OPINI
Rekonstruksi Tata Negara untuk Kedaulatan Rakyat
Jika berkhianat, maka Polri adalah malapetaka negara di mana ada segelintir elite yang untouchables, sementara wong cilik gampang diciduk lalu dirampas kebebasannya. Oleh: Daniel Mohammad Rosyid, Guru Besar ITS Surabaya, @Rosyid College of Arts SEJAK amandemen atas UUD 1945 dilakukan secara serampangan oleh MPR RI periode 1999-2002 menjadi UUD 2002, telah terjadi kudeta konstitusi di mana kedaulatan rakyat secara terang-terangan dirampas oleh partai politik. Tata negara dirusak oleh partai politik. Partai politik bukanlah lembaga negara yang diatur oleh UUD45, namun oleh UUD 2002 diberi kewenangan yang melampaui warga negara sebagai satuan kenegaraan terkecil. Pemilihan Umum telah dijadikan instrumen partai politik untuk merampas hak politik warga negara, termasuk dengan memonopoli pencalonan presiden dan wakil presiden. Hak politik warga negara bermula dan segera berakhir di bilik-bilik suara TPS Pemilu. Demikianlah kedaulatan rakyat dibajak partai politik melalui Pemilu. Dan, pembajakan itu dibiayai oleh uang rakyat dengan biaya yang makin besar! Dalam UUD 2002 itu Mahkamah Konstitusi (MK) menggusur MPR sebagai the guardian of the constitution. Presiden yang semula sebagai mandataris MPR direposisi sebagai petugas partai atau sekelompok partai, tapi pemakzulannya masih tergantung oleh MK. Faktanya bahwa hampir semua gugatan warga negara atas UU yang mengatur presidential threshold 20% selalu ditolak oleh MK atas alasan, penggugat tidak memiliki legal standing. Hanya gugatan oleh Partai Politik yang dikabulkan oleh MK untuk dilanjutkan pada substansi gugatan. Alasan MK bahwa warga negara tidak memiliki legal standing adalah alasan yang ethically and constitutionally illegal karena mengabaikan kedudukan dan hak dasar politik warga negara yang sama di depan hukum. Kemudian, setiap ekspresi politik warga negara yang dijamin konstitusi ditafsirkan secara sepihak agar mudah ditumpas oleh aparat hukum yang memonopoli keamanan dan ketertiban. Secara tidak langsung MK melakukan diskriminasi hukum dengan meletakkan partai politik lebih tinggi kedudukan hukumnya daripada warga negara. Di samping itu, warga negara juga dirugikan akibat aturan presidential threshold itu, tidak cuma partai politik gurem saja, justru karena partai politik seringkali membajak suara warga negara. Bahkan harus dikatakan bahwa pengajuan pasangan capres dan cawapres hanya oleh partai politik atau gabungan partai politik adalah monopoli radikal partai politik dalam perpolitikan nasional. Saat PKS mengajukan agar presidential threshold itu turun hanya 7-10% saja, bukan 0%, adalah bukti terbaru bahwa PKS ikut menikmati monopoli partai politik dalam perpolitikan nasional. Seperti adagium bahwa setiap monopoli adalah buruk, maka monopoli radikal partai politik melalui Pemilu, baik pilleg ataupun pilpres, selalu berakhir dengan kepiluan massal warga negara. Pemberhalaan demokrasi liberal melalui pemilihan umum secara langsung telah menggusur kerakyatan yang dipimpin oleh hikmah kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan. Biaya politik untuk rekrutmen pejabat publik makin mahal namun tidak efektif merekrut pemimpin yang amanah. Kini kepemimpinan itu mewujud dalam oligarki politik dan ekonomi yang membuka bagi malpraktek administrasi publik yang luas di mana regulasi dirancang, ditafsirkan, dan ditegakkan bukan untuk kepentingan publik sebagai warga negara, tapi untuk kepentingan segelintir elit partai politik dan taipan. Maladministrasi publik yang paling mutakhir yaitu penatakelolaan keamanan dan ketertiban yang dimonopoli secara radikal oleh POLRI di mana Kapolri diposisikan setara menteri negara langsung di bawah Presiden. RUU KUHP di tangan Polri yang salah-posisi saat ini hampir pasti akan mengantarkan Republik ini menjadi police state, bukan negara hukum. Kematian Brigadir Josua di rumah seorang petinggi Polri baru-baru ini adalah skandal kepolisian terbesar di Republik ini. Skandal ini menunjukkan bahwa kekeliruan posisi Polri telah mendorong pembusukan Polri secara sangat serius. Agenda Reformasi untuk pemberantasan korupsi dibegal oleh omong kosong malpraktek democratic policing. Bukti pertama bahwa Republik ini adalah negara hukum dapat dilihat dari kinerja Polri sebagai penegak hukum yg setia pada janjinya sebagai bayangkara negara. Jika berkhianat, maka Polri adalah malapetaka negara di mana ada segelintir elite yang untouchables, sementara wong cilik gampang diciduk lalu dirampas kebebasannya. Jalan menuju police state telah dibuka oleh perusakan tata negara menurut UUD 1945 asli yang menjamin tata kelola barang publik seperti kedaulatan, keamanan dan ketertiban secara berkeadilan karena dipimpin oleh hikmah kebijaksanaan. Sementara Polri harus segera direposisi agar tidak memonopoli keamanan dan ketertiban masyarakat, solusi atas kerusakan tata negara ini hanya dan hanya satu: kembalikan kedaulatan rakyat sebagai warga negara dengan kembali ke UUD 1945 asli sebelum diubahpalsukan menjadi UUD 2002. Amandemen boleh dilakukan melalui mekanisme addendum atas UUD 1945 asli tersebut. Parpol tidak boleh lagi memonopoli secara radikal perpolitikan nasional, dan polisi tidak boleh lagi memonopoli keamanan dan ketertiban. Surabaya, 10 Agustus 2022. (*)
Dari Duren Tiga Menuju KM 50
Oleh M. Rizal Fadillah | Pemerhati Politik dan Kebangsaan TABIR kasus Duren tiga terkuak sedikit demi sedikit. Setelah Bharada E berstatus tersangka dan Irjen Ferdy Sambo ditahan di Mako Brimob, maka skenario awal terancam gagal. Tembak menembak dan tumbal yang kelak akan dibebaskan tidak kuat untuk disandiwarakan. Pengulangan pola dan penanganan sebagaimana dalam kasus Km 50 nyaris terbentur. Menitikberatkan penyelamatan institusi nampaknya memunculkan polarisasi. Di satu sisi berpola bahwa penyelamatan dilakukan dengan cara membiaskan fakta serapi-rapinya. Alur cerita diarahkan menuju kasus yang ditutup nantinya (case closed). Kubu lain dengan pola membuka fakta sebenarnya. Untuk ini Polri terpaksa harus terlebih dahulu mengobrak-abrik markasnya sendiri. Mengingat telah berjalan percobaan skenario kubu pertama dan hal itu gagal maka ketika model kedua menjadi pilihan, maka korban personal menjadi besar. 