Istikharah Politik Cawapres Anies: Antara Khofifah dan AHY

Tamsil Linrung, Wakil Ketua MPR Terpilih/Anggota DEWAN Perwakilan Daerah (DPD) RI

Di tingkat nasional, Khofifah juga dapat diandalkan. Ia berpotensi meraup suara dari kaum perempuan, karena Khofifah adalah Ketua Muslimat Nahdhatul Ulama (NU).

Oleh: Tamsil Linrung, Wakil Ketua MPR Terpilih/Anggota DEWAN Perwakilan Daerah (DPD) RI

PARTAI NasDem resmi mendeklarasikan Anies Rasyid Baswedan sebagai Bakal Calon Presiden (Capres) 2024. Dalam tempo dekat, Partai Keadilan Sejahtera (PKS) dan Partai Demokrat diperkirakan menyusul. Melihat cuaca politik pekan-pekan terakhir ini, tidak menutup kemungkinan Partai Persatuan Pembangunan (PPP) bergabung. Setali tiga uang dengan Partai Amanat Nasional (PAN).

Tidak ada keraguan, wajah Anies bakal terpajang di kertas suara Pemilihan Presiden (Pilpres). Syaratnya dua. Pertama, yaitu jika para punggawa politik menjungjung tinggi Pemilu jujur dan adil, mendorong Pemilu tepat waktu, juga tidak saling mengkriminalkan.

Syarat kedua, Anies bakal lolos menuju kontestasi Pilpres jika partai-partai pengusungnya tak egois memaksakan Bakal Calon Wakil Presiden (Cawapres). Di titik ini, kompromi politik memang jadi tikungan krusial. Tidak hanya bagi Anies, tetapi nyaris semua koalisi partai dalam kontestasi Pilpres kerap buyar dan bubar, tergelincir karena tidak satu kata soal Cawapres.

Lain halnya dengan Anies, ada kesan dan pesan serta kredo tidak tertulis yang ditangkap publik, Cawapres akan ditentukan berdasarkan pertimbangan paling rasional. Tentu saja yang memiliki daya katrol elektabilitas mumpuni.

Karakter dan personal branding Anies yang berlatarbelakang akademisi cuma intelektual, sangat identik dengan rasionalitas dan hal-hal saintifik, tentu menjadi bagian penting dalam pertimbangan menentukan Cawapres. Bukan soal like or dislike, apalagi preferensi selera pribadi.

Pemilihan Cawapres sangat mendasar, menentukan, tetapi juga krusial sekaligus rentan. Keliru memilih Cawapres sama halnya bunuh diri politik. Tidak heran, kalau media massa, pengamat, dan lembaga survei gempita menyodorkan analisa. Ada yang objektif, ada pula yang (mungkin) pesanan.

Tantangan terbesar koalisi Partai Nadem, PKS, dan Demokrat ada pada Cawapres. Di antara nama-nama yang sering disebut-sebut, agaknya ada dua yang paling moncer, yakni Gubernur Jawa Timur Khofifah Indar Parawangsa dan Ketua Umum Partai Demokrat Agus Harimurti Yudhoyono (AHY).

AHY bukan anak muda biasa. Dia luar biasa. Dia ketua umum partai, visioner, cerdas, muda, dan bisa diandalkan dalam urusan kepemimpinan. Leadhership AHY teruji ketika Partai Demokrat diobok-obok pihak lain. AHY membuktikan, dirinya mampu menyatukan seluruh kadernya dalam satu barisan, bersama menghalau pengkudeta dari Istana.

AHY punya daya ungkit elektabilitas tinggi. Pemilih milenial bakal tertarik dengan figurnya yang elok, muda, dan segar. Tidak diragukan, AHY punya modal dan peluang besar mendampingi Anies.

Tetapi, apakah AHY sebagai Cawapres Anies adalah realistis secara politik? Harus diakui, AHY belum sepenuhnya berpengalaman dalam politik. Tanpa berniat memandang sebelah mata, sepak terjangnya di politik masih seumur jagung. Faktor sang ayah, Soesilo Bambang Yudhoyono (SBY), memang tidak boleh ditepikan. Namun, dalam konteks kepemimpinan nasional, AHY harus dipandang sebagai figur yang mandiri.

AHY dan Anies cenderung dipersepsikan publik sebagai tokoh oposisi. Anies adalah kanal bagi kaum oposisi, sementara Partai Demokrat yang dipimpin AHY cukup representatif untuk disebut oposisi sebagai partai non-pemerintahan.

Maka, kombinasi Anies-AHY adalah kombinasi oposisi dengan oposisi. Sekilas ini luar biasa dan mengundang euforia besar. Persoalannya, apakah gabungan keduanya mampu mengalahkan kekuatan kartelisasi politik saat ini? 

Kita tidak pesimistis. Hanya saja, harus berhitung cermat mengkalkulasi potensi perolehan suara, bukan hanya pasangan bertalenta dan enak dipandang. Sistem pemilihan one man one vote mau tak mau mengharuskan kita mengalkulasi pasangan Capres-Cawapres dari sisi dukungan suara masing-masing individu secara matematis, kongkrit, dan realistis.

Caplok Suara Lawan

Dalam konteks itulah Khofifah punya nilai lebih. Selain memiliki pengalaman politik mumpuni, basis dukungannya jelas, kongkrit, dan relatif di luar lingkaran oposisi. Menggandeng Khofifah sama halnya mencaplok suara lawan, sekaligus mengerem serangan politik bertajuk politik identitas, khilafah, dan seterusnya.

Jawa Timur sering dianalisa sebagai penentu kemenangan Pilpres, selain Jawa Barat tentu saja. Inilah kelebihan utama Khofifah.

Figurnya jelas mampu menambah bobot perolehan suara secara signifikan, mengingat lumbung suara Anies di Pulau Jawa diperkirakan berada di Jawa Barat, DKI Jakarta, dan Banten.

Di tingkat nasional, Khofifah juga dapat diandalkan. Ia berpotensi meraup suara dari kaum perempuan, karena Khofifah adalah Ketua Muslimat Nahdhatul Ulama (NU).

Dari perspektif koalisi partai, Khofifah sekaligus bisa menjadi jalan tengah yang memecah kebuntuan koalisi Partai Nasdem, PKS, dan Partai Demokrat. Mereka punya sejarah.

Dalam Pemilihan Gubernur Jawa Timur 2018, Khofifah didukung Partai Nasdem dan Partai Demokrat. PKS justru berada di kubu Syaifullah Yusuf.

Partai Demokrat akan mendapat berkah lain jika koalisi penyokong Anies memilih Khofifah. Alasannya, Ketua DPD Demokrat Jawa Timur, Emil Dardak, yang juga Wakil Gubernur Jawa Timur secara otomatis menggantikan posisi Khofifah sebagai gubernur.

Bukankah itu cukup manis? Maka, ada baiknya Partai Demokrat melihat dari sisi lain, menghindari kacamata kuda AHY sebagai Cawapres. Toh AHY masih sangat muda. Perjalanan politiknya masih panjang dan insya’ Allah gemilang. Dia calon pemimpin bangsa di masa depan.

Apapun itu, Anies jugalah yang (sebaiknya) menentukan. Seperti kata Bang Surya Paloh, masalah Cawapres ini kita serahkan sepenuhnya kepada istikharah Anies Baswedan. (*)

369

Related Post