OPINI
Politik Identitas, Isu Politik Rezim Jokowi
Dengan mengangkat dan menyudutkan umat Islam sebagai komunitas yang dianggap selalu menampilkan politik identitas maka itu adalah fitnah yang tidak perlu bahkan berbahaya. Oleh: M Rizal Fadillah, Pemerhati Politik dan Kebangsaan DI samping radikalisme, intoleransi dan moderasi beragama, maka politik identitas adalah isu politik rezim Jokowi. Lagi-lagi tidak jelas makna dan landasan hukumnya. Yang jelas arahnya selalu ditujukan kepada umat Islam. Semangat keagamaan yang dinilai sempit atau primordial. Jika dinilai seperti ini maka terjadi kekeliruan dalam politik keagamaan. Umat Islam dengan keyakinan keislaman adalah (satu) kemutlakan bukan penyimpangan. Yang penting dengan identitas \"particulary\"-nya ia mengakui dan menoleransi ada perbedaan pada kelompok atau komunitas lainnya. Perbedaan agama, ras, atau kultur ber-koeksistensi secara damai. Keberagaman adalah realita yang diterima sejak negara Indonesia didirikan. Bhineka Tunggal Ika merupakan wujud dari pemahaman ini. Umat Islam tentu sudah sangat faham. Kini masalah identitas dipersoalkan dengan alasan anti kebhinekaan dan kebangsaan. Semburan fitnah yang mengancam. Politik identitas seharusnya dipandang sebagai kekuatan integratif dan kontributif dari pengelompokan anak bangsa. Justru sebaliknya dengan penyeragaman, maka yang terjadi adalah pemaksaan dan otoritarian. Ketika Partai Solidaritas Indonesia (PSI) bersepakat dengan Partai Golkar untuk tidak menggunakan politik identitas pada Pemilu 2024, maka itu adalah hak. Namun jika menuduh pihak lain dan memojokkan politik identitas jelas tidak benar. Apalagi PSI yang nyinyir dengan membahasakan politisasi agama. Padahal selama ini terjadi juga politisasi kebangsaan, profanitas, kapital, gotong royong, bahkan adat istiadat. Pemakaian baju adat pada acara resmi kenegaraan oleh Presiden yang tidak “nempat” adalah bentuk politisasi. Politik identitas juga. Nah, janganlah teriak anti politik identitas yang sebenarnya sedang menutupi perjuangan identitas dirinya. Adakah sembunyi pada budaya itu untuk menyerang kekuatan agama atau lainnya? Negara ini dimerdekakan dan dibangun atas perjuangan bersama termasuk oleh kekuatan agama. Kontribusi umat Islam sangat besar untuk negara ini sejak dulu kala. Baca sejarah perang kemerdekaan, perumusan Pancasila hingga penjagaan konstitusi dan ideologi negara dalam dimensi sejarahnya. Identitas bukan hal yang buruk. Rezim Jokowi nampaknya sibuk dengan program \"labeling\" memberi predikat radikal, intoleran, dan politik identitas pada umat Islam. Walaupun dengan bahasa samar khas kaum ambivalen. Sebenarnya perjuangan agar Pancasila dapat sesuai rumusan tanggal 1 Juni 1945 dapat pula disebut menutupi politik identitas. Destruktif, bahkan dapat disetarakan dengan makar. Sudahlah hentikan politik semburan fitnah dengan pola \"labeling\". Ini cara tidak sehat untuk membangun integrasi bangsa. Sebaliknya, membuka peluang bagi penumpang gelap ala influencer dan buzzer untuk memperkaya diri via isu. Proyek keonaran dengan memancing konflik berbasis perbedaan. Politik identitas adalah keniscayaan di Indonesia dan tugas kita bersama adalah mengoptimalkan aspek positif dengan mengurangi dampak negatifnya. Dengan mengangkat dan menyudutkan umat Islam sebagai komunitas yang dianggap selalu menampilkan politik identitas maka itu adalah fitnah yang tidak perlu bahkan berbahaya. Stop isu politik identitas, ganti dengan politik integritas dan moralitas. (*)
Musyawarah Rakyat, Di Mana Mahasiswa?
Atas nama “desakan” rakyat melalui Musra tadi, Jokowi tidak akan sanggup menolaknya. Apalagi, dengan gerakan dukungan untuk amandemen lagi UUD 1945 melalui MPR. Oleh: Mochamad Toha, Wartawan Forum News Network (FNN) SEJUMLAH kelompok relawan “garis keras” Presiden Joko Widodo (Jokowi) berkolaborasi mengadakan Musyawarah Rakyat (Musra) Indonesia untuk menjaring capres-cawapres 2024 di Bandung (28/8/2022). Ketua Panitia Musra Indonesia Panel Barus mengatakan, semula rangkaian kegiatan Musra tersebut dimulai di Solo pada 27 Agustus 2022. Musra Indonesia diadakan di 34 kota di 34 provinsi sampai awal Maret 2023. Sedianya, perhelatan akbar Musra diadakan di Solo, ditargetkan dihadiri 40 ribu rakyat pendukung Jokowi se-Jateng.“Kick-off Musra akan dihadiri Presiden Jokowi di Stadion Manahan, Solo,” kata Panel Barus dalam keterangan tertulisnya, seperti dilansir DetikNews, Rabu (29 Jun 2022 14:35 WIB). Namun, ternyata berubah di Bandung. Ia menjelaskan, ada 14 organisasi relawan Jokowi yang terlibat dalam Musra Indonesia. Organisasi-organisasi itu adalah Projo, Seknas Jokowi, BaraJP, Relawan Buruh Sahabat Jokowi, RKIH, Duta Jokowi, Indeks, Jaman, Gapura, KIB, Almisbat, RPJB, Kornas Jokowi, serta GK.Ketua Dewan Pengarah Musra Indonesia Andi Gani Nena Wea mengatakan bahwa gelaran ini diadakan untuk mencari duet pemimpin nasional dengan melibatkan rakyat. “Presiden-Wakil Presiden 2024 bukan hanya urusan segelintir elit, tapi hajat hidup seluruh rakyat Indonesia,” katanya.Sementara itu, Ketua Umum Projo Budi Arie Setiadi menyebut Musra tersebut perwujudan sila ke-4 Pancasila. Forum rakyat itu disebut penemuan politik baru yang menempatkan rakyat sebagai konstituen utama demokrasi.“Rakyat harus berperan aktif dalam menentukan agenda-agenda kebangsaan, termasuk menentukan pemimpin nasional ke depan,” lanjut Budi Arie. Menurut Andi Gani Nena Wea, Musra Indonesia yang diinisiasi oleh belasan gugus relawan Jokowi itu dimulai pada Ahad, 28 Agustus hingga Maret 2022, membahas sejumlah isu nasional dan perkembangan politik. Sementara itu, puncak acara Musra akan digelar di Gelora Bung Karno pada bulan Maret 2023. Andi memastikan kehadiran Presiden Jokowi di Musra yang digelar di Sport Center, Arcamanik, Bandung, Jawa Barat, Ahad (28/8/2022). “Perangkat Kepresidenan juga sudah melakukan persiapan sejak Jum’at (26/8/2022) kemarin,” ujarnya, Sabtu (27/8/2022). Menurutnya, Musra merupakan ajang untuk menjaring aspirasi rakyat dan mengidentifikasi sosok pemimpin yang didukung masyarakat pada Pemilu 2024 mendatang. “Musra adalah salah satu inovasi politik baru. Sebanyak 10 ribu orang mulai dari tokoh agama, buruh, nelayan, petani, pedagang pasar berkumpul dan bermusyawarah,” ungkapnya. Andi Gani Nena Wea menjelaskan, Musra di