OPINI

Jika Rezim Bebaskan Ferdy Sambo, NKRI Butuh Polri Perjuangan

Oleh: Yusuf Blegur SEMUA mata terus tajam menyorot, semua telinga membuka lebar gendangnya dan  semua mulut  bergegas  membisik kabar kelanjutan kasus Sambo. Nurani publik semakin terusik apakah masih ada harapan melihat keberlangsungan hukum yang  berlaku setara dan adil. Ataukah rakyat akan hidup mengenaskan merasakan Polri tak bernyawa menyusul NKRI yang kian sekarat. Sesungguhnya kasus Ferdy Sambo telah menjadi cermin dari penyelenggaraan negara yang amburadul. Pori yang bobrok telah menjadi miniatur NKRI yang rusak. Ketika rezim menjadikan Polri sebagai institusi negara yang kekuasaannya tak terbatas. Polri menjelma bagaikan monster  berdarah dingin yang keji dan beringas. Ada suara miring dari publik bahwa semua kejahatan lengkap dan tersedia di lembaga penegakkan hukum tersebut. Mulai dari korupsi,  pembunuhan, disorientasi seksual pemerkosaan, judi, miras, narkoba, tambang dan pembalakan hutan  ilegal serta beragam bisnis haram lainnya. Bahkan   Kekuasaan  oligarki melalui cukong-cukong besar yang dikenal sebagai 9 Naga, tak luput menjadikan Polri sebagai mesin politik pemenangan capres abal-abal.  Semua itu tak luput dilakukan organisasi  yang aparatnya justru berkewajiban mengayomi,  melindungi dan melayani masyarakat. Bagai rangkaian kejahatan personal dan sistemik yang telah lama berlangsung di tubuh Polri. Tragedi di tubuh Korps Bhayangkara yang dilakukan Ferdy Sambo cs., seakan telah menjadi semacam puncak akumulasi  kebobrokan Polri teruma dari aspek  pengejawantahan Tri Brata dan Eka Prasetya.  Dengan banyaknya personal mulai dari bintara hingga jenderal yang terlibat pelbagai \"extra ordinary crime\",  yang tidak lagi disebut kesalahan oknum. Kasus Sambo seakan memastikan deklarasi nasional kehancuran kalau belum layak disebut pembubaran Polri. Selain lama pengungkapan dan begitu bertele-tele dalam menuntaskan kasusnya. Penguasa Polri dan irisan yang teribat didalamnya, terkesan berusaha menghalang-halangi penanganan hukumnya,  mengaburkan sustansi persoalan dan berusaha mengalihkan kasus Sambo dengan isu atau peristiwa lain. Terlalu banyak keterlibatan para pemangku kepentingan publik dan petinggi negara yang disinyalir terseret kasus Sambo. Mulai dari DPR, partai politik,  menteri hingga presiden, boleh jadi memiliki korelasi yang tidak bisa diabaikan berada dalam domain kasus Sambo. Ada kecenderungan bahwa semua distorsi penyelenggaraan negara, termasuk pada  kasus Sambo merupakan bagian dari kekuasaan oligarki yang dominan. Dengan semakin tidak jelas dan berlarut-larutnya dalam membongkar secara fokus, detail dan terukur sebagaimana semboyan Presisi Polri. Rakyat untuk kesekian kalinya hanya bisa mengurut dada dan cukup tahu, betapapun aib tragedi Sambo yang telah menjadi kasus nasional dan internasional itu. Seperti biasa hanya menghasilkan ketiadaan supremasi hukum yang teguh memegang prinsip kesetaraan dan  berkeadilan. Bahkan sekalipun  kasusnya telah menjadi momentum penting dan strategis untuk merefleksi dan  mengevaluasi keberadaan serta eksistensi Polri selama ini. Mungkinkah kasus Sambo yang belakangan dinilai memiliki benang merah dengan kasus KM 50, dapat menjadi trigger sekaligus membuka Kotak Pandora dari hancurnya sistem hukum di Indonesia?. Apakah masih ada toleransi dari kejahatan yang terus berlangsung pada Polri baik selaku personal maupun institusional?. Apakah perlu diadakan reformasi atau hanya sekedar restrukturisasi Polri?. Atau lebih ekstrim lagi perlu meninjau kembali keberadaan Polri?. Dengan kata lain, mengingat sudah begitu sangat struktural, terstruktur dan sistematik serta sangat masif, dari  semua distorsi kinerja Polri yang begitu miris dan memprihatinkan. Bukan tidak mungkin ada opsi lain berupa pembubaran Polri jika perbaikan dan pembaruan sulit dilakukan pada organisasi keamanan yang kinerja dan pengawasannya secara langsung dibawah presiden. Namun betapapun dilematis dan bagai memakan  buah simalakama. NKRI yang butuh Polri dalam peran dan fungsi menjaga keamanan dan keteriban masyarakat. Namun disisi lain performans Polri  justru sering menimbulkan keresahan dan menjadi ancaman bagi keselamatan rakyat. Rasa-rasanya ini membutuhkan lebih dari sekedar ketegasan, kepastian dan keputusan yang bijak. Perlu kematangan dan jiwa besar untuk menemukan solusi yang terbaik. Polri maupun presiden,  mutlak membutuhkan kepercayaan publik dari bagaimana cara menangani dan menyelesaikan kasus Sambo agar dapat menjalankan hukum dengan sebaik-baiknya memenuhi aspek kesetaraan dan rasa keadilan rakyat. Tegakkan hukum pada  Sambo dan semua irisan yang telibat tanpa pandang bulu, tanpa membeda-bedakan kelas dan status kepangkatan atau jabatannya. Berikan hukuman yang seadil-adilnya demi menjaga marwah Polri, presiden dan bahkan pada negara. Baik buruknya penyelasian kasus Sambo menjadi naik buruknya presiden dan negara. Tak bisa dibantah lagi, Polri adalah representasi Polri dan juga representasi Negara. Jadi selesaikan kasus Sambo di tubuh Polri secara elegan dan  bermartabat demi kebaikan Polri, presiden dan negara. Jangan sampai ada konsiprasi dan manipulasi kasus Sambo, apalagi ada upaya meringankan hukuman atau malah membebaskan Sambo. Jika sampai terjadi ada rekayasa dan manipulasi  yang melindungi kejahatan di tubuh Polri, maka itu akan mengubur Polri sendiri. Termasuk jika kemungkinan ada konspirasi sampai Sambo dibebaskan, maka bisa saja hal itu menjadi puncak  totalitas kehancuran sistem hukum di negeri ini. Oleh sebab itu wajar saja muncul pemikiran publik bahwasanya NKRI butuh Polri Perjuangan.

