OPINI
Anggota DPR Sudah Berubah Menjadi Makhluk Ghaib
Anggota DPR yang seharusnya menjadi wakil rakyat dan membela kepentingan umum (rakyat) berubah menjadi kacung-kacung dan jongos-jongos petinggi partai politik. Oleh: Sutoyo Abadi, Koordinator Kajian Politik Merah Putih KEDAULATAN Rakyat (sovereignty of the people) berupa otoritas pemberi mandat berupa ijin dan persetujuan (government based upon the consent of the governed), kepada penerima mandat yang telah berubah menjadi makhluk ghaib – dipercaya sebagai anggota DPR, peran dan fungsinya menguap seperti hilang ditelan bumi. DPR di alamnya sendiri seperti hidup di dalam ghaib. Hal-hal penting yang dihadapi oleh bangsa dan negara Indonesia, yang menyangkut kualitas hidup dan kehidupan rakyat banyak, bukan lagi urusannya. Bagi anggota DPR saat ini urusannya adalah dengan kembang menyan, selagi asap kemenyan dan dupa menyala bersama makhluk oligarki sebagai danyang pengendalinya, mereka akan menjadi abdi dalem yang penurut apapun yang harus dilakukan dan dikerjakan. Sebagian anggota DPR pun dugaan kuat sempat menjadi peliaraan Danyang Sambo, ketika tiba-tiba diretas oleh Mahfud MD, nampak kelabakan seperti demit yang kehilangan nalarnya. Kesana kemari saling membela diri. Lucu- lucu seperti anak-anak TK yang kebingungan. Makhluk ghaib seolah sudah bebas bertingkah karena merasa tidak ada beban sebagai wakil rakyat – bahkan sudah berubah sebagai wakil makhluk ghaib oligarki. Abuses of power di Indonesia terjadi sangat parah, bebas dari pengawasan DPR. DPR sendiri sedang ada masalah terkena pengaruh kekuatan ghaib telpon koin dan mereka diikat oleh ikatan partai politik dan PAW (Pergantian Antar Waktu). Semua anggota DPR-RI sudah diikat kaki, tangan, dan mulutnya untuk bisa berkerja sesuai fungsinya sebagai wakil rakyat, sudah tidak berani berbicara membela kepentingan umum atau kepentingan publik. Petinggi partai yang juga sudah menjadi piaraan makhluk ghaib oligarki, yang memiliki kuasa menarik anggota dewan dengan instrumen PAW jauh lebih ditakuti dari pemberi mandat kekuasaan, yang memang kontraknya sudah deal selesai hanya di bilik suara. DPR sudah tidak peduli dan sudah tidak kenal lagi apa itu abuse of power oleh penguasa Presiden dengan seluruh perangkat bawahannya, yang bebas dari pengawasannya DPR karena sudah ada kesepakatan sama-sama juga sebagai makhluk ghaib binaan para kapitalis. Kedaulatan tertinggi rakyat Indonesia sudah dikudeta, dimanipulasi, dirampas dan direkayasa sedikit demi sedikit oleh petinggi partai politik lewat Undang-Undang (UU) yang dibuat oleh kader-kader partai politik yang sudah diikat dengan hak PAW (Pergantian Antar Waktu) yang ada di UU MD3. Anggota DPR yang seharusnya menjadi wakil rakyat dan membela kepentingan umum (rakyat) berubah menjadi kacung-kacung dan jongos-jongos petinggi partai politik. Suara DPR juga sudah dirampas atau diambil-alih oleh para Buzer jalanan binaan penguasa. Lengkap sudah negara ini seperti hidup di alam Sambo, penuh kekerasan, penganiayaan, penuh rekayasa tipuan dan seenaknya membunuh manusia tanpa salah semata hanya menuruti nafsu makhluk ghaib yang ganas kejam dan bengis. Pada kondisi gedung DPR sudah berubah hanya dihuni makhluk ghaib, maka harus segera didatangkan rakyat sebagai pemilik sah kedaulatan negara. Segera ambil-alih dan caranya harus dengan kekuatan people power. Namun, people power tidak akan jalan jika mahasiswa diam saja. People power itu perlu untuk membubarkan DPR MPR yang sudah mandul dari peran fungsi dan tupoksinya. (*)
Peringatan Proklamasi 17 Agustus Jaman “Now”
Ini Indonesia baru, kata mereka, negara Indonesia yang maju. Yang tercerabut dari karakter kebangsaannya dan tidak lagi berdasarkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Oleh: Prihandoyo Kuswanto, Ketua Pusat Studi Kajian Rumah Pancasila BANYAK netizen bingung melihat hari peringatan kemerdekaan 17 Agustus 2022 lalu. Sepanjang peringatan 17 Agustus jaman Orde Lama, Orde Baru, dan jaman Reformasi sangat berbeda. Jaman Orde Lama pidato Bung Karno selalu menjadi pusat perhatian di desa- desa, di warung-warung rakyat berkumpul mendengarkan pidato Bung Karno. Dalam pidato itulah Bung Karno membangun character building bangsanya dengan berapi-api, semua mendengarkan dan menyimaknya. Jaman Orde Baru biasanya setelah upacara juga diadakan obade lagu-lagu kebangsaan, cinta tanah air, rasa nasionalisme berbangsa dan bernegara, kita masih mendengar lagu Indonesia Merdeka, Padamu Negeri , 17 Agustus 1945, Garuda Pancasila, Sorak Sorak Bergembira, Syukur. Di sekolah-sekolah obade berlangsung dengan semangat kebangsaan. Jaman Reformasi, negara ini sudah bukan negara yang di-Proklamasikan 17 Agustus 1945. UUD 1945 diganti dengan UUD 2002, yang diganti bukan sekedar pasal-pasal, tetapi yang diganti sistem bernegara, sistem berbangsa, sistem ketatanegaraan, visi-misi negara diganti dengan visi-misi presiden, visi-misi Gubernur, visi-misi Bupati/Walikota. Jadi, tanpa sadar Indonesia sudah diganti, tujuan bernegaranya sudah tidak lagi Indonesia dengan tujuan “Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia”. Rencana pindah Ibu Kota Negara itu bagian dari melenyapkan Indonesia yang di-Proklamasikan 17 Agustus 1945 atas nama bangsa Indonesia “Soekarno Hatta”. Indonesia yang sekarang adalah Indonesia yang tidak ada hubungannya dengan Proklamasi 17 Agustus 1945, Indonesia yang tidak lagi berdasarkan Pancasila, Indonesia yang sudah tidak bersistem kolektivisme dengan model Permusyawaratan Perwakilan dengan MPR sebagai lembaga tertinggi negara. Indonesia hari ini adalah Indonesia dengan dasar Individualisme, Liberalisme, dan Kapitalisme dengan sistem Presidential. Dengan sistem ini maka visi-misi negara diganti dengan visi-misi Presiden, Visi Misi Gubernur, Visi Misi Bupati Walikota, betul pembukaan UUD 1945 tidak dihapus tetapi visi-misi negara yang ada di Pembukaan UUD 1945 tidak dijalankan. Artinya negara Indonesia yang di-Proklamasikan 17 Agustus 1945 telah bubar. Sehingga banyak yang tidak mengerti apa itu negara Indonesia. Jadi, jangan heran kalau peringatan proklamasi 17 Agustus 1945 diperingati dengan dangdutan koplo, menteri dan pejabatnya pada goyang koplo, karena memang negara sudah berubah, bukan lagi negara yang di-Proklamasikan 17 Agustus 1945. Ini Indonesia baru, kata mereka, negara Indonesia yang maju. Yang tercerabut dari karakter kebangsaannya dan tidak lagi berdasarkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Sadarlah bahwa saat ini adalah Indonesia yang bukan di-Proklamasikan 17 Agustus 1945. (*)