Bandung akan dibagi dalam tiga sesi dengan melibatkan warga maupun akademisi. Sesi 1 temanya agenda kebangsaan dan program prioritas harapan rakyat. Pembicaranya Dosen Psikologi Universitas Indonesia Bagus Takwin dan Guru Besar Fakultas Teknik Sipil dan lingkungan ITB Prof Harun Al Rasyid. Sesi 2 dengan tema karakteristik dan kriteria pemimpin harapan rakyat. Diisi guru besar Fakultas Ilmu Pendidikan dan Pengetahuan Universitas Pendidikan Indonesia Karim Suryadi dan Dosen Psikologi Universitas Indonesia Bagus Takwin. Sesi 3 soal nama capres dan cawapres harapan rakyat. Diisi oleh Guru Besar UIN Sunan Gunung Djati Prof Bambang Qomaruzzaman dan dosen Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Padjadjaran R. Widya Setiabudi Sumadinata. Ironi Musra Gelaran Musra di Bandung sangat rawan “dimanipulasi” oleh Relawan Jokowi. Setidaknya itu yang digambarkan sebuah akun twiter H#99 @PartaiSosmed, misalnya, yang menyebut stepnya begini: 1. Hasil MUSRA menuntut Jokowi 3 Periode; 2. Jokowi akan bilang, silakan saja toh cuma wacana; 3. Relawan bayaran akan demo MPR untuk amandemen UUD; 4. MPR melakukan amandemen UUD karena ada kedaruratan; Dan 5. Jokowi tidak berdaya menolak amanat UUD. Benny Fitriadi @Ben…. Menanggapi, step selanjutnya akan dimulai hari Minggu 28 Agustus 2022 dari Bandung Tum Twitter.com/PartaiSosmed/s… Ternyata apa yang disampaikan akun twiter H#99 @PartaiSosmed itu tak jauh dari isu tiga periode ketika Jokowi memberikan sambutan dalam Musra, di Bandung, Ahad (28/8/2022). Setidaknya pada poin pertama dan kedua itu. Dalam sambutannya itu, Presiden Jokowi meminta bocoran terkait tokoh yang bakal diusung oleh forum Musra Indonesia. “Nanti ketemu siapa dalam Musra ini, tolong saya dibisikin,” kata Jokowi. Menurutnya, Musra merupakan ruang demokrasi bagi rakyat. Ia mendukung agar rakyat bersuara. Jokowi juga menyinggung soal isu yang sempat ramai, yakni soal dukungan tiga periode untuk dirinya. “Jangan sampai baru ngomong wacana tiga periode, sudah ramai. Boleh saja menyampaikan pendapat. Wong ada yang ngomong ganti presiden juga boleh, Jokowi mundur juga boleh,” kata Jokowi. “Ini katanya negara demokrasi. Tataran wacana tak apa-apa. Yang terpenting dalam menyampaikan pendapat atau aspirasi jangan anarkis,” kata Jokowi menambahkan. Sementara itu, Sekretaris Panitia Nasional Musra Indonesia Taki Reinhard Parapat mengaku siap satu komando dengan Jokowi. Musra bertujuan untuk mencari pemimpin yang mirip dengan Jokowi. Hal ini bagian dari upaya guna melanjutkan estafet kepimpinan Jokowi. “Musra ini alternatif. Kita gali dari akar rumput, untuk kemudian kita sampaikan ke presiden (Jokowi). Ini bagian tak terpisahkan dari demokrasi,\" kata Taki Reinhard. Taki Reinhard mengatakan rakyat menentukan pilihannya kendati secara konstitusi parpol yang berhak mengajukan calon pemimpin. Namun, ia mengatakan adanya Musra ini bagian dari upaya rakyat dalam menyalurkan aspirasinya. Judul berita yang cukup menohok ditulis Kompas.com dengan judul: Atas Nama Demokrasi, Jokowi Bolehkan Wacana Presiden 3 Periode Bergulir, Ahad (28/08/2022, 13:51 WIB). Presiden Jokowi blak-blakan tidak melarang wacana presiden menjabat tiga periode bergulir. Hal itu ia ungkapkan merespons dukungan yang dilontarkan para pendukungnya dalam forum Musra tersebut. “Kan ini forumnya rakyat, boleh rakyat bersuara kan,” kata Jokowi di hadapan para pendukungnya, seperti dilansir Kompas.com. Jokowi mengeklaim, mengemukanya wacana jabatan 3 periode untuk seorang presiden merupakan bagian dari kehidupan berdemokrasi. Bagi dia, wacana-wacana perpanjangan masa jabatan presiden tidak berbeda dengan desakan publik agar presiden diganti atau mengundurkan diri. “Karena negara ini adalah negara demokrasi, jangan sampai ada yang baru ngomong 3 periode (lalu) kita sudah ramai,” ungkapnya. “Itu kan tataran wacana. Kan boleh saja orang menyampaikan pendapat, orang kalau ada yang ngomong \'ganti presiden\' kan juga boleh, ya enggak? \'Jokowi mundur\' kan juga boleh,” kata Jokowi. Dalam forum ini, Jokowi juga kembali menerima dukungan dari para pendukungnya untuk maju lagi sebagai orang nomor 1 di republik lewat Pilpres 2024. Merespons dukungan itu, mantan Wali Kota Solo tersebut mengaku dirinya akan taat kepada kehendak rakyat, selain kepada konstitusi. Mulanya, ia bercerita soal adanya pertanyaan-pertanyaan dari para pendukung soal sosok yang perlu mereka dukung dalam Pilpres 2024. “Ya nanti, ini forumnya, di Musra ini ditanya, siapa?” ujar Jokowi. Pertanyaan itu kemudian dijawab dengan seruan “Jokowi, Jokowi” dari para pendukung. Jokowi pun merespons. “Jokowi, Jokowi. Konstitusi tidak memperbolehkan, ya, sudah jelas itu,” kata dia. “Sekali lagi. Saya akan selalu taat pada konstitusi dan kehendak rakyat,” lanjut Jokowi disambut tepuk tangan para pendukung. Kalimat yang sama kemudian ia ulang sama persis sekali lagi. Namun, justru para pendukungnya semakin kuat mendesaknya maju lagi sebagai capres. “Tiga kali!” seru mereka. “Jokowi! Jokowi! Jokowi!” mereka bersorak sambil bertepuk tangan. Jokowi kemudian mengundang salah satu orang dari kelompok pendukungnya di sana untuk maju menghampirinya. Seorang perempuan mengaku bernama Jeni asal Kota Bandung kemudian dipilih menghadap. Jokowi kemudian bertanya, siapa sosok yang akan didukung oleh Jeni untuk maju capres 2024. “Pak Jokowi, Pak Jokowi lagi,” jawabnya. “Wong sudah diberi tahu, konstitusinya enggak boleh,” sahut Jokowi. “Rakyat mengharapkan Bapak,” jawab Jeni lagi. Jokowi lalu menghadiahinya jaket G20 yang menurutnya tidak dapat dipakai sembarang orang. Kritik keras datang dari Sosiolog Universitas Negeri Jakarta Robertus Robet. Ia mengkritik wacana supaya Presiden Jokowi menjabat 3 periode yang terus saja digaungkan, menilainya sebagai gejala ke arah otoritarianisme menggunakan topeng demokrasi. “Mobilisasi dukungan 3 periode bukan gejala demokrasi tapi gejala ke arah otoritarianisme,” kata Robet kepada Kompas.com, Kamis (31/3/2022). “Dia diinisiasi oleh elit dengan menginterupsi proses di mana demokrasi dan tradisi sirkulasi elit sedang berjalan baik,” ujar Robet. Robet yang juga seorang aktivis HAM mengatakan, gerakan yang mendukung supaya Jokowi menjabat 3 periode mirip dengan yang terjadi di masa Orde Baru. Menurutnya, di masa Orba, kelompok fraksi ABRI dan