25 polisi diperiksa 10 Perwira dicopot. Saat pengumuman Kapolri dikawal oleh 10 Jenderal. Akhirnya ada pasukan Brimob menjemput Irjen Pol Ferdy Sambo di Bareskrim untuk kemudian digiring ke Mako Brimob. Kasus Duren Tiga adalah kotak pandora untuk membuka kasus-kasus lain. Irjen Ferdy Sambo memiliki kedudukan strategis baik sebagai Kadiv Propam maupun Kasatgassus. Dapat bergerak leluasa. Ada tiga irisan yang menjadi petunjuk Duren 3 menuju Km 50. Meski berjarak lebih dari 50 Km tetapi jika kotak pandora terbuka, harum buah Duren itu akan kemana-mana. Termasuk ke Km 50. Pertama, fenomena pelukan \"teletubbies\" antara Irjen Fredi Sambo dengan Irjen Fadil Imran. Kecupan kening sebagai sinyal hubungan emosional yang bukan sesaat tetapi bersejarah. Sebagai Kapolda Metro Jaya Fadil Imran adalah \"komandan operasi\" peristiwa pembunuhan 6 anggota Laskar FPI. Sementara Kadiv Propam merupakan \"komandan operasi\" penyelamatan anggota Polisi yang terlibat. 30 anggota Propam bergerak di Km 50 dipimpin Brigjen Hendra Kurniawan Karo Paminal Divisi Propam. Kedua, Brigjen Hendra Kurniawan ternyata tampil di depan media bersama Kapolda Metro Jaya Irjen Fadil Imran saat mengumumkan segera setelah peristiwa \"tembak menembak\" kasus Km 50 pada tanggal 7 Desember 2020. Dugaan keterlibatan Divisi Propam atau Satgassus dalam mengatur proses hukum menjadi lebih terbuka dan harus dibuka. Ketiga, alat bukti yang dihilangkan. Di TKP Duren Tiga Polisi menghilangkan alat bukti yang menyebabkan terjadi pelanggaran etik. CCTV rusak atau HP warga Km 50 yang dihapus juga menjadi modus sama. Irisan semakin tebal dengan misteri alat bukti Glock 17 yang digunakan Bharada E dengan senjata, samurai dan lain \"bukti palsu\" pada Km 50. Pengulangan modus yang gagal di Duren Tiga akan membawa berkah bagi pengusutan ulang kasus Km 50. Dugaan kuat orang orang yang terkena sanksi Kapolri juga orang-orang yang terlibat dalam proses penyesatan Km 50 termasuk Komnas HAM yang berkelas bebek. Tidak berani untuk menjadi dirinya menurut UU No 26 tahun 2000 tentang Pengadilan HAM. Langkah Kapolri patut diacungkan jempol, moga kasus Duren Tiga dapat terkuak dengan baik dan jujur sehingga rakyat Indonesia juga yakin dan berharap Pak Kapolri akan melangkah lebih lanjut untuk membongkar kasus yang selama ini ditutup-tutupi yaitu unlawful killing atau crime against humanity pada peristiwa Km 50. Kejahatan kemanusiaan itu kini atau esok akan terkuak juga. Lebih baik saat ini saja agar dampak hukum dan politik yang terjadi akan positif dan bermakna. Bila lambat maka waktu lah yang akan menghukum. Banyak fihak terlibat termasuk mungkin akan sampai ke tingkat Menteri atau Presiden. Mulailah dari Irjen Fadil Imran yang bersama Karo Paminal Div Propam Brigjen Hendra Kurniawan memamerkan pistol, samurai, dan clurit. Serta begitu simpati atas peristiwa Irjen Fredy Sambo. Publik patut menduga bahwa Irjen Fadil Imran mengetahui persis peristiwa Duren Tiga. Jika tidak, tidak akan ikut menangis saat ber-teletubbies. Maklum teman seperjuangan. Ditunggu, Pak di rest area Km 50 Jalan Tol Jakarta Cikampek. Ada monumen kejahatan disana. (*)
Perlu Pemimpin yang Mampu Mengelola Negara Demi Bangsanya
Maka apakah usulan Anthony beberapa waktu lalu tersebut untuk mengoreksi penguasaan korporasi atas sektor komoditas negara dapat diartikan perlunya nasionalisasi adalah sebuah keniscayaan pula. Oleh: Adian Radiatus, Moderator pada Acara Diskusi Publik Forjis TINJAUAN perspektif ekonomi yang \'tersandera\' oleh kepentingan politik kekuasaan dibawah kendali oligarki melalui korporasi besarnya tampaknya akan menjadi benang kusut perekonomian Indonesia dalam semester akhir tahun ini hingga periode 2023, demikian kesimpulan yang diperoleh dari Diskusi Forjis bersama salah seorang Analis Ekonom terkemuka Indonesia, Anthony Budiawan. Analisa tersebut didasari pada kenyataan upaya pemerintah untuk mempertahankan tingkat inflasi berjalan melalui kebijakan Bank Indonesia untuk tidak menaikkan suku bunga perbankan tetapi justru melalui intervensi pada kurs mata uang asing khususnya USD. Pertanyaannya adalah akan bertahan berapa lama, sementara Bank Central Amerika The Fed telah menaikan suku bunganya hingga kisaran 2,25 persen. Yang cukup memprihatinkan adalah tiadanya kemampuan membayar hutang secara sehat karena surplusnya penerimaan negara, tetapi kewajiban hutang itu dibayar melalui hutang pula. Tentu saja perbesaran rongga hutang akan melebar manakala proyeksi penerimaan pajak tahun berjalan dipastikan menurun serta defisit transaksi berjalan. Atas pertanyaan salah seorang peserta terkait ambruknya ekonomi di negara Srilanka, Anthony Budiawan mengatakan bahwa adanya \'lepas tangan\' dukungan global menjadi penyebab situasi disana. Sementara Indonesia hingga kini masih mendapat dukungan global tersebut. Namun kemesraan hubungan dengan Tiongkok bisa saja merubah peta politik dan ekonomi Indonesia. Meskipun demikian mega proyek Kereta Api Cepat Jakarta Bandung mulai memperlihatkan gejala \'batuk pilek\' akut sehingga Anthony memandang perlu didiagnosa oleh sebuah tim audit independen melalui Pansus DPR. Patut diduga terjadi tingkat inefisiensi atau pemborosan jenis koruptif di luar kewajaran. Di lain sisi adalah fakta bahwa daya tahan strategi ekonomi Indonesia dipicu naiknya harga sejumlah komoditas namun sayangnya \'durian runtuh\' ini tidak dinikmati rakyat banyak tapi hanya korporasi oligarki dan pemerintah. Maka apakah usulan Anthony beberapa waktu lalu tersebut untuk mengoreksi penguasaan korporasi atas sektor komoditas negara dapat diartikan perlunya nasionalisasi adalah sebuah keniscayaan pula. Kondisi negatif kesenjangan yang cukup besar antara rasio kewajiban membayar pajak kelompok korporasi oligarki dibanding yang dibayarkan oleh masyarakat menengah ke bawah menjadikan jurang ketimpangan antara si kaya dan si miskin semakin tak terbendung. Atas semua permasalahan itu maka Anthony Budiawan mengatakan rakyat harus memilih Pemimpin yang memiliki kemampuan mengelola negara demi kemakmuran bangsanya di masa depan. (*)
Bharada E Sebagai Justice Collaborator, Ferdy Sambo Bisa Gawat
