OPINI

Anies Presiden "De Facto"

Oleh: Yusuf Blegur | Mantan Presidium GMNI Saat Anies begitu didukung dan dicintai sebagian besar rakyat Indonesia, di sisi lain tak disukai bahkan dibenci oleh oligarki dari korporasi dan partai politik. Maka tunggu saja, kehadiran pemimpin \"de facto\" yang mengemban aspirasi dan kehendak rakyat dari demokrasi yang sehat?. Ataukah pemimpin \"de jure\" tanpa mandat rakyat dari demokrasi yang sakit?. Mungkin terlalu dini dan mustahil menyebut seorang Anies Baswedan menjadi presiden \"de facto\" di saat sekarang ini. Ada tiga faktor yang menegaskan premis itu menjadi sekedar angan-angan dan dianggap uthopis. Pertama, karena pilpres baru akan digelar pada tahun 2024. Kedua, karena pada 16 Oktober 2022 Anies baru akan mengakhiri masa jabatannya sebagai gubernur Jakarta. Ketiga, rasanya seakan kurang pas membicarakan hal tersebut di saat negara sedang kacau balau alias berantakan. Namun apakah semua yang terjadi pada NKRI, harus selalu mengikuti keinginan dari pikiran-pikiran yang normal dan rasional?. Termasuk prosesnya sesuai dengan ukuran formal dan konstitusional?. Pertanyaan tersebut tidak serta-merta harus ditafsirkan sebagai  wacana apalagi sebagai upaya  yang mendukung tindakan irasional dan tidak konstitusional. Terlebih jabatan presiden yang baku aspek hukumnya dan  jika dikaitkan dengan figur Anies yang dikenal sebagai intelektual yang mengedepankan akal sehat dan taat pada aturan main. Anies juga diidentikan sebagai pemimpin yang terbiasa tertib administrasi, mengikuti aspek prosedural dan cenderung lentur pada birokrasi. Jejak rekamnya dalam dunia pendidikan maupun karir pemerintahan mulai dari mendirikan program Indonesia Mengajar dan menjadi Rektor Universitas Paramadina hingga  duduk sebagai menteri pendidikan dan menduduki jabatan gubernur Jakarta.  Membuktikan Anies bukan tipikal pemimpin yang bergaya preman dan ugal-ugalan. Pun demikian memori kolektif bangsa Indonesia bukan tidak pernah bahkan bisa dianggap sering mengalami peristiwa atau kejadian di luar kebiasaan kalau tidak bisa disebut \'abnormal\'. Sejarah kental memberi pelajaran pada rakyat Indonesia, tidak sedikit kenyataan-kenyataan pada kehidupan bernegara dan berbangsa lahir dari fenomena di luar logika dan penalaran. Secara empiris baik aspek politis maupun ideologis, rakyat cukup kenyang menyantap menu ketidakpatutan dan ketidaklayakan. Terlalu banyak realitas kehidupan yang harus diterima sebagai guratan nasib atau sesuatu yang sudah menjadi takdir Tuhan. Entah yang datang berupa kebaikan atau keburukan sekalipun, entah dalam kehidupan pribadi  atau dalam lingkungan masyarakat. Betapapun keduanya sangat terikat dan tak terpisahkan dari sebuah sistem, sebuah aturan yang integral dan komprehensip dalam ketatanegaraan. Bercermin pada pergerakan kemerdekaan Indonesia di masa lalu, saat rakyat berjuang mengusir penjajahan dan ingin menjadi negara merdeka dan berdaulat. Mengemuka betapa jauh dari logis dan kewarasan bahwa bangsa Indonesia hanya berbekal dengan persenjataan tradisional dan seadanya mampu melawan kolonialisme dan imperialisme dunia yang ditunjang oleh pasukan tentara terlatih serta persenjataan yang lengkap dan modern pada waktu itu. Begitupun luar biasa dan menakjubkan saat bangsa yang begitu besar, luas dan kaya, dengan kebhinnekaan dan kemajemukannya mampu berhimpun dan berikrar dalam satu konsensus nasional menjunjung Pancasila, UUD 1945 dan NKRI. Tak kalah penting dan menariknya bumi nusantara yang eksotik alamnya, juga teguh memelihara kultur dan natur yang kuat budaya patron klen di dalamnya. Salah satunya dalam memilih pemimpin yang diyakini sebagai satrio piningit yang akan membawa kemakmuran dan keadilan bagi rakyatnya. Rakyat akan manut pada arahan para orang tua, guru, tokoh adat, pemimpin desa atau kampung, dan pimpinan-pimpinan komunitasnya. Demikian sedikit dari banyak hal yang faktual yang sangat sulit bisa diterima dalam ranah kesadaran akal dan logika. Peristiwa atau kejadian-kejadian  yang memuat nilai-nilai kemaslahatan dan hanya bisa leluasa diterima dengan kesadaran spiritual dan kemampuan menyelami dimensi trasedental. Semua itu seperti panggilan \"given\", layaknya anugerah Ilahi yang diberikan untuk rakyat, negara dan bangsa Indonesia. Begitupun sebaliknya republik yang berbasis dari kekuasaan kerajaan-kerajaan nusantara ini, pasca kemerdekaan dan bertransformasi menjadi NKRI. Tak usai dirundung kenestapaan sebagai sebuah negara bangsa. Kesengsaraan dan penderitaan menjadi realitas kontradiktif dari apa yang diyakini sebagai keinginan para \"the founding fathers\" dan cita-cita proklamasi kemerdekaan Indonesia. Kemerdekaan sebagai jembatan emas seperti yang dikatakan Bung Karno, pada akhirnya hanya menampilkan perpindahan kekuasaan  dari satu rezim ke rezim yang lain. Menjadi semacam parade pemerintahan yang hanya mampu mewujudkan dan menopang hegemoni dan dominasi kekuatan ideologi kapitalisme dan komunisme di negerinya sendiri. Betapa digdayanya pengaruh keniscayaan global yang bertentangan dengan falsafah dan dasar negara Pancasila yang pernah menggerakan dan memengaruhi gerakan non blok dalam percaturan internasional. Tregedi demi tragedi dalam konflik yang saling menegasikan dan membunuh sesama anak bangsa, telah menjadi keseharian  dinamika memperebutkan dan mempertahankan kekuasaan di dalam negeri semakin menjadi tradisi. Dampak lokal akibat kebijakan internasional, meskipun semua itu dilakukan atas nama demokrasi, HAM, perdamaian dunia, gerakan anti korupsi, isu lingkungan, soal ketahanan pangan dlsb. Etalase kampanye dari globalisme yang perlahan dan berangsur-angsur membunuh peradaban manusia dan nilai-nilai keagamaan. Kenyataan itu yang membentuk situasi dan kondisi pada fase kemudharatan atau kejahatan kemanusiaan secara terstruktur, sistematik dan masif. Dalam hal ini, semua itu seperti menjadi hukuman atas dosa politik berjamaah atau lebih ekstrim kutukan pada bangsa ini baik yang dilakukan oleh para elit pemimpin, kelas menengah maupun  rakatnya sendiri. Boleh jadi kondisi obyektit dari fenomena-fenomena distorsi itu sebagai konsekuensi dari syahwat memburu materialisme dan mengabaikan religiusitas. Masyarakat modern tanpa nurani dan akal sehat, masyarakat beragama tanpa berTuhan. Kembali kepada figur Anies dengan gelat pencapresannya dan kontestasi pada pilpres 2024. Seperti tak bisa dihindarkan dari kesadaran etos dan mitos bangsa Indonesia. Sebagaimana upaya pencarian pemimpin yang jujur dan adil, yang telah lama dirindukan rakyat. Pemimpin yang dipilih karena penilaian dari keyakinan lahir dan batin. Anies secara persfektif politik realitas,  mungkin agak sulit dan seperti menghadapi tembok besar untuk menjadi presiden yang diinginkan rakyat. Terlebih saat demokrasi berisi dan dalam kemasan kapitalistik dan transaksional. Kekuatan liberalisasi dan sekulerisasi yang menumpuk pada oligarki korporasi dan partai politik, sulit menjamin proses kedaulatan rakyat dalam memilih pemimpin secara ideal sesuai aspirasi dan kehendak rakyat yang sesungguhnya. Oligarki yang telah menjadi representasi kolonialisme dan imperialisme modern saat ini, semakin nyata dan berhadapan langsung dengan Anies dan rakyat dibelakangya yang menginginkan perubahan Indonesia menuju kebaikan. Terlebih di saat rakyat sudah lelah dan jenuh hanya bisa bermimpi tentang negara kesejahteraan, tentang kehidupan adil makmur dan sentosa. Mimpi-mimpi indah yang sudah berubah menjadi sikap apriori dan skeptis itu, kini mewujud kenyataan  sebaliknya, parah dan mengerikan. Rakyat telah paripurna hidup dalam habitat negara gagal. Bukan kemajuan negara dan kebahagiaan rakyatnya, rezim terus terbang tinggi meroket ke langit membawa haraga BBM, listrik, sembako, transportasi, pendidikan,  kesehatan, pajak dan semua hajat hidup orang banyak. Seiring itu harga diri para pejabat dan politisi semakin jatuh terjun bebas, turun sedalam-dalamnya kerak bumi. Tanggung jawab dan kewajiban negara diperhalus bahasanya menjadi subsidi,yang sewaktu-waktu bisa dikurangi atau dihapus serta dijadikan modus untuk maling uang rakyat. Rakyat telah menjadi populasi penduduk tanpa pemerintahan dan tanpa negara. Hanya habitat kaum lemah yang tak berdaya dan tertindas karena terus-menerus dilecehkan, dihina, diperkosa, dirampok,  dibantai dan dibunuh oleh penguasa dzolim. Politik kekuasaan dari rezim  yang berorientasi pada dehumanisasi. Kalau sudah seperti itu pilpres 2024 yang menjadi harapan dari transisi kepemimpinan nasional  yang sejatinya membawa perubahan nasib rakyat menjadi lebih baik. Disinyalir publik hanya menjadi mainan dan dikuasai oligarki. Anies yang dielu-elukan rakyat untuk menjadi presiden,  seolah-olah hanya pasrah pada partai politik yang dianggap enggan mewujudkan \"political will and goid will\" pada perbaikan masa depan Indonesia. Partai politik seperti terjebak pada kepentingan pragmatis serta kesinambungan politik trah dan oligarki. Rakyat pesimis partai politik memiliki kesadaran makna hakekatnya demokrasi khususnya penyelenggaraan pemilu dan  pilpres. Bukan hanya kecurangan tapi juga menjadi status quo bagi penguasa terlebih pada pilpres 2024 yang dibayangi presiden tiga periode atau perjangan jabatan presiden. Akankah Anies mendapat tiket pencapresannya?. Ataukah Anies tetap menjadi ancaman sekaligus musuh oligarki dalam pilpres 2024?. Bisa jadi ini akan menjadi episode perjalanan politik paling krusial bagi masa depan Indonesia. Jika saja partai politik dan para cukong pemilik modal besar dibelakangnya, lagi-lagi membajak esensi dan substansi demokrasi pada pilpres 2024. Bukan tidak mungkin itu menjadi anti klimaks bagi kekuasan oligarki dan selanjutnya menjadi klimaks bagi kedaulatan rakyat dalam penolakannya pada proses dan hasil pilpres 2024. Atau bukan hal yang mustahil ketika arus besar dukungan  suara rakyat terhadap Anies dalam prosesnya  terindikasi dimanipulasi oleh oligarki baik korporasi maupun partai politik. Berpotensi akan menimbulkan mosi tidak percaya pada rezim termasuk produk pemilu dan pilpres 2024. Bahkan bisa menimbulkan pemberontakan sosial dan politik pada rakyat bahkan sebelum pelaksanaan pilpres 2024. Dengan amburadulnya penyelenggaraan negara hingga sudah memasuki krisis multidimensi, sikap antipati dan kemarahan rakyat pada pemerintah akan bermetamorfase menjadi revolusi. Betapapun itu, semua elemen bangsa tampaknya akan berpikir panjang dan melakukan kalkulasi ulang. Untuk menghindari ongkos sosial dan materi yang terlalu mahal dan berpotensi pada kebangkrutan dan kehancuran nasional. Negara dengan semua irisan kekuasaannya baik dalam tatanan struktural maupun kultural akan merumuskan jalan keluar dari semua problematika bangsa. Termasuk mencari jalan tengah atau \"win-win solution\" demi kebaikan rakyat, negara dan bangsa Indonesia. Semua petinggi dan pemangku kepentingan publik suka atau tidak suka, senang atau tidak senang dan terpaksa atau tidak terpaksa,  ughens dan menjadi prioritas menyelamatkan Indonesia dari kehancuran yang lebih buruk lagi. Termasuk bisa mengatasi krisis pemimpin, mengangregasi dan mengintegrasi kembali pembelahan sosial pada rakyat yang begitu memprihatinkan serta upaya serius dan sungguh-sungguh memulihkan persatuan dan kesatuan bangsa, stabilitas nasional serta menjamin transisi kepemimpinan yang terhormat, bermartabat dan memenuhi prinsip-prinsip sejatinya kedaulatan rakyat. Memilih dan menjadikan pemimpin nasional dalam hal ini termasuk presiden yang berkarakter, jujur, adil, amanah, sarat prestasi dan berintegitas. Selayaknya sudah menjadi syarat dan keharusan bagi presiden yang memimpin Indonesia ke depannya. Dengan modal sosial dan politik serta jejaring yang luas di dalam dan luar negeri serta didukung dan dicintai rakyat. Anies sepertinya memenuhi kriteria dan  kualifikasi tersebut, untuk menjadi presiden Indonesia. Anies yang santun, sabar, cerdas dan identik dengan kepribadian yang terbuka dan merangkul semua anak bangsa, menjadi yang terbaik dari yang baik atau kalau mau lebih tawadhu lagi, terbaik dari yang terburuk. Tentunya melalui proses demokrasi yang konstitusional  dengan produk pilpres baik yang menghasilkan politik ideal atau politik realitas. Pemimpin yang lahir dari rahim rakyat atau rahim oligarki, pemimpin yang \"de facto\" didukung dan dicintai rakyat melalui proses demokrasi yang sejati, atau pemimpin \"de jure\" tanpa mandat rakyat melalui manipulasi demokrasi. Faktanya,  Anies sesungguhnya telah menjadi presiden\"de facto\" sebelum ataupun sesudah pilpres 2024. (*)

