OPINI

Ikan Busuk Dari Kepalanya?

Negara bisa maju jika penyelenggaraan negara dan pemerintahan berjalan dengan baik, aman sejahtera, dan makmur untuk rakyat Indonesia. Ini merupakan amanat konstitusi. Oleh: Muhammad Chirzin, Guru Besar UIN Sunan Kalijaga Jogjakarta ORANG bilang, ikan busuk mulai dari kepalanya, demikiankah? Kritisisme menghendaki segala sesuatu itu diterima atau ditolak mesti dengan bukti. Bahkan, sesuatu yang telah terbukti dan teruji berkali-kali pun boleh jadi tetap menimbulkan sangsi. Kiat sederhana untuk mengenali seekor ikan apakah ia ini tangkapan baru atau lama ialah dengan mengamati matanya. Bila matanya bening, berarti ia ikan segar, tetapi bila matanya keruh, berarti ikan itu basi, maka jangan dikonsumsi. Mata manusia adalah jendela hati. Mata menyimpan seribu satu rahasia. Apa yang terpancar dari mata adalah ekspresi suasana hati. Orang yang tidak bersalah berani menatap mata siapa saja tanpa harus syakwasangka. Kata kepala dalam Bahasa Arab ialah ra’s, dan yang mengepalai disebut ra’is. Prof. M. Amien Rais lah yang mempopulerkan adegium: ikan busuk mulai dari kepalanya. Amien Rais disebut sebagai Bapak Reformasi Indonesia 1998 bersama Gus Dur, Megawati, dan Sri Sultan Hamengkubuwono X. Beliau-beliaulah yang memimpin Gerakan Mahasiswa bersama tokoh-tokoh bangsa mempersilakan Pak Harto lengser dari kursi kepresidenan. Berdasarkan pengalaman masa jabatan presiden RI pertama dan kedua yang tidak terbatas, salah satu tuntutan reformasi adalah Amandemen UUD 1945 yang sesungguhnya berfokus pada pembatasan masa jabatan presiden itu secara eksplisit, yakni presiden yang habis masa jabatannya bisa dipilih kembali satu kali lagi, menjadi dua periode saja. Sungguhpun demikian, dengan alasan tertentu ada pihak-pihak yang menyerukan amandemen UUD NRI 1945 kembali, terbatas pada masa jabatan presiden tersebut, agar Jokowi bisa menjadi Presiden RI tiga periode. Dan, perubahan UUD 1945 fundamental lainnya ialah tentang pemilihan presiden, yang semula itu dipilih oleh wakil-wakil rakyat diubah menjadi semua rakyat berhak memilih presiden, di mana setiap kepala mempunyai satu suara. Unsur perubahan yang kedua tersebut dipandang telah melenceng dari sila keempat Pancasila: Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawartan/perwakilan. Perubahan ini juga telah membuahkan aturan yang tertuang dalam UU Pemilu 2017 pasal 222 tentang Presidential Thershold 20%. Perubahan UUD 1945 fundamental ketiga adalah kedudukan Presiden bukan lagi sebagai mandataris MPR, tetapi bisa dikatakan sejajar dengan MPR.  Evaluasi mendasar atas ketiga perubahan tersebut membuahkan tuntutan untuk Kembali ke UUD 1945 asli dengan beberapa catatan tertentu. Dalam rangka Tahun Baru 1444 H dan HUT RI ke-77, Forum Kebangsaan Yogyakarta menyelenggarakan Halaqah Kebangsaan Yogyakarta merajut persatuan umat Islam dalam bingkai kebangsaan Indonesia, “Reaktualisasi Resolusi Jihad dalam Merebut Kembali Kedaulatan Rakyat sebagai Fondasi Tegaknya NKRI”. Kegiatan ini diselenggarakan di kompleks Masjid Jami` Karangkajen, 21 Agustus 2022. Hadir sebagai pembicara KH M. Ghozy Wahab (tokoh dan cucu Pendiri NU), HM. Syukri Fadholi, SH, Mkn (Ketua Forum Umat Islam Yogyakarta), Brigjend. Purn. H. Santoso (Ketua Gerakan Bela Negara DIY), KH Mas’ud Masduki (Rois Syuriah PWNU DIY), dan Prof. Dr. Muhammad Chirzin M.Ag. (Ketua Umum MUI Kota Yogyakarta). Narasi yang mengemuka antara lain bahwa Indonesia tidak sedang baik-baik saja. Isu-isu kebangsaan mendasar krusial jangka pendek, antara lain, korupsi terjadi di segala lini (menurut Mahfud MD), krisis kepercayaan Polisi (kasus Polisi menembak Polisi), Penegakan keadilan secara tebang pilih, dan Amandemen UUD 1945 pada 1999-2002 yang kebablasan. Selama 77 Tahun kita merdeka, apakah Rakyat Indonesia sudah berdaulat di bumi Indonesia? Fakta dan realita bahwa Negara dikuasai oleh oligarki politik-ekonomi, harga kebutuhan-kebutuhan pokok membumbung tidak terkendali, pembangunan IKN Nusantara menambah beban rakyat. Persatuan umat dan kebangsaan makin luntur, karena faktor eksternal, antara lain ghazwul fikri, serbuan buzzer, adu-domba, dan tuduhan politik identitas Islam. Sedangkan faktor internal utamanya hubbuddunya wa karahiyatul maut (cinta dunia dan takut mati). Tujuan berdirinya republik ini terdapat dalam Pembukaan UUD 1945 dan nilai filosofis Pancasila. Kondisi riil bangsa Indonesia sekarang termasuk dalam kategori negara setengah gagal, karena Negara salah urus (menurut A. Syafii Ma’arif), perselingkuhan lembaga eksekutif, legislatif, dan yudikatif (menurut Rocky Gerung), maraknya jargon Pancasila dan NKRI itu di mulut dan retorika politik, NKRI harga mati, tapi apa saja impor. Persoalan kebangsaan yang akut dewasa ini antara lain lemahnya wibawa pemerintah, KKN merajalela, minimnya keteladanan, hukum tidak adil, aparat represif, komunikasi pemerintah-rakyat tidak nyambung, utang Luar Negeri massif, dan sumber dana terbatas. Solusi kebangsaan jangka pendek agar rakyat tetap berdaulat, ini sebagai subyek bukan obyek: Hapuskan pajak yang memberatkan rakyat, turunkan harga, hapuskan PT 20%, lakukan restrukturisasi ulang pemerintahan, lawan bandar oligarki, garong negara, dll. Negara bisa maju jika penyelenggaraan negara dan pemerintahan berjalan dengan baik, aman sejahtera, dan makmur untuk rakyat Indonesia. Ini merupakan amanat konstitusi. Jika negara dibangun dari kebohongan, menipu, dan rekayasa, akibatnya korupsi, dan manipulasi. Kesewenangan ini jauh panggang dari api untuk memajukan negara, sebagaimana dikatakan Yenny Wahid yang bersumber dari Semarak.co. Pemimpin sejatinya adalah perisai dalam memerangi musuh rakyatnya dan melindungi mereka. Jika pemimpin mengajak rakyatnya dalam ketakwaan kepada Allah dan bersikap adil, maka ia bermanfaat buat rakyat, tetapi jika ia memerintahkan yang selain itu, maka ia musibah bagi rakyat. (Nabi Muhammad saw). True leader will be seen when there is a crisis. Anda tidak akan pernah tahu bahwa yang Anda perbuat itu akan menghasilkan apa, tetapi kalau Anda tidak melakukan apa pun, pasti tidak akan menghasilkan apa pun. (Mahatma Gandhi). Orang-orang terbaik memiliki kapasitas untuk berkorban, perasaan tentang keindahan, keberanian untuk mengambil risiko, dan disiplin untuk mengatakan yang sebenarnya. Ironisnya, kebajikan mereka membuat mereka rentan; mereka sering terluka, dan terkadang merasa hancur. (Ernest Hemingway). “Tentara hanya mempunyai kewajiban satu, ialah mempertahankan kedaulatan negara dan menjaga keselamatannya. Sudah cukup kalau tentara teguh memegang kewajiban ini, lagipula sebagai tentara, disiplin harus dipegang teguh. Tentara tidak boleh menjadi alat suatu golongan atau orang siapa pun juga”. (Pidato Jenderal Soedirman saat diangkat sebagai Panglima Besar TKR pada tanggal 18 Desember 1945).      “Jagalah persatuan di dalam tentara, sehingga tentara kita dapat menjadi utuh, satu, dan merupakan benteng yang kokoh kuat dalam menghadapi siapa pun”. (Amanat Panglima Besar Jenderal Soedirman kepada para Komandan Kesatuan tanggal 1 Mei 1949). (*)

Menuju Reformasi Total Institusi Polri, Wacana atau Dilema? (Bagian 2)