Oleh Asyari Usman Perkembangan yang sangat menarik tetapi mencemaskan banyak personel kepolisian yang kini berstatus terduga pelanggaran etik. Mereka berjumlah 25 orang, termasuk Ferdy Sambo. Dinihari hari Minggu (7/8/2022), tersangka pembunuhan Brigadir J, yaitu Bharada E, mengajukan diri sebagai “juctice collaborator” (kolaborator keadilan) atau JC. Melalui status ini, Bharada E (akan) meguraikan semua yang dia diketahui dan dia lakukan dalam peristiwa pembunuhan Brigadir J. Sebagai imbalan untuk status ini, pengadilan nantinya akan meringankan hukuman Bharada E. Di dalam sistem perdailan pidana (criminal justice system atau CJS) di belahan dunia lain, seorang JC bisa mengharapkan hukuman yang sangat ringan. Bharada E akan membongkar semuanya dan sejujurnya. Langkah ini tentu akan memudahkan tim penyidik Polri. Juga akan memudahkan proses di kejaksaan dan di pengadilan. Tetapi, sebaliknya, para calon tersangka dalam kasus pembunuhan ini, terutama orang yang mungkin bertindak sebagai pemberi perintah, akan sangat “dirugikan”. Si pemberi perintah tak bisa mengelak lagi. Sebagai JC, Bharada E wajib menjelaskan segala sesuatu tanpa bertele-tele. Tidak ditambah atau dikurangi. Dalam bahasa yang lugas dan tegas. Karena itu, semua yang dia ceritakan akan memudahkan hakim dalam mengambil kesimpulan. Langkah dramatis ini tentu akan membuat semua atau sebagian dari terduga pelanggar etik kasus Brigadir J menjadi tak bisa tidur. Pengakuan Bharada E bisa mengantarkan mereka ke penjara. Salah seorang yang diperkirakan berada pada posisi gawat adalah Ferdy Sambo. Pengungkapan gambling oleh Bharada E sangat mungkin akan menggiring mantan Kadiv Propam itu ke “posisi puncak” dalam drama pembunuhan Brigadir J. Dalam perkembangan lain yang tak kalah dramatis, Timsus Polri menetapkan Brigadir RR (Ricky Rizal) sebagai tersangka dengan pasal 340. Ini pertanda yang sangat meresahkan bagi banyak calon tersangka. Pasal inilah yang ditunggu-tunggu oleh pengacara Brigadir J, Kamaruddin Simanjuntak. Pembunuhan berencana diancam dengan hukuman mati atau seumur hidup. Ini tentu sangat mencemaskan bagi orang-orang yang berkemungkinan untuk naik status menjadi tersangka pembunuhan berencana terhadap Brigadir J. Termasuklah FS. Berdasarkan dugaan pelanggaran etik dalam hal perlakuan terhadap TKP, maka FS dapat disebut punya kedekatan dengan peristiwa pembunuhan ini. Kalau penyidikan kepolisian bisa membuktikan Brigadir RR melanggar pasal 340 itu, maka orang-orang lain yang bisa dibuktikan ikut dalam peristiwa ini tentu, logikanya, akan terjerat pasal yang sama. Efek dominonya tak terelakkan.[] 8 Agustus 2022 (Jurnalis Senior)
Pro-Kontra Siswi Sekolah Negeri Berjilbab
Menurutnya, hanya mencoba membimbing siswi sedikit demi sedikit untuk mengenakan pakaian keagamaan. “Tidak beranilah (memaksa), masak guru BK koyo ngono,” ucapnya prihatin. Oleh: Muhammad Chirzin, Guru Besar UIN Sunan Kalijaga Jogjakarta HARI-hari ini media sosial dihiasi berita “Pemaksaan Berjilbab Siswa di SMAN 1 Banguntapan”. Berita tersebut segera mengisi ruang-ruang grup WA dan memunculkan sikap pro-kontra sedemikian rupa. Gatra.com – Jogjakarta melaporkan, Anggota DPRD Daerah Istimewa Jogjakarta sekaligus politisi dari dua partai bersilang pendapat soal kasus pemaksaan penggunaan jilbab pada seorang siswi di SMAN 1 Banguntapan, Bantul. Anggota DPRD DIJ dari Fraksi PDIP Eko Suwanto menyayangkan kasus itu. Menurutnya, dunia pendidikan seharusnya menghormati kebebasan untuk menjalankan agama bagi anak didik. “Pemda seharusnya menjamin kebebasan warga negaranya menjalankan ajaran agama dan kepercayaan, termasuk di sekolah,” kata Eko ketika dihubungi, Selasa (2/8) malam. Sebagai Ketua Komisi A DPRD DIJ, Eko meminta Pemda DIJ memastikan seluruh sekolah negeri yang berada di bawah Dinas Pendidikan, Pemuda, dan Olahraga (Disdikpora) menjamin kebebasan anak didik dalam beragama. Menurutnya, hal ini harus ditindaklanjuti dengan melakukan pembinaan kepada seluruh kepala sekolah dan guru agar memahami konstitusi. Mereka seharusnya menjunjung tinggi semangat Bhinneka Tunggal Ika. Adapun Wakil Ketua DPRD yang berasal dari PKS, Huda Tri Yudiana, menilai wajar guru sebagai pendidik menyarankan sesuatu yang baik bagi muridnya, sepanjang tidak melanggar aturan yang berlaku. “Peristiwa guru menyarankan berjilbab bagi siswi muslim menurut saya wajar. Kalau pada siswa non-muslim itu yang tidak boleh. Terlebih lagi, Disdikpora sudah memfasilitasi siswi itu pindah sekolah,” terangnya secara tertulis. Menurut Huda Tri Yudiana, saran penggunaan jilbab oleh guru itu mirip saran melaksanakan salat berjamaah, puasa Ramadan, atau tidak mengonsumsi narkoba kepada siswa. “Memang itu (adalah) tugas guru. Jadi bukan ranah intoleransi, tapi proses pendidikan. Jangan dibesar-besarkan, apalagi dikaitkan dengan intoleransi. DIJ miniatur Indonesia dalam hal toleransi,” ucapnya. Sementara, Kepala Sekolah SMAN 1 Banguntapan, Agung Istianto membantah pemberitaan yang menyebut ada paksaan untuk memakai jilbab oleh guru BP kepada siswi. Dia mengatakan, pengenaan jilbab pada siswi itu adalah tutorial saja. “Jadi ketika siswi menjawab belum siap menggunakan jilbab, guru BP lalu berinisiatif memberikan tutorial penggunaan jilbab dan ini disetujui yang bersangkutan. Kebetulan seluruh siswi di sekolah kami berjilbab,” katanya. Berkenaan dengan dugaan pemaksaan penggunaan jilbab, Gubernur Provinsi DIJ Sri Sultan Hamengku Buwono X turun tangan dengan menonaktifkan sementara Kepala Sekolah dan dua guru Bimbingan Konseling (BK), serta satu guru wali kelas di SMAN 1 Banguntapan, Kabupaten Bantul. Hal itu agar tim investigasi dapat fokus melakukan pengusutan terkait adanya dugaan pelanggaran disiplin yang dilakukan pegawai. Hasil pengusutan nanti akan menentukan nasib guru ke depannya, termasuk jenis sanksi yang akan dijatuhkan. “Satu Kepala Sekolah dan tiga guru saya bebaskan dari jabatannya. Jadi, mereka tidak boleh mengajar dulu sampai nanti ada kepastian,” kata Sultan di Kompleks Kepatihan, Kamis (4/8) sebagaimana dilaporkan Kedaulatan Rakyat. Lebih lanjut Sultan mengaku, bakal menindak tegas apabila ada oknum guru yang terbukti melakukan pelanggaran, karena tindak pemaksaan penggunaan atribut keagamaan tertentu melanggar Permendikbud Nomor 45 Tahun 2014 tentang penggunaan seragam sekolah. Berkaitan dengan itu Pemda DIJ sudah membentuk Satuan Tugas (Satgas) untuk melakukan investigasi kasus pemaksaan penggunaan jilbab pada