Revolusi Rakyat Tertunda?

Sebagian pemilik perusahaan yang sedang dan akan memasok listrik ke PLN, memang tercatat ada nama Luhut Binsar Pandjaitan, Erick Thohir, Garibaldi “Boy” Thohir, Sandiaga Uno, Prajogo Pangestu, Dahlan Iskan, dan lain-lain. Oleh: Mochamad Toha, Wartawan Forum News Network (FNN) PERTANYAAN yang sering saya terima dari rakyat belakangan ini, “Kapan Jokowi jatuh? Koq sepertinya kuat sekali ya? Padahal, demo rakyat sudah berkali-kali berlangsung di Jakarta dan daerah-daerah juga.” Sulit sekali untuk menjawab pertanyaan seperti itu secara pasti. Tapi, “Kenapa waktu Pak Harto koq terkesan begitu mudah jatuh? Padahal, Pak Harto waktu itu kuat sekali. Apa yang sebenarnya terjadi sekarang ini?” tanya seorang pedagang sayuran. Apakah revolusi rakyat akan terjadi atau memang tertunda? People power atau revolusi rakyat diprediksi bisa terjadi tapi juga bisa tidak. Semua itu tergantung kecerdasan dan keberanian milenial saat ini. Karena, kita tidak ingin adanya campur tangan asing dan aseng, seperti pada 1998. Yang diinginkan adalah people power murni, seperti 1945. Sehingga, nanti tidak ada aseng dan asing yang ikut camput menata sistem pemerintahan mendatang. Proses kejatuhan Presiden Abdurrahman Wahid alias Gus Dur, Presiden Soeharto maupun Presiden Soekarno, disinyalir ada campur tangan asing dan aseng. Bagaimana proses kejatuhan Bung Karno, Pak Harto, dan Gus Dur, rasanya tidak perlu dibahas dalam tulisan ini. Karena sudah banyak versi beredar di masyarakat. Tapi yang jelas, kejatuhan ketiga presiden terdahulu itu terjadi karena ada unsur asing dan aseng yang campur tangan. Apakah kebijakan Presiden Joko Widodo menaikkan harga BBM yang memicu demo besar-besaran selama ini bisa menggelincirkan Jokowi sehingga terjatuh dari tampuk kekuasaannya? Tampaknya, tidak semudah itu. Apalagi, naiknya harga BBM tersebut ternyata sudah atas persetujuan DPR. Suara penolakan dari PKS maupun Demokrat nyaris tak didengar Pemerintah, apalagi kolega fraksi lainnya di DPR. Yang terjadi justru Sekjend PDIP Hasto Kristiyanto menyindir PKS agar fokus urusi Kota Depok dibandingkan sibuk kritik kebijakan kenaikan harga BBM bersubsidi. Hasto juga mempertanyakan apa prestasi PKS selama memimpin Depok? Juru Bicara PKS Muhammad Kholid merespon pernyataan Hasto tersebut. Jawaban Kholid justru membuka “Alhamdulilah, Kota Depok selama dipimpin PKS telah berhasil menurunkan tingkat kemiskinan menjadi 2,58% hingga 2021. Capaian ini jelas merupakan tingkat kemiskinan terendah ketiga di Indonesia!” jawab Muhammad Kholid, Juru Bicara PKS. “Tidak hanya itu, di bawah kepemimpinan kader PKS, Indeks Pembangunan Manusia (IPM) Depok juga mencapai peringkat tertinggi ketiga di Jawa Barat,” tambah alumni FEB Universitas Indonesia, yang juga warga Depok itu. Kholid mencoba mengajak Hasto untuk melihat dan membandingkan capaian tingkat kemiskinan di Kota Solo di bawah Gibran Rakabuming Raka dan PDIP atau Provinsi Jawa Tengah di bawah Ganjar Pranowo yang juga kader PDIP. “Kalau Sekjend PDIP mau adu prestasi Kepala Daerah, boleh saja. Mari kita bandingkan: mana yang sukses? PKS atau PDIP yang berhasil turunkan angka kemiskinan?” tantang Kholid kepada Hasto Kristiyanto. “Kota Solo lama di bawah kepemimpinan PDIP. Mulai dari Pak Jokowi hingga sekarang puteranya Gibran yang menjabat Wali Kota Solo. Bagaimana prestasi pengentasan kemiskinannya?” tanya Kholid. Data BPS menunjukan, tingkat kemiskinan di Solo mencapai 9,4% pada 2021. “Di level Kota, Solo adalah kota dengan tingkat kemiskinan tertinggi di Jawa Tengah! Inikah prestasi yang dibanggakan PDIP?” tanya Kholid retoris. Tidak hanya itu, fakta di Provinsi Jawa Tengah juga gagal menurunkan tingkat kemiskinan ekstrim. Jumlah daerah kategori miskin ekstrim justru naik dari 5 daerah menjadi 19 daerah pada 2021. Selain itu, Jawa Tengah adalah provinsi kedua tertinggi tingkat kemiskinannya setelah DIY dibandingkan dengan provinsi lain di Jawa. Tahun 2021, Provinsi Jawa Tengah tingkat kemiskinannya mencapai 11,25% di 2021. “Jawa Tengah itu tingkat kemiskinannya tertinggi kedua di Pulau Jawa dan angkanya lebih tinggi dari tingkat kemiskinan nasional,” ujar Kholid. Hasto mestinya belajar membaca data ini sebelum sindir PKS. Rasanya sulit untuk memperbaiki citra PDIP yang “terpuruk” akibat kasus korupsi kadernya. Apalagi, kebijakan kenaikan harga BBM yang diumumkan langsung Presiden Jokowi yang diakui sebagai “petugas partai” itu telah memicu demonstrasi di Jakarta maupun berbagai daerah di Indonesia. Apakah gerakan demo massif pada 2022 ini sebagai masa pemanasan people power? Kebijakan Jokowi yang tidak pro rakyat itu berpotensi gembosi PDIP dan bisa rusak citra kader banteng yang maju Pilpres 2024. Sehingga prediksinya pada 2023 kemungkinan people power meletup. Semua skenario bisa berubah total. Artinya, “koalisi-koalisian” yang selama ini dirancang bakal berantakan. Tidak ada yang namanya Copras-Capres. Termasuk nama-nama yang selama ini digadang-gadang sebagai Capres seperti Anies Baswedan, Ganjar Pranowo, Puan Maharani, Airlangga Hartarto, Prabowo Subianto, dan sebagainya. Apalagi jika benar-benar terjadi revolusi rakyat. Semua akan berubah. Karena terjadi “gempa politik” yang luar biasa! Sebuah revolusi rakyat itu tidak mungkin berhasil jika tanpa campur tangan asing. Sebuah revolusi past i melibatkan pihak luar atau asing. Jadi, tidak ada revolusi yang tanpa pihak luar. Revolusi di kawasan Amerika Selatan itu tidak akan berhasil tanpa ada pihak luar. Coba lihat jejak sejarah, Revolusi Kuba. Tidak akan berhasil tanpa ada Che Guevara yang bukan orang Kuba. Revolusi Rusia dengan menggulingkan Tsar Nicholas, juga tidak akan berhasil tanpa ada campur tangan Inggris dan Jerman. Revolusi Amerika Serikat juga tidak akan berhasil tanpa ada campur tangan Inggris. Bahkan, Revolusi Indonesia yang menghasilkan Kemerdekaan RI tidak akan berhasil tanpa ada campur tangan asing. Yang menjadi pertanyaan, mengapa Revolusi Rakyat di Indonesia kali ini sulit terwujud? Apakah hal ini ada kaitannya dengan penunjukan Menko Marinves Luhut Binsar Pandjaitan dengan tugas barunya dari Presiden Jokowi? Yakni, mempercepat pelaksanaan program kendaraan listrik. Tugas baru yang harus dilakukan Luhut tersebut tertuang dalam Inpres Nomor 7 Tahun 2022 tentang Penggunaan Kendaraan Bermotor Listrik Berbasis Baterai (Battery Electric Vehicle) sebagai Kendaraan Dinas Operasional dan/atau Kendaraan Perorangan Dinas Instansi Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah.  Mengutip inpres yang diterbitkan pada 13 September 2022 itu, setidaknya ada tiga pokok tugas yang mesti dijalankan Luhut terkait percepatan pelaksanaan program kendaraan listrik. Pertama, tugasnya melakukan koordinasi, sinkronisasi, monitoring, evaluasi, dan pengendalian atas pelaksanaan Instruksi presiden ini. Kedua, Luhut akan melakukan penyelesaian permasalahan yang menghambat implementasi percepatan program penggunaan kendaraan bermotor listrik berbasis baterai sebagai kendaraan dinas operasional dan kendaraan perorangan dinas instansi pemerintah pusat serta pemerintahan daerah. Ketiga, melaporkan pelaksanaan Inpres ini kepada presiden secara berkala setiap enam bulan sekali atau sewaktu-waktu apabila diperlukan. “Luar biasa opung Luhut ini, super sakti. Satu proyek listrik, tapi benefitnya bisa \'nyetrum\' dari hulu hingga ke hilir,” kata Ahmad Khozinudin, Sastrawan Politik. Sebagian pemilik perusahaan yang sedang dan akan memasok listrik ke PLN, memang tercatat ada nama Luhut Binsar Pandjaitan, Erick Thohir, Garibaldi “Boy” Thohir, Sandiaga Uno, Prajogo Pangestu, Dahlan Iskan, dan lain-lain. Itulah yang besar kemungkinan menjadi penyebab sulitnya revolusi rakyat di Indonesia sekarang ini, kecuali Jokowi legowo mengundurkan diri. (*)