Orkestrasi Kebohongan, Seharusnya Merupakan Kejahatan terhadap Negara
Konsekwensi logisnya upaya menaikkan harga BBM otomatis harus dihentikan. Oleh Syafril Sjofyan | Pemerhati Kebijakan Publik, Aktivis Pergerakan 77-78, Sekjen FKP2B Orkes dengan irama keroncong mendayu haru. Irama jazz bersemangat. Irama klasik mengalun tenang dan damai. Namun di Indonesia sekarang lagi populer orkes kebohongan. Irama sumbang. Awal tahun lalu seorang menteri investasi bernyanyi ingin memperpanjang masa jabatan presiden, backing vocal para pengusaha. Nyanyian yang ditimpal oleh Menko Perekonomian. Diresonansi oleh Ketua Umum Partai PKB dan PAN. Menurut pengakuan, dirigen orkestrasinya adalah Luhut Binsar Panjaitan. Menko serba bisa. Membawa backing vocal dari desa (baca; kepala-kepala desa). Untung para penyanyi tidak berbakat, sehingga pitch kontrol tak beraturan. Membuat pekak gendang telinga masyarakat pendengar. Orkesnya sumbang bertentangan dengan kaidah perundang-undangan. Jokowi sebagai presiden?. Biasa. Bersikap ringan. Orang bernyanyi mosok tak boleh. Para penyanyi (ter)selamat(kan)!. Dari teriakan.Turun! Turun!. Orkestrasi kebohongan juga terjadi di institusi Polri. Orkestrasi kebohongan yang membahana. Dua bulan, masih nyaring di seantero bumi Nusantara (bukan nama IKN) dan dunia. Dirigennya sadis dan sangat kuasa di institusinya, Kaisar Sambo. Sepandai-pandainya mengatur musik kebohongan. Mayat Joshua berbicara banyak. Para penyanyi (baca beberapa petinggi Polri) tak berkutik. Presiden Jokowi. bersikap tegas. Tidak biasa. Karena bukan perpanjangan masa jabatan. Hanya membuat insitusi Polri babak belur. Semoga para backing vocal yang bersuarasumbang menghalangi perkara dan menghilangkan barang bukti, termasuk berpelukan teletubis dan menangis. Konon hampir delapan puluhan polisi. Semua harusnya dipecat dan dipidana tidak pilih bulu dari diawal. Pak Mahfud sang Menko bilang yang ringan maafkan saja. Waduh yang paham hukum kok gitu ya. Lakukan seperti di Militer pak. Hukum semua secara pidana. Biar pengadilan yang menentukan. Fair. Biar kapok, tidak lagi mengulang-ulang orkestrasi kebohongan. Kejahatan terhadap Negara Bersamaan orkestrasi kebohongan “Kaisar Sambo”. Akhir-akhir ini, beberapa pejabat Negara sebut saja Bahlil Lahadalia Menteri Investasi bernyanyi lagi tentang subsidi BBM mencapai Rp502 triliun, siap siap harga naik katanya. Erik Thohir sang Menteri BUMN (foto wajahnya ada dimana,di ATM dan di bandara dan pelabuhan, untung tidak ada ditoilet-toilet). Ikut bernyanyi menyiratkan kenaikan harga BBM subsidi (pertalite dan gas). Ikut berjoget di Istana sedang menghitung ulang subsidi BBM. Lalu Sri Mulyani sang Menkeu (goyang dangdutnya di istana juga sensual) bernyanyi; tidak semua kenaikan harga bisa ditahan pemerintah karena nilai subsidi BBM di dalam APBN 2022 sudah sangat besar, mencapai Rp502 triliun. Konon Presiden Jokowi juga di Istana di hadapan para petinggi Lembaga Tinggi Negara, dengan nada bangga ikut menyanyikan pula subsidi 502 triliun terbesar, tidak ada Negara lain yang mampu memberikan seperti ini. Kali ini Dirigen Orkestrasi tentunya Sri Mulyani. Tujuannya adalah ingin menyunat subsidi dengan menaikan harga BBM. Luhut dengan suara baritonnya “bernyanyi” minggu depan akan diumumkan oleh Presiden kenaikan harga BBM. Orkestrasi tersebut “kebohongan yang menyesatkan”, menurut Analis Ekonomi Anthony Budiawan. Fakta. UU APBN No 6 Tahun 2021 tentang APBN TA 2022, anggaran subsidi untuk tahun anggaran 2022 hanya Rp206,96 triliun, di mana subsidi energi (terdiri dari BBM, LPG 3kg dan listrik) hanya Rp. 134,03 triliun. Artinya, pernyataan bahwa subsidi BBM sebesar Rp502 triliun untuk tahun anggaran 2022 adalah tidak benar, atau menyesatkan informasi publik. Bahkan, menurut realisasi APBN sampai dengan Juni 2022, yang dipublikasi di dalam “APBN Kita” oleh Kementerian Keuangan. Realisasi subsidi energi hanya Rp75,59 triliun. Realisasi subsidi energi tersebut terdiri dari realisasi subsidi BBM dan LPG 3kg sebesar Rp54,31 triliun dan realisasi subsidi listrik sebesar Rp21,27 triliun. Nyanyian Anthony Budiawan bukan sumbang tapi berdasarkan tuts nada tertulis dalam buku. Artinya ditengah hiruk pikuk orkestrasi kebohongan Sambo and his gang, ternyata pihak istana juga “melakukan orkestrasi kebohongan”. Konsekwensi logisnya upaya menaikan harga BBM otomatis harus dihentikan. Jika terbukti bahwa semua orkestrasi tersebut ternyata menyesatkan. Hanya semata dengan tujuan menaikkan harga BBM. Membuat rakyat menjadi bertambah miskin, susah dan menderita. Ini suatu “kejahatan” terhadap negara, yang dilakukan oleh Pejabat pemerintahan. Rakyat bisa menyampaikan Mosi Tidak Percaya kepada Para Menteri dan akan berujung kepada pemakzulan Presiden. Bandung, 19 Agustus 2022. (*)
Sadis Membunuh Mantan Dandim Layak Dihukum Mati