Golkar, serta sejumlah menteri yang pro pemerintah kerap mengklaim Soeharto masih didukung oleh rakyat untuk terus berkuasa. Selain itu, para menteri di masa Orba juga terus melontarkan wacana bahwa pemerintahan Soeharto berhasil dalam melakukan pembangunan, sehingga layak untuk dipertahankan untuk terus menjadi presiden. Ketika itu di dalam UUD 1945 tidak tercantum pembatasan masa jabatan presiden dan wakil presiden seperti saat ini. Pembatasan masa jabatan kekuasaan merupakan amanat reformasi yang vital guna mencegah timbulnya kembali otoritarianisme di mana penguasa dapat bercokol begitu lama. “Mobilisasi politik semacam ini mengulang praktik kebulatan tekad Orba yang (seringkali) digunakan untuk memberikan justifikasi Soeharto memperpanjang kekuasaan,” ujar Robet. Sebenarnya yang disampaikan Relawan Jokowi berkedok “Musra” itu bukan lagi wacana. Tapi, sudah mengarah klaim dukungan “rakyat” untuk jabatan 3 periode Presiden Jokowi. Di saat rakyat kebanyakan menjerit karena harga-harga kebutuhan dasar itu sedang merangkak naik tak terkendali, elit politik di lingkungan Istana masih saja mendorong “perpanjangan” masa jabatan Jokowi untuk periode ketiga. Sayangnya, suara mahasiswa kali ini nyaris tak terdengar sama sekali seolah mereka sudah “tak ada” lagi. Padahal, mereka itu “pejuang demokrasi” garda terdepan, selain buruh dan emak-emak. Jika manuver para Relawan Jokowi tersebut dibiarkan tak terkendali, jangan salahkan kalau rencana mereka untuk perpanjangan masa jabatan ternyata benar-benar terealisasi. Atas nama “desakan” rakyat melalui Musra tadi, Jokowi tidak akan sanggup menolaknya. Apalagi, dengan gerakan dukungan untuk amandemen lagi UUD 1945 melalui MPR. Semua rencana parpol yang selama ini disiapkan, bakal buyar tidak sampai pada Pilpres 2024. (*)
Samboisasi Polisi
Membayangkannya saja adalah sebuah mimpi buruk. Kini kita menunggu kehadiran seorang Eliot Ness untuk membersihkan kepolisian dari semua cengkraman mafia. Oleh: Daniel Mohammad Rosyid, Guru Besar ITS, @Rosyid College of Arts SKANDAL yang kini sedang melalap hampir habis kepolisian Republik ini mengerikan jika bukan memalukan atau memilukan. Nyaris seperti skandal Al Capone the Untouchables di Chicago di awal abad 20 AS: polisi justru melindungi mafia operator miras, narkoba dan prostitusi. Namun, Kepolisian Chicago waktu itu masih mending karena tidak sampai memenjarakan atau membunuh tokoh sipil yang kritis terhadap penguasa. Di Republik ini saat ini, polisi-lah yang nyaris memonopoli pengaturan hitam putih berbagai kasus hukum. Mungkin Laksamana Sukardi, mantan Meneg BUMN era Presiden Megawati, akan menyebut skandal polisi ini sebagai Salah Tata Kelola atau sebut saja misgovernance akibat menempatkan polisi pada posisi yang keliru. Salah Tata Kelola kepolisian ini dimulai oleh DPR dan Pemerintah yang telah menyusun UU No2/2002 tentang Kepolisian Negara RI. Ini pun dimungkinkan oleh UUD 2002 yang menggantikan UUD 1945 saat UUD 2002 itu memberikan kewenangan besar pada partai politik melalui berbagai UU turunannya, seperti UU Nomor 17/2014 tentang MD3. Pada saat belum lama ini kita menyaksikan drama Rapat Dengar Pendapat oleh Komisi 3 DPR dengan Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo tentang kasus Sambo ini. Harus diingat bahwa skandal memalukan ini adalah buah dari kerja ngawur para anggota parpol yang kini menduduki kursi DPR itu. Artinya, samboisasi polisi adalah juga tanggung jawab elit partai politik yang kini menguasai DPR. Penting dicatat bahwa saat Republik ini kehilangan kemampuannya untuk check and balances lalu meluncur menjadi sebuah police state, ini terjadi by design. Akibat salah tata kelola ini adalah maladministrasi publik di mana hukum dan regulasi dibuat bukan untuk kepentingan publik, tapi untuk kepentingan elit parpol dan para taipan yang mendukung logistik partai politik itu. Pemilu adalah mekanisme pemindahan habis hak politik rakyat pemilih ke partai politik. Hak politik rakyat dimulai dan berakhir di bilik suara Pemilu. Sisanya adalah kepiluan massal rakyat. Yang paling dirugikan oleh samboisasi polisi ini adalah proses demokratisasi sebagai salah satu agenda Refomasi. Proses demokratisasi itu mengandaikan masyarakat sipil yang kuat. Pada saat polisi makin dilengkapi dengan senjata yang makin militeristik dan mematikan serta kewenangan menkriminalisasi yang makin besar, maka masyarakat sipil akan hidup dalam rasa takut sehingga makin lemah. Padahal masyarakat sipil, terutama klas menengah terdidik yang kritis dan artikulatif adalah kekuatan demokratik yang penting. Oleh karena itu RUU KUHP harus dihentikan pembahasannya sampai tata kelola kepolisian ini dirombak secara menyeluruh. Di tangan kepolisian yang masih misgoverned ini, masyarakat sipil yang kini sedang menghadapi kesulitan ekonomi dan lilitan hutang akan semakin kehilangan peran demokratisasinya. Kini kita menyaksikan polisi yang makin mematikan bagi rakyatnya sendiri. Jika kepala satuan polisinya polisi bisa membunuh anak buahnya sendiri dengan brutal, kita bisa membayangkan kebrutalan jenis apa yang bisa dilakukan polisi atas rakyat biasa. Membayangkannya saja adalah sebuah mimpi buruk. Kini kita menunggu kehadiran seorang Eliot Ness untuk membersihkan kepolisian dari semua cengkraman mafia. Samboisasi polisi ini harus segera dihentikan dengan Hugengisasi atau Republik ini ambruk runtuh berkeping-keping. Kawasan Cawang, 27 Agustus 2022. (*)
Strategi Mewaspadai Dalang Gerakan Islamophobia di Indonesia