Oleh Raden Baskoro HT - Forum Diaspora Indonesia, Asia-Pasific MESKI terlambat, tentu kita patut beri apresiasi kepada Kapolri Jendral Sigid Sulistiyo Prabowo. Ketika menahan dan mentersangkakan Irjen Pol Ferdy Sambo serta 63 orang polisi lainnya yang dianggap terlibat. Tidak hanya itu, kemarin Kapolri juga sudah mentersangkakan lagi Puteri Candrawati sekalian memberikan instruksi keras kepada jajarannya untuk kembali menjaga marwah institusi dan akan menindak tegas siapapun yang terbukti bermain-main dengan hukum. Namun apakah itu sudah cukup? Jawabannya tentu belum dong. Sebagai langkah awal, hal ini kita sambut baik bahwa masih ada “itikad baik” dari Kapolri untuk memperbaiki korpsnya. Tetapi bagaimana uletnya, berputar-putar dari satu keterangan kepada penjelasan lain yang berubah-ubah, cukup membuat masyarakat apatis. Terlihat sekali bagaimana upaya agar skandal jahat ini mau sebisanya di kendalikan dan mau melindungi pelaku utama. Padahal, sesuai kata Irjen Pol Napoleon Bonaparte dalam sebuah rilis media, “Ini sebenarnya masalah receh secara ilmu kriminal. Tak perlu tim khusus, cukup bintara saja akan mudah mengusut siapa pelaku dan apa modus operandi kejahatan yang di lakukan. Dengan catatatan Polisi mau terbuka dan transparan”. Permasalahan utama dari skandal kejahatan besar Sambo Cs ini, adalah ketika terkuak dan mulai terbongkarnya modus dan skenario pembunuhan terhadap Brigadir Joshua ini, tentu publik menpunyai asumsi pikiran yang kritis dan beragam. Seperti contoh, kalaulah dalam skandal Sambo Cs ini ada pembunuhan sadis, rekayasa opini dan berita bohong, rekayasa kasus, upaya sogokan kepada LPSK, manupulasi autopsi pada jenazah Joshua, tuduhan fitnah terbalik pada korban seolah jadi pelaku, ditambah keterlibatan banyak pihak bagaimana menghilangkan alat bukti CCTV, intimidasi pada keluarga korban. Bayangkan akumulasi dari peristiwa hukum ini semua adalah sebuah perbuatan melawan hukum yang dilakukan oleh mereka para aparat negara yang berada di garda terdepan penegakan hukum? Sangat wajar dan logis akhirnya, masyarakat mengaitkan dan berasumsi, kalaulah dalam kasus skandal pembunuhan Joshua ini ada rekayasa, penipuan, penganiayaan, kebohongan publik, sogokan, penghilangan barang bukti serta perselingkuhan, tak ada jaminan kejahatan ini juga terjadi pada kasus-kasus yang lain? Wajar akhirnya publik mengaitkan dengan tragedi KM50? Kematian 816 petugas KPPS? Hilangnya Harun Masiku? Kriminalisasi terhadap para ulama dan aktifis, serta ribuan kasus lainnya yang masih jadi “out standing” di Komnas HAM. Tidak saja hanya sampai di situ. Keberadaan Satgassus Merah-Putih ini tentu juga menjadi pertanyaan kritis masyarakat. Sampai begawan ekonomi Dr Rizal Ramli dalam sebuah video wawancaranya yang beredar mengatakan, Satgassus Merah-Putih ini mirip unit SAVAK di Iran, atau para pengamat lainnya juga ada yang mengatakan mirip “SS” pada era NAZI Jerman, Pasukan Cakrabirawa pada era Soekarno, atau Tim Mawar pada saat Prabowo menjabat Danjen Koppasus. Dalam hal keberadaan unit khusus dan perlakuan tugasnya. Satgassus Merah-Putih ini, dimana Irjen Pol Ferdy Sambo selaku kepalanya, terkenal sangat full power. Bisa crossing kasus ke lintas satuan mana saja. Atas nama “atensi” satuan ini mendapatkan previlage dan kekuasaan khusus, melebihi pangkat dan jabatannya dalam struktural resmi Polri. Meskipun sudah dibubarkan secara administrasi, publik masih menganggap keberadaan dan power Satgassus ini masih kuat. Hal ini dapat di lihat dari perlakuan Polri itu sendiri dalam menangani skandal ini, di tambah statemen Menkopolhukam yang mengatakan Sambo dengan Satgassusnya sangat kuat dan punya pengaruh besar sehingga tidak mudah untuk memproses hukum skandal ini. Kalau kita lihat dari berita dan informasi yang beredar luas di sosial media, terkait sepak terjang Satgassus ini sampai ada istilah dalam infografis “Kaisar Sambo”. Memang sangat full power dan luar biasa. Karena semua bisninis hitam mulai dari judi online, Narkoba, kejahatan cyber IT, ilegal mining, dunia malam, hingga setoran proyek besar, semuanya di koordinir Satgassus. Jadi wajar, Satgassus mempunyai sumber daya dan kiprah yang over up. Dan kalau kita identifikasikan, ada dua ciri tugas Satgassus ini yaitu ; Bagaimana menjadi pelindung utama kekuasaan dalam menghabisi tuntas para musuh politik istana yang bersebrangan, serta mencari sumber logistik keuangan untuk dana abadi operasional kekuasaan. Jadi, kembali sangat wajar keberadaan Satgassus ini buat iri, sakit hati, dan kegelisahan para senior di tubuh institusi Polri itu sendiri. Timbuk kecemburuan dan kemarahan. Hingga datanah “Tsunami Skandal Pembunuhan Joshua” saat ini, yang meluluh lantak kan keperkasaan Satagassus buat sementara ini. Publik sangat diuntungkan dengan adanya friksi internal dan perang bintang dalam tubuh Polri itu sendiri. Sehingga, ada juga kepentingan internal untuk membuka skandal besar dan jahat ini kepada publik. Apapun motifnya, yang jelas publik mendapatkan asupan informasi yang cukup akurat dan berhasil memukul pertahanan benteng media Satgassus yang sebelumnya luar biasa solid dan terkonsolidasi. Untuk itulah, belajar dari skandal jahat Sambo Cs ini dan keberadaan Satgassus ini, tak ada alasan lagi untuk pemerintah hari ini atas nama rakyat dan nilai keadilan untuk segera melakukan Refornasi Total terhadap institusi Polri. Polri adalah aset bangsa dan kebanggaan masyarakat. Polri kuat dan bersih adalah dambaan kita semua. Tapi Polri yang kuat tapi di pergunakan sebagai alat kekuasaan, ini boleh di katakan pengkhianatan terhadap negara. Masyarakat saya yakin cinta terhadap Polri. Tapi saat ini, Polri seakan di bajak oleh penguasa dan jadi alat politik penguasa. Faktanya, keberadaan Satgassus ini yang paling menikmati adalah Istana dan oligarki kekuasaan. Karena berhasil mengeleminir dan menghabisi setiap ancaman dari kelompok oposisi pemerintahan. Walaupun dengan menghalalkan segala cara. Dan sangat tidak mungkin, keberadaan Satgassus ini tidak ada restu dari Presiden. Sangat tidak mungkin kalau Satgassus ini tidak mendapatkan supporting dan back up politik dari kelompok oligarki. Justru yang paling sering jadi korban adalah masyarakat bawah dan kelompok oposisi yang mereka sulap menjadi “musuh negara”. Menggunakan instrumen hukum dan kekuasaan. Tak terhitung para ulama, aktifis, tokoh serta tanah ulayat adat, jadi korban dari “abuse of power” Polri saat ini. Untuk itulah, kita semua berharap, terbukanya skandal besar Sambo Cs ini bisa menjadi pintu reformasi Polri untuk kembali menjadi polisi yang baik sesuai amanah konstitusi dan dicintai rakyat. Revisi UU nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia sudah saatnya disegarkan dan dinaturalisasi sesuai semangat Tri Brata. Negara tidak boleh kalah oleh skenario para oligarki dan tangan jahil pengkhianat bangsa. Negara dan rakyat tak boleh kalah oleh konspirasi kekuasaan yang “memperalat” institusi Polri menjadi alat dan tameng kekuasaan. Polri mesti diselamatkan, cukup saat ini Polri jadi korban adu domba kekuasaan rezim terhadap rakyat yang ingin melakukan perubahan lebih baik. InsyaAllah. Australia, 18 Agustus 2022.