Oleh M Rizal Fadillah | Pemerhati Politik dan Kebangsaan LEMBANG daerah utara Bandung dingin udaranya akan tetapi ada berita panas dari sana yakni tumpahan darah Letkol Purn. H. Muhammad Mubin mantan Dandim Tarakan akibat tusukan berkali-kali oleh orang yang diberitakan bernama Henry Hernando alias Aseng seorang pengusaha. Konon alasan pembunuhan sederhana yakni Ia kesal karena Mubin memarkir mobil di depan tokonya. Mubin sendiri memarkirkan mobil untuk mengantar ke sekolah anak pemilik toko meubel dimana ia bekerja. Mantan Dandim alumni Pesantren Darul Ulum Jombang Jatim yang memilih pensiun dini ini memang orang yang sederhana. Ternyata hanya soal parkir ia telah menjadi korban dari arogansi pengusaha keturunan. Lima luka tusukan di antaranya di leher telah menewaskan secara mengenaskan. Sayang tidak ada penjelasan resmi pihak Kepolisian di tingkat Sektor mengenai duduk perkara sebenarnya. Simpang siur motif pembunuhan, katanya kesal karena sering parkir menghalangi. Terkesan ada yang ditutup-tutupi. Isu yang berkembang adalah Henry Hernando memiliki hubungan dengan pejabat Kepolisian. Hal ini perlu mendapat klarifikasi agar tidak menjadi liar. Pengalihan penanganan oleh Polda Jabar harus dibarengi dengan penilaian kerja Polsek Lembang dan Polres Cimahi agar tidak menimbulkan dugaan penanganan awal yang tidak profesional. Sanksi perlu dijatuhkan bila terbukti terjadi kekeliruan. Baru saja di Jakarta publik diramaikan oleh kasus pembunuhan Brigadir J di rumah Kadiv Propam Irjen Ferdy Sambo tiba tiba di Bandung dikejutkan oleh pembunuhan sadis seorang mantan Dandim Letkol TNI (Purn) Muhammad Mubin oleh seorang pengusaha Henry Hernando. Serasa bergerak cepat dari Sambo ke Hernando. Mungkin untuk menutupi persoalan SARA maka tiba tiba Henry Hernando berpotret memakai topi yang mengesankan sebagai seorang muslim. Padahal soal pembunuhan tidak bisa dipersoalkan apa agamanya. Bahkan rekayasa seperti ini justru menimbulkan persoalan SARA baru. Yang mendandani jelas telah melanggar etika dalam penanganan perkara. Polsek atau Polres harus diusut keterlibatannya. Semakin terlihat kejanggalan semakin menimbulkan pertanyaan. Apa motif sebenarnya dari pembunuhan sadis pengusaha keturunan ini ? Siapa dirinya apakah pengusaha kecil, menengah, atau bagian dari jaringan bisnis besar ? Apa bisnis yang bersangkutan ? Hanya toko di Lembang atau ada sesuatu yang disembunyikan. Mengapa sekitar tokonya sebagai TKP tidak cepat dibuat \"police line\" ? Henry Hernando telah ditetapkan sebagai tersangka. Hanya disangkakan melanggar Pasal 351 KUHP soal penganiayaan bukan 338 KUHP untuk pembunuhan. Adapun dengan membawa pisau yang sepertinya dipersiapkan sangat mungkin untuk dikenakan 340 KUHP tentang pembunuhan berencana. Bukankah tersangka kesal karena korban sering parkir di depan rukonya. Artinya ada dendam. Penusukan berkali-kali ke leher, dada, dan perut itu bukan penganiayaan. Pembunuhan atau pembunuhan berencana. Aseng layak dihukum mati ! Seorang Purnawirawan telah dibunuh sadis tanggal 16 Agustus 2022. Pelakunya seorang pengusaha. Jika tidak dikuak kasusnya oleh rekan seangkatannya Letjen TNI (Purn) Yayat Sudrajat, maka nampaknya kasus ini akan adem-adem saja. Ada rasa kesengajaan untuk menutupi atau \"melindungi\". Benar atau tidak, Kepolisian harus menyidik dengan terbuka dan transparan. Jangan ada cerita Sambo di Bandung. Keadilan harus ditegakkan walaupun ia adalah teman macan, singa, ataupun naga. Pembunuhan Letkol TNI (Purn) Muhammad Mubin bukan kasus sederhana. Purnawirawan TNI pun tentu tidak mungkin bisa tinggal diam atau berpangku tangan. Martabat yang terinjak oleh arogansi pengusaha keturunan yang bertindak sadis. Polisi menghadapi ujian kejujuran dan kerja profesional. Di tengah bobroknya mental penyiksa dan perekayasa sejenis Irjen Ferdy Sambo dan squad jahatnya. (*)
Menuju Reformasi Total Institusi Polri, Wacana atau Dilema-1
Oleh Raden Baskoro HT (Forum Diaspora Indonesia Asia-Pasific) Tak pernah satu detikpun saat ini layar TV dan layar HP kita lepas dari berita Sambo, plus dengan komentar dan ceiloteh netizen se-Nusantara. Irjen Pol Ferdy Sambo, ex-Kadiv Propam kalau kita flash back 50 hari yang lalu adalah sosok besar, kuat, dan menakutkan, hari ini berbalik arah total 180 derjat. Pada kesempatan ini, kita tak perlu lagi mengurai dan mengulas bagaimana peristiwa hukum penuh darah dan rekayasa memalukan ini berjalan. Kesimpulan yang kita ambil adalah telah terjadi sebuah skandal dan kejahatan besar luar bias (extraordinary crime), yang dilakukan oleh PJU (Pemangku Jabatan Utama) di tubuh institusi Polri. Bersama para rekan dan anak buahnya secara sistematis dan terukur. Jabatan Kadiv Propam itu bukan jabatan biasa. Propam itu seperti Polisinya bagi Polisi. Yang mempunyai kewenangan menangkap, menyelidiki, memproses dan mengadili secar kode etik setiap Polisi apapun pangkat dan jabatannya ketika melakukan kesalahan maupun pelanggaran kode etik. Jabatan Divisi Propam itu seperti yang dikatakan oleh Irjen Pol Ferdy Sambo itu sendiri adalah, “ Brand Ambasador dari performa Polisi itu sendiril”.dalam sebuah unggahan video yang begitu viral. Artinya, kejahatan yang dilakukan oleh Sambo Cs tidak bisa lagi kita kerdilkan itu adalah “prilaku oknum” semata. Ini adalah sebuah kejahatan yang tersistem, yang berarti ada permasalahan mendasar, komprehensif dan integral melanda korps Bhayangkara ini. Meskipun pada satu sisi, kita tentu tidak juga megeneralisir semua Polisi itu jahat. Tak bisa kita pungkiri lagi saat ini, bagaimana perluasan kewenangan Polisi pada masa reformasi khususnya era rezim Jokowi akhirnya memakan korban internalnya sendiri. Kewenangan Polisi yang begitu luas, menjadikan Polri seolah jadi institusi paling “Super Power, Super Body, Full Power” di negara ini. Polri hari ini tidak saja memiliki persenjataan canggih mutakhir, tetapi juga punya “senjata kewenangan” hukum sosial politik yang tanpa batas. Beda dengan TNI, meskipun punya senjata dan perlatan tempur, tapi tunduk pada kekuasaan “Supremasi Supil” di bawah koordinasi Kementerian Pertahanan. Beda lagi dengan Polri yang langsung sebagai anak emas di bawah Presiden. Kewenangan yang begitu luas, memiliki pasukan bersenjata, serta jadi “anak emas” Presiden, membuat Polri terjerambab ke dalam pusaran arus Politik. Akibatnya, Polri yang seharusnya menjadi aparat negara yang tunduk dan loyal pada hukum, hari ini terjebak menjadi alat dan tameng kekuasaan. Seperti ada semacam hubungan mutualisme antara Polri dan penguasa. Diberi kewenangan dan fasilitas kekuasaan, tapi bekerja sebagai garda utama pendukung kekuasaan. Sebenarnya sudah banyak kritikan, masukan, yang disampaikan oleh para aktifis, akademisi, purnawirahan dan para ahli, bahwa sudah saatnya Polri melakukan