Gara-gara Sebuah Pisang!

Tapi sejak Nopember 2003 itu saya sengaja diundang menjadi salah seorang narasumber dalam tripartite dialogu itu. Dan hampir di setiap acara dialog itu Arthur selalu mengulangi cerita sopir taksi itu. Oleh: Imam Shamsi Ali, Presiden Nusantara Foundation/Board member, NYC Partnership of Faith JIKA saya ingin menyebutkan berbagai inisiatif interfaith atau Dialog antar pemeluk agama yang saya lakukan di kota New York tentu lumayan banyak. Dari pertemuan by-monthly 3 tokoh-tokoh agama Samawi; Islam, Kristen dan Yahudi, pertukaran kunjungan, hingga beberapa kegiatan sosial, antara lain mid-night run atau memberikan makan kepada homeless di malam hari di kota New York. Tapi ada sebuah kegiatan yang paling berkesan dan diminati oleh jamaah masing-masing agama, khususnya mereka yang beragama Kristiani. Kegiatan itu adalah annual trifaith dialogue (Dialog tiga agama; Yahudi, Kristen dan Islam) menyambut hari Thanksgiving Day di Amerika. Acara ini menjadi unik karena dihadiri oleh ribuan jamaah dari tiga agama untuk berdialog dengan tema-tema yang kontekstual. Satu kali misalnya bersamaan dengan 10 tahun pasca peristiwa “9/11”, kita para narasumber menyampaikan cerita dan hikmah yang kita ambil dari peristiwa itu dalam perspektif agama masing-masing. Berubah Karena Pisang Pada acara Dialog tiga agama itu ada tiga tokoh agama yang selalu tampil untuk memberikan penjelasan tentang hal-hal yang berkaitan dengan topik yang dibahas. Biasanya topik pembahasan telah disetujui bersama jauh-jauh hari. Namun Dialog yang terjadi sangat ringan dan spontan, bahkan kerapkali penuh guyonan yang menghibur. Saya sendiri mewakili agama Islam yang ketika saya masih menjadi Imam di Islamic Cultural Center of New York atau yang lebih dikenal dengan masjid 96 Street. Saya juga Direktur Jamaica Muslim Center dan sebagai Chairman Masjid Al-Hikmah Queens. Agama Yahudi diwakili oleh Rabbi Dr. Peter Rubenstein, Senior Rabbi of Central Synagogue Manhattan yang sangat cantik dan historis. Beliau pada tahun-tahun itu berumur sekitar 70-an. Saat ini Peter Rubinstein menjadi senior director di Street 92nd yang sangat populer di kota New York. Peter juga pernah menjadi ketua Inisiatif Interfaith mantan PM Inggris, Tony Blair. Sementara agama Kristiani diwakili oleh Pastor Dr. Arthur Caliandro. Beliau adalah pastor Senior Marble Collegiate Church di Manhattan yang sangat kharismatik. Beliau ketika itu sudah memasuki umur hampir 80 tahun. Gereja Marble sendiri adalah gereja Protestan tertua di Amerika. Tripartite Dialog ini begitu sangat menarik bukan saja karena pembahasan yang seringkali dinamis dan terbuka. Tapi sambutan jamaah masing-masing agama yang hangat dan bersahabat. Sebuah pembuktian bahwa perbedaan apapun yang ada di antara manusia harusnya tidak menjadi alasan untuk saling terpecah dan bermusuhan. Satu hal yang sangat terkesan bagi saya pribadi adalah bagaimana kedua tokoh agama itu (Peter dan Arthur) sangat santun, sopan dan menghormati saya yang notabene-nya sangat yunior. Apalagi sebagai pendatang baru di tengah meningginya Islamophobia saat itu. Sedangkan mereka tidak saja secara umur, ilmu dan pengalaman yang hebat. Tapi juga menjadi pemimpin dari institusi yang besar dan terhormat. Peter adalah seorang Rabi Yahudi dari kalangan sekte Reform yang sangat dihormati. Saya masih ingat suatu ketika saya diundang hadir karena acara peringatan 9/11 di Synagogue yang dihadiri oleh Gubernur New York ketika itu, Andrew Cuomo. Para politisi dan pejabat sangat respek dan hormat kepadanya. Arthur Caliandro yang bersuara lembut, tapi dari mulut beliau selalu keluar  hikmah-hikmah yang luar biasa. Tidak jarang melemparkan lolucon-lolucon segar yang menjadikan hadirin tertawa terbahak. Satu diantaranya adalah “Every time I meet Shamsi, I feel younger”… itu karena saya 1/2 umurnya lebih muda. Tapi yang paling menarik dari Arthur adalah cerita awal bersentuhan dengan Islam. Sebagaimana orang-orang Amerika lainnya, Arthur pernah teracuni oleh pandangan buruk tentang Islam. Apalagi dengan peristiwa 9/11 pada 2001 menjadikannya marah dan merasa harus melakukan sesuatu untuk meredam pergerakan Islam di Amerika dan dunia. Pada penghujung 2002 itulah suatu ketika dia pernah menghentikan sebuah taksi kuning (yellow cab) untuk membawanya ke sebuah pertemuan. Tanpa dia sadari, ternyata sopir taksi itu seorang Muslim warga Bangladesh. Dalam perjalanan itu terjadi percakapan yang menarik. Sang sopir bertanya kepadanya: “where do you live and what do you do” (di mana tinggal dan pekerjaannya apa?). Arthur menyampaikan bahwa dia adalah pastor gereja yang terletak di antara 29th Street dan 5 Avenue. Sang sopir menyampaikan bahwa dia seringkali sholat di belakang gereja itu. Kebetulan di belakang gereja itu ada masjid kecil, Masjid Abdurrahman. Singkat cerita, karena merasa sudah familiar dekat dengan komunikasi itu, sang sopir tiba-tiba saja menawarkan sebuah pisang kepada sang pastor. Walau sang pastor tidak mengambil pisang itu, tapi tawaran sebuah pisang itu menusuk dadanya. Ada perasaan bersalah atas berbagai kecurigaan selama ini. Selama ini dia memahami jika orang Islam itu kasar, pemarah, dan tidak bersahabat. Tapi ini ada seorang Muslim, sopir taksi, dengan bahasa Inggris terbatas sangat ramah dan baik. Singkat cerita, tanpa terasa perjalanan sampai di tujuan. Rupanya diam-diam sang sopir itu telah mematikan argo taksinya dan menolak mengambil sewa (bayaran) dari penumpangnya. Peristiwa ini menjadikan Arthur berubah drastis. Tidak saja bahwa dia secara pribadi berubah menjadi lebih positif. Tapi sejak Nopember 2003 itu saya sengaja diundang menjadi salah seorang narasumber dalam tripartite dialogu itu. Dan hampir di setiap acara dialog itu Arthur selalu mengulangi cerita sopir taksi itu. Sekitar tahun 2017 lalu Arthur meninggal dunia. Walaupun tidak menerima Islam sebagai agamanya, tapi sangat banyak hal positif yang dapat diambil sebagai pelajaran dari Arthur Caliandro. Beliaulah salah seorang partner saya dalam upaya membangun kerjasama antar pemeluk agama di kota dunia ini. Peace to the world! NYC Subway, 20 September 2022. (*)