Perjuangan KH Zainuddin Fannanie

Pada pertengahan Januari 1959 KH Zainuddin Fannanie menjabat Kepala Kabinet Menteri Sosial. Setahun kemudian yaitu pada 12 Agustus 1959 KH Zainuddin Fannanie menjadi anggota BPP-MPRS sampai 1967. Oleh: Muhammad Chirzin, Guru Besar UIN Sunan Kalijaga Jogjakarta KIAI Haji Zainuddin Fannanie adalah salah seorang dari tiga bersaudara pendiri Pondok Modern Darussalam Gontor Ponorogo Jawa Timur pada 21 September 1926. Trimurti, Tiga Serangkai Pendiri Pondok Modern Darussalam Gontor Ponorogo bersama 2 orang lainnya KH Ahmad Sahal dan KH Imam Zarkasyi. Ia adalah putera keenam dari Kyai Santoso Anom Besari. Beliau lahir di Gontor Ponorogo pada tanggal 23 Desember 1908. KH Zainuddin Fannanie menempuh Pendidikan dimulai dengan masuk Sekolah Dasar Ongko Loro Jetis Ponorogo. Kemudian ia mondok di pondok pesantren Josari Ponorogo, kemudian ke Termas Pacitan, lalu ke Siwalan Panji Sidoarjo. Dari sekolah Ongko Loro ia pindah ke sekolah dasar Hollandshe Inlander School (HIS), kemudian melanjutkan ke Kweekschool (Sekolah guru) di Padang. Sesudah tamat sekolah guru ia masuk Leider School (sekolah pemimpin) di Palembang. Selain itu beliau pernah belajar pada Pendidikan Jurnalistik dan Tabligh School (Madrasah Muballighin III) Muhammadiyah, Jogjakarta, dan selesai pada 1930. Pengalaman Organisasi KH Zainuddin Fannanie menjadi guru di HIS sejak 1926 sampai 1932 dan mengajar di School Opziener di Bengkulen sampai tahun 1934. Pernah menjadi Konsul Pengurus besar Muhammadiyah Sumatra Selatan pada 1942. KH Zainuddin Fannanie menjadi guru Sekolah Muhammadiyah di Bengkulu bersama Bung Karno ketika beliau diasingkan di sana. KH Zainuddin Fannanie menjadi saksi pernikahan Bung Karno dengan Fatmawati. Pada tahun yang sama KH Zainuddin Fannanie menjadi Kepala Penasehat Kepolisian Palembang hingga 1943. Setahun kemudian beliau menjabat Kepala Kantor Keselamatan Rakyat di Palembang. Setelah itu dipilih menjadi Kepala Kantor Tata Usaha Kantor Sju Tjokan. Sejak 8 April 1953 diangkat oleh Presiden menjadi anggota ”Panitia Negara Perbaikan Makanan”. Empat bulan setelah itu, tepatnya pada 1 Agustus 1953 KH Zainuddin Fannanie menduduki Kepala Jawatan Bimbingan dan Perbaikan Sosial pada Kementerian Sosial. Pada tahun yang sama, 1953, beliau menjabat Inspektur Kepala, Kepala Inspeksi Sosial Jawa Barat dan Sumatra Selatan. Sejak 19 Januari 1956 KH Zainuddin Fannanie mendapat kepercayaan menjadi Kepala Bagian Pendidikan Umum Kementerian Sosial. Pada pertengahan Januari 1959 KH Zainuddin Fannanie menjabat Kepala Kabinet Menteri Sosial. Setahun kemudian yaitu pada 12 Agustus 1959 KH Zainuddin Fannanie menjadi anggota BPP-MPRS sampai 1967. Pada 21 Juli 1967 KH Zainuddin Fannanie meninggal dunia di Jakarta, meninggalkan seorang istri dan seorang anak yaitu Drs. H. Rusydi Bey Fannanie, Anggota Badan Wakaf Pondok Modern Gontor, dengan putra Prof. Dr. Husnan Bey Fannany, MA, mantan Duta Besar Indonesia di Azzarbeyjan. KH Zainuddin Fannanie meninggalkan sejumlah karya tulis. Di antara karya tulis beliau yang masih menjadi bahan rujukan, terutama bagi generasi penerus Pondok Modern Darussalam Gontor adalah: Senjata Penganjur dan Pemimpin Islam, Pedoman Pendidikan Modern, Kursus Agama Islam, Penangkis Krisis, Reidenar dan Jurnalistik, serta masih banyak yang lainnya. Sesuai dengan judulnya, buku Senjata Penganjur dan Pemimpin Islam adalah buku pedoman Pendidikan kader dakwah. Pada 1950-an buku tersebut digunakan secara luas sebagai buku pegangan calon mubaligh, di mana-mana. Salah satu ciri utama buku ini, di setiap penutup bab dicantumkan kata-kata mutiara, baik dari ayat Al-Quran, hadits Nabi, maupun kata-kata bijak ulama, cendekiawan, dan filosof. (*)

Keppres Kontroversial Jokowi

Oleh M Rizal Fadillah - Pemerja Jokowi telah mengeluarkan Keppres No 17 tahun 2022 yang membentuk Tim Penyelesaian Non Yudisial Pelanggaran HAM Berat Masa Lalu. Tim yang diketuai Makarim Wibisono dengan Ketua Dewan Pengarah Mahfud MD ini dinilai kontroversial. Suara penolakan pun muncul antara lain dari Setara Institute.    Yang paling lucu atau aneh yang adalah pelanggaran HAM berat masa Lalu itu ternyata berdasarkan rekomendasi Komnas HAM sampai tahun 2020. Ini bertentangan dengan alasan dan dasar Keppres yakni telah sangat sulit untuk pembuktian pelanggaran HAM berat masa lalu. Tahun 2020 itu masih kemarin. Kasusnya masih sangat mudah untuk diusut kemudian diproses melalui Pengadilan HAM.     Penyiasatan Jokowi melalui Keppres 17 tahun 2022 ini terlihat  antara lain  :    Pertama, rekomendasi Komnas HAM menjadi acuan, semestinya tidak harus digantungkan pada rekomendasi Komnas HAM sebab prakteknya lembaga ini di samping kadang kerja tidak tuntas juga sering bias dan ikut \"bermain\" dalam melakukan pemeriksaan pelanggaran HAM. Independensi yang diragukan.    Kedua, penyelesaian kasus HAM berat melalui proses peradilan adalah amanat Undang-Undang karenanya perubahan atau diskresi penyelesaian secara non yudisial tidak bisa ditetapkan dengan bentuk Keputusan Presiden ( (Keppres) . Semestinya dengan   Undang-undang lagi atau sekurangnya Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu).    Ketiga, pelanggaran HAM berat seperti kasus Talangsari, Semanggi I dan II, Trisakti atau Wasior Papua diduga pelakunya masih ada, artinya masih bisa diminta pertanggungjawaban. Karenanya terlalu gegabah untuk sekedar melakukan penyelesaian non yudisial. Keppres 17 tahun 2022 berorientasi pada \"santunan korban\" bukan pada pertanggungjawaban hukum dari pelaku.    Menggantungnya kasus pelanggaran  HAM berat masa lalu sebenarnya bukan semata karena sulitnya pembuktian tetapi lebih kepada Pemerintah sendiri yang tidak memiliki kemauan  untuk menuntaskan kasus pelanggaran HAM berat tersebut.    Kembali soal lucu atau aneh tentang batasan hingga tahun 2020. Adakah Pemerintah Jokowi ingin juga menutup kasus yang terjadi di masa Pemerintahannya yang potensial diusut sebagai pelanggaran HAM berat \"masa lalu\" seperti tewasnya 894 petugas Pemilu dan terbunuh 9 pengunjuk rasa 21-22 Mei 2019 serta pembantaian 6 anggota Laskar FPI  Desember 2020 ?    Ada aneh dan lucu pula apa yang dipidatokan Jokowi pada tanggal 16 Agustus 2022. Ia menyatakan telah menandatangani Keppres tersebut, padahal fakta yang ada ialah Keppres tersebut ditandatangani tanggal 26 Agustus 2022.    Ada kawan nyeletuk \"Kebohongan Presiden ini adalah kulminasi dari berjuta kebohongan yang telah dilakukan Jokowi. Ini adalah pelanggaran HAM berat masa kini\".  Rakyat Indonesia yang menjadi korban tidak mau penyelesaian non yudisial  !    *) Pemerhati Politik dan Kebangsaan   Bandung, 23 September 2022