Kolaborasi maksudnya memainkan sebaik-baiknya strategi dalam melihat kapan bekerjasama dengan kekuatan global barat maupun China, kapan meninggalkannya? Oleh: Dr. H. Syahganda Nainggolan, Sabang Merauke Circle (Disampaikan dalam Kongres Umat Islam Sumut ke Dua di Asrama Haji, Medan, 27 Agustus 2022) Pengantar MEMBAHAS dalang Islamophobia, sebagaimana diminta panitia dalam judul yang diberikan kepada saya cukuplah rumit. Sebab, hal itu dapat bergeser menjadi kajian politik konspirasi, di mana objektivitas mengalami degradasi. Saya ingin membahas dalang ini dalam konsep yang utuh, mempunyai basis teori yang jelas. Pertama, Islamophobia harus didekati dengan perang peradaban yang lama antara Islam dan barat, sepanjang 250 tahun Kapitalisme eksis. Kedua, Islamophobia harus dikaitkan dengan kepentingan China di Indonesia dalam bagian strategi Belt and Road Initiative, sebuah langkah China untuk menjadi superpower baru di dunia. Ketiga kita akan melihat bagaimana situasi sosiologis bangsa kita sendiri, untuk melihat kemungkinan munculnya Islamophobia itu dari dalam tubuh bangsa itu sendiri. Anti Islamophobia, Sebuah Dekonstruksi Islamophobia merupakan penamaan atas berbagai upaya, baik pikiran, maupun tindakan yang dilakukan perorangan maupun sekelompok masyarakat, bahkan sebuah negara, yang berusaha memojokkkan Islam sebagai sebuah ajaran, dan pengikutnya, sebagai kekuatan jahat yang dapat merusak norma sosial, maupun kekerasan sosia di masyarakat. Pendifinisian ini mengalami kesulitan pengertian akibat spektrum yang dicakup dalam persoalan yang dibahas. Ilhan Omar, anggota DPR AS, ketika mencoba membuat draft UU Anti Islamophobia membuat cakupan sebagai berikut: (A) acts of physical violence against, or harassment of, Muslim people, and acts of violence against, or vandalism of, Muslim community institutions, including schools, mosques, and cemeteries; (B) instances of propaganda in government and nongovernment media that attempt to justify or promote racial hatred or incite acts of violence against Muslim people; (C) the actions, if any, taken by the government of the country to respond to such violence and attacks or to eliminate such propaganda or incitement; (D) the actions taken by such government to enact and enforce laws relating to the protection of the right to religious freedom of Muslim people; (E) the efforts of such government to promote anti-bias and tolerance education. Secara global, Ilhan Omar menjadi pembicaraan penting terkait Islamophobia ini, karena dia menginisiasi pertarungan anti-Islamophobia di Amerika dengan spektrum global. Spektrum global maksudnya, arah Gerakan anti-Islamophobi yang dia lakukan berkeinginan mencakup seluruh dunia, melalui tangan Amerika. Hal ini penting diberi catatan karena selama ini, justru Amerika, merupakan simbol barat dalam melakukan propaganda anti Islam di seluruh dunia. Pada saat Ilhan memulai debut pertarungan terkait isu ini, Ilhan memantik beberapa dekonstruksi isu penting, 1. definisi teroris, 2. Mensetarakan Israel, Taliban dan Hamas dan 3. Sifat Islamophobi yang global. Pada definisi teroris, Ilhan membangun wacana baru tentang pemboman twin tower WTC NewYork, 9/11/2021. Amerika, Israel dan Barat selama ini membuat “landmark” puncak terorisme dunia dengan serangan 9/11 tersebut, karena simbolis serangannya pada pusat Kapitalisme dunia, dan memakan korban jiwa yang sangat besar Namun, Ilhan mengatakan bahwa serangan itu adalah “some people dis something”. Lengkapnya dia mem-post dalam Tweeter-nya “CAIR was founded after 9/11 because they recognized that some people did something and that all of us were starting to lose access to our civil liberties”. Definisi terorisme dan ekstrimisme di seluruh dunia, kecuali China, umumnya mengatakan bahwa terorisme dan ekstrimisme itu adalah bentuk kebiadaban Islam dalam mengadapi barat, baik negara maupun masyarakat. Kelompok-kelompok Islam ekstrem mengorganisasikan diri secara global untuk menghancurkan aset-aset vital negara barat dan bahkan menyerang manusianya. Sejak paska 9/11, Amerika membangun “Global War on Terroris”, termasuk operasi mereka di Indonesia, yang “dititipkan” pada Densus 88 Polisi (sebelum 9/11 pernah ada Densus 81 Kopassus). Dengan tema baru Anti Islamophobia, tema “War on Terror” pimpinan Amerika yang berusia 20 tahun lamanya, mulai meredup. Pada isu kedua, Ilhan meminta agar akuntabilitas dalam penindasan terhadap masyarakat, yang dilakukan rezim otoriter, harus dilakukan sama terhadap Taliban, Hamas, Israel dan Amerika, Ilhan mem-posting hal ini, ditautkan kepada mitra kerjanya, Blinken, Menteri Luar Negeri Amerika. Terjadi dekonstruksi pada statement ini, karena selama ini Amerika dan Israel melihat Hamas dan Taliban adalah teroris, sedangkan Ilhan melihatnya sama saja. Dan ketiga, Ilhan menyoroti semua penindasan dan kebencian terhadap Islam, baik yang dilakukan negara, seperti India, China, Myanmar, dlsb., kepada minorotas muslim di sana, maupun non negara, seperti kebencian kulit putih di beberapa negara barat terhadap orang muslim. Kemampuan Ilhan melakukan dekonstruksi dan pemilihan diksi maupun definisi, dan tentu saja keberaniannya, telah membangun simpati yang terkonsolidasi. Ilhan berhasil menggagas UU “Combating International Islamopobia” yang akhirnya disetujui DPR AS, pada 14/12/21 (saat ini menunggu persetujuan senat). Sebagai anggota DPR dari Partai Demokrat, partai penguasa, kita bisa memaknai, bahwa pemerintah yang berkuasa saat ini di Amerika mendukung sepenuhnya Gerakan anti-Islamophobia. Penguasa di Amerika, jika dikendalikan oleh Partai Demokrat, memang memandang “War on Terror” versi Goerge Bush, paska 9/11, akan lebih hati-hati dan cenderung tidak ingin menampilkan permusuhan pada Islam. Hal itu telah dimulai oleh pemerintahan Obama, yang mengarahkan perang pada terorisme, menyasar lebih kepada organisasi terror, bukan pada negara. Misalnya, Obama membuat kebijakan penarikan pasukan Amerika dari berbagai daerah pendudukan, seperti Irak dan Afganistan. Pada era pemerintahan Joe Biden, saat ini, fokus Amerika tidak lagi pada dunia Islam, sebagai ancaman strategisnya, melainkan kepada China dan Rusia. Dengan demikian, cepat atau lambat, kekuatan operasi militer Amerika, dan aliansinya, kurang ditujukan pada isu-isu ekstrimisme Islam dan terorisme. Jika pemerintahan Joe Biden bertahan Panjang, maka justru sebaliknya operasi anti-Islamophobia dapat berkembang di seluruh dunia, karena kemungkinan besar UU Anti Islamophobia itu didukung atau diloloskan oleh senat. Jika itu demikian adanya nantinya, maka UU itu mewajibkan Amerika membuat kontor tambahan di semua kedutaannya di seluruh dunia untuk mengawasi dan melawan Islamophobia. Pembahasan kita sejauh ini tentang Islamophobia dan Anti Islampobhia bersifat global. Beberapa negara barat mengikuti langkah Amerika, beberapa lainnya, mengalami kebuntuan karena besarnya isu migrasi, khususnya di eropa, akibat perang dan berbagai kekerasan di jazirah Arab, Afrika dan terakhir di Ukraina. Orang-orang migran terkini di eropa umumnya beragama Islam. Dalam situasi ekonomi yang sulit, baik