Bahan Bakar LPG Itu Masalah Bagi Presiden Jokowi G20 Presidency

Nilai subsidi APBN Rp 135 triliun untuk LPG tersebut amatlah besar, tidak masuk di akal, kecuali pake kalkulator abal-abal, mungkin bisa masuk hitungannya. Oleh: Salamuddin Daeng, Pengamat Ekonomi Politik Asosiasi Ekonomi Politik Indonesia (AEPI) MASALAH itu datang dari impor LPG yang sangat besar. Sudah tidak mungkin diatasi lagi. Ketergantungan pada LPG sangat akut. Ini telah menjadi bisnis banyak orang yang sangat kusut. Para politisi juga banyak yang bermain dalam carut-marut bisnis LPG di tanah air. Masalah berikutnya datang dari subsidi LPG yang sangat besar. Jumlahnya mencapai 85% dari seluruh LPG yang dikonsumsi di tanah air adalah LPG subsidi 3 kg. Angka yang aneh sebenarnya. Mengapa sebagian besar orang menggunakan LPG subsidi. Bagaimana pengawasan selama ini. Apakah memang seluruh lembaga pengawasan LPG subsidi itu melakukan pembiaran ini? DPR RI, BPH Migas? Apa yang mereka perbuat? Apa benar mereka terlibat dalam bisnis ini? Subsidi LPG seharusnya tidak sebesar itu, jika pengawasannya baik, dan LPG subsidi benar-benar dialokasikan kepada yang berhak menerimanya. Bayangkan saja jika subsidi LPG 3 kg diubah jadi subsidi langsung. Maka kemiskinan di Indonesia langsung habis seketika. Lenyaplah kemiskinan menurut indikator Badan Pusat Statistik (BPS) itu. Nilai subsidi LPG 3 kg dalam APBN 2022 itu mencapai Rp 135 triliun. Bisa dibayangkan kalau ini dibagikan ke 27 juta penduduk miskin Indonesia, maka setiap orang akan memperoleh Rp 420 ribu per bulan per orang. Maka selesai lah dan tamatlah riwayat kemiskinan menurut indikator BPS Indonesia. Tapi ini telah menjadi bisnis yang sangat ruwet, bisnis barang subsidi, bisnis menghisap dana APBN untuk segelintir orang para importir LPG, untuk bisnis negara-negara penghasil LPG yang tidak akan menyerah melanggengkan energy fosil sebagai bahan bakar umat manusia. Bagaimana bisa orang Indoensia buat masak nasi dan lontong harus impor bahan bakar dari Arab dan Amerika Serikat? Sementara itu untuk bakar sate menggunakan arang tidak masalah, malah tambah enak. Ini adalah bisnis yang menjerat leher orang dan melahap APBN tanpa ada pengawasan yang baik. Sedangkan Presiden Jokowi sebagai G20 Presidency, ketua transisi energi dunia, harus berpidato berapi-api, berkobar-kobar di G20 bahwa dunia harus meninggalkan energi fosil dalam waktu tidak lama lagi. Lah bagaimana bisnis dan subsidinya di Indonesia segede gaban? Dunia bakal kikikiki. Subsidi Aneh Ini subsidi LPG ini aneh ya. Nilainya kok bisa mencapai Rp 135 triliun. (Lihat nota keuangan RAPBN 2023). Separah itukah manajemen pengelolaan barang impor di Indonesia. Ini luar biasa boros. Catat bahwa LPG ini 85 persen adalah impor, didatangkan dari luar negeri. Harga hari ini senilai 650 dolar per ton atau senilai Rp 9,6 juta seton, atau sekitar Rp 8.600 per kg. Bagaimana tidak uang APBN digunakan untuk subsidi LPG 3 kg senilai Rp 135 triliun tersebut jika dipake langsung untuk membeli LPG impor, maka itu setara dengan 9,15 juta ton LPG impor. Sementara kebutuhan LPG subsidi hanya 8 juta ton. Jadi kalau Saudi Arabia atau Amerika Serikat datang membawa LPG ke Indonesia dan ditebus dengan uang APBN senilai Rp 135 triliun maka seluruh rakyat bisa mendapatkan LPG gratis tanpa bayar. Bukan lagi subsidi tapi gratis. Jadi, siapa yang diongkosin oleh pemerintah dengan subsidi LPG sebesar Rp 135 triliun itu? Apakah para importir LPG, makelar LPG, apakah pengambil kebijakan di DPR dan pemerintahan? Ataukah agen LPG, ataukah pemerintah daerah yang berwenang menetapkan harga LPG? Pantas saja bisnis LPG jadi rebutan di tanah air beta. Nilai subsidi APBN Rp 135 triliun untuk LPG tersebut amatlah besar, tidak masuk di akal, kecuali pake kalkulator abal-abal, mungkin bisa masuk hitungannya. Tapi jaman sekarang dimana kita bisa dapat kalkulator abal- abal! Bayangkan saudara-saudara nilai subsidi Rp 135 triliun tersebut dibagikan kepada 27 juta penduduk miskin Indonesia, maka masing masing orang miskin akan mendapatkan 5 juta setahun atau 420 ribu sebulan atau 14 ribu sehari. Maka dengan uang itu tamatlah dan musnahlah riwayat kemiskinan di Indonesia. Kemiskinan di Indonesia langsung nol berdasarkan indikator BPS. Jadi subsidi LPG 3 kg ini ini siapa sebenarnya yang makan? (*)