Noel Itu Waras

Oleh Ady Amar Kolumnis  NOEL nama kecilnya. Immanuel Ebenezer nama panjangnya. Makin ke belakang sikapnya makin wise.. Noel seolah tahu kapan ngegas dan kapan ngerem.. Kapan ia membelalakkan matanya, dan kapan senyumnya mengembang. Noel dikenal sebagai Ketua Relawan Jokowi Mania (JoMan). Ia pasang badan jika Presiden Jokowi dikritik. Noel membela dengan tangkas, matanya acap membelalak dengan suara meninggi dalam perdebatan di televisi versus mereka yang mengkritik Jokowi. Tapi Noel bukan sembarang relawan yang menutup mata untuk bicara yang tidak sebenarnya. Sebagai aktivis 98 yang menumbangkan rezim Orde Baru, Noel tidak kehilangan kekritisannya. Tidak banyak yang sepertinya. Ia berani tampil sebagai saksi yang meringankan Munarman, eks Sekretaris Umum Front Pembela Islam (FPI). Meski kawan-kawannya mengingatkan agar ia tak beri kesaksian di Pengadilan. Tuduhan terhadap Munarman bukan main-main, tuduhan teroris. Justru itu kata Noel, ia mesti beri kesaksian pada kawan yang sudah dikenalnya cukup lama. Tidak ada jejak teroris pada Munarman, katanya. Noel tampil seolah ia bukan bagian dari Jokowi. Noel nekat hadir di PN Jakarta Timur, dan bicara lantang tentang kawan yang dikenalnya, yang tidak sebagaimana tuduhan jaksa. Para buzzer, utamanya Denny Siregar mencak-mencak melihat sikap Noel yang melawan \"tradisi\" persengkokolan. Meminta Erick Thohir, Menteri BUMN, untuk mencopot Noel selaku komisaris BUMN. Tidak menunggu lama, Noel dicopot sebagai komisaris anak perusahaan BUMN, PT Mega Eltra. Tidak tampak sikap penyesalan darinya. Noel pastilah tahu risiko yang diambilnya. Ia tetap mengambil peran yang tidak disuka rezim. Noel pengkhianat, kata para buzzer, yang memang dibayar untuk menumpulkan nalar dan nuraninya. Noel tak perlu merengek-rengek pada Jokowi, ia biasa saja seperti tidak terjadi apa-apa. Noel, akan tetap bersama Jokowi sampai di ujung periode keduanya, itu yang ia tuturkan. Tapi melihat wacana yang ingin menjadikan Jokowi maju lagi untuk periode ke-3, Noel meradang menampakkan sikap ketidaksukaannya. Katanya, presiden 3 periode itu produk haram. Pun saat Jokowi digadang-gadang maju lagi sebagai cawapres, Noel pun bersikap dengan mengatakan, lebih baik Jokowi dukung Anies Baswedan saja, itu lebih elok. Noel amat mengedepankan asas kepatutan dalam berdemokrasi, yang itu seperti tak bisa ditawar-tawar. Kecintaannya pada Jokowi tak membuatnya mengkhianati nilai-nilai demokrasi yang dijunjung dan diperjuangkan bersama kawan-kawannya, yang masih memilih posisi di tempat terhormat. Noel saat ini tampil sebagai relawan Ganjar Pranowo--Ganjar Mania, meski yang didukung belum dapat tiket maju lewat partai apa--ia anggap Ganjar sebagai kelanjutan dari Jokowi. Pilihan yang diyakini benar. Sah-sah saja pilihannya. Sikap Noel akhir-akhir ini memang makin matang, tampak lebih dewasa. Meski ia pendukung Ganjar, yang berpotensi akan berhadapan dengan penantang berat seorang Anies Baswedan, Noel pantang menjelekkan. Bahkan ia memanggil Anies dengan Mas Anies, yang disebutnya sebagai kader bangsa, bukan kader partai. Tak cukup di situ, Noel bahkan mengatakan bahwa Habib Rizieq juga bukan kader partai, yang punya hak berkontribusi untuk bangsa ini. Dia (Habib Rizieq) juga punya hak dipimpin dan memimpin, itu dilindungi undang-undang. Sementara orang dekat Jokowi lainnya menghindar bicara positif tentang Anies Baswedan, dan apalagi Habib Rizieq Shihab--menyantolkan nama itu dipikiran saja seolah terlarang--Noel justru menampakkan sikap berbeda. Bahkan tuduhan pada Anies sebagai bapak politik identitas, Noel menyangkalnya. \"Yang politik identitas itu Denny Siregar dan Cokro TV karena mereka yang selalu menarasikan sendiri politik identitas. Banyak teman Anies yang Kristen kok, banyak teman nasionalis saya yang juga dukung Anies,\" kata Noel dalam wawancaranya dengan Realita TV. Maka, biarkan Noel tetap membantu Ganjar Pranowo di sana. Jangan berharap Noel berada di kubu Anies. Biar saja Noel terus bersama Ganjar, agar ia bisa jadi penyeimbang akal sehat. Berharap politik bisa tetap santun, tidak saling menjegal dengan menghalalkan segala cara. Dan saya, juga Anda tentunya, masih ingin melihat langkah-langkah positif Noel berikutnya. Benar, gak? (*)

“Dewan Kolonel” Dianggap Guyonan: Ledek Tentara?