reformasi. Belajar kepada TNI yang sudah jauh mereformasi dirinya dan beradabtasi dengan cepat pasca reformasi. Tapi pemerintah hari ini khususnya tidak bergeming sama sekali. Kenapa? Karena pemerintah hari inilah yang paling merasakan manfaat dari kekuasaan Polisi yang super body dalam melindungi kepentingan politik dan kekuasaannya. Sampai akhirnya skandal besar Sambo Cs ini terkuak kepada publik, barulah banyak yang tersadarkan bahwa, memang telah terjadi sebuah kerusakan sistematis, disorientasi kewenangan dalam tubuh Polri. Tidak bisa kita nafik kan bagaimana opini dan asumsi rakyat menilai Polisi hari ini. Telah terjadi degradasi, demoralisasi, destrukturisasi wajah Polisi di mata masyarakat luas. Bagaimana rakyat marah dan tidak percaya lagi pada Polisi ; Anak buahnya sendiri saja tega di bunuh dengan kejam. Rumah tangga nya saja tidak bisa dia jaga apalagi institusi apalagi rakyat? Dengan telanjang juga kita semua melihat dan mendengar bagaimana akrobatik rekayasa cerita berbolak balik mempertontonkan kebohongan demi kebohongan tanpa rasa malu ? Pagi bilang A, siang bilang B, malam bilang C. Apa jadinya negara ini kedepan, apabila para penegak hukumnya sendiri adalah penjahat? Tukang rekayasa? Tukang backing kejahatan? Tukang bohong tanpa rasa malu? Dan setiap tugasnya tak luput dari embel-embel kata “uang”. Kejahatan yang dilakukan oleh Sambo Cs, baik yang telah diakuinya pada publik maupun yang belum, adalah wajah dan panggung utama sosok Polisi hari ini. Apalagi kalau isu tentang harta karun satgassus, narkoba, judi, ilegal mining, dan kriminalisasi pelakunya semua adalah Polisi terbukti? Sungguh tak bisa lagi kita bedakan antara mana yang Polisi dan mana mafia yang berseragam. Skandal Sambo Cs, sepak terjang Satgassus yang sangat meresahkan adalah aib besar bagi lembaga kepolisian. Dan semua ini harus diusut tuntas dan setransparansinya. Untuk memulihkan kepercayaan masyarakat kepada Polisi. Untuk itu, arus isu tentang reformasi total terhadap institusi Polri secara menyeluruh harus segera direalisasikan. Bukan wacana lagi. Bukan dilema lagi. Cukup sudah kejadian Skandal Sambo Cs dan sepak terjang Satgassus ini menjadi bukti otentik, bahwa telah terjadi kerusakan dan disorientasi tugas kepolisian di Indonesia. Sudah saatnya kembalikan lagi, jati diri Polisi sebagai penegak hukum, penjaga Kamtibmas, dan bertindak sebagai melayani, mengayomi dan melindungi masyarakat. Politik kepolisian adalah politik negara yang hanya tunduk pada hukum dan konstitusi dimana rakyat di dalamnya adalah pemegang daulat tertinggi. Polisi dipisahkan dari ABRI melalui TAP/MPR/VI/2000 agar menjadi sipil yang humanis bersenjata untuk melumpuhkan. Polisi non-kombatan bukan untuk tempur dan jadi pembunuh rakyatnya sendiri. Sudah saatnya UU nomor 2 tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia di revisi dan direkonstruksi ulang baik secara substansi, struktural, kultural, dan orientasi. Hentikan menarik-narik Polisi masuk kedalam rumpun kekuasaan. Indonesia adalah negara berbentuk Republik dan memganut paham demokrasi dalam sistem politiknya. Artinya, secara konsepsi bernegara harus di pisahkan mana yang negara dan mana yang pemerintah. Dimana Polisi itu adalah pelaksana regulasi, bukan kacung kekuasaan. Yang merepresentasikan dirinya pemerintah itu adalah negara. Ini tidak benar dan salah total. Reformasi Polri harus dimulai dari repositioning, meletakkan Polri secara mandiri di bawah koordinasi kelembagaan kementrian. Seperti TNI di bawah Kemenhan RI. Silahkan dikaji, apakah berada di bawah Kemendagri, Polhukam, Kementrian baru KamNas, atau kembali digabungkan bersama TNI? Selanjutnya, juga pemurnian pemahaman yang dapat memisahkan antara pengertian keamanan sebagai konsep dengan keamanan ketertiban masyarakat sebagai fungsi. Begitu juga dalam penugasan satuan tempur kombataj dalam Polisi, yang itu jelas bertentangan dengan UU dan konvensi Jenewa tahun 1949, dimana kepolisian Indonesia juga tergabung dalam IOSCE yang beranggotakan 57 negara di dunia. Yang sepakat menempatkan tugas kepolisian sebagai Polisi yang humanis dan menjunjung tinggi HAM. Ini secara fakta, jelas bertolak belakang dengan performance Polri saat ini. Keberadan Brimob, Densus 88, Gegana, bisa di anggap sebagai polisinisasi kekuasaan kedalam negara. Ini jelas inskonstitusional. Pemahaman dan diktrin Polisi sebagai “the guardian of state” ini yang akhirnya menghilangkan jati diri Polisi Indonesia yang humanis pengayom rakyat sesuai Tri Brata, kembali menjadi “militeristik” bak monster pembunuh bagi rakyatnya sendiri. Meskipun hal ini dilematis bagi penguasa hari ini yang sudah “keenakan” mendapatkan manfaat dari loyalitas subjektif Polisi sebagai alat kekuasaan, Polri hari ini harus di selamatkan, di keluarkan dari kubangan arus politik kekuasaan. Polisi adalah institusi kebanggaan masyarakat Indonesia. Jangan sampai di peralat oleh tangan-tangan jahil politisi jahat yang memanfaatkan Polisi jadi tameng kekuasaannya. Reformasi total Polisi harus segera di realisasikan. Stop wacana dan lawan upaya rezim ini untuk selalu membenturkan dan mengadu domba Polisi dengan rakyat khususnya yang bersebrangan secara pilihan politik. Cukup sudah skandal memalukan Sambo Cs dan Satgassus ini, terjadi satu kali ini saja. Mari bersama kita kembalikan citra baik Polisi kepada publik. Kita dukung Kapolri hari ini Jendral Sigid melakukan pembersihan dan reformasi total terhadap institusi Polri. Kita tunggu dan awasi bersama ya.. Australia, 18 Agustus 2022
Hapus Pangkat Jenderal, Polisi di Bawah Bupati-Walikota Saja