Aneh, Bila Eko Tak Ditangkap

Nama Eko Kuntadhi dikenal publik sejak Pilpres 2019, sebagai pembela utama Presiden Jokowi. Ia sering disandingkan dengan buzzer Istana lainnya seperti Deny Siregar dan Abu Janda. Oleh: Nasmay L. Anas, Wartawan Senior DI tengah pemberitaan kasus Ferdy Sambo yang tak kunjung selesai juga, banyak orang berkomentar tentang BuzzerRp. Soalnya, aneh saja. Mereka semua terkesan tiarap. Tidak banyak yang bersuara di media sosial. Seperti biasanya. Tiba-tiba, Eko Kuntadhi – salah seorang yang di kalangan netizen dilabeli sebagai buzerRp – memecahkan keheningan di jagad maya. Dengan secara verbal melecehkan Ustadzah Imas Fatimatuz Zahra. Salah satu putri dari seorang kiai kharismatik pengasuh Pondok Pesantren Lirboyo, Kediri, Jawa Timur. Menggunakan kata-kata yang kasar dan tidak senonoh. Banyak yang tidak habis pikir. Apakah narasi yang dia cuitkan di akun twitternya itu pantas dikonsumsi publik? Banyak pula yang jengkel. Mengecam dan mendesak pihak kepolisian agar segera menangkapnya. Ning Imas – begitu ustadzah yang ahli tafsir Alquran itu akrab disapa – sedang membahas Tafsir Ibnu Katsir. Khususnya Surah Ali Imran ayat 14. Sebagaimana dilansir NU Online, Rabu (14/9/2022). “Jadi sebetulnya orientasi kenikmatan tertinggi bagi laki-laki adalah perempuan. Makanya hadiahnya di surga nanti adalah bidadari. Tapi kalau perempuan tidak. Perempuan di surga nanti, kenikmatan tertingginya bukan laki-laki. Makanya tidak ada bidadara. Tidak ada. Perhiasan. Perempuan itu menyukai perhiasan. Hal-hal yang indah. Karena dia sendiri perhiasan dan dia juga menyukai perhiasan...,” begitu paparan Ning Imaz dalam video tersebut. Penjelasan puteri dari Pondok Pesantren Lirboyo itu begitu indah. Jelas dan mencerahkan. Tapi, bila salam wala kalam, tiba-tiba Eko mencuitkan komentarnya yang kasar melalui akun twiternya, @_ekokuntadhi. Dia mengunggah video Ning Imas yang menjelaskan soal tafsir Surat Ali Imran ayat 14. Tapi tiba-tiba dia mengomentarinya dengan kata-kata: “Tolol tingkat kadal. Hidup kok cuma mimpi selangkangan.” Sebagai seorang ustadzah yang bijak, Ning Imaz santai saja menanggapi cuitan Ketua Relawan Ganjar Pranowo (Ganjarist) itu. Begitu juga dengan suaminya, Gus Rifqil Moeslim. Yang hanya menyerukan agar Eko datang untuk minta maaf. Tapi tidak begitu bagi kalangan Nahdhiyin. Mereka tentu tidak terima tokoh yang mereka hormati itu dilecehkan begitu rupa. Apalagi Ning Imaz adalah putri seorang ulama kharismatik yang mereka hormati dan kagumi. Ketua pimpinan wilayah GP Ansor DKI Jakarta, Muhammad Ainul Yakin Alhafidz, misalnya. Dengan lantang dia mengecam Eko Kuntadhi. Dia bahkan mendesak salah satu buzerRp itu minta maaf. Tidak hanya kepada Ning Imaz sekeluarga. Tapi kepada umat Islam seluruhnya. Sementara itu berbagai komentar dari kalangan umat Islam, khususnya warga Nahdhiyin, semakin ramai mengecam pegiat media sosial itu. Hemat kita, situasi yang kian meruncing itu tentu saja membuat Eko ketar-ketir. Karena menyangkut warga Nahdhiyin, bisa jadi dia berpikir, bukan tak mungkin kediamannya akan digeruduk Banser. Sehingga dia buru-buru menghapus cuitannya. Lalu berusaha datang langsung ke Pondok Pesantren Lirboyo. Secara diam-diam, tentu saja. Menyatakan permintaan maaf langsung kepada Ning Imaz dan suaminya, Gus Rifqil Moeslim. Disebabkan mencuatnya kasus itu, dia bahkan juga menyatakan mengundurkan diri sebagai ketua relawan Ganjarist. Sepatutnya Ditahan Selama satu setengah periode pemerintahan Jokowi, bukan sekali dua kali Eko Kuntadhi menghina dan melecehkan lambang dan nilai luhur ajaran Islam. Karena itu dia pun sudah berulang kali dilaporkan kepada pihak berwajib. Dia pernah berkasus dengan Ustadz Adi Hidayat dan Ustadz Abdul Somad. Bahkan pakar hukum tata negara Refly Harun termasuk orang yang pernah melaporkannya ke Bareskrim Polri, awal Juni lalu.   Meski demikian, dia seperti kebal hukum. Tidak ada satu pun laporan masyarakat yang ditindaklanjuti pihak berwajib. Karenanya kebanyakan orang kian yakin, bahwa semua itu adalah karena dia buzer pemerintah. Yang sengaja dibayar untuk memecah belah persatuan bangsa. Demi melemahkan perlawanan rakyat yang menentangnya. Bagaimakana pun, terkait urusannya dengan Ning Imaz, desakan agar dia segera ditangkap datang dari berbagai kalangan. Tokoh Nahdlatul Ulama yang juga salah satu Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI), KH Muhammad Cholil Nafis, Lc, MA, PhD menyatakan dirinya sangat tersinggung. Karena itu dia mendesak agar kasus ini tidak berhenti hanya di permintaan maaf. Tapi harus dilanjutkan ke proses hukum. Karena, menurut dia, yang dihina bukan hanya pribadi Ning Imaz. Tapi ajaran Islam, guru agama dan pondok pesantren. Muhammad Shofiyullah sebagai salah satu alumni Pondok Pesantren Lirboyo juga memberikan kecaman yang tidak kurang pedas. Dia menggambarkan Eko sebagai seorang yang pengecut. Soalnya, sewaktu mengunggah cuitannya, dia lakukan secara terbuka. Tapi ketika meminta maaf dia lakukan secara diam-diam. Melalui jalur pribadi atau japri. Menurut dia, bagi Ning Imaz maupun suaminya mungkin bisa dimaafkan. Tapi bagaimana dengan para muhibbin atau para santri yang sangat menghormati dan mencintai guru-guru mereka? Sedemikian jauh, belum ada respon yang memadai dari pihak kepolisian. Kecaman dan lontaran kemarahan datang bertubi-tubi. Desakan agar dia segera dipenjarakan juga ramai disuarakan publik. Apalagi perbuatan Eko ini merupakan tindak pidana yang bisa langsung diproses pihak kepolisian. Tidak butuh pelaporan dari pihak mana pun. Karena tindakannya itu dinilai telah melanggar Undang-Undang. Salah satunya Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE). Terutama Pasal 27 ayat 3. Tentang menyebarkan atau memposting tulisan yang bernada penghinaan. Dengan terus berlarutnya kasus ini dan tidak ada inisiatif dari pihak kepolisian, memperlihatkan praktek hukum yang tebang pilih. Secara terang-terangan. Masak’ wartawan senior Edy Mulyadi yang hanya menyebut kawasan Ibu Kota Negara (IKN) baru tempat jin buang anak saja langsung ditangkap. Sedangkan Eko yang jelas-jelas menghina martabat seorang ustadzah, sekaligus ajaran Islam dan pondok pesantren, sepertinya dibiarkan bebas tak tersentuh hukum. Sehingga aneh jadinya, bila Eko tak ditangkap. Karenanya ketegasan sikap polisi perlu dipertanyakan. Dengan alasan apakah Eko Kuntadhi tidak segera diproses secara hukum? Ketika kasus Ferdy Sambo mencuat ke ruang publik, para buzerRp disebut-sebut “tiarap” alias tidak berani bersuara. Karenanya, banyak yang beranggapan Sambo adalah bekingan kuat bagi para buzer. Tapi sekarang, setelah Ferdy Sambo dikenakan tindakan Pemberhentian Tidak Dengan Hormat (PTDH), bagaimana? Siapa lagikah yang menjadi beking para buzer seperti Eko, sehingga kasusnya tidak segera diproses secara hukum? Sebegitu kuatnyakah orang yang ada di belakangnya? Padahal orang-orang di lingkaran elit “Kaisar Sambo” saja sekarang banyak yang bertekuk lutut di bawah palu hukum. Dinyatakan bersalah dalam sidang kode etik profesi, di-PTDH dan dipidanakan. Nama Eko Kuntadhi dikenal publik sejak Pilpres 2019, sebagai pembela utama Presiden Jokowi. Ia sering disandingkan dengan buzzer Istana lainnya seperti Deny Siregar dan Abu Janda. Kedua orang ini pun pernah berkali-kali dilaporkan masyarakat ke pihak kepolisian. Tapi laporan-laporan itu juga begitu saja menguap ditelan waktu. Orang-orang ini telah memecah belah persatuan dan kesatuan bangsa begitu rupa. Menghina dan melecehkan ulama, bahkan juga ajaran agama. Tapi palu hukum tampaknya terlalu kecil untuk bisa membuat mereka jera. (*)

Mulailah dari Land Cruiser Hitam

Oleh M. Rizal Fadillah - Pemerhati Politik dan Kebangsaan  DORONGAN untuk membuka kembali kasus Km 50 semakin menguat pasca terbongkarnya kasus pembunuhan sadis Brigadir Yoshua oleh sebuah konspirasi yang dipimpin mantan Kadiv Propam Irjen Ferdy Sambo. Sambo sendiri kini telah dipecat dengan tidak hormat oleh Putusan Banding Komisi Kode Etik Polri dipimpin Irwasum Komjen Agung Budi Maryoto.  Dicurigai ada mobil Land Cruiser hitam di rumah kediaman Ferdy Sambo.  Keberadaan mobil Land Cruiser hitam dalam kasus pembantaian Km 50 ini menjadi penting mengingat sebagaimana keterangan dari pihak-pihak yang menyaksikan di TKP bahwa mobil itu adalah \"komando\" dari operasi yang berujung tewasnya enam anggota laskar FPI. Komnas HAM, meski diragukan kejujuran dan keterbukaannya, telah menyatakan dalam substansi fakta temuan bahwa mobil Land Cruiser itu adalah mobil petugas.  \"Bahwa benar kendaraan jenis Avanza silver K 9143 EL, Xenia 1519 UTI dan B1542 PPI serta Land Cruiser diakui sebagai petugas polisi yang pada tanggal kejadian sedang melakukan pembuntutan terhadap MRS\". Temuan TP3 berdasarkan saksi-saksi menyatakan \"lalu datang mobil sejenis Land Cruiser warna hitam yang terlihat bertindak sebagai pemberi komando terhadap rombongan para pria berpakaian preman yang sudah menunggu cukup lama kehadiran \'sang komandan\' tersebut\". Komnas HAM menyebut pengemudi Land Cruiser adalah AKP Widy Irawan.  Temuan TP3 itu juga menjelaskan bahwa \"Setelah perintah dari \'sang komandan\' dijalankan yaitu memasukkan para pengawal yang kemudian menjadi jenazah ke mobil milik mereka dan mobil korban dipastikan diurus untuk dibawa ke suatu tempat, maka sebelum meninggalkan lokasi Km 50, para pria tersebut membuat selebrasi berupa formasi lingkaran dengan tangan masing-masing di bahu rekan mereka dan meneriakkan tanda sukses kemenangan\". Komnas HAM diduga banyak mengetahui mobil \"komandan\" Land Cruiser hitam namun menyembunyikan banyak fakta. Nama AKP Widy Irawan dan Ipda Rusbana Komnas HAM saja tahu. Benarkah Nopol mobil tidak teridentifikasi dan dalam CCTV mobil Land Cruiser tersebut tidak terekam ? Komnas HAM diduga kuat melakukan \"obstruction of justice\". Mulailah penyelidikan dari Land Cruiser hitam milik Polisi. Adakah itu mobil yang dalam CCTV di garasi rumah Ferdy Sambo ? Foto Bripka Matius Marey di samping mobil Land Cruiser hitam viral di medsos. Matius Marey si lengan bertatto ini yang diduga ikut membuntuti rombongan keluarga HRS. Memepet mobil menantu HRS, membuka jendela, lalu tangan yang penuh tatto itu mengacungkan jari tengahnya. Komnas HAM di samping memiliki CCTV juga telah menggali keterangan dari banyak saksi termasuk hal ihwal mobil Land Cruiser hitam. Ayo, dalami kembali saksi-saksi dan CCTV tersebut. Akurkan dengan mobil yang berada di rumah Ferdy Sambo. Bukankah untuk kasus Km 50 Ferdy Sambo telah mengerahkan 30 anggota Propam ? Brigjen Hendra Kurniawan Karo Paminal Propam bahkan turut hadir bersama Kapolda Metro Fadil Imran dan Pangdam Jaya Dudung Abdurahman dalam Konperensi Pers yang berkonten kebohongan dan rekayasa.  Aspek spiritualnya keluarga korban 6 anggota Laskar FPI sebaiknya mengajak mubahalah Ketua Komnas HAM Ahmad Taufik Damanik atau sekurangnya Tim yang bekerja di bawah pimpinan Mohammad Choirul Anam atas kemungkinan penyembunyian fakta yang dilakukan. Biarlah publik mengetahui apakah Komnas HAM mengakhiri tugasnya dengan baik (husnul khotimah) atau buruk (su\'ul khotimah).  Mobil Land Cruiser hitam itu berhubungan erat dengan \"sang komandan\" perbuatan keji  dari squad jahat aparat yang melakukan pembantaian. Pesta kejahatan kemanusiaan (crime against humanity) diinstruksikan dari mobil Land Cruiser hitam ini. Membagi dua tim, pertama membawa 2 korban dan tim kedua membawa 4 korban. Keenam korban masih dalam keadaan hidup saat di Km 50.  Setelah menginstruksikan dan berselebrasi kemenangan maka mobil Land Cruiser hitam kembali ke kandangnya.  Kandang hewan buas pemangsa daging manusia.  (*)