paska pandemic covid-19, maupun perang Ukraina-Rusia, kehadiran mereka (imigran) dilihat lebih sebagai beban ekonomi dan sosial dari pada tenaga kerja murah potensial. Untungnya, PBB (Persatuan Bangsa-Bangsa) telah mengeluarkan resolusi Anti Islamophobia yang dapat menjadi rujukan negara-negara di dunia, untuk tidak memusuhi Islam. Benturan Peradaban Islam vs. Barat: Akankah Berakhir? Agenda Amerika dan barat saat ini lebih terfokus pada kompetisi dan perluasan pengaruh antara mereka dengan poros China-Rusia. Benturan peradaban yang diperkirakan Samuel Huntington awal 90 an, atau berakhirnya perang dingin (Cold War), akan terjadi antara barat dan Islam. Lebih tepatnya dikarenakan dominan kultur yang mampu mengimbangi barat adalah Islam, sebagai pembentuk identitas. Memang, sejak tahun 90-an, Amerika dan barat focus pada agenda identitas secara global, baik dalam isu demokrasi, hak-hak asasi manusia, dan berbagai kebebasan sipil lainnya, yang diekspor ke seluruh dunia, termasuk dunia Islam, maupun eropa timur serta eks-Soviet. Terjadi pergeseran yang semula kompetisi antara negara barat vs timur, menjadi kompetisi kultur dan identitas. Namun, situasi terkini, dunia memperlihatkan bahwa China dan Rusia, sebagai negara, dan dalam genggaman pemimpin otoriter, bukan sebagai identitas dan kultur, sebagaimana tesis Huntingtin tentang “Sinic identity”, muncul sebagai competitor Amerika dalam dunia global. Sinic Identity, misalnya, Korea Selatan, Vietnam maupun Singapura, ternyata bukan memihak China, yang diklaim Huntington dalam kultur dan identitas yang sama, melainkan berpihak pada Amerika/Barat. Kesadaran ini terlihat telah mengantarkan Amerika melakukan konsolidasi kekuatannya bukan dalam agenda “clash of civilization”, melainkan pada kepentingan mereka, khususnya dagang. Pernyataan Blinken, misalnya di UI, dalam kunjungan ke Indonesia tahun lalu, mengatakan bahwa Indo-Pasifik adalah sebuah wilayah dengan kekuatan pasar $ 3 Triliun, yang tidak boleh hanya di dominasi Cina. Kemudian, tuduhan blok China-Rusia saat Indonesia menggelar Latihan militer Bersama Amerika, Inggris, Australia, Kanada, South Korea, Malaysia, Jepang dan lainnya (Garuda Shield, total 14 negara) bulan lalu, adalah upaya Amerika dan barat membentuk “NATO” di wilayah pasifik. Namun, apakah ketegangan poros Amerika-Barat vs Cina-Rusia akan mengakhiri permusuan barat terhadap Islam? Umat Islam tidak bisa melihat kecenderungan beberapa saat terkahir ini untuk menyimpulkan apa yang terjadi di depan. Pertama, sejarah 250 tahun kapitalisme adalah sejarah di mana identitas dan kebudayaan telah mendominasi dan bahkan menyingkirkan Islam. Kedua, isu “War on Terror” yang dilancarkan barat teradap Islam selama beberapa dekade belakangan ini, dilakukan secara biadab, demi penguasaan wilayah dan asset strategis negara Islam. Stiglitz, dalam bukunya “$3 Triliun War”, misalnya menganalisa bahwa Amerika menyerang Irak paska 9/11, bukan utamanya urusan teroris, melainkan penguasaan ladang minyak. Ketiga, apakah di dalam negeri-negeri Islam, pemimpinnya mempunyai agenda kebangkitan Islam sebagai sebuah peradaban? Peranan China di Indonesia dan Semangat Anti Islam Rezim Jokowi Dalam era kepemimpinan Jokowi, peranan China sebagai negara sahabat Indonesia berkembang sangat pesat. Muhammad Zulfikar Rahmat, dalam “Growing-ties-between-indonesia-and-china-may-hurt-us-indonesia-relationship”, The Conversation (2020), melukiskan kuatnya peranan China dalam investasi dan perdagangan antar negara. Hal ini tidak terlepas dari Luhut Binsar Panjaitan, sebagai tokoh penting yang menjahit hubungan itu. Ekspor Indonesia ke China mencapai 16,6 % dan impor kita mencapai sepertiga total impor, serta investasi China di Indonesia naik menjadi nomer dunia terbesar setelah Singapura (2019). Pemerintah Jokowi mengklaim bahwa trade deficit dengan China semakin kemari semakin kecil. Namun, Reuters mencatat penurunan itu terjadi akibat ekonomi kita yang merosot akibat pandemic. “The deficit shrunk considerably between January to November 2020, falling to $7 billion from $15.4 billion in the same period in 2019, as Indonesia\'s demand for imported products plunged amid a coronavirus epidemic and its first recession in 22 years.” (Reuters, 13/1/21). Atau sejatinya defisit dagang kita mencapai $15 Milyar, yang menunjukkan ketergantungan Indonesia pada Chian. Zulfikar Rahmat, dalam “The China Factor in Indonesias New Capital City Plan“, the Diplomat 2/2022, juga menyebutkan keterlibatan besar-besaran RRC dalam membangun ibukota baru Indonesia di Kalimantan Timur. Khisore Mahbubani, dalam “The Genius Jokowi”, The Asean Post, 7/10/2021, keterlibatan Indonesia dalam projek Belt Road Initiative China antara lain adalah projek Kereta Api Cepat Bandung Jakarta (KCIC), zone turis special di Jawa, “the Kayan hydroelectric plant” di Kalimanta Utara, “expansion of the Kuala Tanjung port in Sumatra” dan pembangunan “the Lembeh international airport in Sulawesi”. Kedekatan Jokowi dengan RRC juga ditunjukkan dengan mem-by-pass aturan perlindungan buruh lokal dari serbuan TKA China. Bahkan dalam masa pandemi, buruh-buruh China datang dengan frekwensi tinggi ke Indonesia, untuk projek-projek yang Indonesia seharusnya memberi peluang pada pekerja sendiri. Bahkan, projek itu disebutkan telah memberikan upah berkali lipat pada buruh import tersebut. Problemnya, jika perusahaan asal China yang mempekerjakan buruh-buruh impor ini bangkrut atau bermasalah, bagaimana memulangkan mereka ke negerinya. Misalnya, Tsingshan Industry, pemilik konsesi nikel asal China yang hampir menguasai semua pertambangan nikel kita, sedang mengalami “Short Position” sehingga mengalami kerugian $7 Miliar pada Maret lalu, yang dampaknya mungkin terjadi sampai saat ini. Alferd Chang and Fachry, dalam Financial Review, 9/3/22, memberi catatan “On Monday, one of Tsingshan’s brokers – a unit of a state-owned Chinese bank – failed to pay hundreds of millions of dollars in margin calls on its nickel positions”. (Untuk mempelajari lebih lanjut persoalan Tsingshan Industry, penguasa tambang nikel Indonesia, dapat dilihat di https://internationalbanker.com/brokerage/the-nickel-short-squeeze-what-happened/. Hal ini penting didalami karena tujuan Presiden Jokowi ke Amerika baru-baru ini bertemu