Kalau alasan Hasto dan petinggi PDIP lainnya, sebutan Dewan Kolonel adalah guyonan politik, itu sama halnya dengan meledek atau mencemooh tingkatan kepangkatan tentara. Oleh: Mochamad Toha, Wartawan Forum News Network (FNN) JELANG Peristiwa G-30-S/PKI beredar isu yang dihembuskan PKI, adanya pembentukan “Dewan Jenderal”. Kemudian terjadilah penculikan oleh PKI yang berbuntut pembantaian atas 6 Jenderal dan 1 Kapten TNI AD. Jejak sejarah telah mencatat peristiwa kelam tersebut. Kini julukan serupa muncul lagi. Hanya saja namanya “Dewan Kolonel”. Ini dilontarkan oleh beberapa anggota Fraksi PDIP di DPR RI, antara lain Johan Budi dan Trimedya Panjaitan. Dewan Kolonel ini dimaksudkan ingin membantu sosok Ketua DPP PDIP Puan Maharani yang juga Ketua DPR RI agar bisa mendapat kepercayaan sehingga jalan menuju Pilpres 2024 bisa dilalui. Pakar Kebijakan Publik Narasi Institute Achmad Nur Hidayat angkat suara. Menurut Achmad, munculnya tim ini adalah upaya Megawati supaya tidak “kecolongan” kembali dalam kontestasi Pilpres. Di sini terlihat jelas bahwa Megawati Soekarnoputriputri sendiri tidak mau kecolongan untuk kedua kalinya dimana PDIP memberikan tiket capres pada bukan garis Megawati sebagai Ketum PDIP. “Tapi memberikan tiketnya kepada kader PDIP semata,” jelas Achmad dalam keterangan resminya, Rabu (21/9/22). Menurutnya, penguatan trah Soekarno dalam PDIP adalah hal yang penting sehingga perlu adanya cara untuk merespons adanya oknum kader yang mulai tebar pesona sehingga moncer di lembaga survei untuk jadi capres. Salah satu yang disebut-sebut adalah sosok Gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo. Sehingga dengan munculnya nama Ganjar dalam berbagai Survei tentu membuat Megawati sebagai Ketum Partai merasa tidak nyaman. “Berkali-kali disampaikan, keputusan memilih capres adalah kewenangannya selaku Ketua Umum dan bukan oleh tekanan tekanan pihak eksternal,” jelas Achmad. Maka, demi menguatkan eksistensi keturunan Soerkarno ini, lanjut Achmad, Megawati tentu akan berusaha maksimal supaya putrinya tersebut bisa ikut kontestasi Pilpres 2024. “Dan tentu saja Megawati akan lebih memilih Puan Maharani untuk maju sebagai capres dari PDIP. Dan pembentukan Dewan Kolonel ini bisa jadi adalah upaya untuk menandingi timses Ganjar Pranowo Ganjarist untuk mendapatkan tiket 2024 mendatang,” jelas Achmad. Namun, Sekjen PDIP Hasto Kristiyanto mengungkapkan bahwa Dewan Kolonel hanya Guyon saja. Ia bahkan mengklaim Megawati terkejut dengan ramainya pembicaraan soal Dewan Kolonel demi tercapainya Puan Maharani Presiden di 2024. “Bahkan tadi pagi pun, Ibu Mega ketika melihat di running text pada saat saya laporan ke beliau. Beliau juga kaget, dan kemudian ya akhirnya mendapat penjelasan bahwa tidak ada Dewan Kolonel,” ujar Hasto, seperti dikutip dari laman Detikcom, Rabu (21/9/22). Ucapan Hasto itu berbeda dengan yang disampaikan Anggota Komisi Hukum DPR Fraksi PDIP Johan Budi. Johan mengaku sebagai inisiator dibentuknya Dewan Kolonel. Johan menjelaskan, Dewan Kolonel dibentuk tiga bulan lalu. Mulanya, kelompok ini terdiri dari 6 orang, di antaranya Johan Budi, Trimedya Panjaitan, Hendrawan Supratikno, Masinton Pasaribu, dan Agustina Wilujeng. “Kami di fraksi ada sekelompok orang, ingin menjadi timnya Mbak Puan untuk persiapan pemilihan presiden (pilpres). Tentu kita masih nunggu keputusan Ibu Ketua Umum siapa yang dipilih. Tapi kami sudah prepare duluan kalau misalnya nanti Mbak Puan yang ditunjuk, tim ini sudah siap,” kata Johan di kompleks parlemen, Senayan, Jakarta, Selasa, 20 September 2022. Kendati begitu, Johan menyebut Dewan Kolonel merupakan inisiasi para penggemar Puan. Ia menolak Dewan Kolonel dikaitkan dengan kepengurusan pusat PDIP. “Gak ada hubungannya sama Dewan Pengurus Pusat PDIP, ini inisiatif kami sendiri sebagai kader perorangan. Awalnya Mas Utut dan Mas Pacul engga ikut, kami mencari jenderal yaudah kita tunjuk saja,” ujarnya. Ketua Fraksi PDIP DPR Utut Adianto meluruskan soal pembentukan Dewan Kolonel yang diusulkan anggotanya Johan Budi Sapto Pribowo. Kata Utut, sebutan Dewan Kolonel hanya sebuah penyemangat. Utut memastikan, konsep besar pembentukan Dewan Kolonel tetap untuk mendukung pencapresan Ketua DPP PDIP Puan Maharani. Ia mengaku tidak masalah dengan keberadaan Dewan Kolonel tersebut. “Inikan cuma ya Mas Johan Budi memberikan julukan, supaya semangat. Kalau konsep besarnya kan membantu mbak Puan,” ujar Utut di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Kamis (22/9/2022). Sebelumnya, Hasto menyebut Dewan Kolonel yang dibentuk anggota Fraksi PDIP DPR RI hanya guyonan politik. Hasto telah mengkonfirmasi ke Ketua Fraksi PDIP Utut Adianto dan Sekretaris Fraksi Bambang Wuryanto alias Bambang Pacul. Hasto menegaskan, Dewan Kolonel tidak ada dalam struktur partai. Rasanya kurang pantas jika simbol atau atribut kepangkatan dalam militer (baca: TNI) itu dibuat guyonan politik. Bagi seorang Tentara, pangkat adalah satu kebanggaan, apalagi ketika dia sudah berpangkat Kolonel. Kalau alasan Hasto dan petinggi PDIP lainnya, sebutan Dewan Kolonel adalah guyonan politik, itu sama halnya dengan meledek atau mencemooh tingkatan kepangkatan tentara. Apalagi, Relawan Ganjar Pranowo (Ganjarist) juga membuat “Dewan Kopral” untuk menyaingi Dewan Kolonel sebagai pendukung Puan Maharani. Ketua Ganjarist, Immanuel Ebenezer, menyatakan bakal membentuk Dewan Kopral sebagai tandingan dari Dewan Kolonel. Tampaknya politisi PDIP sudah melupakan peristiwa marahnya prajurit TNI atas pernyataan Anggota Komisi I DPR Effendi Simbolon yang menyebut TNI seperti gerombolan dan melebihi ormas yang dikemukakan saat rapat kerja dengan Panglima TNI Jenderal Andika Perkasa di gedung DPR RI Jakarta, Senin (5/9/2022) lalu. Pernyataan Effendi Simbolon itu membuat prajurit TNI AD di sejumlah wilayah Indonesia mulai dari jenderal hingga tamtama marah. Kemarahan prajurit TNI AD itu banyak ditemukan di media sosial. Jangan sampai guyonan Dewan Kolonel, apalagi Dewan Kopral menjadi salah satu pemicu marahnya prajurit TNI, karena dianggap meledek. (*)