Ingin Tetap Sebagai Irjenpol, Ferdy Sambo Pakai Nalar Apa?

Oleh Asyari Usman - Jurnalis Senior FNN  DALAM sidang Komisi Kode Etik Polri (KKEP) hari Senin, 19/9/2022, majelis hakim komisi menolak memori banding Ferdy Sambo. Komisi menguatkan hukuman Pemberhentian Tidak Dengan Hormat (PTDH) dari Polri atas tindakan yang dilakukannya terkait dugaan pembunuhan berencana terhadap Brigadir Yoshua (Birgadir J). Mengapa Sambo minta banding? Seratus persen jawabannya karena dia tetap ingin menjadi Irjenpol. Enjoy besar, duit besar. Syukur-syukur bisa naik menjadi Kapolri. Maunya Sambo, meskipun dia tersangka pembunuh anak buahnya tapi status dan pangkatnya tidak hilang. Dalam hayalannya, dia akan kembali menjadi petinggi Polri setelah menjalani hukuman yang berkemungkinan untuk direkayasa menjadi ringan. Satu-dua tahun, misalnya. Setelah itu, Irjen Sambo aktif kembali dan lebih kuat. Lebih ganas. Entah nalar apa yang digunakan Sambo. Orang sejagad raya ini ingin agar dia segera masuk penjara seumur hidup tanpa remisi. Atau bahkan dibawa ke lapangan eksekusi mati. Ternyata, Sambo berpikiran lain. Dia, tampaknya, yakin bisa lepas dari kasus pembunuhan ini. Tetapi, Sambo lupa bahwa Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo tidak punya pilihan lain. Dia harus memecat mantan Kadiv Propam itu karena seperti itulah tuntutan publik. Kapolri tak mungkin membiarkan Sambo tetap menyandang pangkat Irjen sementara dia berperan sentral dalam pembunuhan Yoshua. Kapolri mengikuti nalar yang sehat dan normatif. Seharusnya, Sambo tidak mengajukan banding atas keputusan pertama majelis hakim sidang KKEP yang mengganjar dia dengan PTDH. Memang dia berhak mengajukan banding. Namun, ada akal sehat yang seharusnya menjadi konsultan Sambo sebelum meminta banding. Karena itu, rasa heran publik terhadap pemintaan banding Sambo hanya bisa dijawab dengan dugaan bahwa polisi bintang dua ini percaya jaringan mafia yang dibangunnya di Polri sudah sangat masif dan kuat. Dia yakin jaringan ini akan menolong. Sambo mungkin menyangka para petinggi Polri akan merasakan tekanan berat untuk mengabulkan memori bandingnya. Inilah nalar yang digunakan Sambo. Nalar premanisme.[]

Benteng Itu Akan Bobol Juga

Oleh M. Rizal Fadillah - Pemerhati Politik dan Kebangsaan Aksi-aksi rakyat Indonesia untuk mendesak turunnya harga BBM maupun isu sampingannya semakin marak saja. Sementara Pemerintah sepertinya tidak peduli, tidak ada tanda-tanda untuk mempertimbangkan penurunan kembali harga BBM bersubsidi. Terkesan menantang sampai berapa lama mahasiswa, buruh, serta elemen lainnya kuat untuk melakukan unjuk rasa.  Semestinya Pemerintahan Jokowi mulai sadar bahwa tingkat kepercayaan rakyat saat ini terus menurun. Keterlibatan mahasiswa, buruh, umat Islam, purnawirawan dan elemen lainnya dalam aksi adalah sinyal. Begitu pula dengan sikap ulama dan guru besar dari berbagai Perguruan Tinggi yang telah menyatakan prihatin atas kondisi negeri.  Hampir setiap hari ada aksi demonstrasi yang silih berganti. Baik di ibukota maupun berbagai daerah. Lokasi utama di Jakarta adalah Patung Kuda sebagai area yang terdekat dengan Istana Presiden.  Presiden merupakan figur penentu dari pengambilan kebijakan politik yang sepantasnya  menjadi sasaran tekanan publik.  Aksi yang dilakukan bergelombang membangun kepercayaan diri bahwa tujuan aksi dalam waktu dekat akan tercapai. Ketika aksi mahasiswa, buruh, umat, purnawirawan, guru atau guru besar bersatu padu menggebrak, maka benteng itu segera bobol. Presiden yang awalnya menghadapi dengan arogan esok akan terkejut, melemah dan akhirnya jatuh tersungkur,  Ada pelajaran dari pengepungan dan penjebolan benteng Konstantinopel oleh pasukan Turki Osmani dipimpin Sultan Mehmet II pada tahun 1453 M.  Romawi yang digjaya dan arogan akhirnya hancur berantakan.  Selama 6 minggu pasukan Islam pimpinan Sultan Mehmet II atau Al Fatih, pemuda berusia 21 tahun, terus menggempur benteng pertahanan Byzantium atau Romawi Timur dan tepat pada tanggal 29 Mei 1453 M benteng terkuat di masanya itu bobol. Kekaisaran Romawi Timur takluk kepada Kesultanan Islam. Memang tidak mudah untuk membobol benteng Konstantinopel. Selama 8 abad sejak masa Kekhalifahan Bani Umayyah, Abbasiyah hingga Kesultanan Utsmaniyah silih berganti pasukan datang untuk membobol benteng kuat dengan pertahanan hebat Kekaisaran Romawi. Selalu gagal. Tercatat Shahabat Nabi yaitu Ayyub Al Anshori gugur dalam salah satu penyerangan. Makamnya kini berada di Distrik Ayyubiyah kota Istambul.  Sultan Mehmet II yang didampingi oleh penasehat Syekh Aaq Syamsuddin, Halil Pasha dan Zaghanos Pasha setelah lebih dari satu bulan mengepung dan secara terus menerus menggempur, akhirnya berhasil membobol benteng Konstantinopel. Kesabaran, kegigihan dan keuletan telah membuahkan kemenangan. Tentu dengan pertolongan Allah SWT. Kaisar Constantinus Palaiologos atau Konstantin XI pun jatuh tersungkur dan tewas.  Jokowi tentu bukan Konstantin tetapi penguasa arogan dan tidak peduli rakyat dimanapun selalu mencoba untuk membuat benteng pertahanan. Akan tetapi aksi yang masif, bergelombang dan gigih selalu membuahkan hasil. Benteng itu akhirnya bobol.  Benteng kebodohan, kebohongan, kezaliman serta ketidakpedulian yang segera dihancurkan. (*)