Negara Sebagai Organisasi Kejahatan

Kasus Ferdi Sambo yang melilit Polri tidak bisa dinilai sebagai masalah personal atau sekadar oknum semata. Pembunuhan disertai penganiyaan seorang  ajudan berpangkat brigadir oleh seorang jenderal sekaligus atasannya yang  menodai tubuh kepolisian itu, merupakan salah satu persoalan struktural dan sistemik yang terjadi hampir di semua institusi negara. Orang dan sistem menyatu dalam syahwat melakukan distorsi penyelenggaraan pemerintahan. Saling memanfaatkan mencari kekayaan dan jabatan, mewujudkannya sebagai kekuasaan yang superior untuk melakukan penyimpangan dan kejahatan kemanusiaan. Oleh: Yusuf Blegur | Mantan Presidium GMNI  PUBLIK tersentak, ketika Polri sebagai instrumen negara yang selama ini menyandang gelar sumir. Kembali memunculkan aib yang semakin membuat Polri terpuruk lebih dalam. Tak tanggung-tanggung, fenomena Irjend Ferdi Sambo, membongkar bukan hanya soal pembunuhan semata. Lebih dari itu bau amis menyelimuti kecenderungan  rangkaian kejahatan lain seperti korupsi, perselingkuhan, disorientasi seksual, persaingan pengaruh dan jabatan para petinggi,  hingga adanya kekuatan mafia yang selama ini samar-samar menguasai korps bhayangkara tersebut. Kasus kompleks yang menyeret beberapa perwira tinggi dan menengah Polri hingga membuat seorang presiden melakukan intervensi. Peristiwa itu semakin mengukuhkan institusi Polri yang sudah sejak lama dibayangi sikap skeptis dan apriori rakyat. Alih-alih menjadi lembaga yang melindungi, mengayomi dan melayani masyarakat. Polri justru banyak melakukan penghianatan dan menghancurkan Tri Brata dan Eka Prasetya  yang menjadi kehormatan dan kebanggan para taruna itu. Dari pinggir  jalan raya, dari pusat bisnis dan hiburan yang dikelola cukong,  dari kantor kejaksaan hingga ruang pejabat dan politisi. Publik terlanjur menganggap ada keterlibatan  permainan nakal dan kotor yang dilakukan polisi baik yang berseragam maupun berpakaian preman. Seakan membenarkan ungkapan satir Gus Dur (KH. Abdurahman Wahid), bahwasanya hanya ada tiga polisi yang baik di Indonesia, pertama Jendral Hoegeng mantan Kapolri (alm), kedua,  patung polisi dan ketiga, polisi tidur. Presiden keempat RI yang kontroversial itu juga pernah membuat peryataan terbuka terkait keteribatan aparat keamanan termasuk polri, terkait kasus dan penanganan teroris serta pelbagai gerakan intoleran,  radikal, fundamental dan ekstrimis lainnya. Sinyalemen  itu menguat saat kebijakan polri begitu resisten dan represif terhadap gerakan kritis dari aktifis terlebih kepada para ulama, pemimpin dan tokoh- tokoh Islam. Kasus paling menonjol dan dianggap paling membunuh penegakkan hukum dan  rasa keadilan itu, terasa mengganjal pada peristiwa KM 50, yang hingga kini masih diliputi tabir gelap. Dalam segmen seperti itu  Polri nyaris langgeng menyandang stigma dan stereotif sebagai alat kekuasaan atau mafia ketimbang menjadi alat negara. Polisi terkesan dicap sebagai anjing penjaga pengusaha hitam  dan penguasa lalim dibanding membantu menyelesaikan masalah kaum lemah dan tertindas. Bisa dimaklumi jika rakyat terutama yang tidak memiliki akses terhadap sumber daya ekonomi dan kekuasasn politik, lebih memilih menghindari berurusan dengan polisi. Bagi rakyat, menyelesaikan masalah dengan tanpa keteribatan polisi, itu menjadi lebih baik. Seperti ada anggapan dari publik, kalau lapor kehilangan ayam, maka akan bertambah menjadi kehilangan kambing. Begitulah asumsi yang terus berkembang di sebagian besar masyarakat. Sungguh miris dan ironis, insitusi Polri yang usianya hanya beda setahun dengan kemerdekaan Indonesia dan selama itupula telah menjadi garda terdepan dalam menciptakan dan menjaga ketertiban masyarakat. Polri mau tidak mau, suka atau tidak suka,  harus menerima pandangan sosial yang \"prejudice\", kontradiktif dan ambivalens di mata rakyat. Semboyan presisi pada Polri  yang belum lama ini mengemuka, pada kenyataannya hanya berupa ilusi. Contoh soal, tercium kabar dan desas-desus untuk masuk akademi kepolisian dan promosi jabatan, harus mengeluarkan biaya hingga miliaran. Sebuah angka yang fantastis yang harus dipenuhi untuk menjalankan tugas mengabdi dan melayani rakyat, negara dan bangsa. Nominal harga yang sulit dijangkau untuk seorang polisi yang tulus dan jujur namun tak berpunya,  yang semata-mata hanya untuk  menyerahkan seluruh jiwa dan raganya dalam menjalankan tugas suci kemanusiaan sebagai abdi negara. Boleh jadi dan mungkin menjadi serba permisif, dengan mekanisme perekrutan taruna dan mutasi jabatan di jajaran polri yang kapitalistik dan transaksional seperti itu,  hanya melahirkan kebanyakan  polisi korup, tak bermoral  dan bengis. Jauh dari integritas, kapabilitas dan akuntabilitas, dalam melayani kepentingan publik, mencintai dan melayani rakyat sepenuh hati. Namun demikian, layak juga dipertimbangkan bahwa polisi-polisi itu tak berdaya dan tidak bisa disalahkan sepenuhnya. Mereka terjebak pada satu situasi dan kondisi yang memang sudah buruk sedemikian rupa. Sistem telah memaksa para polisi baik yang pemula maupun yang senior untuk mengikuti arus dibanding terseret arus, terlepas apakah itu baik atau buruk baginya dan institusi kepolisian. Sistem yang dalam kerusakan akut, telah memperkosa cita-cita, keyakinan dan pengabidian para polisi baik, sehingga ideslisme terkoyak dimangsa paduan suara kejahatan dalam salah-satu organisasi penegak kebenaran dan keadilan yang sejatinya diinginkan dan  dirindukan rakyat. Hanya ada \"a few good man\" dalam sindikat penyamun dan berbahaya di kelembagaan negara yang strategis itu. Bukan Cuma Polri Begitu terorganisir, terstruktur dan masif, kebanyakan institusi negara diselimuti praktek- praktek menyimpang. Kasus di tubuh Polri dengan personifikasi Ferdi Sambo, sesungguhnya juga menjadi representasi distorsi mayoritas institusi negara, seandainya tabu dianggap mewakili pemerintah dan negara.  Kecerobohan Ferdi Sambo sekaligus kelemahan Polri itu, sebenarnya menjadi momen \"breaking ice\" terhadap karut-marutnya hampir semua institusi negara.  Lembaga-lembaga formal dan konstitusional tidak hanya sekedar jauh dari ideal dan menyimpang dari tugas dan fungsi sebenarnya. Malah yang paling konyol dan menyedihkan, sistem dan birokasi yang ada di dalamnya seperti organisasi rentenir yang memeras, organisasi penjahat yang sewaktu-waktu bisa merampok dan menganiaya, serta tak ubahnya sarang binatang buas yang  tiba-tiba menerkam, mengoyak luka dan memengancam keselamatan jiwa. Ferdi Sambo bagai menyiratkan telah membuka kotak pandora dari tidak sedikit kejahatan-kejahatan yang telah dilakukan atas nama  negara. Di Indonesia, negara yang begitu dicintai meski penuh ironi dan  kemalangan. Sudah menjadi rahasia umum dan begitu telanjang mempertontonkan distorsi penyelenggaraan negara, baik oleh perilaku pejabatnya maupun tradisi atau kebiasaan yang telah menjadi baku dalam institusi pemerintahan. Behavior pejabat dan aturan birokrasi seolah-olah menyatu menjadi konsorsium kejahatan yang berlindung di balik konstitusi dan sumpah jabatan. Kerusakan mental aparatur negara menjadi begitu sistemik dan tampil secara formal di permukaan. Publik seperti menyadari dan merasakan langsung, ketika kejahatan secara terselubung  yang terorganisir,  terstruktur dan masif itu, sudah berlangsung sejak dari hulu hingga ke hilir. Atasan menjadi \"the ountachable\", bawahan pasrah dan tak berdaya harus mengikuti, sementara institusi yang melingkupinya dibajak, direkayasa dan dikendalikan menjadi organisasi super body dari  kejahatan yang resmi dan menggunakan plat merah. Bukan cuma Polri, institusi TNI juga tak luput terpolarisasi dan tekontaminasi. Selain TNI dan Polri, banyak institusi seperti kementerian, pemerintahan daerah, BUMN-BUMD, komisioner-komisioner pelayanan publik semacam KPU, KPK, Komnas HAM dlsb., disinyalir sudah berada dalam zona nyaman korupsi,  manipulasi konstitusi dan kejahatan kemanusiaan lainnya. Sebagian besar terpaksa mengikuti aturan main yang berlaku meski penuh kemudharatan dan kedzoliman. Lebih baik menyelamatkan diri sembari menikmati kekayaan dan fasilitas daripada tergusur, begitu aparatur negara membatin. Birokrasi yang berisi aparatur negara tanpa kesalehan sosial, terus menikmati distorsi penyelenggaraan sambil mencuri bonus gaya hidup mewah dan berlebihan. Jadilah semuanya personifikasi dan sistem yang menyimpang, bersekongkol dalam negara yang mewujud sebagai organisasi kejahatan. Selain sistem,  faktor personal yang sangat dipengaruhi oleh orientasi, mental dan struktur sosial yang ada dalam diri seseorang, telah menjadi sesuatu yang  prinsip dan menentukan ketika diberi kepercayaan untuk mengemban jabatan publik. Latar belakang figur relatif menjadi dominan baik secara pribadi maupun organisatoris dalam  melahirkan karakter  kepemimpinan. Secara empiris tidak sedikit karakter unggul dalam personal mampu memberi warna dan memengaruhi organisasi atau istitusi tempat bernaungnya, termasuk sistem yang ada. Begitupun sebaliknya, sistem yang kuat juga akan mampu menjalankan organisasi sesuai cita-cita dibangunnya organisasi. Aspek personal juga tak luput dari dinamika organisasi yang harus mengikuti landasan, proses dan tujuan organisasi yang berasal dari tatanan sistem yang ada. Baik personal maupun sistem, pada akhirnya memiliki korekasi yang signifikan yang saling menguasai, memberi pusat pengaruh dan menentukan  kebaikan ataupun  keburukan pada capaian organisasi atau istitusi baik dalam masyarakat, perusahaan ataupun negara. Oleh karena itu, kasus Ferdi Sambo yang telah menyita perhatian publik sejagad republik ini dan mungkin seantero dunia, yang berhasil mereduksi Polri sedemikian rupa. Semakin membuka ruang kedasaran semua pihak, bahwa kejahatan dan kebaikan selalu membersamai kehidupan semua orang, komunal bahkan pada institusi negara. Bukan cuma Polri yang begitu naif dan menyedihkan dengan segala kebaikannya. Negeri ini begitu susah untuk menghitung berapa banyak institusi negara dan aparaturnya yang menjadi penjaga kebenaran kebenaran dan keadilan, namun seiring sejalan  juga menghianati kebenaran dan keadilan. Tak lagi bisa dibedakan siapa yang menjadi abdi negara dan musuh negara. Tak ada lagi dan sulit menemukan siapa yang menjadi pelindung, mengayomi dan melayani masyarakat. Mustahil bisa menghitung berapa banyak rakyat di republik ini  yang tak menghirup udara kapitalisme yang mengandung radikal bebas sekulerisasi dan liberalsasi global. Sesulit menghitung berapa banyak manifestasi nilai Pancasila, UUD 1945 dan NKRI yang kadung dikuasai oligarki, seraya seluruh rakyat Indonesia menggandrungi materi, takut mati dan cinta dunia. Sebagaimana virus yang menjadi pandemi yang disebut penyakit Wahn. Penyakit paling ganas bagi kemanusiaan dan peradabannya, yang telah membuat banyak orang telah mati dalam hidupnya. Bukan cuma Polri, masih teramat banyak lagi yang terdistorsi dan terpuruk. Apapun dan bagaimanapun itu,  selamat menjadi rakyat dan warga bangsa  dari negara yang telah menjadi organisasi kejahatan. Meski sulit dan dirundung pesimis, seluruh anak bangsa tetap layak berupaya menyelamatkan institusi Polri, TNI, dan lembaga negara lainnya. Karena keselamatan utamanya TNI-Polri dll., itu berarti equivalen dengan kelematan negara dan bangsa Indonesia. Seperti kata orang bijak, jangan membakar lumbung padi hanya untuk membunuh tikus-tikusnya. Munjul-Cibubur, 21 Agustus 2022