Gas Pool Anies Saat Parpol Merapat Sinergis

Oleh: Yusuf Blegur Sepertinya PKS, Demokrat dan Nasdem, sedang memulai budaya baru politik keberadaban. Tidak sekonyong-konyong mengejar materi dan kekuasaan ansih,  ketiga parpol itu semakin menyadari bahwa idealsme itu tidak harus mati dalam menghadapi realisme.  Mengusung Anies sebagai capres dalam pilpres 2024, merupakan jawaban dari pertarungan antara kesadaran ideal spiritual dengan kesadaran rasional materil bagi langkah politik masa depan PKS, Demokrat dan Nasdem. Belakangan bermunculan fenomena partai politik yang mulai membangun hubungan dengan capres tertentu. Sebagaimana kepada Anies, PKS, Demokrat dan Nasdem secara terbuka sudah berinteraksi langsung dengan capres yang segera mengakhiri jabatan gubernur Jakarta itu. Bukan hanya sekedar pertemuan silaturahmi, publik menilai Anies kemungkinan besar digadang-gadang sebagai capres ketiga partai politik tersebut. PKS dan Demokrat yang sejak awal di luar koalisi pemerintahan melihat Anies sebagai figur pemimpin potensial dengan banyak prestasi dan keberhasilan. Hal demikian selain tingginya populeritas  dan elektabilitas, yang membuat PKS dan Demokrat mulai ancang-ancang mengusung Anies sebagai capresnya. PKS dan Demokrat sepertinya juga sedang melakukan investasi politik pada figur Anies. Dengan menjadikan Anies sebagai capresnya, PKS dan Demokrat juga berharap dukungan terhadap Anies akan berdampak mendongkrak  perolehan suara partai. Sementara Demokrat memang bisa dianggap dilematis dalam menimbang figur Anies sebagai capres yang akan menjadi pilihannya. Posisi Nasdem yang berada dalam koalisi pemerintahan tentu saja akan menjadi pertimbangan yang perlu dipikirkan secara matang dan tentunya memiliki resiko tersendiri. Keberadaan Nasdem dalam lingkar kekuasan seperti mengharuskan Nasdem hanya akan memilih satu opsi. Tetap menjadi supporting sistem yang selama ini telah dijalani dan mendukung capres yang bukan tidak mungkin menjadi konsensus koalisi partai pendukung pemerintah. Atau melirik Anies sebagai capresnya, meskipun konsekuensinya akan berseberangan dengan capres yang berasal dari kekuatan partai politik yang didukung kekuasaan. Kalau Nasdem mengusung Anies sebagai capresnya, konsekuensi paling awal dan linear dengan itu, Nasdem harus keluar dari koalisi partai pemerintah,   termasuk menarik diri para kadernya yang menjadi pejabat eksekutif dan dari akses kepentingan lainnya. Nasdem tentunya memiliki rasionalitas sendiri dalam mengusung capresnya, terlebih terkait Anies yang ikut mendirikan Nasdem semasa masih menjadi ormas, betapapun konsekuensi yang dihadapi dari pilihan politiknya. Secara ideologis dan politis, baik PKS, Demokrat maupun Nasdem relatif tidak memiliki hambatan dan ganjalan berarti. Ketiga parpol itu memiliki kesamaan platform kebangsaan dengan figur  Anies yang nasionalis religius dan religius nasionalis. Dengan bonus pelbagai prestasi dan penghargaan yang dimiliki Anies serta yang paling penting taget substansi dukungan mayoritas suara umat Islam terhadap Anies. Tingkat pengenalan, tingkat disukai dan tingkat dipilih rakyat, sulit membuat PKS, Demokrat dan Nasdem berpaling dari figur Anies dalam menghadapi pilpres 2024. Apapun pertimbangan dan motivasinya dalam menentukan capresnya, ketiga partai yang sedang ditunggu-tunggu Anies, para relawan pendukungnya serta sebagian besar rakyat Indonesia khususnya umat Islam . Bagi PKS, Demokrat dan Nasdem, eksistensi dan keberlangsungan partai politik di masa mendatang menjadi lebih urghens dan menjadi prioritas dengan mengusung capres yang cepat, akurat dan tepat. Capres yang ajan membesarkan partai politik dan dicintai rakyat karena memiliki karakter unggul berupa jujur, adil, cerdas dan santun. Figur Anies yang berahlak  dan beradab  itu sepertinya memenuhi kriteria capres ideal bagi seluruh rakyat indonesia pada umumnya dan PKS, Demokrat dan Nasdem khususnya. Sambil menunggu musyawarah nasional dan deklarasi capres PKS, Demokrat dan Nasdem. Rasa-rasanya tak ada capres yang jauh lebih baik dari Anies, jika dilihat dari beberapa  capres yang berseliweran selama ini. Terutama capres yang bermodal pencitraan dipenuhi skandal korupsi, asusila dan  erat menjadi irisan oligarki dan rezim kekuasaan yang semakin hari semakin kental menjadi musuh publik. Ayo tunggu apalagi, gaspoll Anies saat parpol merapat sinergis.

Hallo Pemerintah, Potongan Komisi Aplikator Ojol Terlalu Tinggi, Kasihan Driver Ojol dan Konsumen

Dengan adanya kenaikan komisi oleh Aplikator dan kenaikan tarif Ojol pun hanya cukup untuk menutupi kebutuhan BBM. Oleh: Achmad Nur Hidayat, Pakar Kebijakan Publik Narasi Institute PENGEMUDI Ojek Online alias Ojol sudah sangat dominan menjadi pilihan terakhir bagi para pencari kerja dan korban PHK. Jumlah pengemudi ojol makin lama makin besar sejak kenaikan harga BBM. Mereka mencoba bertahan hidup banyak diantara mereka dulunya berstatus kelas menengah dan sekarang mereka masuk kelompok miskin. Namun tidak juga mendapatkan bantuan BLT maupun BSU senilai total Rp 24,17 triliun karena masih dianggap kelas menengah. Para pengemudi online tersebut tentunya harus diperhatikan juga dan perlu mendapatkan perlindungan dan pengaturan yang lebih komprehensif berupa regulasi pemerintah. Hal ini penting untuk bisa menjamin kesejahteraan para pengemudi ojol dan menjadikan ojol sebagai profesi yang mampu menghidupi keluarga secara layak. Dikutip dari Tempo.co, Ketua Umum Asosiasi Pengemudi Ojek Online Garda Indonesia Igun Wicaksono menilai keengganan perusahaan aplikator ojol untuk menurunkan biaya komisi telah menunjukan sikap yang arogan terhadap aturan pemerintah. Menurutnya, hal ini membuktikan bahwa pemerintah pun tidak berdaya untuk bertindak tegas kepada perusahaan-perusahaan aplikator yang ada saat ini. Igun menyampaikan yang intinya alasan klise yang selalu digunakan oleh pemerintah maupun aplikator dalam hal pemotongan komisi pada pengemudi ojol bahwa keadaan perusahaan yang belum memperoleh keuntungan. Sementara perusahaan aplikator telah berhasil mencapai posisi unicorn dengan nilai valuasi perusahaan melebihi US$ 1 miliar. Hal tersebut membuat alasan yang diberikan oleh perusahaan startup dengan level unicorn masih membela diri dengan belum benefit adalah bualan kapitalis saja bagi kami sebagai asosiasi. Di sisi lain, sikap pemerintah yang selalu membanggakan perusahaan aplikasi jasa transportasi daring telah membuat pengemudi tidak berdaya. Terlebih, para pengemudi ojol masih dibiarkan berstatus ilegal dan dibuat status quo. Ia menduga hal itu agar pengemudi tidak dapat melakukan perlawanan ataupun pembelaan secara hukum kepada aplikator apabila terjadi sengketa dalam industri digital ini. Menurut Igun, biaya aplikasi maksimal 10 persen adalah harga mati bagi para pengemudi ojol saat ini. Hal itu tidak dapat ditawar lagi. Dan, dia pun menegaskan bahwa Asosiasi pun akan terus melakukan protes secara massal di seluruh Indonesia hingga tuntutan para pengemudi dapat dipenuhi oleh pemerintah maupun perusahaan aplikator. Tentu kondisi-kondisi tidak adanya jaring pengaman (safety net) akan beresiko menimbulkan people unrest di tengah banyak persoalan yang harus dihadapi oleh pemerintah. Jika pemerintah tidak menyentuh lebih dalam melalui regulasi yang berpihak orang kecil maka akan ada resiko terjadinya pemotongan-pemotongan komisi. Dengan nilai yang tidak fair yang dilakukan oleh Aplikator Ojol. Ini tentunya sangat mempengaruhi kesejahteraan para pengemudi Ojol. Harus ingat bahwa kenaikan BBM telah menyudutkan rakyat kepada kondisi menderita (suffering). Untuk itu pemerintah harus dirasakan kehadirannya sehingga pengemudi ojol sebagai bagian dari masyarakat merasa diperhatikan. Dengan adanya kenaikan komisi oleh Aplikator dan kenaikan tarif Ojol pun hanya cukup untuk menutupi kebutuhan BBM. Sementara kondisi tersebut membuat para pengemudi ojol tetap kesulitan menghadapi kenaikan harga-harga lainnya sebagai imbas kenaikan BBM. Belum lagi dampak kenaikan tarif ojol membuat pelanggan berkurang. Akhirnya nasib pengemudi ojol sudah jatuh ketimpa tangga pula. Dalam hal ini DPR sebagai wakil rakyat juga harus bisa ambil peranan agar nasib para pengemudi ojol ini tidak terseok-seok oleh keadaan, tapi bisa menjadi sumber penghidupan yang layak bagi masyarakat. (*)