KPK di Mata Saya

Oleh : Natalius Pigai | Komisioner Komnas HAM 2012-2017 DALAM pidato kemenangan Presiden Jokowi di Sentul 14 Juli 2019 belum menyinggung pemberantasan korupi. Isi Pidato Kemenangan Presiden yang minus soal korupsi dan demokrasi tersebut sontak ditanggapi negatif oleh kami aktivis anti korupsi, demokrasi dan HAM. Namun demikian membangun pemerintah yang bersih dan berwibawa tentu merupakan kebijakan yang permanen. Mengapa? Karena tindakan korupsi adalah suatu perbuatan yang tidak disukai oleh umat manusia di dunia (hostis humanis generis), maka sesungguhnya orang yang melakukan perbuatan korupsi selain patut dijerat dengan delik yang pantas, juga wajar dilabeli hukuman sosial (social punishment). Indonesia terbelenggu dalam lingkaran korupsi yang semakin lama membudaya, itulah satu satu problem terbesar bangsa ini. Sejak 2002, KPK telah bekerja keras mengeliminasi tindakan korupsi yang dilakukan dengan pengawasan, pencegahan, dan juga penegakan hukum secara tegas. Namun demikian harus disadari bahwa korupsi telah lama dilakukan secara terencana, terstruktur, dan masif karena tata laksana dan tata praja pemerintah telah memberi ruang bagi para pelaksana pemerintah untuk korupsi. Tindakan korupsi tidak hanya cermin dari rendahnya mental dan moral individu, tetapi juga sebuah patologi sosial yang menyebabkan kerusakan nilai-nilai elementer seperti nilai kejujuran dan integritas. Saya mengapresiasi berbagai usaha KPK untuk membendung kemiskinan, pengangguran, kebodohan, ketertinggalan dan memperlambat kemajuan bangsa dan negara akibat kebocoran anggaran Negara. Pada masa yang akan datang, membangun kesadaran untuk hidup bersih dan membangun pemerintah yang berwibawa tidak boleh hanya menjadi beban penegak hukum, tetapi mesti menjadi perhatian semua komponen bangsa. Kemitraan startegis KPK dan instansi pemerintah serta elemen masyarakat sipil (civil society) untuk membangun kesadaran tentang bahaya korupsi menjadi urgent. Selain KPK membangun mitra startegis dengan institusi penegak hukum dalam upaya pemberantasan tindak pidana korupsi. Untuk memperbaiki lembaga pemberantasan korupsi seperti KPK tidaklah muda, tentu membutuhkan strategi dan taktik baru secara lebih maju. Sudah waktunya KPK menemukan hambatan, melakukan perbaikan dan memantapkan kebijakan yang lebih progresif dan komprehensif. Sehubungan dengan hal tersebut di atas, pada masa yang akan datang KPK perlu memantapkan 4 aspek perioritas dan 1 aspek strategis terpenting, yaitu: 1. Manusia (Moral Hazard) a). KPK mesti membangun kesadaran secara terencana, sistematis, dan masif kepada aktor pemerintah baik Aparat Sipil Negara (ASN) vertikal maupun horizontal dan rakyat Indonesia. KPK mesti memberi pesan kepada semua komponen bangsa bahwa Korupsi tindakan kejahatan yang tidak disukai oleh umat manusia di dunia (hostis humanis generis) karena dampaknya sama dan sebanding lurus dengan tindakan narkotika dan kejahatan terhadap kemanusiaan sehingga orang merasa takut untuk berbuat korupsi. b). Memperkuat kapasitas; pengetahuan (knowledge), ketrampilan (skills) dan mental dan moral (attitute) bagi pegawai penegak hukum yang terkait dengan korupsi. Salah satu aspek yang terpenting adalah mentalitas penegak hukum terkait penanganan kasus secara professional, objektif, berimbang dan berkeadilan. 2. Regulasi dan tata kelola Mencari, menemukan, dan menutup pintu-pintu atau kran-kran korupsi baik dari segi regulasi, pelaksanaan teknis dan operasional, serta nomenklatur dan tata kelola baik pemerintah (state) dan swasta (non-state) yang memberi ruang korupsi selama ini. Korupsi tidak hanya semata-mata dilakukan hanya karena mental dan perilaku individu, tetapi juga berbagai regulasi yang dibuat oleh pemerintah memberi kemudahan. Upaya mencegah korupsi mesti dimulai dengan memotret berbagai peraturan perundangan baik UU, PP, hingga keputusan-keputusan pimpinan instansi pemerintah baik vertikal maupun horizontal. Dalam konteks ini di dalam buku berjudul Negara Gagal (Falls of Nations) yang ditulis oleh Daren Acemoglu secara tegas mengatakan bahwa: Suatu negara gagal bukan karena adanya perbedaan infrastruktur, tetapi karena sekelompok elite oligarki ekonomi dan politik menguasai sebagain besar kekayaan, dan keputusan politik dan hukum hanya dibuat untuk memperkuat pemupukan kekayaan bagi sekelompok oligarki tersebut”. Persolaan yang serius dalam konteks ini adalah bahwa berbagai regulasi yang dibuat pada masa orde baru sebagain besar dibuat atau dirancang untuk memperkuat punggawa politik dan ekonomi tetapi ketika reformasi pemerintah kurang melakukan amandemen atau perubahan peraturan perundangan tersebut. Dalam rangka pencegahan, KPK mendorong pemerintah secara serius agar melakukan amandemen atau perubahan berbagai perundang-undangan tersebut. 3. Penegakan hukum progresif Menegakkan hukum secara profesional, objektif, imparsial, jujur dan adil melalui peradilan pidana (criminal justice system) termasuk memasukan pejabat negara yang memperdagangkan pengaruh atau dagang pengaruh (trading in influences) sebagai tindakan korupsi yang harus dikenahkan sebagai delik kejahatan pidana. Gagasan munculkan dagang pengaruh sebagai penegakan hukum di bidang korupsi yang lebih progresif. Dagang pengaruh atau tindakan memperdagangkan pengaruh demi keuntungan pribadi, rekan bisnis atau golongan merupakan perilaku koruptif yang menyimpang dari etika dan moralitas. Perdagangan pengaruh yang dilakukan oleh sang pemangku jabatan, sanak saudara atau kerabat dekatnya adalah para aktor (actor of crimes) yang kita jumpai dalam negara-nagera dunia ketiga yang pemerintahannya cenderung otoriter, koruptif, dan miskin. Kejahatan dagang jabatan sebagai sebuah tindakan perbuatan korupsi yang secara nyata tumbuh dan berkembang di Indonesia, kita lihat saja banyak pejabat negara baik di eksekutif, legislatif dan judikatif seperti Setya Novanto, Taufik Kurniawan, Irman Gusman bahkan hari ini Nama Azis Syamsudin disebut-sebut terlibat memperdagangkan pengaruh Dana Desentralisasi. Namun  sampai saat ini pemerintah belum menerapkan jenis delik trading in influence di dalam Undang-undang tindak pidana korupsi, padahal Undang-Undang Tipikor diadakan sejak tahun 1999 dan revisi terbatas di tahun 2001, seharusnya ketika Indonesia ratifikasi UNCAC tahun 2003 atau selanjutnya harusnya pemerintah melakukan penyesuaian melalui revisi terbatas UU Tipikor, termasuk memasukkan dagang pengaruh sebagai delik kejahatan dengan ruang lingkup yang jelas. 4. Penguataan kapasitas kelembagan KPK secara komprehensif. Pada masa yang akan datang KPK perlu membangun kapasitas kelembagaan secara modern, membangun sistem manajemen secara rasional dan mampu menjawab berbagai kebutuhan dan tuntutan adanya kesadaran rakyat dan birokrasi yang bersih serta pemberantasan korupsi secara masif. Ada 5 pilar penting yang harus dikebangkan oleh KPK dalam rangka membangun kapasitas kelembagaan KPK, yaitu: a. Menyusun nomenklatur struktur organisasi dan kelembagaan KPK yang mampu menampung atau mewadahi kebutuhan dua substansi utama sebagai tujuan lahirnya KPK, yakni pencegahaan dan pemberantasan serta sistem pendukung (supporting system). b. Membangun sistem kerja secara jelas dan profesional. Sistem kerja yang dimaksud mengatur tata laksana (Pimpinan, Deputi, Penyidik, dan Sekretariatan) dan tata praja baik komisioner, sekteraris dan staf, pejabat struktural pelaksana substansi dan pejabat fungsional. c. Meningkatkan sarana dan prasarana yang memadai dan modern. d. Meningkatkan kualitas sumber daya manusia baik pendudukan (knowledge), keterampilan (skils) dan juga mental dan moral (attitude). e. Peningkatan anggaran KPK secara signifikan. Pentingnya penguatan kapasitas kelembagaan KPK agar tidak muda diterpa berbagai persoalan akibat kelemahan pengendalian manajemen telah menjadi fakta bahwa KPK ibarat momok yang menakutkan bagi para penguasa, pengusaha dan koruptor. Karena itu lembaga ini rentan dipenetrasi oleh berbagai komponen eksternal baik pemerintah, legislatif, aparat penegak hukum, birokrat, pengusaha, maupun juga orang-orang yang bermasalah hukum. 5. Kedepankan Bangun Budaya Anti Korupsi. Penegakan hukum sebagai Ultimum Remedium. Membangunan budaya anti korupsi yang dapat menghapus praktek-praktek korupsi di Indonesia. menyebarkan, memajukan, dan melembagakan prinsip-prinsip budaya anti korupsi. Budaya Anti Korupsi harus dihidupi oleh seluruh masyarakat Indonesia pada seluruh bidang kehidupan, di dalam keluarga, masyarakat maupun pemerintahan. Korupsi merupakan variabel Patologi Sosial atau penyakit sosial maka kesadaran budaya anti korupsi merupakan daya tahan terpenting. KPK mesti membangun nilai-nilai yang tumbuh dan berkembang di masyarakat agar korupsi yang membudaya tidak menjadi penyakit sosial di rakyat. Membangun kesadaran itu tidak mesti dengan menangkap, menahan dan memenjarahkan orang karena bukan tidak mungkin akan digunakan oleh orang orang yang berkuasa ataupun pihak-pihak yang berkepentingan seperti yang dialami oleh beberapa orang termasuk Brigita Manohara seorang pekerja media (Wartawati) yang saban hari banting tulang, bekerja tanpa lelah, tanpa digaji oleh negara tepati tercoreng namanya. Demikian beberapa daerah yang menganut pemimpin jadi tumpuhan harapan kehidupan rakyat bisa mengedepankan penegakan hukum sebagai jalan akhir (ultimum remedium). Saya mengusulkan agar pada periode yanga datang, KPK perlu melakukan menguatan (revitalisasi yang dititikberatkan pada 5 aspek yaitu sasaran kebijakan yang diarahkan pada sumber daya manusia baik penegak hukum, ASN dan membangun kesadaran atau gema budaya antikorupsi, pembenaan penguatan regulasi dan tata kelolanya tidak beri ruang korupsi, membangun budaya anti Korupsimendorong adannya tindakan dagang pengaruh dalam delik hukum, serta penguatan kapasitas kelembagaan KPK.