Oleh Asyari Usman | Jurnalis Senior FNN FERDY Sambo membongkar semuanya. Mulai dari mentalitas jenderal, gaya hidup, sampai soal tambang duit hitam. Pendek cerita, Polri sekarang ini menjadi beban rakyat. Bukan pelindung. Bukan pula pengayom. Kasus Sambo membuat rakyat semakin jengkel melihat Polisi. Boleh jadi rakyat menganggap semua polisi seperti Sambo. Apa boleh buat. Tentulah masih banyak polisi yang baik, yang lurus. Tapi, tidak bisa dibantah bahwa banyak sekali kasus tercela yang melibatkan anggota Polri. Atas dasar inilah publik melihat semua polisi sama saja. Polisi yang baik-baik menjadi tak kelihatan. Prihatin! Kembali ke Sambo, polisi berbintang dua ini menjerumuskan Kepolisian ke jurang kehancuran. Sambo mengakui bahwa dialah yang merencakan pembunuhan Brigadir Yoshua (Brigadir J). Ini berarti Sambo mengakui juga tindakan sadis terhadap korban. Ketegaan Sambo ini besar kemungkinan terkait dengan pangkat dan posisinya. Pangkatnya jenderal, jabatannya Kadiv Propam. Pangkat tinggi, posisi super kuat. Sambo merasa bisa berbuat apa saja tanpa hukuman. Dan merasa bisa mengatur skenario yang diinginkannya. Bawahan akan mengikuti perintah. Dan memang inilah yang menyebabkan begitu banyak bintang satu, Kombes, AKBP, Kompol, AKP, dll, terseret bersama Sambo. Sambo tak hanya menggunakan perintah hirarkis. Dia juga menjanjikan uang besar kepada orang-orang yang membantunya dalam pembunuhan berencana terhadap Brigadir J. Jadi, pangkat tinggi dan uang banyak. Inilah yang diandalkan Sambo. Kombinasi yang sangat ‘powerful’: kekuasaan dan uang. Susah ditolak oleh bawahan. Sambo menyalahgunakan kekuasaannya. Plus duit besar. Dari mana Sambo mendapatkan duit besar? Diduga kuat Satuan Tugas Khusus (Satgassus) Merah Putih, yang non-struktural, membukakan pintu duit besar itu. Banyak dugaan bahwa Sambo membangun jaringan masif mirip Mafia, di tubuh Polri dengan berlindung di balik Satgas percepatan penanganan kasus. Sampai di sini, kita menemukan tiga ramuan yang membuat Sambo dianggap super kuat. Dia dikatakan lebih kuat dari Kapolri sendiri. Ketiga ramuan itu adalah: pangkat jenderal, wewenang khusus (Satgassus), dan duit besar. Dengan pangkat jenderal, Sambo mengepalai Satgassus. Dengan Satgassus, Sambo diduga mengumpulkan duit besar. Dengan duit besar, Sambo bisa melakukan apa saja. Sebagai contoh, dalam pembunuhan berencana terhadap Brigadir J, Sambo menjanjikan uang besar kepada sejumlah pelaku. Bahkan, dia diyakini mencoba menyogok LPSK dengan aplop tebal. Tak mungkinlah uang receh diamplopkan untuk LPSK. Sekarang, para pengamat dan publik menuntut reformasi total Polri. Tuntutan ini sangat tepat. Tepat alasan, tepat momennya. Tetapi, bagaimana seharusnya reformasi total itu dilaksanakan? Kalau kita serius ingin melenyapkan Mafia di Kepolisian, Mabes di dalam Mabes, abuse of power (penyalahgunaan kekuasaan), termasuklah Polri dibawa-bawa untuk kepentingan politik, dlsb, maka ada dua tindakan drastis yang perlu dilakukan. Pertama, hapus pangkat jenderal di Kepolisian. Paling tinggi hanya pangkat komisaris besar (Kombes). Pangkat jenderal, secara psikologis, akan membuat polisi merasa kuat, bisa berbuat apa saja, mengatur apa saja, dan kebal hukum. Kedua, hapus struktur kepolisian nasional. Cukup Polres atau Polwil saja yang dikepalai oleh seorang Kombes. Dengan begini, polisi tidak bisa disalahgunakan oleh para politisi, khususnya seorang Capres. Lebih kurang begini penjabarannya. Tidak ada lagi Mabes Polri dan Mapolda. Tidak ada lagi jalur komando dari Kapolri atau Kapolda sampai ke Kapolsek seperti sekarang. Yang ada hanya Mapolres atau Mapolwil. Kapolres atau Kapolwil ditempatkan di bawah Bupati atau Walikota. Kapolres atau Kapolwil adalah polisi yang paling tinggi pangkat. Hanya kombes. Tidak ada lagi perintah dari satu orang jenderal, baik itu Kapolri, Kabareskrim, Kadiv, dan jabatan nasional lainnya, yang harus diikuti oleh 500,000 plus anggota Polri seperti sekarang ini. Jalur ini rawan penyalahgunaan kekuasaan. Contoh, sekarang ini Direktorat Narkoba di Mabes Polri bisa turun ke wilayah Polsek ketika ada penangkapan narkoba dalam jumlah besar. Di sinilah abuse of power bermula. Bandar besar narkoba yang tersangkut penangkapan seperti ini sangat mungkin akan dijadikan sumber duit oleh orang-orang Mabes yang mengambil alih atau mengawasi kasus ini. Contoh lain adalah Satgassus yang akhirnya dimanfaat oleh Ferdy Sambo untuk kepentingan pribadi dan kelompok. Bahkan dia bisa membangun jaringan Mafia di tubuh Polri. Dengan tidak adanya polisi berpangkat jederal, hanya Kombes yang tertinggi, dan wilayah kerja seluas kabupaten-kota atau gabungan beberapa kabupaten, maka seorang Kapolres atau Kapolwil tidak punya kekuatan untuk membentuk Mafia. Seorang Kapolres tidak bisa mengandalkan pangkatnya untuk melindungi para bandar judi dan bandar narkoba. Dia hanya menjadi bos di wilayah yang sangat kecil dengan jumlah anggota rata-rata di bawah seribu orang di satu Polres atau Polwil. Sebagian besar Kapolres atau Kapolwil tidak punya bandar besar narkoba dan perjudian di wilayah hukum mereka. Terakhir, keuntungan lain yang didapat dari penghapusan Polri dan Polda adalah penghematan uang rakyat. Hitungan cepat menunjukkan peniadaan Mabes Polri dan 34 Mapolda akan menghemat duit sekitar Rp13 triliun per tahun. Atau setara dengan 11% anggaran Polri 2022. Ambil satu contoh, yaitu Mabes Polri. Di sini ada 27,000 personel yang bertugas. Sangat sulit dipahami untuk apa jumlah sebesar ini? Hanya membuang-buang uang rakyat. Tapi, penghematan bukanlah tujuan utama reformasi total yang diusulkan ini. Urusan terbesarnya adalah mencegah Kepolisian agar tidak menjadi ajang bagi para jenderal sok kuasa seperti Ferdy Sambo untuk berbuat sewenang-wenang yang akhirnya merugikan seluruh rakyat. Jadi, mari kita bangun Kepolisian yang “core business”-nya adalah pencegehan kriminalitas, penegak hukum, perlindungan untuk rakyat. Tidak perlu jenderal, tidak perlu Mabes dan Mapolda. Cukpup Polres atau Polwil. Untuk kejahatan besar, penanganan terorisme, kejahatan lintas wilayah, dan aspek Interpol tentunya bisa diatur dalam UU baru tentang Kepolisian.[]
Rapuhnya Moralitas Kekuasaan
