Platform Politik Anies?
Sambil menunggu Anies mengucapkan platform politiknya, kita sebagai publik pemilih cuma bisa berharap agar tak seperti menunggu Godot yang dirindukan kedatangannya tapi tak kunjung datang juga.
Oleh: Daniel Mohammad Rosyid, Guru Besar ITS Surabaya, @Rosyid College of Arts
ANIES Rasyid Baswedan telah dideklarasikan beberapa hari lalu sebagai bacapres Nasdem yang dipimpin Surya Paloh. Dengan rekam jejak yang cukup meyakinkan, kini Nasdem dengan menggandeng Anies makin kuat untuk menarik PKS dan Demokrat berkoalisi mengajukan Anies sebagai bacapres 2024.
Dari sekian nama tokoh nasional yang populer, Anies telah membuktikan diri sebagai tokoh dengan elektabilitas yang tinggi. Yang kini masih sepi dari perbincangan publik adalah platform politik para bacapres.
Di sinilah letak masalah praktik demokrasi kita yang sangat prosedural, jauh dari substansi demokrasi. Setiap Pemilu kita selalu disibukkan oleh hingar-bingar pribadi para calon, bukan platform politik yang diperjuangkannya.
Lalu Chris Komari menyebutnya sebagai demokrasi lontong sayur yang ludes setelah hajatan pemilu usai. Padahal, seperti disinyalir oleh Sri Edi Swasono, sudah cukup banyak bukti bahwa kehidupan berbangsa dan bernegara kita mengalami deformasi serius setelah penggantian UUD 1945 dengan UUD 2002.
UUD 2002 dan UU turunannya telah menjadi papan lontar banyak masalah maladministrasi publik di mana UU dibuat bukan untuk kepentingan publik pemilih, tapi untuk kepentingan bandar politik yang membiayai peserta Pemilu, termasuk calon Presiden.
Jika kerusakan arsitektur legal formal ini tidak pernah diperbaiki oleh presiden terpilih, maka dia akan selalu menjadi bagian dari masalah yang mendera Republik ini. Kecenderungan otoriterianik Orwellian rezim saat ini makin sulit disembunyikan.
Semua lembaga negara produk UUD 2002 kini jatuh menjadi alat kekuasaan rezim dengan dukungan para bandar politik yang makin kekenyangan dalam menikmati berbagai kekebalan hukum dan konsesi ekonomi di berbagai sektor pembangunan sejak batubara hingga sawit.
Oleh Laksamana Sukardi, UUD 2002 telah membuka bagi kesalahan tata kelola kehidupan berbangsa dan bernegara sehingga para bandit politik leluasa melakukan apa saja, kecuali memperhatikan kepentingan publik.
Seperti yang disinyalir Mulyadi Taampali, baik DPR, MK, KPU, KPK hingga POLRI kini hanya menjadi badut politik yang dengan sukarela menjadi alat kekuasaan para bandit dan bandar politik.
Skandal Sambo hingga saat ini belum jelas konsekuensinya bagi reformasi POLRI, sementara skandal stadion Kanjuruhan direduksi hanya persoalan teknis stadion, bukan inkompentasi aparat keamanan.
Bagi banyak purnawirawan, ulama, tokoh dan cendekiawan, presiden yang layak dipilih adalah sosok yang berani mengagendakan Dekrit Presiden untuk kembali ke UUD 1945 versi Dekrit Presiden Soekarno 1959.
Untuk mengantisipasi tuntutan adaptasi dengan lansekap global strategis yang berkembang, perubahan atas UUD 1945 dimungkinkan dengan metode addendum, tanpa mengubah Pembukaan, batang tubuh, dan penjelasannya.
Rakyat yang selama era reformasi ini telah menjadi jongos atau yatim politik harus dimerdekakan dengan mereposisi MPR RI kembali sebagai lembaga tertinggi negara. Kedaulatan harus dikembalikan ke tangan rakyat, bukan ke partai politik.
Presiden dipilih oleh MPR sebagai mandataris MPR untuk menjalankan GBHN sebagai amanah rakyat, bukan petugas partai, apalagi menjadi badut politik kaki tangan para taipan.
Sambil menunggu Anies mengucapkan platform politiknya, kita sebagai publik pemilih cuma bisa berharap agar tak seperti menunggu Godot yang dirindukan kedatangannya tapi tak kunjung datang juga.
Akhirnya, pemilu hanya instrumen pemiluan rakyat yang makin mahal, tapi gagal merekrut pemimpin yang sanggup menyelamatkan Republik ini dari cengkraman para bandit, bandar dan badut politik.
Ngawi, 7 Oktober 2022. (*)