Menagih Janji PRESISI dalam Etika Penegakan Hukum: Kapolri Bukan "The Knight of Lip Service"

Kemana kebijakan, sopan santun, presisi pada saat seorang ulama ditangkap, ditahan dan kemudian dijadikan tahanan yang patut diduga dilakukan secara diskriminatif, tanpa adanya kepatuhan terhadap hukum acara dan Putusan MK serta penggunaan pasal yang menjerat dan berlapis-lapis? Oleh: Pierre Suteki, Dosen Universitas Online (Uniol) 4.0 Diponorogo PENYIDIKAN kasus dugaan Pembunuhan Berencana Brigadir Joshua yang didalangi oleh Ferdy Sambo hingga sekarang (memasuki bulan ketiga) belum juga selesai. Terungkap juga dalam proses penyidikan terdapat tindakan yang dilakukan oleh polisi sendiri ternyata menyimpang dari aspek hukum dan etik. Mulai dari rekayasa kasus, laporan palsu, obstruction of justice hingga terjadi tindakan pembunuhan terhadap korban, sehingga puluhan polisi juga terbukti melanggar kode etik kepolisian. Lalu di mana etika penegakan hukum yang selama ini diyakini dapat menuntun polisi menjalankan tugasnya? Dalam menjalankan tugasnya, polisi juga dituntut untuk mematuhi Etika Penegakan Hukum yang Berkeadilan sebagaimana diatur dalam Tap MPR No. VI Tahun 2001 tentang Etika Kehidupan Berbangsa. Etika tersebut dimaksudkan untuk menumbuhkan kesadaran bahwa tertib sosial, ketenangan dan keteraturan hidup bersama hanya dapat diwujudkan dengan ketaatan terhadap hukum dan seluruh peraturan yang berpihak pada keadilan. Keseluruhan aturan hukum yang menjamin tegaknya supremasi hukum dan kepastian hukum sejalan dengan upaya pemenuhan rasa keadilan yang hidup dan berkembang di dalam masyarakat. Etika ini meniscayakan penegakan hukum secara adil, perlakuan yang sama dan tidak diskriminatif terhadap setiap warga negara di hadapan hukum, dan menghindarkan penggunaan hukum secara salah sebagai alat kekuasaan dan bentuk-bentuk manipulasi hukum lainnya. Dalam hal ini kita tetap melibatkan aspek politik dan pemerintahan dalam menganalisis pekerjaan polisi dalam penegakan hukum karena kedudukan polisi itu ganda. Di satu sisi polisi itu sebagai bagian pelaksana public policy di bawah Presiden, tetapi di sisi lain polisi itu berada di garda terdepan dalam criminal justice system. Polisi pun seharusnya juga merdeka, bebas dari pengaruh dan tekanan dari pengaruh dari kekuasaan eksekutif, legislatif dan yudikatif, maka disebut Kepolisian Negara bukan Kepolisian Pemerintah. Pemahaman ini menjadi penting mengingat penegakan hukum oleh polisi itu bisa terjebak hanya melayani kepentingan sebuah rezim pemerintahan dengan mengabaikan amanat penderitaan rakyat atau kepentingan rakyat yang lebih besar. Atas prinsip-prinsip etika kehidupan politik dan pemerintahan serta etika penegakan hukum yang berkeadilan itu seharusnya mampu membimbing polisi menjauh dari kepentingannya sebagai Alat Kekuasaan melainkan sebagai aparatur negara yang konsen pada penegakan hukum yang berkeadilan. Ketika polisi terjebak pada kepentingan sebagai alat kekuasaan maka polisi akan mudah sekali sebagai alat mengeksekusi “kejahatan” pemerintahan negara dan terjadilah apa yang dikhawatirkan banyak pihak, yakni negara polisi (Police State). Untuk menghindari police state dan konsen pada pemihakan terhadap penderitaan rakyat, polisi negara RI harus kembali kepada fungsi pokoknya yaitu: (1) Memelihara keamanan dan keteriban masyarakat; (2) Melindungi, melayani dan mengayomi masyarakat; (3) Menegakkan hukum yang tetap dibingkai oleh etika kehidupan berbangsa sebagaimana yang telah disebutkan yaitu: (1) Meniscayakan penegakan hukum secara adil; (2) Perlakuan yang sama dan tidak diskriminatif terhadap setiap warga negara di hadapan hukum; (3) dan menghindarkan penggunaan hukum secara salah sebagai alat kekuasaan dan bentuk-bentuk manipulasi hukum lainnya. Meskipun Polri telah mempunyai tugas menegakkan hukum, polisi tidak boleh menjadikan kewenangan dan aturan hukum sebagai Alat Gebuk terhadap rakyat yang sedang menjalankan hak konstitusional di tengah penderitaan bersama dalam pandemi Corona di negeri ini. Maka dalam hal ini penegakan hukum pun harus dilakukan secara progresif, yakni penegakan hukum yang memperhatikan konteks, pelaku, dan segala faktor yang meliputinya tanpa melakukan pemihakan apalagi turut serta berkompetisi. Saat mengikuti uji kepatutan dan kelayakan di Komisi III DPR, pada hari Rabu, tanggal 20 Januari 2021 calon tunggal Kapolri Komjen Listyo Sigit Prabowo menyampaikan delapan komitmennya bila dilantik memimpin institusi Polri. Delapan komitmen itu terdiri dari: (1) Menjadikan Polri sebagai institusi yang Prediktif, Responsibilitas dan Transparansi Berkeadilan atau PRESISI; (2) Menjamin keamanan untuk mendukung program pembangunan nasional; (3) Menjaga soliditas internal; (4) Meningkatkan sinergisitas dan soliditas TNI-Polri, serta bekerja sama dengan APH dan kementerian/lembaga lain untuk mendukung dan mengawal program pemerintah; (5) Mendukung terciptanya ekosistem inovasi dan kreativitas yang mendorong kemajuan ekonomi Indonesia; (6) Menampilkan kepemimpinan yang melayani dan menjadi teladan; (7) Mengedepankan pencegahan permasalahan, pelaksanaan keadilan restorative justice dan problem solving; (8) Setia kepada NKRI dan senantiasa merawat kebhinekaan. Mungkinkah Kapolri Listyo Sigit Prabowo telah bersungguh-sungguh berusaha merealisikan kedelapan komitmennya dalam menjalankan tugas pokok Polri, sementara ada fakta selama ini yang dikenal dalam penegakan hukum kita adalah Industri Hukum? Industri hukum menjadikan pemerintah sebagai Extractive Institution sebagai lambang Negara Kekuasaan bukan Negara Hukum. Dan, hal itu sekaligus menunjukkan bahwa cara berhukum kita (Rule of Law) masih berada di tahap paling tipis (the thinnest rule of law) di mana rezim penguasa hanya menggunakan perangkat hukumnya sebagai sarana untuk Legitimasi Kekuasaan sehingga kekuasaannya bersifat represif yang akan membuat wajah penegakan hukum itu menjadi bopeng. Presiden Jokowi dalam sambutannya pada acara peringatan HUT Polri tanggal 1 Juli 2021 di Jakarta menegaskan bahwa Indonesia berdasar Pancasila, yang berarti etika penegakan hukum menuntut pelaksanaan tugas dan fungsi Polri dengan karakter, bijak, ramah, presisi dan ada sopan-santun dan bertanggung jawab. Pada intinya dalam menjalankan tugas dan fungsinya harus memperhatikan budaya tata krama serta kesopansantunan. Untuk persoalan ini, mungkin kita perlu mempertanyakan, benarkan etika penegakan hukum sudah dijalankan oleh Polri? Sopan santun, ramah, bijak dalam hal mana, untuk kepentingan yang siapa? Apakah ini juga bukan juga lip service? Beda niat, beda tindakan, beda lisan beda tangan? Sebagian rakyat memandang bahwa karakter etika penegakan dalam tugas dan fungsi Polri masih sebatas lip service. Misalnya, kasus unlawfull killing atau extrajudicial killing atas 6 anggota laskar FPI? Saat penembakan aksi-aksi mahasiswa, buruh dan represi terhadap masyarakat sipil lainnya lainnya, seperti KAMI. Atau kasus-lama saat penangkapan aksi-aksi Bela Islam 212? Kemana kebijakan, sopan santun, presisi pada saat seorang ulama ditangkap, ditahan dan kemudian dijadikan tahanan yang patut diduga dilakukan secara diskriminatif, tanpa adanya kepatuhan terhadap hukum acara dan Putusan MK serta penggunaan pasal yang menjerat dan berlapis-lapis? Bagaimana dengan kasus dugaan Pembunuhan Berencana atas Brigadir Joshua yang didalangi oleh Ferdy Sambo? Apakah tindakan polisi terhadap kalangan sendiri sama dengan perlakuan terhadap orang-orang yang nota bene berada di luar komunitas mereka dan bahkan dinilai berseberangan dengan pemerintah? Adakah diskriminasi, rekayasa, kebohongan, pemalsuan dan lain sebagainya? Akhirnya, perlu saya sampaikan, kendati Polri belum mampu memenuhi harapan masyarakat, saya berharap Polri tidak terjebak pada dipencitraan agar janji-janji, komitmen-komitmen Kapolri yang telah dijangkarkan bukan Lip Service belaka dan jauh dari julukan Kapolri sebagai: “The Knight of Lip Service”. Pak Kapolri, komitmen dan keseriusan Anda untuk mewujudkan janji-janji itu ditunggu. Janji adalah hutang, bukan? Cukup satu bukti dulu saja, tuntaskan kasus pembunuhan berencana Brigadir Joshua yang didalangi Ferdy Sambo secara cepat, transparan, tidak penuh kebohongan, rekayasa dan intrik politik serta harus berkeadilan. Tabik...!!! Semarang, Senin: 19 September 2022. (*)