Politik Identitas Jujur Vs Palsu

Yang perlu dicermati dan diingatkan justeru tendensi politik identitas palsu. Seseorang atau sekelompok yang memakai identitas milik orang lain untuk mendapatkan dukungan dari kelompok lain itu.

Oleh: Imam Shamsi Ali, Presiden Nusantara Foundation

KETIKA musim politik mendekat akan banyak keanehan yang terjadi di tengah masyarakat kita. Keanehan-keanehan itu terkadang menggelikan karena lucu. Tapi tidak jarang juga menjengkelkan karena buruk bahkan busuk. Seringkali juga keanehan-keanehan itu dibumbui oleh drama-drama lucu, khususnya di kalangan para pendukung.

Satu di antara keanehan itu adalah apa yang disebut politik identitas dan drama tuding-menuding. Hal ini saya katakan aneh karena kerap menjadi isu yang samar, abu-abu, tidak jelas lagi membingungkan. Selain tidak jelas defenisinya, juga tidak jelas siapa dan kenapa seseorang dianggap bermain politik identitas.

Yang paling membingungkan lagi biasanya yang paling getol menuduh orang lain bermain politik indentitas, justeru sadar atau tidak, terjatuh ke dalam perangkap yang sama. Ragam identitas menjadi simbol-simbol kegiatan politik demi meraup dukungan dari masyarakat.

Politik Identitas

Sejujurnya saya tidak terlalu paham apa defenisi dari politik identitas itu. Namun merujuk kepada dua kata itu, politik dan identitas, saya memahami bahwa yang dimaksud adalah ketika identitas pribadi/kelompok terpakai untuk meraih keuntungan politik. Anggaplah ketika seorang calon melakukan kampanye dengan menjual atau menampakkan identitas agama tertentu.

Identitas itu sesungguhnya banyak. Tapi yang populer adalah suku, ras/etnis dan agama. Hal-hal ini menjadi identitas dasar bagi setiap orang dalam mendefenisikan dirinya. Idetitas itu seringkali justeru menjadi bagian alami dari seseorang.

Jika identitas-identitas itu dikaitkan dengan perpolitikan, maka diakui atau tidak politik dan identitas tidak akan bisa terpisahkan. Di bawah alam sadar perpolitikan di Indonesia sejak lama telah memakai politik identitas.

Bagaimana tidak, sejak dahulu faktor kesukuan atau etnis sering menjadi penentu kemenangan atau kekalahan seorang kandidat politik. Ambillah Jawa dan non Jawa misalnya.

Selain itu sejak Kemerdekaan bangsa ini perpolitikan telah diwarnai dengan ragam identitas itu. Dan itu diterima normal dan berjalan secara alami saja. Dulu ada partai yang berbasis Islam, nasionalis, bahkan sosialis komunis. Partai berbasis Islam pun juga bahkan terpecah kepada identitas Islam traditional (NU) dan Islam modern (Masyumi).

Semua itu berjalan secara alami dan menjadikan identitas masing-masing sebagai “engine” atau energi dalam melakukan yang terbaik bagi bangsa dan negara. Dengan identitas masing-masing terjadi “fastabiqul khaerat” dalam mengambil bagian bagi pembangunan bangsa dan negara.

Jika kita melihat pada semua partai politik saat ini, disadari atau tidak, juga mengikut pola yang sama. Masing-masing memiliki identitas yang bersifat partikukar. Identitas ini biasanya menjadi pertimbangan utama bagi pemilih atau pendukung untuk memilih atau mendukung. Bahkan, sebelum melihat kepada apa program-programnya.

Di antara partai tersebut ada yang beridentitas nasionalis murni, ada yang nasionalis-religious, ada pula yang religius-agamis. Bahkan partai-partai yang berbasis agama juga punya identitas yang berbeda yang tidak perlu saya rincikan.