PLN, Utang dan Aset Dijual Ketengan Melalui Sub Holding

 Utang PLN sangatlah besar, mereka menimbun utang untuk menopang belanja dan selanjutnya belanja untuk memperbesar kapasitas oligarki penikmat Take Or Pay (TOP) dari pemerintah. Oleh: Salamuddin Daeng, Pengamat Ekonomi Politik Asosiasi Ekonomi Politik Indonesia (AEPI) MENTERI BUMN Erick Thohir akhirnya memutuskan PLN resmi di-subholding (21/9/2022), dipecah-pecah, dibagi-bagi dalam sub-sub yang independen, dijadikan perusahaan yang terpisah dari induknya, lalu setelah itu dijual ketengan, baik untuk cari utang maupun sebagian sahamnya dilego ke pasar modal. Ada masalah apa sehingga PLN mesti dipecah-pecah atau dipreteli seperti itu? Itu supaya gampang dijual. Sebab, kalau dijual gelondongan nanti ketahuan siapa pembelinya. Nanti jika pembelinya ternyata oligarki maka bisa ketahuan ternyata privatisasi PLN tersebut agar mereka bisa bawa pulang aset sebelum 2024. Satu alasan yang digunakan menteri BUMN dalam memecah-mecah PLN itu adalah alasan keuangan, untuk memperbaiki keuangan PLN. Apa memang perlu diperbaiki? Karena utangnya PLN sangat besar. Jadi solusi atas utang adalah dengan mempreteli aset PLN. Kalau memang laku dilego buat bayar utang maka selesailah masalah utang tersebut. Bagaimana sih keadaan keuangan PLN? Fitch Ratings Singapura 12 Agustus 2021 menyatakan bahwa PT Perusahaan Listrik Negara (Persero) (PLN) yang berbasis di Indonesia berada di peringkat  BBB stabil. Agensi juga telah menegaskan peringkat senior tanpa jaminan pada program surat utang jangka menengah PLN, surat utang yang diterbitkan dalam program tersebut dan uang kertas dolar AS yang diterbitkan oleh anak perusahaannya, Majapahit Holding BV, dan dijamin oleh PLN, di \'BBB\'. Tapi Peringkat utang PLN disamakan dengan peringkat Indonesia (BBB/Stabil) berdasarkan ekspektasi terhadap kemungkinan dukungan \'Sangat Kuat\', sejalan dengan Kriteria Peringkat Entitas Terkait Pemerintah (GRE). Jadi peringkat PLN tersebut sangat bergantung pada dukungan pemerintah. Ketergantungan PLN pada pemerintah untuk memenuhi kekurangan dalam pendapatan. Mengingat sebagian besar keuntungan PLN ditentukan jika subsidi dan kompensasi dibayar oleh pemerintah. Rugi ditentukan subsidi. Untung ditentukan oleh hitungan kompensasi. Kalau pemerintah mau pencitraan maka akan dihitung untung. Negara menyediakan ekuitas sebesar Rp 5 triliun pada 2020 dan Rp 6,5 triliun pada 2019 dan menjamin sekitar seperlima dari pinjaman PLN. Jadi PLN tidak punya ruang secara internal untuk menyediakan belanja bagi dirinya sendiri. Semua bergantung pada asupan pemerintah. Ini memang para sekali. Sekarang untuk menopang pendapatan PLN memindahkan harapan dari permintaan sektor perumahan, dengan harapan konsumsi listrik yang lebih tinggi. Perumahan mengambil alih lebih dari 40% dari total volume PLN. Hal ini mungkin dasar dari skenario kenaikan tarif. Tapi bagaimana melakukan ini ditengah daya beli yang rendah? Perusahaan yang Disuap APBN kok Dilego? Ketergantungan PLN pada Subsidi dan Kompensasi sangatlah tinggi. Subsidi adalah keputusan DPR dan Pemerintah. Sementara kompensasi adalah akal- akalan pemerintah melalui menteri keuangan. Dengan kompensasi maka bisa diatur PLN untung atau rugi. Demi pencitraan maka akan diatur tetap untung. PLN tidak dapat mempertahankan EBITDA tanpa subsidi dan pendapatan kompensasi, yang jika digabungkan, berjumlah sekitar Rp 66 triliun pada tahun 2020, dibandingkan dengan EBITDA sebesar Rp 74 triliun. Ini adalah yang negara dari pajak. Bukan hasil usaha PLN. Sementara PLN sendiri harus fokus bayar utang. Sementara Pemerintah memiliki catatan melakukan penggantian subsidi pada PLN, namun terjadi keterlambatan pencairan pendapatan kompensasi dalam tiga tahun terakhir. Jadi sementara ini untung PLN itu masih sebatas data di atas kertas. Belum tentu juga ada uangnya. PLN juga menerima dukungan negara dalam bentuk pinjaman langsung, pinjaman penerusan dari lembaga multinasional, suntikan modal dan jaminan pinjaman bank untuk beberapa proyek investasinya. PLN akan mengeluarkan belanja modal sekitar Rp 78 triliun pada tahun 2021 dan jumlah tersebut akan tetap sekitar Rp 70 triliun - 75 triliun per tahun mulai tahun 2022 untuk mendukung rencana penambahan kapasitas pembangkit nasional pemerintah dan transisi energi terbarukan. PLN juga berencana untuk meningkatkan kapasitas pembangkitnya dan memperkuat infrastruktur transmisi dan distribusi, sementara produsen listrik independen kemungkinan akan mendapatkan bagian yang lebih besar dalam penambahan kapasitas pembangkitan. Jadi sebetulnya dukungan keuangan dari pemerintah hanya menjadikan PLN sebagai paralon air untuk menyalurkan uang pada oligarki pemegang proyek PLN. Apalagi PLN hanya akan menguasai jaringan, sementara semua proyek pembangkitnya untuk swasta. PLN memang bancakan yang paling empuk. Bagaimana Utang PLN? Saldo kas PLN sebesar Rp 55 triliun pada akhir tahun 2020 cukup untuk memenuhi utang yang jatuh tempo pada tahun 2021 sekitar Rp 39 triliun. PLN memiliki utang jatuh tempo yang tersebar ke berbagai jenis utang, dengan jatuh tempo tahunan sekitar Rp 50 triliun. PLN kalau beruntung akan menghasilkan sekitar Rp 60 triliun-65 triliun arus kas tahunan dari operasi mulai tahun 2022, namun tetap bergantung pada pendanaan eksternal untuk rencana belanja modal tahunannya yang besar. Utang PLN sangatlah besar, mereka menimbun utang untuk menopang belanja dan selanjutnya belanja untuk memperbesar kapasitas oligarki penikmat Take Or Pay (TOP) dari pemerintah. Utang PLN dalam laporan keuangan semester I tahun 2022 mencapai Rp 640,15 triliun, naik dari Rp 631,51 triliun dari periode yang sama tahun lalu.  Rupanya dalam laporan keuangan tahunan tahun 2021 dikatakan utang turun hanya untuk menunjukkan keberhasilan PLN menurunkan utang, setelah itu nambah lagi. Tampaknya subholding PLN yang kemarin diumumkan (21 September 2022), merupakan langkah kebelet. Ada dua sebab karena APBN cekak sehingga tidak mungkin lagi menolong PLN, yang kedua ada kemungkinan ada yang mau bawa pulang aset ketengan  PLN sebelum pemilu 2024. Ngono yo ngono sing ojo ngono (*)