Polisi Gerebek Judi Onine, Kok Sekarang Bisa Ditindak Ya?

Oleh Asyari Usman | Jurnalis Senior FNN  TIBA-tiba saja sejumlah Polda bisa menggerebek judi online. Pada 9 Agustus 2022, Polda Sumut menurunkan ratusan anggota ke lokasi judi online di Cemara Asri –tak jauh dari Medan. Pada 12 Agustus 2022 menyusul Polda Metro menangkap 78 oranng di Pantai Indah Kapuk (PIK) terkait judi onine juga. Kemudian, Polda Jawa Tengah lebih dahsyat lagi. Mulai 19 Agustus barusan, mereka mengerahkan semua Polres untuk membasmi segala bentuk perjudian: online, judi dadu, judi kartu, dsb. Sudah banyak yang ditangkapi. Termasuk juga penyelenggara judi togel. Dahsyat ini. Bayangkan kalau sejak dulu Polisi di seluruh pelosok Indonesia melakukan pemberantasan. Pastilah para bandar dan operator segala bentuk judi tak punya ruang gerak. Tapi, kawan-kawan bertanya: kok bisa ya Polisi langsung tahu lokasi-lokasi judi online di banyak tempat itu? Tidak sekadar itu, Pak Polisi tahu juga bandar-bandarnya. Teman-teman juga bertanya: selama ini kenapa dibiarkan saja? Menjawab pertanyaan kawan-kawan itu, saya hanya bisa mengatakan: janganlah begitu pertanyaan kalian. Hargailah Pak Polisi yang telah bekerja keras. Pak Polisi itu mempertaruhkan segalanya untuk Indonesia, untuk rakyat. Pak Polisi itu bekerja siang-malam. Siang mengunjungi warga, menjaga ketertiban umum. Kalau malam mereka mengunjungi tempat-tempat hiburan untuk memastikan agar semuanya berjalan lancar, tidak ada masalah, dan sesuai kode etik. Capek lho mereka. Apalagi selesai tugas di tempat-tempat hiburan itu, capek sekali. Semua energi mereka kerahkan di sana. Energi lahir-batin. Di siang hari pula Pak Polisi melayani masyarakat yang datang ke kantor-kantor mereka di semua jenjang, baik itu mabes, mapolda, mapolres atau mapolsek. Tidakkah kalian bayangkan betapa sibuknya Pak Polisi? Kalau ada demo, Pak Polisi (c.q. satuan Brimob) harus memastikan agar para demonstran melihat dari dekat tampilan fisik mereka yang tegap-tegap. Juga memastikan agar pendemo melihat peralatan yang mereka gunakan dan yang akan mereka “hadiahkan” kepada para pengunjuk rasa itu. Jadi, kembali ke pemberantasan judi online dan segala bentuk perjudian lain, Polisi sebenarnya sangat serius. Polda Sumut, sebagai contoh, mengultimatum bandar judi terbesar di Sumatera, Apin BK, agar menyerahkan diri. Keseriusan terlihat pula dari tindakan Kapolda Irjen RZ Panca Putra Simanjuntak yang memimpin langsung penggerebekan. Mereka mendatangi ruko kosong. Tidak ada manusia. Tapi berhasil menyita banyak komputer. Humas Polda mengatakan, mereka akan melakukan pendalaman. Pendalaman ini harus kita sambut baik. Kita applause. Sebab, yang ditemukan sejauh ini dangkal sekali. Perlu diperdalam. Dan setelah itu polisi beramai-ramai menggeledah rumah mewah si Apin. Tapi, Apin tidak berada di tempat. Mungkin sedang banyak urusan. Baangkali dia belum sempat menjumpai polisi. Yah, tampaknya Pak Panca harus bersabar menghadapi si bandar besar itu. Mungkin kalau Pak Kapolda baik-baik bilang ke Apin bahwa polisi tidak akan membawa Glock 17 untuk menjeput beliau, bisa jadi dia akan menerima kedatangan petugas. Lagi pula Apin kan sudah dicekal. Tak bisa lari ke luar negeri. Paling-paling dia beristirahat di tempat yang bisa dicari aparat seperti mudahnya polisi menemukan lokasi judi online di Cemara Asri itu. Memang ada judul berita yang kurang enak tentang upaya penangkapan Apin. Misalnya, sebuah koran online menulis judul: “Ultimatum Irjen Panca Putra Tak Digubris Bos Judi Online”. Membaca “tak digubris” itu sangat menyakitkan. Bisa dipahamilah perasaan Pak Panca. Tapi, Pak Panca harus bersemangat terus mencari Apin. Bisa dapat itu nanti, Pak. Sekiranya tetap sulit menangkap Apin, mungkin bisa minta bantuan Irjen Fadil Imran –Kapolda Metro. Mengapa Pak Fadil? Karena beliau ini berhasil menangkap 78 pelaku judi online di PIK. Boleh jadi Pak Fadil punya kiat tertentu untuk memancing agar orang yang diburu mau keluar dari persembunyiannya. Selain itu, Pak Fadil punya pengalaman hebat dalam menangani kasus pembunuhan KM-50. Mulus sampai ke pengadilan. Cemerlang. Sukses KM-50 itu adalah puncak kehebatan Fadil. Semacam “award winning master piece”. Kira-kira begitu. Tentu saja Pak Panca sangat dekat dengan Pak Fadil. Sesama kapolda. Pasti seringlah berjumpa. Apalagi saat ini Pak Panca dan Pak Fadil sama-sama sibuk menumpas judi online dan judi-judi lainnya. Mana mungkin Pak Fadil, yang dekat dengan Ferdy Sambo itu, tak mau membantu.[]

