Yatim Politik?
Bagi para bandar politik, kepresidenan Anies tidak banyak membawa masalah asalkan sebagai Presiden Anies mau mengakomodasi banyak kepentingan para bandar politik itu.
Oleh: Daniel Mohammad Rosyid, Guru Besar ITS Surabaya, @Rosyid College of Arts
TULISAN Prof. Ahmad Humam Hamid dari Universitas Syiah Kuala (Unsyiah), Banda Aceh, baru-baru ini tentang peran Surya Paloh sebagai “Wali Politik” Anies Baswedan menarik dicermati. Deklarasi pencapresan Anies oleh Nasdem pada Senin, 3 Oktober 2022, yang lalu seolah mengakhiri status yatim politik Anies selama ini.
Melalui tradisi Aceh tueng bila, sebagai orang Aceh, Paloh menyatakan bahwa dia siap pasang badan menghadapi siapapun yang berniat mengganggu Anies. Sebagai bakal calon presiden, Anies memiliki cukup rekam jejak yang boleh mengantarkannya sebagai calon pemimpin Indonesia masa depan.
Namun segera harus dicatat bahwa sejak MPR digusur dari posisinya sebagai lembaga tertinggi negara melalui penggantian UUD 1945 menjadi UUD 2002, tidak cuma Anies yang menjadi yatim politik, seluruh rakyat Indonesia pun menjadi yatim politik.
Tidak ada lagi yang bisa melindungi rakyat dari perundungan politik, justru oleh partai politik sendiri yang melalui UUD 2002 itu praktis telah merampas hak-hak politik rakyat melalui Pemilu. Pemilu telah menjadi alat legitimasi kekuasaan parpol untuk terus melakukan perundungan atas pemilihnya sendiri melalui berbagai maladministrasi publik.
Berbagai UU dibuat bukan untuk kepentingan rakyat pemilih, tetapi untuk kepentingan para elit parpol dan para taipan yang menyediakan logistik bagi partai-partai politik itu.
Dengan UUD 2002 dan berbagai UU politik turunannya justru telah membuka peluang monopoli radikal politik oleh parpol. Demokrasi Indonesia menjadi demokrasi lontong sayur yang menghilang begitu hajatan Pemilu selesai.
Dengan data pemilih yang acakadut, keamanan data pemilu yang meragukan, rakyat pemilih harus menghadapi para bandit politik yang disokong oleh para bandar politik untuk menerima apapun hasil Pemilu yang diselenggarakan oleh para badut politik.
Begitulah Pemilu menempatkan rakyat pemilih menjadi jongos politik, lalu segera menjadi yatim politik yang memilukan. Oleh karena itu penting untuk diwaspadai, bahwa siapapun presidennya, keyatiman politik rakyat pemilih serta kepiluan hidup yang menimpanya kemudian adalah konsekuensi secara langsung dari arsitektur legal perpolitikan nasional saat ini.
Kita tahu bahwa negara yang kuat hanya mungkin dibangun olen masyarakat sipil yang mandiri, cerdas, dan merdeka.
Masyarat sipil seperti itu tak mungkin diawaki oleh warga negara yang yatim politik, apalagi harus menghadapi polisi yang intimidatif, dan brutal sebagai alat kekuasaan serta instrumen kriminalisasi lawan-lawan politik penguasa. Setelah skandal Ferdy Sambo, lalu skandal Kanjuruhan menjadi bukti paling mutakhir kebrutalan polisi.
Supremasi sipil harus dimulai dengan mengembalikan MPR sebagai lembaga tertinggi negara sesuai UUD 1945. Sebagai penjelmaan kedaulatan rakyat, MPR akan menjadi wali politik bagi bangsa yang majemuk dan hidup dalam bentang alam kepulauan bercirikan Nusantara seluas Eropa ini.
Presiden hanya mandataris MPR yang diberi amanah untuk menjalankan GBHN, bukan petugas partai untuk memenuhi kepentingan para bandar politik. Melalui permusyawaratan oleh para wakil rakyat itulah dipastikan bahwa Republik ini mampu menjalankan misinya bagi Indonesia yang merdeka, bersatu, berdaulat, adil dan makmur.
Apapun hasil Pilpres 2024 nanti sudah pasti harus sesuai dengan skenario yang telah disiapkan dan direstui oleh para bandar politik. Anies bisa terpilih bisa tidak.
Bagi para bandar politik, kepresidenan Anies tidak banyak membawa masalah asalkan sebagai Presiden Anies mau mengakomodasi banyak kepentingan para bandar politik itu.
Apakah sebagai presiden kelak, Anies memiliki keberanian yang cukup untuk mengakhiri keyatiman politik rakyat pemilihnya ?
Gunung Anyar, 6 Oktober 2022. (*)