siswi di SMAN 1 Banguntapan. Gubernur DIJ merasa heran jika siswa di sekolah itu justru diminta pindah dengan pertimbangan tidak merasa nyaman bersekolah (di sana). Padahal jelas-jelas siswa yang menjadi korban dari kebijakan sekolah. Oleh karena itu Sultan berharap pihak sekolah bertanggung jawab atas kasus tersebut. Bukan sebaliknya, mempersilakan siswa keluar dari sekolah. Jangan sampai hal serupa ditiru sekolah lain. Majelis Mujahidin langsung merespons kasus tersebut dengan mengeluarkan pernyataan sikap berikut: Isu Pemaksaan Jilbab Siswi SMAN 1 Banguntapan, Jogjakarta, Bernuansa Islamofobia, tanggal 5 Agustus 2022, ditandatangani Ketua Lajnah Tanfidziyah Majelis Mujahidin, Irfan S. Awwas, dan Sekretaris, M. Shobbarin Syakur. Memperhatikan pasca-pemeriksaan di Kantor Disdikpora DIJ yang dilakukan Wakil Kadisdikpora DIJ, Suherman, menurut Majelis Mujahidin, Kepala SMAN 1 Banguntapan Yogyakarta, Agung Istianto, juga telah membantah melakukan pemaksaan pemakaian jilbab pada salah satu siswinya. Pemakaian jilbab yang dilakukan guru Bimbingan Konseling (BK) disebutnya hanya sebagai bentuk tutorial. “Pada intinya Sekolah kami tidak seperti yang diberitakan. Sekolah kami tidak mewajibkan. Tuduhannya salah, karena tidak seperti itu masalahnya, Sekolah Negeri kan tidak boleh (memaksa),” tegasnya. Agung juga membantah jika guru BK mereka menyampaikan kata-kata yang menyakiti hati siswi tersebut, termasuk menanyakan kapan siswi itu akan mengenakan jilbab. Siswi tersebut beragama Islam, tapi mengaku belum pernah memakai jilbab. Menurutnya, hanya mencoba membimbing siswi sedikit demi sedikit untuk mengenakan pakaian keagamaan. “Tidak beranilah (memaksa), masak guru BK koyo ngono,” ucapnya prihatin. Majelis Mujahidin memutuskan, antara lain, bahwa dugaan pemaksaan pemakaian jilbab oleh tenaga pendidik SMAN 1 Banguntapan adalah fitnah dan hoax. Arogansi pejabat daerah melalui Sekda Pemda DIJ Kadarmanta Baskara, oknum Disdikpora DIJ, tidak sesuai dengan tujuan Pendidikan. Tidak boleh menjadikan Lembaga Pendidikan sebagai pengadilan dan hukuman yang tidak mendidik. Menjadikan peserta maupun pelaksana didik sebagai objek penderita dari pejabat pemerintah dan wakil rakyat merupakan pelanggaran UU Pendidikan. Masyarakat pendidik dan pemerintah perlu melakukan kolaborasi saling menguatkan dalam upaya memenuhi tujuan pendidikan sebagaimana diatur dalam perundang-undangan, tanpa melanggar ajaran agama; tidak saling melemahkan satu dengan yang lainnya dengan alasan subjektivitas masing-masing. Perlu diadakan dialog konstruktif menangani persoalan anak didik menuju restorative justice (keadilan holistik yang membangun). Sementara, Solopos 8 Agustus 2022 15.20 mengunggah berita, “Hadeh, SMAN 4 Jogja Juga Bikin Aturan Paksaan Berjilbab untuk Siswi”. Solopos.com, JOGJA — Setelah kasus pemaksaan berjilbab untuk siswi di SMKN 1 Banguntapan Bantul mencuat, kini terungkap ke publik mengenai aturan pemaksaan pakai jilbab bagi siswi di sekolah negeri. Kali ini yang terungkap itu adalah SMAN 4 Jogja. Yayasan Sekretariat Anak Merdeka Indonesia (Samin) Jogjakarta menemukan dugaan pemaksaan pakai jilbab bagi siswi di SMAN 4 Jogja. Demikian kata Ketua Pengurus Yayasan Samin, Fatchuddin Muchtar, sebagaimana dikutip wartawan Solopos.com, Anisatul Umah. Penulis berharap kasus dugaan pemaksaan pemakaian jilbab bagi siswi Sekolah Negeri itu tidak perlu dibesar-besarkan, dan tidak boleh dipolitisasi dan dilabeli intoleransi. (*)
'Mereka' Bekerjasama Berbuat Tindak Pidana
Dengan pengenaan pasal 55 dan 56 KHUP pada Bharada E, nanti dalam persidangan akan digali JPU (jaksa penuntut umum) di pengadilan terkait siapa otak diantara pelakunya. Oleh: Ferry Is Mirza DM, Sekretaris Dewan Kehormatan Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) Jatim Bharada (E)liezer telah ditetapkan sebagai tersangka kasus pembunuhan Brigadir Yoshua (J). (E)liezer dikenakan pasal 55 dan 56 KHUP. Pasal ini menyiratkan bahwa pelakunya tidak cuma (E)liezer. Sebab, bunyi pasal 55 yang mengisyaratkan adanya perbuatan bersama-sama dalam suatu perbuatan tindak pidana. Sedangkan pasal 56 mengisyaratkan bahwa pelakunya, yakni Bharada E bertindak sebagai pembantu kejahatan. Berarti ada unsur kesengajaan dan memberi kesempatan, sarana untuk melakukan kejahatan. Artinya, ada orang lain yang seharusnya bertanggung jawab selain Bharada E. Berkaitan dengan itu, Markas Besar (Mabes) Polri memeriksa 25 personel karena diduga melanggar kode etik dalam mengusut skandal tersebut. Kapolri Jenderal Listyo Sigit P dalam keterangan pers hari Kamis 4 Agustus, menjelaskan, 25 personel itu telah diperiksa. Dia juga menegaskan tidak menutup kemungkinan terkait proses pidana karena kasus tersebut. “Terhadap 25 personel yang saat ini telah dilakukan pemeriksaan, kita akan menjalankan proses pemeriksaan terkait dengan pelanggaran kode etik. Dan tentunya apabila ditemukan adanya proses pidana, kita juga akan memproses pidana,” tandas mantan Kabareskrim itu Dari 25 personil itu, terdiri: 3 Perwira tinggi, 5 Kombes, 3 AKBP, 2 Kompol, 7 Perwira pertama serta 5 Bintara dan Tamtama. Mereka dicopot dari jabatan dan dimutasikan tanpa jabatan di bagian Yanma (pelayanan markas). Mereka juga terancam pidana karena disinyalir menghilangkan barang bukti dan menghalangi penyidikan. Siapa saja yang terlibat dalam pembunuhan Brigadir J belum terang. Namun, meski terbilang lamban penanganannya sejak kejadiannya 8 Juli lalu, semoga Timsus Bareskrim Mabes Polri dapat mengungkap siapa otak pelakunya dan apa yang menjadi latar belakang peristiwanya. Penetapan Bharada E sebagai tersangka dikenai pasal 55 dan 56 KHUP serta dicopotnya 25 oknum Polri itu, setidaknya menjawab kepada publik atas kejanggalan kasus Duren Tiga di rumdin mantan Kadivpropam Irjen Ferdy Sambo itu. Menilik dan mengikuti serta menyimak kasus ini, ketika awal dipublish 11 Juli lalu (tiga hari pasca peristiwa) oleh Karopenum Mabes Polri, ada beberapa kejanggalan. Antara lain: dikatakan terjadi tembak menembak antara Brigadir J dan Bharada E. Brigadir J yang tewas dengan lima tembakan disebut melakukan pelecehan seksual terhadap Putri Chandrawati istri Ferdy Sambo. TKP tidak diberi police line, CCTV dikatakan rusak tersambar petir, dan beberapa kejanggalan lain yang bikin makin gaduh