Respon Ubedilah Badrun Terhadap Sikap KPK

Jadi urusan penelusuran itu urusan KPK yang memeiliki wewenang atas nama Undang-undang, bukan saya, itu tugas KPK. Oleh: Ubedilah Badrun, Dosen Universitas Negeri Jakarta (UNJ) SEBAGAIMANA diketahui publik bahwa Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Nurul Ghufron dalam jumpa pers saat penyampaian kinerja semester I KPK di Jakarta pada Jumat (19/8/22) menyampaikan bahwa laporan yang saya sampaikan kepada KPK tentang Dugaan Tindak Pidana Korupsi dan atau Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU) Berkaitan Dugaan KKN (Korupsi Kolusi Nepotisme) Relasi Bisnis Anak Presiden Dengan Grup Bisnis Yang Diduga Terlibat Pembakaran Hutan dinyatakan sejauh ini masih sumir karenanya kasus diarsipkan. Argumennya karena Gibran dan Kaesang bukan pejabat publik dan belum mempunyai informasi uraian fakta dugaan atau data dukung terkait dengan penyalahgunaan wewenang dari penyelenggara negara. Terhadap jawaban KPK tersebut saya menyayangkan argumen komisioner tersebut yang menyatakan bahwa tidak ada kaitanya dengan pejabat negara karena dinilai bukan penyelenggara negara. Padahal secara nyata-nyata Gibran dan Kaesang adalah putra dari penyelenggara negara (Presiden Republik Indonesia). Selain itu Gibran adalah penyelenggara negara karena saat dilantik sebagai Wali Kota ternyata Gibran masih menjabat sebagai komisaris utama perusahaan yang saya sebut dalam laporan. Lebih jelasnya, pada tanggal 26 Februari 2021 Gibran dilantik menjadi wali kota Solo. Pada saat yang sama Gibran juga masih terdaftar (belum mundur) sebagai komisaris di PT. Siap Selalu Mas (memiliki 47 % saham PT.Harapan Bangsa Kita), dan Komisaris utama PT. Wadah Masa Depan (memegang 19,7 % saham). Sebagai informasi, korupsi itu bukan hanya mengambil uang negara (APBN/APBD) yang bukan haknya, tetapi menurut buku Kapita Selekta dan Beban Biaya Sosial Korupsi, definisi korupsi telah gamblang dijelaskan di dalam 13 pasal Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 juncto Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001. Berdasarkan pasal-pasal tersebut, tindak pidana korupsi dirumuskan ke dalam 30 jenis, salah satunya memberi hadiah atau gratifikasi. Perlu diingat juga bahwa dalam kasus yang saya laporkan juga ada pengangkatan penyelenggara negara yaitu pengangkatan Duta Besar yang sebelumnya ia sebagai Managing Director di PT. SM. Ia bukan diplomat karir. Dimana putra dari Duta Besar yang diangkat pada tanggal 17 November 2021 tersebut diketahui menjalin kerjasama bisnis yang sangat inten dengan Gibran dan Kaesang, ada peralihan kepemilikan saham, hingga bisnis putra Presiden tersebut mendapat kucuran dana penyertaan modal dari sebuah perusahaan ventura. Suntikan penyertaan modal ini hingga kini terjadi sebanyak tiga kali ( 17-8-2019, 23-11-2020, 6-6-2022). Terkait dugaan \'transaksi yang mencurigakan\' dan terkait dugaan gratifikasi jabatan, dugaan gratifikasi kepemilikan saham, serta Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU) adalah tugas KPK untuk mengusut secara tuntas agar menjadi terang demi tegaknya kepastian hukum yang adil. KPK dapat meminta kepada PPATK (Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan) untuk menelusuri transaksi yang diduga mencurigakan tersebut. Selain itu KPK juga memiliki kewajiban hukum untuk mencegah dan memberantas KKN dengan menelusuri seluruh perusahaan lainnya milik putra Presiden itu yang jumlahnya kurang lebih 20 perusahaan yang didirikan oleh putra Presiden tersebut. Termasuk misalnya pembelian saham 40 % PT Persis Solo Saestu oleh Kaesang bersama Erick Thohir. Apakah benar pembelian saham itu berasal dari uang pribadi atau perusahaan milik Kaesang? Tugas mulia KPK merupakan Amanat Reformasi 1998 yang tertuang dalam Tap MPR Nomor XI/MPR/1998 Tentang Penyelenggara Negara Yang Bersih dan Bebas Korupsi, Kolusi dan Nepotisme (KKN). Terkait dengan pernyataan Nurul Ghufron yang menyatakan belum adanya data dukung, sebenarnya telah dijawab pada tanggal 26 Januari 2022 saat saya dipanggil KPK selama dua jam dengan menyampaikan data-data awal dan penjelasan hukum yang lebih detail kepada KPK pada saat itu. KPK semestinya bisa menelusuri data-data awal tersebut hingga menemukan peluang untuk mengusut tuntas dugaan Tindak Pidana Korupsi dan atau Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU) berkaitan dugaan KKN (Korupsi Kolusi Nepotisme) relasi bisnis anak Presiden dengan grup bisnis yang diduga terlibat pembakaran hutan tersebut. Jadi urusan penelusuran itu urusan KPK yang memeiliki wewenang atas nama Undang-undang, bukan saya, itu tugas KPK. Demikian respon ini saya sampaikan. Jakarta, 20 Agustus 2022. (*)

Di Lampung, LaNyalla Ajak Warga PSHT Kembali ke UUD 1945 Agar Kedaulatan di Tangan Rakyat

Bandar Lampung, FNN – Ketua DPD RI, AA LaNyalla Mahmud Mattalitti, kembali menegaskan bahwa kedaulatan harus dikembalikan kepada rakyat. Caranya, kembali ke UUD 1945 naskah asli dan kemudian disempurnakan dengan adendum. Penegasan itu disampaikan LaNyalla kepada ratusan warga Persaudaraan Setia Hati Terate (PSHT) Provinsi Lampung di SCC Universitas Saburai, Bandar Lampung, Sabtu (20/8/2022). Ketua DPD RI didampingi Anggota DPD RI asal Provinsi Lampung Bustami Zainuddin yang juga Ketua Dewan Pembina PSHT Provinsi Lampung, Anggota DPD asal Provinsi Lampung Abdul Hakim, Anggota DPD RI Sulawesi Selatan Andi Muh Ihsan dan Sekjen DPD RI Rahman Hadi. “Kenapa hal itu yang saya suarakan? Karena UUD hasil amandemen 1999-2002 jelas-jelas melupakan Pancasila. Sejak saat itu pasal-pasalnya diganti, sehingga memberi ruang lebar pada oligarki ekonomi dan politik menguasai negeri ini. Di mana salah satunya kekayaan kita yang sangat melimpah ini dikuasai oleh asing,” ujarnya. Makanya, LaNyalla yang juga Dewan Pembina PSHT mengajak warga PSHT untuk berjuang mengembalikan kedaulatan rakyat kepada rakyat. “Kalau tidak kita rebut kedaulatan itu, negara akan diatur oligarki. Kekayaan alam kita semakin dikeruk habis dan rakyat tambah miskin. Padahal seharusnya sumber daya alam itu dipergunakan untuk kemakmuran rakyat, bukan untuk dan oleh segelintir orang,” jelasnya. “Warga PSHT, yang senior dan terutama yang muda-muda harus mulai sadar dan mencermati. Harus mulai berpikir apakah saat ini kita benar-benar menggunakan UUD 45 yang asli atau bukan jika melihat kondisi bangsa dan keadaan rakyat sekarang,” tambah dia. Untuk itulah, LaNyalla akan menyebarkan peta jalan kembali ke UUD 1945 naskah asli, supaya warga PSHT paham upaya itu merupakan satu-satunya solusi permasalahan bangsa. “Silakan pelajari peta jalan kembali ke UUD 45 yang saya buat. Apabila masih kurang mengerti, bisa diskusi dengan anggota DPD RI dari sini, Pak Bustami dan Pak Hakim atau dengan lainnya. Setelah paham benar, resonansikan gagasan ini kepada masyarakat lainnya. Sadarkan mereka bahwa inilah satu-satunya jalan mewujudkan keadilan sosial bagi rakyat kita,” tutur Ketua Dewan Pembina PSHT itu. Dalam kesempatan itu LaNyalla juga menyinggung legalitas PSHT yang sempat menjadi polemik. Menurutnya, PSHT yang dipimpin oleh Drs. R. Murjoko HW merupakan organisasi yang benar, legal dan hak-haknya diakui pemerintah yang sah. Sebab, sebagai Ketua DPD RI LaNyalla sudah mempelajari dengan seksama, bahkan ikut memperjuangkan legalitas PSHT hingga mendapatkan pengakuan legalitas dari Kementerian Hukum dan HAM Republik Indonesia. “Karena itu jangan sampai di bawah masih ada komponen masyarakat, juga pemerintah dan aparatur negara yang meragukan legalitas organisasi PSHT. Kalau masih ragu-ragu, silahkan buka sendiri di situs Kemenkumham, maka saudara akan tahu siapa pemilik nama dan badan hukum Persaudaraan Setia Hati Terate, yakni Kangmas Drs. R. Murjoko HW, bukan yang lain,” tegasnya. PSHT, lanjutnya, juga harus memberikan sumbangsih dengan membantu Pemerintah Daerah mensukseskan program pembangunan. Terutama dalam pembangunan karakter dan jati diri bangsa, serta kesehatan jasmani dan rohani generasi muda. Kehadiran Ketua DPD RI di Lampung mendapat apresiasi dari Sekum Ikatan Pencak Silat Indonesia (IPSI) Provinsi Lampung Ria Gusria. Harapannya aspirasi rakyat Lampung, termasuk aspirasi PSHT dan masyarakat pencak silat Provinsi Lampung bisa disuarakan. “Karena saya tahu persis bahwa Pak Ketua DPD RI berani sekali menyuarakan aspirasi rakyat. Saya juga berdoa semoga gagasan dan pikiran Pak Ketua bisa terwujud dengan baik,” ucapnya. Ketua Perwakilan Pusat PSHT Provinsi Lampung, Brigjen TNI Yuswandi meminta warga PSHT terus mendukung pemerintah pusat dan daerah guna menjadikan Lampung lebih maju. “PSHT harus menjalin kerjasama yang erat dengan pemerintah daerah dan Forkopimda untuk membantu menjaga ketertiban dan keamanan. PSHT harus berkontribusi besar untuk ikut Memayu Hayuning Bawono,” tuturnya. M. Firsada, Kepala Badan Kesbangpol Provinsi Lampung yang mewakili Gubernur Lampung menegaskan bahwa PSHT merupakan aset besar bagi Lampung. Oleh karena itu harus dikelola dengan baik dan membantu mewujudkan misi Gubernur Lampung, yaitu menjadikan Lampung Berjaya. Selain Kepala Badan Kesbangpol Lampung, M Firsada, hadir Sekum IPSI Lampung Ria Gusria dan Ketua Perwakilan Pusat PSHT Lampung, Brigjen TNI Yuswandi, Anggota Dewan Pengurus Pusat PSHT Laksamana TNI Sidiq Mustofa, Rektor Universitas Saburai Lampung Lina Maulidiana, Para Ketua Cabang PSHT Kabupaten dan Kota se-Provinsi Lampung dan Warga Baru PSHT se-Provinsi Lampung. (mth/*)