Elonk Musk adalah persoalan bisnis terkait nikel atau batere). Paralel dengan dekatnya Jokowi dan RRC, Indonesia mengalami keburukan dari sisi demokrasi, kebebasan sipil, hak-hak asasi manusia, ketimpangan sosial dan terakir yang terkait langsung pembahasan kita adalah permusuhan terhadap ulama. Selama tahun 2020, Amnesty Internasional Indonesia mencatat sebanyak 101 kasus pelanggaran hak atas kebebasan berekspresi dengan menggunakan pasal karet UU ITE. Untuk tahun yang sama, 2020, Yayasan LBH Indonesia mencatat sebanyak 351 kasus pelanggaran hak dan kebebasan sipil dan menyebut Indonesia memasuki negara otoriter. Sedangkan permusuhan terhadap Islam terjadi secara massif dengan menciptakan ketakutan anti terhadap Islam, melalui isu radikalisme dan terorisme yang tidak pantas, misalnya membiarkan pendukung-pendukung garis keras Jokowi untuk mengolok-olok santri anak-anak sebagai calon teroris. Menciptakan berbagai sosok-sosok vokalis yang selalu menegasi Islam sebagai agama mulia di Indonesia. Menjelek-jelekkan ulama. Kekuataan anti Islam ini tidak hanya dari masyarakat sendiri yang dikelola pemunculannya, namun juga negara, melalui pemerintah, membuat berbagai narasi yang menyudutkan Islam, seperti memfilterisasi pakaian Muslim untuk PNS, menyebarkan isu bahwa Masjid-masjid di lingkungan pemerintah banyak tersusupi radikalisme, melarang ritual kaum Muslim yang sudah menjadi tradisi, seperti malam takbiran di jalan, dlsb. Pemerintah sendiri misalnya, melalui Menteri Agama, mencoba mendegrasi eksistensi kebudayaan Islam, seperti Azan Masjid, dengan membandingkannya dengan gonggongan anjing (Seorang diantara pelapor kasus ini ke polisi di Lampung, Bunda Merri, malah dilaporkan balik oleh pendukung Menag, sehingga di penjara dan sedang diadili saat ini). Tak kalah pentingnya, lingkungan kampus pun didorong untuk menyuarakan Gerakan Islamophobi dengan isu bahayanya radikalisme di Kampus (salah satunya adalah Gerakan yang di pimpin Rektor Unila, sebelum ditangkap KPK karena korupsi). Kemudian juga, membubarkan ormas HTI dan FPI, tanpa menunggu bagaimana putusan pengadilan. Dan lain sebagainya yang di masa sebelumnya, paska reformasi, hal seperti digambarkan di atas tidak pernah terjadi. Hubungan kedekatan rezim Jokowi dan China, serta dampaknya pada Islamophobia di Indonesia, dapat kita perkirakakan berasal dari faham Komunisme rezim Tiongkok. RRC ini, meskipun mereka menjalankan ekonomi kapitalistik, saat ini, mereka tetap saja meyakini doktrin Komunis dan kepemimpinan otoriter dalam politik negaranya. Korban kekejaman rezim Komunis ini, di RRC, bisa kita lihat dari pembantaian etnis Islam secara massif di Uigur, XinJiang. Selain itu, Islam dipandang sebagai peradaban yang harus dihilangkan dalam pentas politik nasional, agar kedekatan China dan Indonesia dapat bertahan lama. Sebab, tragedi di masa lalu, seperti kasus G30S/PKI, China kehilangan persahabatan dengan Indonesia, setelah ummat Islam Indonesia bersekutu dengan militer dan barat dalam melawan pengaruh Komunis. Dugaan yang lebih sederhana lagi adalah rezim Peking lebih merasa efisien berhubungan dengan Indonesia melalui penggalangan kelompok etnis China Konglomerat, dengan membangun oligarki, dan menguasai Indonesia dalam jangka Panjang. Kita mengetahui bahwa segelintir oligarki kita mempunyai loyalitas ganda, khususnya ketika diperlihatkan oleh banyaknya uang-uang Indonesia yang disimpan di Singapura atau luar negeri lainnya, dan seorang diantaranya viral mengaku bahwa “China adalah ‘ayah kandung’ mereka, sedang Indonesia ayah tiri”. Sebaliknya, Islam, di mata Peking dan pendukungnya, umumnya kaum minoritas, adalah ancaman bagi eksistensi negara sekuler Indonesia. Beban dan ancaman yang demikian berat yang dilami ummat Islam Indonesia oleh rezim Jokowi, terutama pada kasus pembunuhan yang melanggar hukum (Unlawfull Killing) pada 6 pemuda anggota lascar FPI di KM 50 akhir Desember 21, pemenjaraan Habib Rizeq dkk., penembakan atas demontran pada aksi 21-22 Mei 2019, dan lain sebagainya, telah mengantarkan berbagai ormas Islam menggalang kekuatan anti Islamohobia di era Jokowi. Banyak orang bertanya, bukankah isu anti Islamophobia itu tepatnya hanya eksis di mana muslim sebagai minoritas? Namun, faktanya, Indonesia yang mayoritas muslim dikendalikan elit yang tidak bersahabat dengan Islam, sebagai sebuah ajaran peradaban, yang diakui oleh ideologi bangsanya, Pancasila. Tragedi paling terakhir ini, yakni kasus Ferdi Sambo, di mana polisi telah diidentikkan dengan sarang mafia, yang minim moralitas, menunjukkan instrument penindak lawan-lawan politik Jokowi itu, memang berada pada posisi yang sangat diametral berlawanan dengan peradaban Islami. Merujuk pada kemafiaan polisi ini, di mana mereka sangat dominan sebelum kasus Ferdy Sambo, tentu saja kebiadaban polisi pada ulama bisa dimengerti. Bagaimana membayangkan sebuah negara yang menganut azas demokrasi, memenjarakan ulama besar Habib Rizieq selama dua tahun di penjara bawah tanah? Untuk kesalahan yang tak jelas. Sekali lagi inilah bentuk Islamophobia akut. Model Pembelahan Sosial di Era Digital dan Islamophobia Dalam dimensi sosiologis, masyarakat Indonesia disebutkan antropolog Amerika Clifford Gerz mempunyai ketebelahan sebagai berikut, pertama masyarakat dengan kultur santri, kedua, dengan kultur abangan dan ketiga kultur priyayi. Santri merujuk pada ketaatan teradap agama Islam. Abangan merujuk pada kultur animism. Sedangkan priyayi merujuk pada aspek Hindu, yang eksis di Kraton. Dhuroruddin Mashad, dalam buku “Politik Kaum Santri dan Abangan”, 2021, menggunakan pembelahan ala Clifford Gerz sebagai awal kajian. Selanjutnya , dia memperinci pengelompokan yang lebih terbelah antara santri perkotaan dan pedesaan. Pembelahan merujuk komitmen pada Islam, terjadi versus antara santri dan abangan. Pada pembelahan merujuk agama ini, Mashad memasukkan kaum priyayi pada kelompok abangan juga, namun, memberi catatan bahwa, secara kultural, priyayi yang mengalami pendidikan barat, sehingga keterlibatan mereka pada moral elit terjadi. Priyayi dalam ruang publik menjaga etika sosial, sebaliknya kaum abangan kelas bawah, merupakan masyarakat yang terbuka pada praktik anti agama, seperti sabung ayam, pelacuran, dukun, dll. Sehingga dalam kelompok abangan, Mashad membagi