serta membingungkan publik. Yang jelas, hampir sebulan ini – kurang dua hari lagi –, peristiwa yang merenggut nyawa Brigadir J ini bagaikan film 🎥🎬👀 yang box office. Beritanya saban hari menyita perhatian puluhan juta orang. Bila dalam film kriminal alur ceritera kejadian ini cara kerjanya mirip mafia. Ada yang bagian membersihkan TKP, menghilangkan barang bukti, membuat alibi dan menebar info palsu. Lengkaplah !!! Semoga sepekan kedepan Timsus bentukkan Kapolri Jenderal Listyo yang mantan ajudan Presiden Jokowi mampu membongkar kasus ini. Siapa sutradara dan siapa saja pelakunya serta apa yang jadi latar belakangnya. Seperti pinta Jokowi: periksa dan buka, jangan ada yang ditutup-tupi. Agar citra Polri tetap dipercaya rakyat. Dengan pengenaan pasal 55 dan 56 KHUP pada Bharada E, nanti dalam persidangan akan digali JPU (jaksa penuntut umum) di pengadilan terkait siapa otak diantara pelakunya. Harapan publik jangan ada dusta diantara kita. Semoga kasus ini berakhir happy ending. (*)
Deflator Penentu Pertumbuhan Ekonomi: Bisa Dikendalikan?
Padahal impor non-migas kebanyakan terdiri dari bahan baku dan barang modal, di mana seharusnya, kenaikan harganya jauh lebih rendah dari kenaikan harga komoditas ekspor? Oleh: Anthony Budiawan, Managing Director PEPS (Political Economy and Policy Studies) PERTUMBUHAN ekonomi Q2/2022 gemilang, 5,44 persen. Tetapi sekaligus mengherankan, dan sangat menyedihkan bagi pihak-pihak tertentu, bagi pihak yang ekonominya tidak tumbuh, bahkan merasa tertekan, termakan lonjakan harga pangan, listrik, BBM, dan pajak. Mereka bertanya-tanya, kemana larinya pertumbuhan ekonomi tersebut? Siapa yang menikmati? Karena sebagian besar masyarakat mengeluh sedang susah, terhimpit kenaikan harga berbagai kebutuhan hidup, bukan satu atau dua barang, tapi hampir menyeluruh. Pertumbuhan ekonomi, atau PDB, per definisi adalah pertumbuhan riil, yaitu pertumbuhan yang steril dari kenaikan harga. Artinya, pertumbuhan dari kenaikan jumlah barang produksi (dan konsumsi). Kalau periode lalu produksi 1.000 unit dan periode sekarang juga produksi 1.000 unit, artinya tidak ada pertumbuhan, alias nol persen. Meskipun harga saat ini meroket, tidak pengaruh. Tetapi, transaksi ekonomi hanya mencatat nilai nominal, yaitu jumlah barang dikali harga saat ini, harga yang mungkin sudah naik dibandingkan periode sebelumnya. Artinya, transaksi ekonomi tidak mencatat nilai riil, tetapi harus dihitung. Dengan cara, nilai nominal dikoreksi dengan kenaikan harga, atau deflator. Kalau semua kenaikan harga (misalnya 20 persen), terserap ke dalam deflator (juga 20 persen), maka diperoleh ekonomi nilai riil yang murni. Tetapi kalau hanya sebagian dari kenaikan harga yang terserap ke dalam deflator, maka nilai riil menjadi lebih besar dari yang sebenarnya, karena masih mengandung atau terkontaminasi kenaikan harga. Karena itu, konversi ekonomi dari nilai nominal menjadi nilai riil tergantung dari penentuan angka deflator. Sebagai konsekuensi, pertumbuhan ekonomi (riil) juga tergantung deflator. Kalau deflator lebih rendah dari kenaikan harga sebenarnya maka pertumbuhan ekonomi inflated, alias menggelembung. Menurut BPS, pertumbuhan ekonomi nominal 17,8 persen pada Q2/2022. Pertumbuhan ini kombinasi dari kenaikan jumlah produksi dan kenaikan harga. Ekonomi hanya tertarik dengan kenaikan jumlah produksi (konsumsi), tidak tertarik dengan kenaikan harga. Menurut BPS, kenaikan harga yang diserap ke dalam deflator pada periode tersebut hanya 10,25 persen (dari harga rata-rata tahun 2021). Hasilnya, diperoleh pertumbuhan ekonomi riil 5,44 persen. Apakah deflator ini masuk akal? Untuk lebih jelasnya, angka deflator ini dirinci lagi per kategori konsumsi: komsumsi rumahtangga, konsumsi pemerintah, investasi (pembentukan modal kerja) dan ekspor-impor. Kontribusi pertumbuhan ekonomi dari konsumsi rumah tangga 2,92 persen pada Q2/2022. Sangat tinggi, mengingat daya beli masyarakat sedang terpuruk akibat lonjakan harga hampir semua barang kebutuhan hidup. Tetapi, menurut BPS, kenaikan harga, deflator, untuk konsumsi rumah tangga hanya 4,31 persen. Apa iya? Padahal, masyarakat rumahtangga merasa kantongnya terkuras habis oleh kenaikan harga barang konsumsi yang melonjak-lonjak. Sekali lagi, apa iya kenaikan harga untuk konsumsi rumah tangga hanya sebesar itu? Bagaimana dengan kenaikan harga akibat kenaikan tarif PPN dari 10 persen menjadi 11 persen, atau kenaikan 10 persen, apakah sudah terserap di dalam deflator? Terus, bagaimana dengan kenaikan harga BBM non-subsidi yang melonjak 50 persen, atau kenaikan harga gas dan tarif listrik yang sangat membebani rumahtangga, apakah sudah masuk dalam deflator? Atau inflasi pangan yang mencapai 9,1 persen hingga Juni 2022, apakah kenaikan deflator pangan dan minuman 6,34 persen sudah mencakup seluruh kenaikan harga pangan tersebut? Sekarang beralih ke konsumsi pemerintah, ternyata lebih mengherankan lagi. Menurut BPS, harga pembelian konsumsi pemerintah (deflator) pada Q2/2022 hanya naik sedikit: 0,19 persen. Apa iya? Yang lebih mengherankan, deflator pada Q1/2022 malah turun 3,17 persen? Sulit dipahami dengan fakta di lapangan? Dengan angka deflator yang mengundang beribu tanda tanya, total pertumbuhan ekonomi riil, sebelum ekspor-impor, mencapai 3,52 persen pada Q2/2022. Apakah ini pertumbuhan riil sebenarnya, atau terdongkrak deflator? Terakhir ekspor dan impor, juga sangat menarik. Pertumbuhan yang berasal dari ekspor sangat tinggi, mencapai 4,44 persen pada Q2/2022, rekor tertinggi sejak 2012. Kok bisa, padahal ekonomi dunia masih tertekan? Pertumbuhan nilai nominal ekspor non-migas memang cukup tinggi, 40,1 persen. Tetapi, menurut BPS, kenaikan ini lebih karena kenaikan jumlah kuantitas barang, bukan kenaikan harga. Karena, masih menurut BPS, kontribusi kenaikan harga, deflator, untuk ekspor non-migas hanya 13,01 persen. Padahal ekspor non-migas termasuk semua komoditas mineral dan batubara, serta komoditas perkebunan seperti karet, minyak sawit, yang harganya melonjak tajam. Maka itu, deflator tersebut sulit mencerminkan kenaikan harga yang sebenarnya? Dengan tingkat deflator seperti itu, pertumbuhan riil ekspor non-migas mencapai 4,08 persen, sebagai kontribusi utama terhadap pertumbuhan ekspor 4,44 persen tersebut. Artinya, kalau deflator tersebut terlalu rendah, maka pertumbuhan ekspor terlalu tinggi? Di lain sisi, pertumbuhan nilai nominal impor non-migas hanya 18,6 persen Q2/2022, tetapi deflator untuk impor non-migas tercatat 7,58 persen, membuat pertumbuhan riil dari impor non migas menjadi 1,47 persen, dari pertumbuhan riil impor sebesar 2,30 persen: terlalu rendah? Padahal impor non-migas kebanyakan terdiri dari bahan baku dan barang modal, di mana seharusnya, kenaikan harganya jauh lebih rendah dari kenaikan harga komoditas ekspor? Jadi, bagaimana bisa, deflator ekspor non-migas hanya selisih sedikit saja dari deflator impor non-migas Semuanya itu, membuat pertumbuhan riil net ekspor, ekspor dikurangi impor, menjadi 2,14 persen pada Q2/2022: 4,44 persen dikurangi 2,30 persen: sangat luar biasa, atau sangat tidak biasa (very unusual)? (*)