Dugaan Rekayasa Minta Maaf dan Pengampunan PKI Muncul Kembali

 Kalau Asumsi Atau Kecurigaan Masyarakat Ini Benar, Maka Yang Akan Terjadi Bukan Menyelesaikan Masalah, Justru Akan Timbul Masalah Yang Lebih Besar Dan Berbahaya. Oleh: Sutoyo Abadi, Koordinator Kajian Politik Merah Putih PADA 2012 silam, Komnas HAM menyatakan adanya indikasi pelanggaran HAM berat dalam peristiwa Gerakan 30 September 1965. Kasus pelanggaran HAM yang ditemukan meliputi pembunuhan, penganiayaan, pemerkosaan, penghilangan paksa.  Dari dugaan-dugaan itu, Komnas HAM menemukan sebagian besar korban adalah anggota PKI dan organisasi lain yang masih berkaitan. Korban lainnya adalah masyarakat umum. Menjelang peringatan ke-50 Gerakan 30 September 2015, muncul isu Presiden Joko Widodo akan memaafkan dan/atau minta maaf kepada PKI. Buru-buru Mengko Pulhukam saat itu Luhut Binsar Pandjaitan menepis itu adalah hoak. Pemerintah memastikan tidak akan meminta maaf kepada keluarga yang terlibat Gerakan 30 September (G30SPKI), tetapi tetap akan mengusahakan ada rekonsiliasi. “Siapa memaafkan siapa, karena kedua pihak ada terjadi, kalau boleh dikatakan korban, jadi saya pikir tidak sampai ke situ (meminta maaf),” jelasnya saat itu. Saat Megawati menjabat sebagai Presiden RI, PDI Perjuangan juga berupaya mencabut TAP MPRS No. XXV/1966 tentang pembubaran PKI dan larangan terhadap ajaran Komunisme, Marxisme, dan Leninisme di Indonesia. Pada saat itu massa umat Islam bergerak melakukan aksi penolakan terhadap wacana tersebut. Undang-Undang (RUU) Haluan Ideologi Pancasila (HIP) bermasalah sejak awal. Salah satu alasannya, itu karena tidak memasukkan ketentuan hukum yang langsung terkait dengan penyelamatan ideologi Pancasila. Yaitu Ketetapan (TAP) MPRS Nomor XXV/MPRS/1966 yang menyatakan Partai Komunis Indonesia (PKI) sebagai partai terlarang, termasuk pelarangan setiap kegiatan untuk menyebarkan atau mengembangkan ideologi atau ajaran komunisme, marxisme, dan leninisme. Presiden Jokowi sempat memberikan sambutannya, dalam acara pembukaan Kajian Ramadan 1438 Hijriah. Kegiatan yang diadakan oleh Pimpinan Wilayah Muhammadiyah Jawa Timur ini diadakan di Universitas Muhammadiyah Malang (UMM) mulai Sabtu, 3 Juni 2017. Jokowi dengan gamblang menyampaikan isu bangkitnya PKI. “Saya mau bicara mengenai masalah yang berkaitan dengan PKI karena sekarang ini masih banyak isu bahwa PKI bangkit, komunis bangkit,” katanya seraya bertanya, “mana, mana, mana ada PKI, tunjukkan kepada saya.” Fenomena kongres PKI: Kongres PKI ke VII di Blitar Selatan 1967,  Kongres ke VIII pada 2000 di Sukabumi Selatan Jabar, Kongres ke IX 2005 di Cianjur Selatan Jabar. Kongres ke X,  2010  di Magelang Jawa Tengah dan Kongres ke XI di  Banyumas Jawa Tengah pada 2015, adalah bukti mereka tetap eksis. Perjuangan PKI agar Pemerintah minta maaf dan meminta kompensasi ganti rugi serta agar PKI tetap eksis dan bisa kembali hidup di Indonesia terus bergerak, tetap harus di waspadai. Saat ini Presiden Jokowi telah melahirkan Keppres Nomor 17 Tahun 2022 tentang Tim Penyelesaian Non-yudisial Pelanggaran HAM Berat Masa Lalu. Pemerintah mengaku hal ini sebagai langkah terobosan pemerintah mempercepat pemenuhan hak-hak korban dengan penyelesaian non-yudisial. Mekanisme non-yudisial berorientasi pada pemulihan korban. Alasan menempuh mekanisme non-yudisial lebih memungkinkan terwujudnya hak-hak korban, seperti hak untuk mengetahui kebenaran, hak atas keadilan, hak atas pemulihan, dan hak atas kepuasan. Apapun alasannya Keppres tersebut memuat misteri politik tersembunyi yang harus diwaspadai, sangat mungkin hanya dijadikan jalan pintas untuk seolah dianggap menuntaskan pelanggaran HAM berat, bahkan ada agenda politik lain yang mendesak harus diambil. Melacak rekam jejak digital tentang polah tingkah PKI selama ini bisa menjadi Keppres 17 Tahun 2022 ini sebagai pintu masuk Pemerintah akan minta maaf kepada PKI kemudian hak-hak Komunisme dipulihkan lagi, dan PKI sebagai institusi dihidupkan, direhabilitasi dan negara harus memberikan ganti rugi kepada pihak-pihak yang merasa menjadi korban. Asumsi dan dugaan tersebut di atas pasti akan ditolak Pemerintah dengan berbagai alasan, bahkan bisa jadi langsung diterjang itu angan-angan hoak belaka. Masyarakat saat ini tidak boleh menelan mentah-mentah begitu saja apapun ucapan dan kebijakan Presiden Jokowi yang sangat sering dalam hitungan hari sudah berubah dan membahayakan negara, karena dugaan kuat Presiden dalam kendali kekuatan lain yang sangat besar, sehingga ruang gerak PKI telah menemukan momentumnya. Masyarakat harus waspada tinggi menjaga agar tragedi dan ambisi neo-PKI itu berkuasa kembali, meskipun saat ini mereka secara “soft defacto” berkuasa. Terbitnya Keppres 17/2022 ini, bisa jadi sebagai sinyal bahwa bahaya laten PKI sudah semakin nyata, kuat masuk di semua lini pemerintahan. Diduga kuat ada agenda tersembunyi dari maksud Keppres ini dibuat. Yang aneh mengapa agenda pelanggaran HAM berat kasus pembunuhan yang di depan mata, seperti tragedi KM 50 justru dianggap angin lalu. Justru akan menyelesaikan kasus-kasus lainnya yang dibatasi waktunya minimal akhir Desember 2022 dan atau ada perpanjangan waktu satu tahun pada 2023 saat menjelang akhir masa jabatannya. Tampak kerjanya sangat politis, ada apa? Kecurigaan masyarakat, Presiden Jokowi ingin melepas test the water untuk mendorong pengakuan PKI dan antek-anteknya sebagai korban pelanggaran HAM berat pada masa silam, dengan alasan rekonsiliasi tidak bisa diabaikan. Dugaan skenario yang akan dibuat yaitu: PKI adalah korban, negara harus memohon maaf kepada korban dan keluarga PKI. Korban atau keluarganya berhak dapat bermacam kompensasi (PKI akan direhabilitasi), dipulihkan nama baiknya, serta diberi hak hidup kembali dan berkembang. Kalau asumsi atau kecurigaan masyarakat ini benar, maka yang akan terjadi bukan menyelesaikan masalah, justru akan timbul masalah yang lebih besar dan berbahaya. Dan dampaknya nanti justru Presiden bisa terpental sebagai pihak yang harus diadili oleh pengadilan rakyat. (*)