Yang ingin saya sampaikan adalah bahwa identitas dalam perpolitikan itu menjadi keniscayaan. Jangankan di negara-negara yang memang sangat peduli dengan identitas kelompok seperti Indonesia. Amerika saja perpolitikan masih diwarnai identitas masing-masing. Demokrat lebih dikenal dengan liberalism. Sementara Republican populer dengan identitas konservatisme.

Dan, karenanya isu idenitas dalam perpolitikan jangan dibesarkan, apalagi dipolitisir dan dijadikan senjata untuk merusak karakter pihak atau kelompok lain. Biarkanlah masing-masing menggunakan identitasnya untuk berbuat yang terbaik bagi kepentingan besar bangsa dan negara.

Identitas keislaman itu bisa menjadi dorongan bagi Umat Islam untuk ikut berkontribusi secara positif dan maksimal kepada bangsa dan negara. Ada nilai-nilai positif ke-Islaman yang sangat diperlukan oleh bangsa dan negara.

Demikian tentunya Umat-Umat yang lain. Umat Kristiani pastinya memiliki identitas yang dapat menjadi motivasi dalam berkontribusi secara positif dan maksimal kepada bangsa dan negara. Saudara-Saudara kita di Bali dengan identitas Hindu-nya melakukan yang terbaik bagi kemajuan Bali dan negeri.

Jujur Vs Palsu

Yang memang seringkali menjadi masalah, bahkan menjengkelkan dan meresahkan adalah ketika identitas itu dijadikan tameng untuk memburu kepentingan sempit (kelompok) dan mengorbankan kepentingan luas (negara dan bangsa).

Tapi yang lebih busuk dan menjengkelkan lagi ketika identitas-identitas itu dipergunakan secara tidak jujur dan tidak dengan kesungguhan. Tapi sekedar untuk tujuan sempit dan sesaat demi meraup dukungan masyarakat luas.

Di musim politik seringkali ada pihak-pihak yang tidak pernah tampil dengan identitas keagaman tertentu, tiba-tiba berubah drastis. Jarang bahkan hampir tak pernah ke masjid tiba-tiba rajin berkunjung dari masjid ke masjid. Bahkan memakai jubah dan sorban sekalipun.

Ada pula yang bukan saja memang tidak berjilbab. Tapi, rekaman jejaknya memperlihatkan sikap yang anti jilbab. Tiba-tiba di musim politik memakai jilbab, berkunjung ke rumah-rumah ibadah dan pesantren-pesantren.

Bahkan lebih aneh lagi ketika non Muslim yang kemudian tanpa malu-malu mempertontonkan indentitas-identitas yang memang dikenal sebagai bagian dari identitas Islam. Memakai baju koko dan peci bahkan memaki baju jubah dan sorban berkunjung ke masjid-masjid dan pesantren.

Syukurlah saya belum pernah mendapatkan ada kandidat politik Muslim yang memakai identitas Kristiani, salib misalnya. Walau di Amerika hal ini biasa. Hampir semua kandidat politik jika berkunjung ke synagogue Yahudi akan memakai kippah (songkok Yahudi).

Kesimpulan yang ingin saya sampaikan adalah dengan politik identitas atau menampilkan identitas dalam politik bukan sesuatu yang negatif dan perlu dimasalahkan.

Justeru bisa menjadi motivasi untuk melakukan yang maksimal dan terbaik bagi bangsa. Dengan catatan tentunya bahwa identitas partikular itu tidak menjadi alasan untuk membatasi diri pada kepentingan sempit kelompok.

Yang perlu dicermati dan diingatkan justeru tendensi politik identitas palsu. Seseorang atau sekelompok yang memakai identitas milik orang lain untuk mendapatkan dukungan dari kelompok lain itu.

Hal ini negatif bahkan berbahaya karena dapat dilihat sebagai ketidak jujuran, bahkan penipuan. Karenanya hati-hati dengan para penipu politik!

New York, 27 September 2022. (*)

426

Related Post