abangan dalam abangan sekuleris (kaum priyayi) dan abangan marginalis. Keempat sub kultur pembentuk identitas masyarakat Indonesia, khususnya di Jawa, telah membawa para ahli meyakini bahwa pembentukan partai politik diantara mereka sesuai mewakili aspirasi sub-kultur mereka tersebut, di awal kemerdekaan, seperti santri modernis membentuk Masyumi, sedangkan santri tradisionalis membentuk partai NU, abangan sekuleris membentuk PNI (Partai Nasional Indonesia) dan abangan marginalis membentuk PKI (Partai Komunis Indonesia). Tapi, tantangan demi tantangan perjalanan bangsa menunjukkan pembelahan tersebut bersifat dinamis, misalnya, adakalanya kerjasama dan konflik yang dalam terjadi tidak mengikuti kemungkinan logik yang seharusnya. Misalnya, Ketika awal kemerdekaan kelompok santri, baik tradisional maupun modern, keduanya sepakat Islam dijadikan ideologi negara. Tapi, hal itu tidak pernah terjadi lagi setelahnya. Meskipun, semua kelompok santri percaya bahwa dalam Islam tiak dapat dipisahkan antara agama dan politik. Sebaliknya juga terjadi dikalangan abangan, ketika awal kemerdekaan, berkali-kali diperlihatkan konflik antara kelompok Komunis dengan kelompok Nasionalis. Pembelahan ala Gerzt ini, sering pula tidak diterima oleh berbagai ahli. Harsja Bachtiar, mengutip kutipan Dhurorudin Mashad, mengatakan bahwa priyayi tidak identic dengan abangan Menurutnya, priyayi mempunyai multi spektrum dalam dirinya seperti melakukan Sholat, puasa namun juga mempraktekkan ajaran mistis ataupun rasionalitas barat. Irfan Afifi, dalam “Saya, Jawa dan Islam” (2019), menemukan fakta bahwa Islam justru merupakan sumber ikatan budaya bagi orang Jawa. Mengutip Nancy Florida, penulis sejarah colonial dan penerusnya, justru memompakan sejarah palsu sebagai pengingkaran atas berpadunya Islam dan Jawa dalam sejarah kita. Pengingkaran sejarah ini juga ditunjukkan oleh Mansyur Suryanegra (2019) misalnya, penulis sejarah kolonial menggambarkan kehancuran Kerajaan Hindu Majapahit akibat serangan Raja Islam Demak. Padahal sejatinya peperangan antara sesama kerajaan Hindu yang menghancurkan Majapahit. Menurutnya, itu adalah taktik kolonial untuk menanamkan kebencian orang Jawa yang bernuansa Hindu kepada orang-orang Islam. Lalu bagaimana kita melihat Islamophobia secara sosologis di Indonesia? Kita harus meninggalkan model analisis Clifford Gerzt tentang pembelahan kultural itu. Terutama, sepanjang beberapa dekade sebelum era digital, transformasi Indonesia menjadi urban (perkotaan) berlangsung massif, pendidikan dan universitas berkembang pesat, industrialisasi di pulau Jawa masuk ke berbagai pelosok desa. Artinya terjadi benturan budaya dan transformasi budaya selama itu. Sekarang, dalam era digital dan “Big Data” pengertian desa vs. kota melemah. Era digital menciptakan kecepatan dan percepatan masyarakat berinteraksi dengan data dan informasi. Efeknya adalah kehancuran struktural pada kebudayaan lama, di mana hirarki menjadi keharusan. Hirarki baru dalam struktur masyarakat baru ditandai dengan penguasaan data dan pengendaliannya. Dunia maya dan atau dunia digital dikendalikan Big Machine, seperti Google, FB, Twitter, Instagram, dll. Kata kuncinya adalah algoritma. Anak-anak muda millenial memahami jebakan algoritma, sehingga mereka tahu mana fake, hoax dan fakta. Mereka semakin kritis, baik di desa, maupun kota. Kemudian, terjadi kesadaran identitas, tanpa menunggu arahan struktural atau afiliasi. Baceprot, misalnya, kelompok musik tiga gadis Berjilbab asal Garut, tidak masuk dalam jajaran elit musik Indonesia, versi \"gaya lama\". Tapi, sekarang mereka menjadi salah satu group musik yang meggemparkan medsos dan identitas Islam. Mereka berkali-kali diundang tour musik meta di Eropa dan lainnya, dengan percaya diri. Di hadapan ribuan pengunjung Konser Metal di Jerman penyanyi Baceprot berteriak lantang, “Kenapa saya pakai Jilbab?” tanyanya. Kemudian dia lanjut menjawab, “karena ini simbol perdamaian dan keindahan”. Fenomena Baceprot ini adalah fenomena dunia baru, di mana kesadaran perempuan desa versus kota tidak begitu berbeda. Dan semua ini terjadi dalam era digital. Dalam kasus Ferdy Sambo, misalnya, juga nitizen, seperti yang diuraikan Ismail Fahmi, Drone Emprit, tentang perang medsos, mayoritas nitizen tidak percaya dengan keterangan awal polisi yang berusaha menutupi kasus itu. Bahkan, sebuah anonim, Opposite, membongkar dan mempropagandakan terus menerus berbagai isu terkait kasus ini, membentuk opini perlawanan. Dengan dunia maya, struktur dan hirarki sosiologis lama ala Gerzt kehilangan makna. Jika pembelahan sosial ala Gerzt tidak lagi dapat diandalkan dalam membaca peta sosial, bagaimana posisi konflik ataupun kolaborasi? Bagaimana peranan agama dan budaya? Penjelasan yang paling masuk akal atas pembelahan sosial yang mengandung Islamophobia di Indonesia adalah skenario atau desain kelompok kekuatan tertentu, khususnya kaum oligarki, yang memang ingin menghancurkan kekuatan rakyat. Kekuatan rakyat ini, khususnya jika berbasis Islam, maka akan menjadi benteng melawan ekpansi oligarki menguasai seluruh kekayaan Indonesia. Oleh karenanya, Devide et Impera (pecah belah dan kuasai) adalah agenda yang terencana dari kekuatan oligarki itu. Secara natural, benturan identitas maupun budaya, tidaklah fenomena eksis, kecuali sekali lagi karena skenario jahat. Rakyat Indonesia dan atau umat Islam dapat membangun kolaborasi dan harmoni, jika tidak dirusak oleh kaum oligarki. Penutup Dalang gerakan Islamophobia dapat didalami dengan melihat kepentingan global barat, kepentingan RRC dan kepentingan oligarki Indonesia. Melihat fenomena Islamophobia tersebut hanya bisa lebih presisi melalui pendekatan kepentingan mereka. Kepentingan mereka untuk menguasai Indonesia akan berbenturan dengan Islam maupun umat Islam yang ideologinya untuk kepentingan sebanyak-banyaknya ummat manusia. Sebuah kebalikan dari kepentingan asing maupun oligarki lokal. Untuk melawan kepentingan mereka, maka konsolidasi umat Islam harus mampu membangun kolaborasi yang paling sedikit mudharatnya (the lesser evil). Kolaborasi maksudnya memainkan sebaik-baiknya strategi dalam melihat kapan bekerjasama dengan kekuatan global barat maupun China, kapan meninggalkannya? Kapan menekan oligarki lokal dan kapan berkolaborasi? Semuanya harus dilakukan secara terdesain oleh kekuatan Islam yang terkonsolidasi dan dalam spirit anti Islamophobia. (*)