Renungan Kemerdekaan

Jokowi harus mampu menunjukkan langkah ke depan, membangun Indonesia Merdeka yang kokoh berbasis moral yang tangguh. Reformasi kepolisian dan birokrasi itu harus dilakukan. Ulama dihormati. Oleh: Dr. Syahganda Nainggolan, Sabang Merauke Circle RAKYAT Indonesia beberapa hari belakangan ini gelisah, karena Indonesia ini berjalan entah ke mana. Tidak jelas tujuan dan limbung, sebentar ke kiri, lalu sebentar ke kanan. Katanya sudah merdeka 77 tahun, tapi makna dan fakta kemerdekaan itu terasa semakin jauh. Tidak jelas dan limbung, karena negara dan pengelolanya berjalan tanpa moralitas kekuasaan yang jelas, sementara rakyat mengais-ngais secercah harapan untuk hidup saat beban ekonomi menaik. Lihatlah beberapa hal berikut ini, pertama, kita melihat Istana saat hari perayaan kemerdekaan menteri-menteri berjoget ria, lagu cinta, yang dibawakan anak belum dewasa. Biasanya peringatan kemerdekaan dilakukan dengan lagu-lagu kebangsaan, yang membuat seluruh orang hikmat dan merinding. Misalnya, lagu Padamu Negeri, ciptaan Kusbini. Atau setidaknya lagu Merah Darahku, ciptaan musisi Gombloh. Dengan lagu kebangsaan, secara sosiologis, manusia akan terhubung dengan perjuangan yang belum selesai. Kemerdekaan yang belum selesai. Jika dengan lagu cinta-cintaan, “Ojo Dibandingke”, apalagi mengeksploitasi anak kecil sebagai penyanyi, tentu tidak terhubung dengan “public domain” atau “public interest”. Persoalan kedua tentang moralitas kekuasaan, tentu saja soal pembunuhan Brigadir J (Joshua). Supremasi Hukum adalah kata kunci “Justice”. Sebuah negara didirikan untuk mendistribusikan keadilan bagi rakyat semua. Tanpa meletakkan hukum sebagai tulang punggung, tentu semuanya akan kacau-balau. Bagaimana mengatur hukum bagi kepentingan semua orang? Negera tugasnya membangun institusi penegakan hukum dan keadilan. Salah satunya adalah Kepolisian. Kita sudah melihat dalam bulan kemerdekaan ini, beberapa jenderal polisi, terlibat kasus melakukan pembunuhan dan saling bantu dalam pembunuhan tersebut, yakni Ferdy Sambo dkk. Jika kita nonton film “City of Lies”, Jhonny Deep, di HBO, polisi di Los Angeles, Amerika, juga terjadi hal yang sama, yakni polisi berkelakuan mafia. Tapi, yang kita alami dalam 77 tahun merdeka ini adalah ternyata jenderal-jenderal ini merupakan bagian dari kekuasaan negara, bukan soal pribadi. Mengapa demikian? Karena dalam rezim Presiden Joko Widodo, polisi bekerja bukan saja untuk urusan penegakan hukum, melainkan juga menghancurkan lawan-lawan politik dari rezim yang berkuasa. Bahwasanya Jokowi selama ini menyandarkan penyingkiran oposisi pada polisi. Sambo adalah intinya polisi saat kemarin itu, Kadiv Propam dan Komandan institusi ekstra kuat, Satgassus Merah Putih. Jadi wajah Sambo, sekali lagi, adalah refleksi wajah kepolisian. Mahfud MD mengungkapkan tanpa adanya polisi bintang 3 yang bermoral, kemungkinan Sambo akan bebas. Tentu saja karena Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo juga ingin bertransformasi ke arah yang benar. Persoalan ketiga adalah ekonomi rakyat kecil. Jokowi, via Menko Marinves Luhut Binsar Pandjaitan, sudah menyatakan akan menaikkan harga BBM, pekan depan. Selama ini pemerintah menyatakan bahwa negara terlalu banyak mensubsidi rakyat, sekitar Rp 500 triliun. Tentu saja rakyat akan memikul beban kenaikan harga yang sangat besar. Sebelum kenaikan BBM, pertalite dan solar, saat ini rakyat sudah mengalami beban mahalnya harga-harga kebutuhan pokok. Padahal upah tidak naik atau naik tidak signifikan. Belum kita melihat yang PHK, semakin banyak. Mengharap pada keluarga besar (extended family) sebagai sistem perlindungan sosial tradisional, semakin sulit. Karena, semua orang juga semakin sulit. Lalu ke mana berharap, jika negara mencabut subsidi? Jika subsidi dipangkas? Persoalan terakhir adalah demokrasi dan kebebasan rakyat. Kita melihat bahwa beberapa ulama masih di penjara. Alasannya adalah membuat onar, seperti kasus Habib Bahar Smith, Edi Mulyadi, Bunda Meri di Lampung, dan kasus-kasus yang dicurigai polisi sebagai teroris. Menghukum lawan-lawan politik karena mengganggu kekuasan adalah ajaran Machiavelli. Niccollo Machiavelli, filosof Florence era 1500-an, mengatakan penguasa tidak perlu berharap dicintai, tapi berharaplah untuk ditakutin rakyat. Ketakutan rakyat lebih mulia daripada dicintai. Ini adalah moral iblis. Dimana negara dan kekuasaannya dibangun untuk merampok kekayaan bangsanya, bukan menciptakan keadilan sejati. Di era modern, di mana kontrol sosial dari “civil society” diperlukan,. justru kebebasan, kritik dan perbedaan pendapat haruslah menjadi tiang utama negara. Jokowi sudah mengingatkan agar tidak ada lagi politik identitas. Sebenarnya siapa yang berlindung dalam isu politik identitas itu? Di era sebelum Jokowi justru ketika rezimnya menganut demokrasi, tidak ada kekerasan politik atau permusuhan politik horisontal di masyarakat. Pemenjaraan dan penangkapan ulama serta aktivis politik hanya gencar di era rezim Jokowi. Itu paralel dengan kekuasaan aparatur polisi, begitu besarnya. Catatan Akhir Negara adalah sebuah institusi representasi kepentingan rakyat. Untuk benar-benar bisa memberi fungsi keadilan, maka diperlukan moralitas kekuasaan. Moralitas itu adalah sebuah nilai-nilai yang di dalamnya kepentingan pribadi ditransfer menjadi kepentingan publik. Orang-orang harus melihat pemimpinnya meneteskan air mata ketika acara kemerdekaan di istana, dengan lagu lagu kebangsaan yang menggugah spirit, bukan berjoget-joget lagu cinta. Orang-orang harus terkoneksi dengan sejarah. Hukum dan keadilan harus tumbuh dalam fundamental nilai-nilai. Penegak hukum harus mengerti bahwa dia adalah teladan. Kalau bisa moralitasnya berbasis agama, rajin ibadah dan membenci uang-uang haram. Penegak hukum dan perangkat hukum tidak lagi menjadi bagian dari kepentingan politik rezim, dia harus adil terhadap siapapun. Tidak boleh digunakan untuk mendukung seseorang dalam pemilu atau lainnya. Moralitas kekuasaan dengan nilai-nilai kecintaan pada rakyat harus merujuk pada maksud Indonesia Merdeka. Keadilan untuk semua rakyat. Saat ini kita berada pada kerapuhan moralitas kekuasaan. Tapi kita, saat melihat misalnya masih ada jenderal bermoral di kepolisian, kita masih bisa berharap bahwa masih ada harapan ke depan. Jokowi harus mampu menunjukkan langkah ke depan, membangun Indonesia Merdeka yang kokoh berbasis moral yang tangguh. Reformasi kepolisian dan birokrasi itu harus dilakukan. Ulama dihormati. Pemimpin itu seharusnya merakyat. Subsidi pangan dan energi pokok harus dipertahankan. Serta demokrasi diutamakan. Dirgahayu Republik Indonesia ke-77. Tetap Berharap. Tetap Semangat! Depok, 19 Agustus 2022. (*)