Renungan Kemedekaan oleh Dr. Syahganda Nainggolan, Sabang Merauke Circle RAKYAT Indonesia beberapa hari belakangan ini gelisah, karena Indonesia ini berjalan entah kemana. Tak jelas tujuan dan limbung, sebentar ke kiri, sebentar ke kanan. Katanya sudah merdeka 77 tahun, tapi makna kemerdekaan itu terasa semakin jauh. Tak jelas dan limbung karena negara dan pengelolanya berjalan tanpa moralitas kekuasaan yang jelas, sementara rakyat mengais-ngais secercah harapan untuk hidup saat beban ekonomi menaik. Lihatlah beberapa hal berikut ini, pertama, kita melihat istana di hari perayaan kemerdekaan menteri-menteri berjoget ria, lagu cinta, yang dibawakan anak belum dewasa. Biasanya peringatan kemerdekaan dilakukan dengan lagu-lagu kebangsaan, yang membuat seluruh orang hikmat dan merinding. Misalnya, lagu Padamu Negeri, ciptaan Kusbini. Atau setidaknya lagu Merah Darahku, ciptaan Gombloh. Dengan lagu kebangsaan, secara sosiologis, manusia terhubung dengan perjuangan yang belum selesai. Kemerdekaan yang belum selesai. Jika dengan lagu cinta cintaan, \"Ojo dibandingke\", apalagi mengeksploitasi anak kecil sebagai penyanyi, tentu tidak terhubung dengan \"public domain\" atau \"public interest\". Persoalan kedua tentang moralitas kekuasaan, tentu saja soal pembunuhan Brigadir J. Supremasi Hukum adalah kata kunci \"Justice\". Sebuah negara didirikan untuk mendistribusikan keadilan bagi rakyat. Tanpa meletakkan hukum sebagai tulang punggung, tentu semuanya akan kacau balau. Bagaimana mengatur hukum bagi kepentingan semua orang? Negera membangun institusi penegakan hukum dan keadilan. Salah satunya adalah kepolisian. Kita sudah melihat dalam bulan kemerdekaan ini, beberapa jenderal polisi, terlibat kasus melakukan pembunuhanan dan saling bantu dalam kasus pembunuhan tersebut, yakni Ferdi Sambo dkk. Jika kita nonton film \"City of Lies\", Jhonny Deep, di HBO, polisi di Los Angeles, Amerika, juga terjadi hal yang sama, yakni polisi berkelakuan mafia. Tapi, yang kita alami dalam 77 tahun merdeka ini adalah ternyata jenderal jenderal ini merupakan bagian dari kekuasaan negara, bukan soal pribadi. Mengapa demikian? Karena dalam rezim Jokowi, polisi bekerja bukan saja untuk urusan penegakan hukum, melainkan juga menghancurkan lawan-lawan politik dari rezim yang berkuasa. Jokowi selama ini menyandarkan penyingkiran oposisi pada polisi. Sambo adalah intinya polisi saat kemarin itu, ketua propam dan ketua institusi ekstra kuat, Satgasus. Jadi wajah Sambo, sekali lagi, adalah refleksi wajah kepolisian. Mahfud MD mengungkapkan tanpa adanya polisi bintang 3 yang bermoral, kemungkinan Sambo bebas. Tentu saja karena Kapolrinya juga ingin bertransformasi ke arah yang benar. Persoalan ketiga adalah ekonomi rakyat kecil. Jokowi, via LBP, sudah menyatakan akan menaikkan harga BBM, minggu depan. Selama ini pemerintah menyatakan bahwa negara terlalu banyak mensubsidi rakyat, sekitar Rp. 500 triliun. Tentu saja rakyat akan memikul beban kenaikan harga yang sangat besar. Sebelum kenaikan BBM, pertalite dan solar, saat ini rakyat sudah mengalami beban mahalnya harga-harga kebutuhan pokok. Padahal upah tidak naik atau naik tidak signifikan. Belum kita melihat yang PHK, semakin banyak. Mengharap pada keluarga besar (extended family), sebagai sistem perlindungan sosial tradisional, semakin sulit. Karena, semua orang juga semakin sulit. Lalu kemana berharap, jika negara mencabut subsidi? Jika subsidi dipangkas? Persoalan terakhir adalah demokrasi dan kebebasan rakyat. Kita melihat bahwa beberapa ulama masih di penjara. Alasannya adalah membuat onar, seperti kasus Habib Bahar Smith, Edi Mulyadi, Bunda Meri di Lampung, dan kasus-kasus yang dicurigai polisi sebagai teroris. Menghukum lawan-lawan politik karena mengganggu kekuasan adalah ajaran Machiavelli. Niccollo Machiavelli, filosof Florence era 1500 an, mengatakan penguasa tidak perlu berharap dicintai, tapi berharaplah untuk ditakutin rakyat. Ketakutan rakyat lebih mulia daripada dicintai. Ini adalah moral iblis. Dimana negara dan kekuasaan dibangun untuk merampok kekayaan bangsanya, bukan menciptakan keadilan sejati. Di era modern, di mana kontrol social dari \"civil society\" diperlukan, justru kebebasan, kritik dan perbedaan pendapat haruslah menjadi tiang utama negara. Jokowi sudah mengingatkan agar tidak ada lagi politik identitas. Sebenarnya siapa yang berlindung dalam isu politik identitas itu? Di era sebelum Jokowi justru ketika rezimnya menganut demokrasi, tidak ada kekerasan politik atau permusuhan politik horisontal di masyarakat. Pemenjaraan dan penangkapan ulama serta aktifis politik hanya gencar di era rezim Jokowi. Itu paralel dengan kekuasaan aparatur polisi, begitu besarnya. Catatan Akhir Negara adalah sebuah institusi representasi kepentingan rakyat. Untuk benar-benar bisa memberi fungsi keadilan, diperlukan moralitas kekuasaan. Moralitas itu adalah sebuah nilai-nilai yang di dalamnya kepentingan pribadi ditransfer menjadi kepentingan publik. Orang-orang harus melihat pemimpinnya meneteskan air mata ketika acara kemerdekaan di istana, dengan lagu lagu kebangsaan yang menggugah spirit, bukan berjoget-joget lagu cinta. Orang-orang harus terkoneksi dengan sejarah. Hukum dan keadilan harus tumbuh dalam fundamental nilai-nilai. Penegak hukum harus mengerti bahwa dia adalah teladan. Kalau bisa moralitasnya berbasis agama, rajin ibadah dan membenci uang-uang haram. Penegak hukum dan perangkat hukum tidak lagi menjadi bagian dari kepentingan politik rezim, dia harus adil terhadap siapapun. Tidak boleh digunakan untuk mendukung seseorang dalam pemilu atau lainnya. Moralitas kekuasaan dengan nilai-nilai kecintaan pada rakyat harus merujuk pada maksud Indonesia Merdeka. Keadilan untuk semua rakyat. Saat ini kita berada pada kerapuhan moralitas kekuasaan. Tapi kita, ketika melihat misalnya masih ada jenderal bermoral di kepolisian, kita masih bisa berharap bahwa masih ada harapan ke depan. Jokowi harus mampu menunjukkan langkah ke depan, membangun Indonesia Merdeka yang kokoh berbasis moral yang tangguh. Reformasi kepolisian dan birokrasi harus dilakukan. Ulama dihormati. Pemimpin harus merakyat. Subsidi pangan dan energi pokok harus dipertahankan. Serta demokrasi diutamakan. Dirgahayu Republik Indonesia ke 77. Tetap Berharap. Tetap Semangat! Depok, 19/8/22
Alasan Menyesatkan di Balik Upaya Menaikkan Harga BBM: Wajib Batal!