Negara Dalam Bahaya SOS

Bahkan kata Prof Salim Said, oligarki juga telah menguasai Jokowi. “Negara kita sekarang dikuasai oleh para Oligar termasuk Pak Jokowi. Saya tidak tahu dia sadar atau tidak,” katanya. Oleh: Sutoyo Abadi, Koordinator Kajian Politik Merah Putih DIKATAKAN oleh Prof. DR. Daniel M Rosyid negara sudah SOS bahwa: Negara dalam keadaan darurat.. hampir semua institusi negara lumpuh, kejahatan bersimaharajalela tak terbendung, kedunguan meluas, ketakutan mencekam bangsa ini…. Kini tinggal menunggu kebangkitan ummat Islam dan TNI untuk mengambil kembali kedaulatan rakyat dan negara. Negara sudah dikuasai asing dan aseng dengan kekuatan Oligargi. Mereka telah menguasai hasil tambang, hutan, minyak, air, dan tanah. “Bahwa laporan Bank Dunia pada 15 Desember 2015, sebanyak 74 persen tanah di Indonesia dikuasai oleh 0,2 persen penduduk ini pemilikan tanah paling ekstrim di dunia”. “Bahwa berkaca pengalaman di Afrika Selatan, 5 persen penduduk kulit putih menguasai 50 persen tanah, negaranya bubar. Sedangkan di Indonesia 0.2 % menguasai 74 % di Indonesia”. Tidak bisa dibantah negara sudah SOS “Save Our Ship” (Selamatkan Kapal Kami), atau “Save Our Souls” (Selamatkan Jiwa Kami). Guilford (1973): mengatakan bahwa oa_if you would understand world geopolitic today, follow the oil_ (Deep Stoat). (berbicara soal minyak maka 90% soal politik, dan 10% tentang teknis perminyakan itu sendiri). Henry Kissinger mengatakan: control oil and you control nation, control food and you control the peoples (Kendalikan minyak maka kamu menguasai negara, kendalikan pangan maka anda menguasai rakyat). Negara ini sudah terlalu lama dijalankan dengan cara yang salah, secara sewenang-wenang dan tanpa perlawanan. Banyak hal yang salah dilakukan oleh pemerintah. Ketika diberi saran oleh rakyat, bahkan oleh para pakar sesuai bidangnya masing-masing, mereka menutup telinga, membutakan mata dan nuraninya, menutup kritik, tampil jumawa seolah-olah serba bisa dan tahu semuanya. “Those who criticize are permanently removed in the wrong way. various ways have been done, including the correct way. Did it work? So i chose to be a martyr to make a change by slapping their face.” “(Berbagai cara telah dilakukan, termasuk dengan cara yang benar. Apakah itu berhasil? Jadi, saya lebih memilih menjadi martir untuk membuat perubahan dengan menampar wajah mereka),” tuturnya dalam akun twitter @bjorka, Ahad (11/9/2022). Prof. Salim Said mengatakan bahwa negara Indonesia sekarang ini dikuasai oleh oligarki. “Saya takut bahwa banyak yang dilakukan oleh Jokowi itu, adalah akomodasi dia terhadap banyak group-group oligarki,” ucapnya. Bahkan kata Prof Salim Said, oligarki juga telah menguasai Jokowi. “Negara kita sekarang dikuasai oleh para Oligar termasuk Pak Jokowi. Saya tidak tahu dia sadar atau tidak,” katanya. Dalam perjalanan waktu negara kita saat ini dalam bahaya besar menuju failed state. Demo mahasiswa dan rakyat sedang berlangsung, tuntutan turunkan BBM, itu hanya kejadian kecil dari kerusakan negara yang sedang terjadi. Tanpa fokus tuntutan perubahan total, semua akan sia-sia. Bahkan Presiden seperti menantang akan berapa lama kalian berdemo. Di balik kata ada makna kalian akan kelelahan dan akhirnya menghilang. Demo harus fokus pada tujuan kembalikan negara sesuai konstitusi UUD 1945. Dan tuntutan perubahan ke negara harus kembali normal harus fokus kembali ke UUD 45 asli dan kembalikan Pancasila sebagai ideologi negara dan falsafah hidup bangsa Indonesia. Negara terus menuju kehancurannya dan saat ini negara sudah SOS “Save Our Ship” (Selamatkan Kapal Kami), atau “Save Our Souls” (Selamatkan Jiwa Kami). (*)