Kerusakan Institusi POLRI Akibat Kebijakan Presiden yang Salah

Kasus Sambo menunjukkan bahwa pembusukan Polri sudah sangat serius. Bahkan, Sambo bukan satu-satunya perusak institusi Polri. Dugaan kuat ada bapak asuh di belakangnya. Oleh: Sutoyo Abadi, Koordinator Kajian Politik Merah Putih SADAR atau tidak berawal dari keberadaan positioning POLRI langsung di bawah Presiden RI, Polisi dipersenjatai melebihi kekuatan senjata TNI oleh Presiden, dengan imbalan loyalitas buta Polisi pada Presiden, inilah petaka awal terjadi kerusakan di tubuh Polri. Perselingkuhan Presiden dengan Polri penyebab kewenangan dan kekuasaan Polri bukan terkendali, justru menjadi liar. Terjadi Abuse of Power oleh Polisi, menjadi kekuatan super body, menabrak siapapun yang berseberangan dengan kekuasaan, itu akibat Presiden telah memanjakan Polri melampaui peran, fungsi, dan tupoksinya. Dalam UU Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian, tugas polisi itu hanya tiga: Penegak hukum; Menjaga kamtibmas, dan melayani, mengayomi; dan Melindungi masyarakat. Tapi, kini masuk ke ranah politik sebagai pengaman presiden, mengatasi/menindak siapapun yang berseberangan dan melawan kekuasaan. Konon, peran politis ini sudah dirancang jarak-jauh sejak Tito Karnavian sebagai Kapolri, bukan hanya sebagai kekuatan mengamankan suara hasil Pilpres tetapi memenangkan suara untuk kemenangan Presiden. Kata Bung Anton Permana: “imbalan politisnya Presiden menempatkan Polisi hampir di semua urusan negara. Di setiap departemen hampir ada Polisi, di Bulog, Kumhan, Parekraf, atau ada empat puluh empat (44) jabatan diisi oleh polisi. Tito Karnavian sendiri langsung mendapatkan jatah sebagai Mendagri”. “Lebih liar lagi tugas TNI seperti dalam penanganan terorisme, separatisme, pengamanan objek vital, pengamanan wilayah perbatasan juga diambil-alih polisi. Padahal itu jelas dan tegas tugas TNI sesuai UU Nomor 34 Tahun 2004,” katanya lebih lanjut. Presiden tak tanggung-tanggung mengeluarkan Perpres Nomor 54 Tahun 2022 tentang Perubahan Kedua atas Peraturan Presiden Nomor 52 Tahun 2010 tentang Susunan Organisasi dan Tata Kerja Kepolisian Negara Republik Indonesia. Untuk menambah kekuasaan Polri agar lebih luas karena tidak ada dalam UU Polisi. Padahal secara hirarki perundangan, Perpres itu di bawah Undang-Undang. Yang muncul di kemudian hari kekuasan Polisi merambah kemana-mana: Polisi bertindak cepat mengkriminalisasi tokoh-tokoh siapapun yang menentang dan berbeda pandangan dengan sang penguasa. Kriminalisasi ulama, begitu sadis cara menangani demo dengan kekerasan di luar batas perikemanusiaan. Bahkan, di mana-mana berperan sebagai body guard Oligarki, sebagai penjaga rampasan tanah jarahannya dari gangguan. Diduga kuat ikut mengamankan TKA asing, khususnya dari China masuk berbondong-bondong ke Indonesia. TNI dianak-tirikan, bahkan terkesan dilemahkan. TNI melalui binternya di amputasi, TNI masuk desa sebagaian kemanunggalan TNI dan rakyat tidak terdengar lagi. Kewenangannya juga banyak dicabut atas nama kekuasaan Presiden untuk mengamankan kekuasaan Presiden dan menempatkan Polri sebagai body guard-nya. Kesombongan Polri membesar ketika merasa bahwa Polri langsung di bawah Presiden dan TNI di bawah kordinasi Kementerian Pertahanan. Presiden berdalih menambah kekuasaan Polri adalah untuk memerankan Polri perang melawan perang asymetris. Perang yang tidak tampak seperti; perang ideologi, perang ekonomi, perang dagang, perang pemikiran, dan perang sosial-budaya. Melebar mengamankan perjudian dan perdagangan narkoba serta perdagangan terlarang lainnya. Dampak ikutan akibatnya bukan keamanan yang tercipta, justru kegaduhan, perpecahan dan kekacauan di masyarakat semakin parah. Apa yang terjadi saat ini? Oknum kekuatan polisi menyalahgunakan kekuasaannya. Muncullah polisi Sambo yang liar bersentuhan dengan praktik hitam melebar ke mana-mana. Awal kejadian sangat jelas, akibat salah kelola kepolisian oleh presiden sendiri yang menempatkan polisi sebagai alat kekuasaan politik. Menempatkan dan memfungsikan polisi dengan wewenang sangat besar sebagai alat kekuasaan politik. Maka terjadilah saat ini skandal Polisi Sambo. Kebijakan Presiden memakan tuan Presiden sendiri. Perintah untuk secepatnya mengatasi kasus Sambo berlarut larut karena ternyata kasusnya memang sangat berat, penyakitnya sudah akut melebar ke mana-mana. Kasus Sambo menunjukkan bahwa pembusukan Polri sudah sangat serius. Bahkan, Sambo bukan satu-satunya perusak institusi Polri. Dugaan kuat ada bapak asuh di belakangnya. Republik ini adalah negara hukum dilihat dari kinerja Polri sebagai penegak hukum, menjaga kamtibmas, dan melayani, mengayomi, dan melindungi masyarakat, yang setia pada janjinya sebagai Bhayangkara Negara, telah dihianati, maka Polri adalah malapetaka negara.   Back to zero. Saatnya Polri direformasi total atau Republik ini ambruk. Tiba saatnya negara harus secepatnya melakukan Reformasi Polisi, sekarang! Police Reform, Now!. (*)

Purnawirawan dan Geruduk Polsek Lembang

Oleh M Rizal Fadillah | Pemerhati Politik dan Kebangsaan KASUS pembunuhan sadis Letkol TNI Purn H Muhammad Mubin oleh pengusaha Henry Hendono bukan kasus sederhana. Perhatian besar dari institusi TNI khususnya Angkatan Darat cukup besar. Kodam III SIliwangi menurunkan Tim Hukum untuk mengawasi dan mendampingi demikian juga dengan Persatuan Purnawirawan Angkatan Darat (PPAD) yang telah membentuk dan menugaskan tim hukum pula.  Purnawirawan lain yang tergabung dalam Forum Purnawirawan Pejuang Indonesia (FPPI) pimpinan Kol (Purn) Sugeng Waras hari ini akan menggeruduk Polsek Lembang untuk melakukan upacara duka cita dan do\'a bagi almarhum. Dilanjutkan dengan ta\'ziah ke rumah duka di Bandung. Upacara didukung beberapa Ormas dan elemen masyarakat termasuk eks Tri Matra pimpinan Ruslan Buton.  Perhatian Purnawirawan TNI menjadi unjuk rasa keprihatinan atas arogansi Aseng terhadap pribumi khususnya Purnawirawan TNI. Aksi solidaritas Purnawirawan dinilai penting agar kejahatan pembunuhan berencana yang dinilai sadis ini tidak berulang. Pelaku harus diberi hukuman berat.  Profil mantan Dandim Letkol Purn Muhammad Mubin adalah figur teladan yang secara bersahaja menjadi sopir di sebuah perusahaan meubel. Selalu mengantar putera majikannya ke sekolah. Sayangnya justru ia dinistakan oleh seorang pengusaha keturunan yang melakukan pembunuhan sadis hanya dengan alasan parkir di depan toko atau gudangnya.  Purnawirawan menggeruduk Polsek Lembang sudah tepat karena dari sini awal penanganan atas perbuatan pidana. Ada kejanggalan dalam penanganan. Waktu itu Polsek hanya mengenakan Pasal 351 ayat 3 KUHP kepada tersangka padahal diduga pembunuhan yang dilakukan Aseng atau Henry Herdono ini direncanakan. Ada cerita bohong para saksi karyawan Aseng soal pertengkaran ataupun adu pukul.  Setelah penyidikan diambil alih oleh Polda Jawa Barat maka tersangka dikenakan primer Pasal 340 KUHP yakni pembunuhan berencana. Tentu subsidair Pasal 338 KUHP dan atau 351 ayat 3 KUHP. Fakta yang didapat ternyata tidak ada pertengkaran atau pukul memukul. Yang terjadi adalah penyerangan langsung dengan pisau yang telah disiapkan. Ada niat sengaja untuk membunuh. Forum Purnawirawan Pejuang Indonesia (FPPI) saat dideklarasikan menyatakan keprihatinan atas kondisi negeri. Karenanya bertekad untuk berjuang menegakkan kebenaran, kejujuran dan keadilan. Mengingatkan semua elemen agar tidak menjual atau menggadaikan kedaulatan negara kepada penjajah politik, ekonomi dan budaya.  Kepedulian Purnawirawan terhadap kasus pembunuhan Aseng ini nampaknya di samping solidaritas juga menjadi bagian dari upaya untuk menegakkan kebenaran, kejujuran dan keadilan. Pada situasi politik yang karut marut ini para Purnawirawan nampaknya  lebih maju ke depan dalam mengoreksi keadaan.  Old soldiers never die, they just fade away, kata sebuah ungkapan. Akan tetapi hari ini old soldiers itu \"not just fade away\". Mereka ada di sana. Membela sesama.  Bandung, 21 Agustus 2022