Pemberontakan Kaum Buruh
Namun, perjuangan buruh tekstil, seperti yang dilakukan di Lyon Prancis di masa lalu, setidaknya telah menghantarkan kaum buruh pada derajat hidup yang tinggi. Padahal mereka tidak mengenal sila ke-5 Pancasila. Oleh: Dr H Syahganda Nainggolan, Ketua Lembaga Kajian Publik Sabang Merauke Circle (SMC) “VIVRE en travaillant ou mourir en combattant”. “Hidup Bekerja atau Mati Berjuang”. Demikian sekilas bait “Lyon”, karya pianis Prancis Franz Liszt, awal abad ke-19. Dia terinspirasi menggubah karyanya melalui pemberontakan kaum buruh Prancis. Pemberontakan kaum buruh tekstil di Lyon Prancis masa itu terjadi sebanyak 3 kali, tahun 1831, 1834 dan 1848. Untuk menghancurkan pemberontakan pertama, 20.000 tentara Prancis dikerahkan untuk melumpuhkan kaum buruh. Sementara itu, pemberontakan kaum buruh dalam sejarah, di manapun berada, akan terukir dalam warna darah dan keringat. Karena hukum eksploitasi yang dilakukan kaum borjouis atau oligarki terhadap buruh bersifat kekal. Kekekalan itu hanya bisa dihancurkan dengan kegigihan dan solidaritas kaum buruh menentukan nasibnya. Pemberontakan yang berdarah-darah di Lyon Prancis, seperti yang diuraikan di atas, akhirnya telah menjadikan kaum buruh menjadi tuan di negeri sendiri di sana. Dalam uraian sejarah equality di Paris dan Perancis, menurut Thomas Piketty, selama 200 tahun, akhirnya berhasil menekan ketimpangan dari Gini 0,7 menjadi 0,3. Moh Jumhur Hidayat dan sejumlah tokoh tokoh Serikat Buruh telah mengumumkan pemberontakan terhadap kaum oligarki. Mereka akan mengepung Jakarta tanggal 10 Agustus 2022. Tuntutannya adalah Cabut UU Omnibuslaw. Gerakan pemberontakan ini telah dimulai dengan aksi Long March kaum buruh dari Gedung Sate, Bandung. Mereka akan disambut di berbagai kota yang akan mereka lewati sebelum sampai Jakarta. Mengapa UU Omnibuslaw? UU Omnibuslaw yang diketuk palu oleh DPR pada bulan Oktober 2020 lalu adalah UU karya rezim Joko Widodo yang paling berbahaya bagi kaum buruh. Sesungguhnya bukan hanya kaum buruh, tetapi juga bagi seluruh rakyat Indonesia. UU ini dibuat untuk memastikan dukungan legal bagi eksploitasi buruh secara bebas, sebebas-bebasnya. Hubungan pengusaha vs buruh yang sudah berhasil dikerangkakan secara baik paska reformasi, baik melalui UU Tentang Serikat Pekerja, 2002, UU Hubungan Industrial 2003, UU SJSN 2009, yang mengatur perlindungan buruh dari eksploitasi kaum oligarki, dihancurkan oleh UU Omnibuslaw. Ratusan demonstran buruh dan mahasiswa yang mengecam kehadiran UU itu dianiaya, ditangkap dan bahkan Jumhur sendiri di penjara, pada tahun 2020. Jumhur Hidayat dipenjara karena mempublikasikan statement bahwa UU Omnibuslaw hanyalah kepentingan investor rakus yang biadab. Untungnya Mahkamah Konstitusi menyatakan UU Omnibuslaw ini bertentangan dengan konstitusi (UUD\'45). Lalu mengapa buruh masih memberontak? Karena UU Omnibuslaw meski bertentangan dengan UUD\'45 dan masih digunakan oleh pemerintahan Jokowi. Sila ke-5 Pancasila dan Perjuangan Buruh Ketika kaum buruh berjuang di Lyon Prancis, sebagaimana disinggung di atas, negara Prancis adalah milik raja. Raja ditopang kekuasaannya oleh baron-baron kaya, yang membayar upeti. Sebelum Revolusi Prancis, hak rakyat dan kaum buruh memang tidak dimengerti oleh elit dan oligarki. Di Indonesia, persoalannya tidaklah demikian. Indonesia didirikan oleh bapak pendiri bangsa dengan keringat dan darah. Kemenangan Founding Fathers kemudian diukirkan dalam cita-cita kemerdekaan, yang salah satunya dikunci dalam sila ke-5 Pancasila, yakni “Keadilan Sosial Bagi Seluruh Rakyat Indonesia”. Dalam 8 tahun rezim Jokowi, kita melihat negara semakin jauh dari cita-cita keadilannya. Negara kita ini lebih difungsikan untuk menumpuk hutang dan memanjakan penguasa serta segelintir oligarki. Orang-orang yang kaya terus bertambah kaya. Moralitas aparatur negara juga tidak mengarah pada fungsi bekerjanya negara pada keadilan dan rakyat terus menerus tersisihkan. Pada 5 tahun pertama rezim Jokowi, tim CNBC melaporkan penurunan kemiskinan di Indonesia paling kecil dalam sejarah paska reformasi. Hanya sedikit di atas 1% rerata pertahun. Pada masa pandemi, penurunan kemiskinan secara data resmi BPS, hanya nol koma. Namun, tercatat banyak kekayaan pejabat negara membesar pada masa pandemi. Upah buruh semakin mengharu-biru. Kenaikan upah buruh pada tahun ini rerata hanya 0,85 % alias tidak sampai 1%. Padahal Zulkifli Hasan, Menteri Perdagangan, saat inspeksi ke pasar induk Kramat Jati Jakarta, menemukan data kenaikan harga-harga kebutuhan pokok sudah mencapai 50-70%. Apakah kaum buruh yang porsi pengeluaran mereka 60% untuk kebutuhan pokok mampu bertahan hidup? Apakah mereka akan mampu memperbaiki masa depan anak cucunya? Ini pertanyaan besar tentang Sila Ke-5 Pancasila. Apalagi ketika skandal semisal Apeng, pencuri kekayaan negara dan telah merugikan negara Rp78 Triliun sebagaimana diungkap oleh Kejakgung RI, yang ramai diberitakan saat ini, bebas melanggeng tak tersentuh hukum. Kita belum tahu akhir cerita pemberontakan buruh yang dilakukan Jumhur Hidayat dan kawan-kawan Serikat Buruh lainnya. Namun, perjuangan buruh tekstil, seperti yang dilakukan di Lyon Prancis di masa lalu, setidaknya telah menghantarkan kaum buruh pada derajat hidup yang tinggi. Padahal mereka tidak mengenal sila ke-5 Pancasila. Mari kita berdoa untuk kebaikan dan kesejahteraan kaum buruh. (*)
Pertumbuhan Ekonomi 5,4 Persen untuk Siapa?
