sudah ia jalani sebagai presiden. Wacana itu dilontarkan Juru Bicara MK Fajar Laksono, yang mengatakan bahwa dalam UUD 45 tidak diatur secara eksplisit bahwa presiden dua periode tidak boleh maju lagi sebagai cawapres.

Fajar Laksono, seperti juga kita, tentu bukan bagian dari meranjang Ketua MK dengan Idayati yang adik Presiden Jokowi, yang lalu ditarik pada peristiwa politik besar. Tapi jubir MK mustahil berani bicara tanpa "komando" atasannya, yang sedang memainkan "adegan" meranjang yang tidak sebagaimana suami-istri biasa. Setidaknya arahan telah ia terima, meski tersirat. Agar meranjang tidak dimaknai punya misi politik tertentu, bahwa belum ada aturan yang dilanggar, jika ingin maju sebagai cawapres.

Duh meranjang bukanlah peristiwa biasa, pertemuan suami-istri di ranjang perkawinan, tapi sudah melalui penerawangan jauh hari, bahwa pada saatnya bisa menjadi peristiwa politik tidak biasa. Setidaknya mampu melanggar etika kepatutan. 

Mas Adhie M. Massardi setidaknya telah menampol adanya "perselingkuhan politik", itu dengan satu kata "meranjang" dengan baiknya, dan saya coba menafsirkan sebisanya ala kadarnya. Semoga tidak terlalu menyimpang dari apa yang dimaksudkannya, "meranjang" bukan sembarang meranjang... Wallahu a'lam. (*)

360

Related Post