Realisasi subsidi energi tersebut terdiri dari realisasi subsidi BBM dan LPG 3kg sebesar Rp54,31 triliun dan realisasi subsidi listrik sebesar Rp21,27 triliun. Oleh: Anthony Budiawan, Managing Director PEPS (Political Economy and Policy Studies) AKHIR-akhir ini, beberapa pejabat negara gencar memberi pernyataan senada dan seirama, orkestrasi. Yang intinya mengatakan bahwa subsidi BBM saat ini sudah memberatkan keuangan negara, memberatkan APBN. Mereka kompak mengatakan, subsidi BBM mencapai Rp502 triliun. Pernyataan yang seperti propaganda tersebut intinya menyiratkan kenaikan harga BBM sulit dihindari. Yang dimaksud BBM tentu saja pertalite, atau mungkin juga LPG 3 kg? Menkeu Sri Mulyani mengatakan, tidak semua kenaikan harga bisa ditahan pemerintah. Menteri BUMN Erick Thohir mengungkapkan kepada publik, pemerintah sedang menghitung ulang subsidi BBM, agar APBN tidak jebol. Menteri Investasi Indonesia/Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal Bahlil Lahadalia bahkan lebih tegas lagi, minta masyarakat siap-siap harga BBM naik. Salah satu alasan yang selalu dikemukakan kepada publik adalah nilai subsidi BBM di dalam APBN 2022 sudah sangat besar, mencapai Rp502 triliun, dikhawatirkan APBN jebol. Pertanyaannya adalah, bagaimana kalau alasan untuk menaikkan harga BBM tersebut tidak benar? Bagaimana kalau subsidi BBM di dalam APBN tidak sebesar yang dipropagandakan? Bagaimana kalau subsidi BBM untuk tahun 2022 tidak sebesar Rp502 triliun? Sebagai konsekuensi logis, kalau sebuah kebijakan diambil berdasarkan alasan yang terbukti tidak benar, maka seharusnya wajib batal. Artinya, kalau nilai subsidi BBM sebesar Rp502 triliun seperti yang digembar-gemborkan (alias dipropagandakan) terbukti tidak benar, maka semua upaya menaikkan harga BBM otomatis harus dihentikan? Faktanya, menurut UU APBN Nomor 6 Tahun 2021 tentang APBN TA 2022, anggaran subsidi untuk Tahun Anggaran 2022 hanya Rp206,96 triliun, di mana subsidi energi (terdiri dari BBM, LPG 3kg dan listrik) hanya Rp134,03 triliun. Artinya, pernyataan bahwa subsidi BBM sebesar Rp502 triliun untuk TA 2022 adalah tidak benar, atau menyesatkan informasi publik. Bahkan, menurut realisasi APBN sampai dengan Juni 2022, yang dipublikasi dalam “APBN Kita” oleh Kementerian Keuangan, realisasi subsidi energi hanya Rp75,59 triliun. Realisasi subsidi energi tersebut terdiri dari realisasi subsidi BBM dan LPG 3kg sebesar Rp54,31 triliun dan realisasi subsidi listrik sebesar Rp21,27 triliun. Kalau DPR masih berdaulat, masih berfungsi sesuai amanat konstitusi, maka seharusnya DPR memanggil semua menteri yang menyuarakan informasi soal subsidi BBM sebesar Rp502 triliun, yang ternyata tidak benar, bertentangan dengan fakta UU APBN maupun realisasi APBN hingga 2022, maka mereka itu wajib dipanggil untuk dimintakan pertanggungjawabannya atas informasi yang tidak sesuai fakta. Kalau terbukti bahwa semua informasi tersebut ternyata menyesatkan, hanya semata untuk menaikkan harga BBM, yang mana dapat membuat masyarakat banyak bertambah susah dan menderita, DPR wajib mempertimbangkannya untuk mengusulkan kepada Presiden Joko Widodo memberhentikan para pejabat menteri tersebut. Semoga DPR masih berdaulat, masih merdeka, dan dapat menjaga agar masyarakat terbebas dari segala informasi yang tidak benar. (*)
Anies Baswedan Presiden
Keadaan rakyat yang sudah mulai paham bahwa oligarki harus dilawan oleh rakyat, maka oligarki mungkin akan bermain sangat hati-hati dengan tetap mengandalkan tawaran lobinya melalui kekuatan finansialnya. Oleh: Sutoyo Abadi, Koordinator Kajian Politik Merah Putih TIDAK perlu dengan cara yang terlalu rumit, sampai saat ini peta pergerakan partai politik yang akan mengusung Capres mendatang sudah bisa ditebak, bahkan sudah bisa dibaca dengan mudah. Formasi yang sering disebut koalisi sepertinya masih bergerak, tetapi ruang geraknya sudah mulai terbatas. Sejalan dengan reaksi masyarakat yang juga sudah bisa dibaca arah pilihannya pada Pilpres 2024 mendatang. Koalisi Indonesia Bersatu ( KIB ) hampir tidak mungkin akan menentukan Capres dari masing anggota koalisinya. Kalau itu terjadi pasti akan pecah. Sejak awal koalisi ini sudah menandai diri sebagai “koalisi kosong”. Presiden Joko Widodo yang diisukan mengendalikan KIB itu omong kosong. Jokowi hanya ingin Presiden mendatang bisa melindungi dirinya. Diplomasi yang dimainkan tanpa pijakan dan arah yang jelas. Selain itu, masih adanya keinginan perpanjangan masa jabatannya (atas desakan Oligarki) pasti akan kandas di jalan. KIB dengan proses politik saling menghargai dan tidak boleh mencoreng muka partai di luar koalisinya, apapun strategi yang akan dilakukan akhirnya akan menyatu dengan kekuatan partai lainnya. Terdekat, itu akan menyatu dengan Partai Demokrat, Partai Nasdem, dan PKS. Logika bargaining politiknya sederhana, tidak perlu ada yang jadi Capres dari partainya tetapi bagi-bagi formasi kabinet (apabila bisa memenangkan Capres pada Pilpres 2024), akan mengikat diantara mereka. Sekalipun belum memformalkan menyebutkan diri sebagai koalisi tetapi Partai Nasdem, Demokrat dan PKS adalah gabungan kekuatan partai yang sejak awal sudah solid. Hanya masing-masing Ketua Umumnya bersepakat untuk tidak buru-buru menyebutkan dirinya koalisi. Adalah cara mudah untuk melihat gerak partai di luar dirinya tetapi komitmen akan mencalonkan Anies Baswedan tidak tergoyahkan. Kekuatan tersebut sangat dirasakan oleh partai lainnya dan dengan santun ia mendekatkan dirinya untuk saling menjaga kehormatan masing-masing partai partai. Sinyal KIB akan bersatu dengan Demokrat, PKS dan Nasdem itu sangat besar peluangnya akan terjadi. Formasi ini akan menarik Anies Baswedan sebagai Capres yang akan diusung. Akan lebih dahsyat kalau pada detik-detik terakhir apabila PDIP diberikan