Pengusaha batubara makin kaya karena lolos dari kewajiban bayar royalti, sedangkan masyarakat tidak dapat apa-apa selain kesulitan yang disebutkan sebelumnya. Oleh: Gede Sandra, Dosen Universitas Bung Karno TERIMA kasih pada kenaikan harga komoditi dunia saat ini sebagai imbas dari berlarutnya invasi Rusia ke Ukraina. Sehingga pertumbuhan Produk Domestik Bruto (PDB) kuartal II 2022 naik sedikit ke 5,4 persen (dari 5 persen di kuartal I 2022), menjadi yang tertinggi selama masa pemerintahan Jokowi. Namun mengapa masyarakat masih seperti tidak merasakan dampak pertumbuhan ekonomi ini. Hidup masih susah. Lapangan pekerjaan masih sulit didapat, harga-harga kebutuhan pokok melonjak menggerus daya beli, biaya pendidikan semakin tinggi tidak terjangkau, dan kasus kurang gizi masih kerap terdengar. Hingga saat ini menurut data BPS jumlah desa atau kelurahan di Indonesia yang penduduknya menderita kekurangan gizi mencapai 12 ribuan desa. Lantas apa yang salah dengan angka pertumbuhan ekonomi 5,4 persen ini? Mari kita periksa. Diolah dari data BPS juga: selama periode kuartal I ke kuartal II tahun 2022, pertumbuhan nilai tambah bruto PDB (added value) berdasarkan lapangan usaha yang terbesar disumbang oleh Industri Pertambangan dan Penggalian sebesar Rp 169 triliun. Dari keseluruhan pertumbuhan nilai tambah bruto PDB sebesar Rp 332 triliun, Industri Pertambangan dan Penggalian menyumbang separuhnya (51 persen). Terbesar kedua adalah sektor Pertanian Kehutanan dan Perikanan, yang pertumbuhan nilai tambah bruto adalah sebesar Rp 72,1 triliun (22 persen). Sementara industri pengolahan yang selalu dielu-elukan hanya bertambah Rp 11,5 triliun (3,5 persen). Angka itu lebih kecil dari pertumbuhan nilai tambah Transportasi dan Pergudangan sebesar Rp 27,4 triliun (8,3 persen) dan juga sektor administrasi pemerintahan pertahanan dan Jaminan Sosial sebesar Rp 15,5 triliun (4,7 persen). Sektor pertambangan dan penggalian selama semester I 2022, atau Januari hingga Juni, telah menghasilkan nilai tambah bruto PDB sebesar Rp 1.115 triliun. Melonjak 74 persen dari periode yang sama tahun 2001, yang hanya menghasilkan nilai tambah bruto PDB sebesar Rp 641 triliun. Sementara komoditi paling unggul dalam pertambangan dan penggalian tentu adalah batubara. Yang bila dibandingkan dengan periode semester I 2021 (286 juta metrik ton), produksi batubara pada semester I 2022 (360 juta metrik ton) bertumbuh 26 persen. Sementara harga batubara pada periode yang sama telah meroket 260 persen (dari kisaran $70-$100 di semester I-2021 ke kisaran $170-$360 di semester I-2022). Sungguh cuan para pebisnis batubara, mendapatkan windfall profit. Sayang pemerintah Indonesia agak terlambat menerbitkan PP No 15 tahun 2022, yang mengenakan royalty 27 persen saat harga batubara di atas $ 100/MT sejak April 2022. Setidaknya sudah 10 bulan Negara sudah kehilangan kesempatan untuk meningkatkan pendapatan dari legitnya harga komoditi batubara. Total kehilangan pendapatan dari royalty sejak Juli 2021 hingga April 2022 kira-kira mencapai Rp 150 triliun. Jadi meskipun ekonomi bertumbuh tinggi ditopang kenaikan harga komoditi, sayang sekali pemerintah kehilangan potensi pendapatan royalti Rp 150 trilun dari komoditi batubara. Seperti diberitakan, beberapa hari lalu Pemerintah Indonesia baru menambah utang sebesar Rp 121 triliun. Terlihat betapa besar sebenarnya kerugian Negara. Seharusnya dengan tambahan royalti Rp 150 triliun dari batubara, Pemerintah tidak perlu berutang seperti yang dilakukannya tersebut. Seharusnya juga dengan tambahan pendapatan royalti Rp 150 triliun tersebut Pemerintah dapat membuka lapangan kerja, menstabilkan harga-harga pangan, menambal subsidi energi, mensubsidi biaya pendidikan rakyat, atau menanggulangi kasus kurang gizi di 12 ribu desa. Akhirnya yang buntung tetap rakyat kebanyakan, wong cilik. Pengusaha batubara makin kaya karena lolos dari kewajiban bayar royalti, sedangkan masyarakat tidak dapat apa-apa selain kesulitan yang disebutkan sebelumnya. Wajar bila beberapa minggu lalu BPS menyatakan bahwa ketimpangan pendapatan masyarakat Indonesia, yang diukur dengan Indeks Gini, nilainya kembali memburuk. Indeks Gini anjlok ke 0,84 dari sebelumnya 0,81 pada September 2021. Terbukti pertumbuhan ekonomi 5,4 persen ini bukan untuk rakyat banyak. (*)
Terima Kasih Jenderal, Telah Mengoreksi Diri
Pemberitaan pers yang menggunakan diksi “penahanan” jenderal polisi bintang dua itu beredar di tengah masyarakat. Pers seperti kesusu, mendahului sumber resmi. Semangat pers itu mengekspresikan dambaan seluruh masyakat. Oleh: Ilham Bintang, Ketua Dewan Kehormatan PWI (Persatuan Wartawan Indonesia) Pusat TIADA kebahagiaan melebihi saat meyakini aparat hukum bersungguh-sungguh mau menegakkan hukum walaupun kejahatan itu terjadi di dalam tubuhnya sendiri. Memang seperti itulah yang kita rasakan sejak Kamis (4/8) ketika Kapolri Jenderal Polisi Listyo Sigit Prabowo meng-update langsung perkembangan pengusutan kasus, “Polisi Tembak Polisi”. Meski tampak terbata-bata, namun Kapolri sudah menunjukkan kerja nyata guna menuntaskan kasus yang menghebohkan itu. Kasus yang bukan hanya mempermalukan korps Bhayangkara, tetapi