Teladan Bung Natsir

Saat ulang tahun ke-80, Natsir memberikan wasiat kepada anak-anaknya supaya menjaga rumah keluarga di Jalan Cokroaminoto 46 dan buku-buku karyanya. Lima tahun kemudian ia menutup mata selamanya. Oleh: Mochamad Toha, Wartawan Forum News Network (FNN) KETIKA awal kasus pembunuhan Brigadir Joshua di rumah dinas Irjen Ferdy Sambo, Duren Tiga 46 Jakarta Selatan, suara anggota Komisi III DPR RI nyaris tidak terdengar sama sekali. Sampai akhirnya Menko Polhukam Mahfud MD menyindir dan mengkritiktisi sikap mereka. Kabar yang berhembus, konon, selama ini mereka menerima upeti dari Sambo yang masih memimpin Satgassus Merah Putih – sebelum dibubarkan Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo – sebesar Rp 500 juta/bulan. Kalau benar seperti itu faktanya, tentunya upeti yang diserahkan ke pejabat DPR yang lebih tinggi bisa di atas angka setengah miliar rupiah. Dipastikan, Mahfud MD berani bicara dan mengkritik DPR karena dia pegang datanya. Apakah Ketua MPR Bambang Soesatyo yang terkesan membela Ferdy Sambo itu juga menerima kucuran dana haram dari jaringan sindikat narkoba dan judi online “kolega” Kaisar Sambo? Hanya dia dan Allah SWT yang tahu. Sudah bukan rahasia lagi kalau selama ini anggota DPR sering bermain mata dengan pengusaha, pejabat korup, maupun pihak lain yang merasa terancam perilaku korupnya. Presiden Joko Widodo sendiri pernah buka-bukaan terhadap kasus-kasus korupsi yang saat ini tengah diselesaikan para penegak hukum di Indonesia. Bahkan, banyak di antara mereka yang sudah dipenjara. “Hingga hari ini sudah 122 anggota DPR dan DPRD, 25 menteri atau kepala lembaga, empat duta besar, tujuh komisioner, 17 gubernur, 51 bupati dan wali kota, 130 pejabat eselon 1 sampai 3, dan 14 hakim sudah dipenjara karena korupsi,” ungkap Jokowi dalam Konferensi Nasional Pemberantasan Korupsi di Balai Kartini, Jakarta di Balai Kartini, Kamis (1/12/2016). Sebanyak 23 anggota DPR, seperti ditulis Detik.com, berjudul Ahad (29 Sep 2019 10:08 WIB), “Jejak Para Anggota DPR 2014-2019 yang Terjerat Kasus Korupsi”, terjerat korupsi. Mereka ini dari berbagai partai politik maupun Komisi yang ada di DPR. Supaya mereka tidak terjebak dalam skandal korupsi, sebaiknya mereka bisa belajar dari sikap teladan Mohammad Natsir selama menjadi pejabat di DPR maupun eksekutif. Beginilah karakter politisi kita dahulu, sampai meninggal di usia lebih dari 80 tahun tetap dicintai dan dihormati jutaan rakyat. Bung Natsir Dari balik lemari yang menjadi sekat ruang tamu, Sitti Muchliesah bersama 4 adik dan sepupunya mencuri dengar pembicaraan ayahnya Mohammad Natsir dengan seorang tamu dari Medan. Hati remaja-remaja itu berbunga ketika mendengar si tamu hendak menyumbangkan mobil buat ayah mereka. Lies panggilan Siti menyangka mobil Chevrolet Impala yang sudah terparkir di depan rumahnya di Jalan Jawa 28 (kini Jalan H.O.S. Cokroaminoto), Jakarta Pusat, itu akan menjadi milik keluarganya. Sedan besar buatan Amerika ini tergolong “wah” pada 1956. Ketika itu Natsir, yang pernah menjadi Menteri Penerangan dan Perdana Menteri, hanya punya mobil pribadi bermerek DeSoto yang sudah kusam. Aba – demikian anak-anaknya memanggil Natsir – ketika itu masih anggota parlemen dan memimpin Fraksi Masyumi. “Dia ingin membantu Aba karena mobil yang ada kurang memadai,” kata putri tertua Natsir yang saat itu baru masuk usia 20 tahun ini. Harapan anak-anak naik mobil Impala buyar begitu tahu ayahnya menolak tawaran dengan amat halus agar tak menyinggung perasaan tamunya. “Mobil itu bukan hak kita. Lagi pula yang ada masih cukup,” ungkap Lies menirukan ucapan ayahnya ketika mereka bertanya. Nasihat itu begitu membekas di hati Lies (72 tahun). Aba dan Ummi Nurnahar – ibunda Lies – selalu berpesan kepada anak-anaknya, “Cukupkan yang ada. Jangan cari yang tiada. Pandai-pandailah mensyukuri nikmat.” Ketika sang ayah menjadi Menpen pada awal 1946, Lies mengenang mereka tinggal seadanya di rumah milik sahabat Natsir, Prawoto Mangkusasmito, di Kampung Bali, Tanah Abang, Jakarta Pusat. Sewaktu pusat pemerintah pindah ke Jogjakarta, keluarga Natsir menumpang di paviliun milik Haji Agus Salim di Jalan Gereja Theresia, sekarang Jalan H Agus Salim. Periode menumpang di rumah orang baru berakhir ketika mereka menempati rumah di Jalan Jawa pada akhir 1946. Rumah tanpa perabotan ini dibeli pemerintah dari seorang saudagar Arab dan kemudian diserahkan untuk Menpen. “Kami mengisi rumah itu dengan perabot bekas,” kata Lies. Selama menjadi menteri, Natsir jarang bertemu dengan keluarga karena lebih banyak berdinas di Jogjakarta. Di sana pula dia pertama berjumpa dengan guru besar dari Universitas Cornell, George McTurnan Kahin. “Pakaiannya sungguh tidak menunjukkan ia seorang menteri dalam pemerintahan,” tulis Kahin dalam buku memperingati 70 tahun Mohammad Natsir. Dia melihat sendiri Natsir mengenakan jas bertambal. Kemejanya hanya dua setel dan sudah butut pula. Kahin, yang mendapat info dari Haji Agus Salim mengenai sosok Natsir, belakangan tahu bahwa staf Kementerian Penerangan mengumpulkan uang membelikan pakaian supaya bos mereka terlihat pantas sebagai seorang menteri. Penampilan Natsir tidak berubah ketika dia menjadi Perdana Menteri Negara Kesatuan Republik Indonesia pada Agustus 1950. Keluarga Natsir menempati rumah Soekarno di Jalan Pegangsaan Timur (sekarang Tugu Proklamasi), Jakarta Pusat. Rumah di Jalan Jawa yang sempit dan kusam dinilai tak layak buat pemimpin pemerintah. Rumah di Jalan Proklamasi lengkap dengan perabotan, sehingga Natsir dan keluarganya hanya membawa koper berisi pakaian dari Jalan Jawa. Pada masa ini kehidupan keluarga Natsir sudah dibatasi protokoler. Rumah dijaga polisi dan sang Perdana Menteri selalu didampingi pengawal. Pemerintah juga menyediakan pembantu yang membenahi rumah, tukang cuci dan masak, serta tukang kebun. “Semua fasilitas tidak membuat kami manja dan besar kepala,” ujar Lies. Putri tertua Natsir yang saat itu duduk di kelas II sekolah menengah pertama tersebut tetap naik sepeda ke sekolah karena jaraknya dekat. Adik-adiknya antar-jemput dengan mobil DeSoto yang dibeli dari uang sendiri. Ibunya masih melanjutkan belanja ke pasar dan kadang masak sendiri. Lies mengatakan, keluarganya tidak pernah memanfaatkan fasilitas pemerintah, misalnya perjalanan dinas. Contoh lain kejujuran Natsir selama menjadi pejabat negara didengar pula oleh Amien Rais, bekas Ketua Umum Muhammadiyah. Saat masih mahasiswa, ia mendengar cerita Khusni Muis yang pernah menjadi Ketua Muhammadiyah Kalimantan Selatan. Syahdan, Khusni menuturkan, ia pernah datang ke Jakarta untuk urusan partai (saat itu Muhammadiyah merupakan anggota istimewa Masyumi). Saat hendak pulang ke Banjarmasin, ia mampir ke rumah Natsir. Tujuannya meminjam uang untuk ongkos pulang. Tapi Natsir menjawab tidak punya uang karena belum gajian. Natsir lalu meminjam uang dari kas majalah Hikmah yang ia pimpin. “Bayangkan, Perdana Menteri tidak memegang uang. Kalau sekarang, tidak masuk akal,” ujar Amien. Tatkala Natsir mundur dari jabatannya sebagai perdana menteri pada Maret 1951, sekretarisnya, Maria Ulfa, menyodorkan catatan sisa dana taktis. Saldonya lumayan banyak. Maria mengatakan dana itu menjadi hak perdana menteri. Tapi Natsir menggeleng. Dana itu akhirnya dilimpahkan ke koperasi karyawan tanpa sepeser pun mampir ke kantong pemiliknya. Dia juga pernah meninggalkan mobil dinasnya di Istana Presiden. Setelah itu, ia pulang berboncengan sepeda dengan sopirnya. Keluarganya pindah lagi ke rumah di Jalan Jawa setelah Natsir turun dari jabatan perdana menteri. “Kami kembali ke kehidupan semula,” kata Lies. Pola hidup sederhana itu pula yang membuat anak-anak Natsir mampu bertahan saat suratan takdir mengubah hidup mereka dari kelompok “anak Menteng” menjadi “anak hutan” di Sumatera ketika meletus pemberontakan Pemerintahan Revolusioner Republik Indonesia/Perjuangan Rakyat Semesta. Setelah periode hidup di hutan dan Natsir mendekam dari satu penjara ke penjara yang lain selama 1960-1966, keluarga mereka kehilangan rumah di Jalan Jawa, termasuk mobil DeSoto. Harta itu diambil alih seorang kerabat, seorang pejabat pemerintah. Mereka menjalani “kehidupan nomaden”, terus berpindah kontrakan, dari paviliun di Jalan Surabaya sampai rumah petak di Jalan Juana, di belakang Jalan Blora, Jakarta Pusat. Rumah itu cuma terdiri atas satu kamar tidur, ruang tamu kecil, dan ruang makan merangkap dapur. Setelah Natsir bebas dari Rumah Tahanan Militer Keagungan Jakarta pada 1966, ia membeli rumah milik kawannya, Bahartah, di Jalan Jawa 46 (kini Jalan HOS Cokroaminoto), Jakarta Pusat. Rumah itu sebetulnya dijual dengan “harga teman”, tapi Natsir tetap tidak mempunyai uang. Alhasil, ia harus mengais pinjaman dari sejumlah kawan dan dicicil selama bertahun-tahun. Teladan kesederhanaan tetap ia tunjukkan saat memimpin Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia pada masa Orde Baru. Bekas Menteri Sekretaris Negara Yusril Ihza Mahendra, yang ketika itu pernah menjadi anggota staf Natsir, menuturkan betapa bosnya acap ke kantor mengenakan kemeja itu-itu saja. Kalau tidak baju putih yang di bagian kantongnya ada noda bekas tinta, kemeja lain adalah batik berwarna biru. Saat ulang tahun ke-80, Natsir memberikan wasiat kepada anak-anaknya supaya menjaga rumah keluarga di Jalan Cokroaminoto 46 dan buku-buku karyanya. Lima tahun kemudian ia menutup mata selamanya. Setahun sepeninggalnya, kelima anaknya, Lies, Asma Faridah, Hasnah Faizah, Aisyahtul Asriah, dan Fauzie Natsir, sepakat menjual rumah peninggalan dari almarhum: mereka tidak sanggup membayar pajaknya. Itulah gambaran kesederhanaan mantan pejabat negara. Rasanya sekarang ini sangat sulit sekali menemukan pejabat semacam Natsir. (*)