kehormatan pemimpin kekuatan partai untuk Puan Maharani dapat tempat terhormat sebagai Cawapresnya Anies Baswedan, maka akan ada pasangan Anies dan Puan akan muncul ke permukaan. Apabila PDIP ingin menempatkan Puan tetap sebagai Capres, maka ini sangat beresiko PDIP akan maju tanpa berpartner dengan partai lainnya. Sehingga, akan muncul dua Capres, sudah bisa ditebak. Peluang menarik partai lain masih sangat mungkin untuk pasangan sebagai Cawapres Puan. Ketum Partai Gerindra Prabowo Subianto yang sejak lama dalam kesulitan maka mencoba berkoalisi dengan PKB. Pengamat politik banyak membaca PKB partai paling sulit diajak untuk berkoalisi karena konsistensi politiknya sangat sulit dipegang. Dapat dipastikan akan muncul tiga Capres. PS sangat merasakan formasi pasangan dengan Cawapres Muhaimin Iskandar itu sangat beresiko. Maka muncul alternatif akan berpasangan dengan Ganjar Pranowo. PKB harus ditenangkan dengan cara partainya bisa dibeli sesuai harga kesepakatan. Kalau memang Pemilu tetap akan terjadi pada tahun 2024 maka akan ada alternatif Capres: Anies Baswedan, Puan Maharani, dan Prabowo Subianto. Atau hanya akan muncul: Anies Baswedan melawan Prabowo Subianto. Oligarki pasti sudah membaca ini. Sinyal puja-puji PS kepada Jokowi selama ini tak lebih hanya ingin menenangkan Oligargi, untuk bisa bergabung dengan dirinya. Kalau akhirnya Anies Baswedan harus berpasangan dengan Puan Maharani, Oligarki akan lebih leluasa melakukan “kordinasi” dengan Puan Maharani. Keadaan rakyat yang sudah mulai paham bahwa oligarki harus dilawan oleh rakyat, maka oligarki mungkin akan bermain sangat hati-hati dengan tetap mengandalkan tawaran lobinya melalui kekuatan finansialnya. Dan, oligarki sendiri sudah mencium akan terjadinya perubahan politik Anies Baswedan akan memenangkan pertarungan Pilpres 2024. Hanya dengan adanya keajaiban apabila PS bisa berpasangan dengan Puan peluang menang masih ada. Lepas berpasangan dengan Puan dipastikan akan kalah dan terpental pada Pilpres 2024. Tokoh Nasional lainnya yang terpaksa tak bisa maju Capres karena terkendala Presidential Threshold (PT) 20 %, perjuangan yang terlihat dan terbukti tulus demi rakyat dan negara, tetap akan menempati posisi penting dalam Kabinet mendatang. Jokowi seawal mungkin harus bermain politik jangan asal cuap-cuap. Salah pilihan adalah ancaman buat durinya. Apabila Tuhan menghendaki Oligarki akan tersungkur pada Pilpres 2024. (*)
Jangan Ragu Copot Fadil Imran
Oleh M Rizal Fadillah | Pemerhati Politik dan Kebangsaan Irjen Pol Fadil Imran jelas harus bertanggung jawab dalam kasus Ferdy Sambo karena di samping beberapa perwira Metro Jaya terlibat juga memberi simpati di luar kewajaran yang ditampilkan secara emosional. Mudah diduga Kapolda mengetahui kasus sebenarnya. Sambo tidak mungkin mengadu pada Fadil Imran dengan cerita karangan. Pelukan berbicara banyak. Jika Irjen Ferdy Sambo Kadiv Propam dicopot bahkan kemudian berstatus tersangka demikian juga dengan Karo Paminal Brigjen Hendra Kurniawan dicopot pula, maka Irjen Fadil Imran seharusnya segera dicopot bahkan mungkin segera ditetapkan status tersangka pula karena diduga turut bertanggung jawab dalam \"obstruction of justice\" khususnya perekayasaan cerita dan alat bukti. Dalam kasus Km 50 cerita bohong atau rekayasa juga dikemukan oleh Kapolda Irjen Fadil Imran yang tampil pada 7 Desember 2020 bersama Brigjen Hendra Kurniawan, Pangdam Jaya Mayjen Dudung Abdurahman dan Kabid Humas Polda Metro Kombes Yusri Yunus. Ada cerita tembak menembak, alat bukti 2 pistol, samurai dan celurit yang semuanya diragukan. Fakta di persidangan versi PN Jakarta Timur yang terjadi adalah para korban ditembak dalam posisi \"tahanan\". Irjen Fadil Imran harus bertanggungjawab mengingat lima personal Pamen Polda Metro Jaya terlibat dan ditahan. Mereka adalah AKBP Jerry Siagian, AKBP Handik Zusen, AKBP Raindra Ramadhan Syah, AKBP Pujiyarto, dan Kompol Abdul Rahim. Jerry Siagian ditahan di Mako Brimob sedang empat lainnya di Biro Provost Polda Metro. Mungkinkah keempatnya berjalan sendiri atau atas sepengetahuan dan arahan Kapolda Metro Irjen Fadil Imran ? Para Pamen di depan Itsus pemeriksa mengakui perbuatannya dan hal itu dilakukan atas dasar perintah atasan. Irjen Fadil Imran sendiri telah melaporkan kejadian Duren Tiga itu kepada Kapolri dengan narasi tembak menembak dan lainnya. Yang kemudian terbukti narasi itu merupakan rekayasa. Kapolri yang merasa \"tertipu\" dengan laporan Kapolda tentu harus segera mencopot Irjen Fadil Imran. Presiden Jokowi meminta berulang-ulang peristiwa ini harus dibuka dengan seterang-terangnya dan apa adanya. Nah bagi mereka yang membuat tidak terang atau mengada-ada tentu harus mendapat sanksi tegas. Mulai dari pencopotan jabatan, lalu penahanan dan ujungnya proses hukum yang berjalan dalam status sebagai tersangka. Di media tersiar grafik skema jaringan perjudian yang melibatkan kepolisian di bawah koordinasi Irjen Ferdy Sambo. Skema berjudul \"Kaisar Sambo dan Konsorsium 303\" ternyata menggambarkan hubungan antara AKBP Jerry Siagian dengan atasannya Irjen Fadil Imran dan hubungan Irjen Fadil Imran dengan Irjen Ferdy Sambo. Maknanya bahwa hubungan antara Fadil Imran dengan Ferdy Sambo ternyata bukan saja bersifat emosional tetapi juga fungsional. Ruang gelap di lingkungan Fadil Imran harus dibuat terang agar terlihat siapa-siapa para pemain yang merusak institusi ini. Di Kepolisian masih banyak orang baik, tetapi di rusak oleh oknum-oknum berperilaku buruk. Selamatkan orang baik dengan menindak orang buruk. Copot Fadil Imran, Pak Kapolri. Pembenahan yang diawali dengan langkah penertiban sudah sangat benar. Publik mendukung untuk tetap menjaga Polisi baik (good cops) dari konspirasi dan polusi para Polisi buruk (bad cops). Bandung, 19 Agustus 2022