juga seluruh bangsa Indonesia. Rakyat yang dengan segala keterbatasan membiayai penyeleggaraan negara melalui setoran pajaknya. Kita sudah semakin diyakinkan ketika ketiga kalinya Presiden Joko Widodo kembali mengingatkan jajaran Polri agar membuka kasus yang menewaskan Brigadir Joshua seterang-terangnya pada 8 Juli 2022 lalu. Seruan Jokowi penting karena itu merupakan perwujudan kedaulatan rakyat dalam negara demokrasi dalam menegakkan hukum secara terang-benderang dan berkeadilan. Seruan tersebut adalah perintah langsung dari seorang presiden yang telah meletakkan posisi rakyat di tempatnya yang tepat, yaitu sebagai “atasannya”. “Supaya, tidak ada keraguan lagi di dalam masyarakat,” kata Presiden Jokowi. Wajar jika seluruh rakyat bahagia. Sudah bertahun-tahun mereka itu hanya menjadi penonton dalam dinamika politik bangsa, sering didikte dalam urusan penanganan ekonomi, dan hanya menjadi obyek dalam urusan hukum. Hampir Diperdaya Dalam urusan “Polisi Tembak Polisi” ini pun rakyat hampir saja “diperdaya”. Disuruh mengikuti “skenario cerita” yang disusun oknum di markas polisi. Seperti pada awal peristiwa itu terjadi. Yang sangat tidak masuk akal. Masih sangat lekat dalam ingatan, bahkan sempat ada oknum penegak hukum dan oknum otoritas pers di Tanah Air hendak “bersekongkol” membungkam rakyat melalui saluran media pers. Tidak! Sekali ini tidak! Rakyat berhak tahu. Rakyat berhak ragu. Juga berhak menguji argumentasi-argumentasi penegak hukum mengenai duduk perkara pembunuhan Joshua di rumah dinas atasannya tersebut. Terlalu mahal biaya pengabdian aparat berpangkat rendah itu jika mati tanpa kejelasan. Kita sudah mengikuti sejak Kamis (4/8), Kapolri sudah menindak 25 anggota Polri, tiga diantaranya perwira tinggi bintang satu dan bintang dua. Semuanya diperiksa dalam perkara dugaan pelanggaran etika dengan berbagai macam perbuatan. Kapolri menjanjikan tidak hanya sebatas pemeriksaan etika. Kapolri menyatakan akan melanjutkan mempidanakan pula jika ditemukan unsur itu. Inilah buktinya. Hari itu posisi Barada E yang menembak Brigadir Joshua dengan alasan membela diri (versi skenario awal) sudah berubah status malah menjadi tersangka. Pada hari yang sama, setelah dinonaktifkan sebagai Kadiv Propam Polri pada 18 Juli lalu, Irjen Pol Ferdy Sambo menjalani pemeriksaan keempat di Bareskrim Polri. Dalam artikel “Fakta Baru Horor & Teror Kasus Polisi Tembak Polisi” (21 Juli 2022), saya sudah menuliskan optimisme kasus ini akan terungkap secara terang-benderang. Saya mengutip pernyataan penulis Inggris terkenal Graham Greene (1904-1991). Greene bilang, “Seorang pembunuh dianggap oleh dunia sebagai sesuatu yang mengerikan, tetapi bagi pembunuh itu sendiri hanyalah manusia biasa. Hanya jika si pembunuh adalah orang baik, maka dia bisa dianggap mengerikan.” Saya memposisikan polisi sebagai orang baik. Para pengayom masyarakat, yang sesuai kedudukannya di dalam negara kita. Yang berperan memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat. Menegakkan hukum, memberikan perlindungan, pengayoman, dan pelayanan kepada masyarakat. Sebagai alat negara, kedudukan dan posisi Polri mendapat tempat terhormat, langsung di bawah Presiden. Dinyatakan dalam Pasal 7 ayat (2) TAP-MPR RI No. VII/MPR/2000. Artinya, seluruh perilaku polisi dalam pengawasan dan tanggung jawab presiden. Wajah polisi adalah wajah presiden. Saya mengira kengerian yang sama dirasakan Greene itulah yang membuat Kapolri mendapatkan dukungan masyarakat yang luas untuk bertindak tegas. Kita tidak bisa membayangkan seperti apa kehidupan di Indonesia ke depan jika kasus seperti itu tidak diusut tuntas. Tim Khusus Kapolri pun bergerak cepat. Sabtu (6/8) pecah berita: Irjenpol Ferdy Sambo tokoh sentral dalam pusaran peristiwa itu telah ditahan di Mako Brimob Kelapa Dua. Penahanan Sambo memang menimbulkan kontroversi sejak semalam. Banyak yang pesimistis dan mencurigai penahanan itu hanya sebatas sanksi terkait dugaan pelanggaran etika. Tapi tidak sedikit yang berkeyakinan penahanan itu terkait dengan temuan unsur pidana dalam pemeriksaannya. Pemberitaan pers yang menggunakan diksi “penahanan” jenderal polisi bintang dua itu beredar di tengah masyarakat. Pers seperti kesusu, untuk mendahului sumber resmi. Semangat pers itu mengekspresikan dambaan seluruh masyakat. Yang penting, etika atau terkait pidana penahanan itu telah menunjukkan keseriusan pimpinan Polri pada janjinya. Yang penting, polisi menyadari posisinya sepenuhnya sudah dalam “kendali” dan pengawasan rakyat. Bukan sebaliknya, seperti disangkakan selama ini. Yang pada era kemajuan teknologi informasi semua dinding punya mata dan telinga. Kita sadar bahwa kasus ini memang masih akan melalui proses panjang dan melelahkan demi memenuhi kaidah “scientific crime investigation”. Namun, kasus “Polisi Tembak Polisi” sudah terang tanah. Kuncinya, karena itu tadi: orang-orang baik itu “mengakui” kasus “Polisi Tembak Polisi” adalah kejahatan kemanusiaan. Yang menjungkirbalikkan sistem nilai masyarakat Indonesia yang berfalsafah Pancasila. Dan, yang kemerdekaannya pada 17 Agustus 1945 sebagai bangsa berdaulat, sepuluh hari lagi akan kita peringati bersama. Merdeka! (*)