Mengabdi Melalui Literasi
“Anda tidak akan pernah tahu bahwa yang Anda perbuat itu akan menghasilkan apa, tapi kalau Anda tidak melakukan apa pun, pasti tidak ada hasil apa pun.” (Mahatma Gandhi) Oleh: Prof. Dr. H. Muhammad Chirzin, MAg, Guru Besar Tafsir Al-Quran UIN Sunan Kalijaga, Dosen Universitas Muhammadiyah Jogjakarta dan Universitas Ahmad Dahlan KALIMAT terucap menguap, kalimat tercatat menetap. (Pepatah Yunani) Bahwa orang yang berilmu lebih utama daripada orang yang selalu shalat, berpuasa, dan berjihad. Karena, apabila orang yang berilmu mati, maka akan ada kekosongan dalam Islam yang tidak dapat ditutup oleh selain penggantinya, yaitu orang berilmu juga. (Umar bin Khattab). Bagaimana dan Mengapa Saya Menulis Buku? Itulah salah satu judul buku Gunawan yang lahir pada 10 September 1989. Ini buku entah ke berapa, tetapi pastinya bukan yang pertama, dan bukan pula yang terakhir. Ia telah menerbitkan 41 buku, dan akan terus melahirkan buku. Selain menulis, Gunawan juga mengedit sejumlah buku. Serius menulis setiap hari sejak Desember 2016. Puisi Nyanyian Literasi tampak sebagai pembelaan diri, pledoi, atas segala tanggapan terhadap karya-karyanya terdahulu, juga sebagai peneguhan tekad untuk menulis tiada akhir. Jalan yang ditempuh semasih menghirup udara di dunia. Menulis adalah cara mengajar dan belajar, berbagi pengetahuan dan pengalaman. Menulis untuk mengabdi dan mengabadi. Menulis itu menyenangkan, menenangkan, menyembuhkan, dan membahagiakan. Semua menjadi indah pada waktunya. Ungkapan klise tapi berisi: tak ada kata terlambat untuk mulai menulis. Ini buktinya. Mulailah menulis dari sekarang juga, Anda bisa! Bagaimana Gunawan menulis buku tecermin dalam beberapa pragraf berikut. Dalam sekali duduk, kadang bisa tuntas satu judul tulisan, bahkan lebih. Kadang juga, bisa beberapa hari untuk menyelesaikan satu judul, walaupun isinya tidak panjang. Istilahnya, nulisnya nyicil sedikit demi sedikit. Sangat jarang saya menulis di atas satu jam dalam sekali duduk, kecuali untuk buku-buku tertentu. Rentang waktu yang saya pakai untuk menulis adalah kisaran 10-30 menit. Ternyata lewat tulisan yang saya unggah di Facebook, orang lain bisa mengambil manfaat dan spiritnya juga. Mendengar orang-orang di luar sana yang merasa termotivasi untuk menulis, dan menerbitkan buku demi buku juga, sungguh senang dan bahagia sekali rasanya. Dulu, memang saya sering menulis di media lain juga. Kompasiana, misalnya. Ada sekitar 258 judul tulisan saya di sarana menulis bersama ini. Juga saya pernah memiliki blog pribadi. Di blog pribadi ini, jika tidak salah ada sekitar 357 judul tulisan saya, tetapi oleh karena sesuatu hal, saya tidak lagi menulis dan memublikasikan tulisan di blog pribadi. Tujuan saya mengunjungi toko buku kala itu hanya ada dua. Pertama, untuk membeli buku – bisa buku baru, kadang buku lawas juga. Tujuan pertama ini akan terwujud manakala ada uang yang sengaja disisihkan untuk itu. Kedua, sekadar untuk membaca buku saja. Tujuan yang kedua ini terbilang nekat, karena terkadang harus kucing-kucingan dengan penjaga toko buku. Orang bijak berkata,lit berkembang orang yang tidak punya contoh selain dirinya sendiri. Para penulis yang menginspirasi dan memotivasi Gunawan untuk menulis antara lain Prof. Dr. Imam Suprayogo yang menulis setiap hari tanpa jeda dan mengunggahnya di Facebook selama 10 tahun; Prof. Dr. Supriyoko, M.Pd., dosen yang selalu mendorong para mahasiswanya untuk menulis; Prof. Dr. Ngainun Naim - penulis buku-buku yang enak dibaca dan mudah dicerna, Muhammad Hernowo - penulis buku Mengikat Makna, M. Husnaini - penulis produktif dan penyunting buku Prof. Imam Suprayogo; Dr. Didi Junaedi yang aktif menulis setiap hari mengikuti jejak Prof. Imam Suprayogo; Muh. Khoiri, Dosen UNESA Surabaya yang aktif menulis di blog, dan Muslimin M. Son – alumni Teknik elektro ITB, dengan bukunya Matematika Praktis ala Om Son (2008). Setiap buku menyimpan “teori menulis” yang tidak selalu tampak, namun bisa menjadi pemandu menulis luar biasa. Proses belajar menulis memang berliku, tetapi hasilnya selalu indah. Termasuk berkawan dengan sesama penulis, menulis bersama dalam sebuah antologi, menulis di mana saja, kapan saja, dan apa saja yang didengar, disaksikan, dan dirasakan. Menulis untuk mewujudkan mimpi. Menulis untuk mencerahkan kehidupan. Mutu karya tulis, sebagaimana hasil studi, tidak ditentukan oleh berapa lama waktu yang diperlukan. Sebuah patung di Jepang dibangun dengan sebuah kedalaman makna, “Bobotmu ditentukan oleh seberapa banyak buku yang kau baca.” “Anda tidak akan pernah tahu bahwa yang Anda perbuat itu akan menghasilkan apa, tapi kalau Anda tidak melakukan apa pun, pasti tidak ada hasil apa pun.” (Mahatma Gandhi) “If you wait for inspiration to write, you are not a writer, you’re a waiter.” (Dan Poynter) “Pada akhirnya menulis adalah proses belajar yang tak pernah usai. Dan, itu jugalah yang membuat menulibegitu memikat.” (Dewi Lestari) “Saran saya kepada penulis pemula hanya satu kata: Menulislah.” (Robert Payne) Selamat membaca dan menulis! (*) Catatan: Prof. Chirzin adalah Penulis Trilogi Kearifan Al-Quran, Kamus Pintar Al-Quran, Sepuluh Tema Besar Al-Quran (Jakarta: Gramedia, cetak ulang 2019), dan 60-an buku lainnya.
Kasus Sambo Bisa Diambil Alih Oleh TNI
Situasinya sangat rawan jika tanpa proses penyelesaian di pengadilan berjalan secara transparan, akan berpengaruh langsung terhadap stabilitas pemerintah saat ini. Oleh: Sutoyo Abadi, Koordinator Kajian Politik Merah Putih BARESKRIM Polri menyatakan laporan percobaan pembunuhan terhadap Bharada E dan kekerasan seksual terhadap Istri Irjen Ferdy Sambo, Putri Candrawathi, itu merupakan bentuk menghalangi proses penyidikan kasus pembunuhan berencana Brigadir Joshua. Polri menutup kasus tersebut. “Kita anggap dua LP ini menjadi satu bagian masuk dalam obstruction of justice ya. Ini bagian dari upaya menghalang-halangi pengungkapan daripada kasus 340,” kata Dirtipidum Bareskrim Polri Brigjen Andi Rian Djajadi di Mabes Polri, Jakarta Selatan, Jumat (12/8/2022). Terpantau Istri Ferdy Sambo, Putri Cendrawasih masih kukuh mengampu bahwa dirinya korban pelecehan seksual oleh mendiang Brigadir Nofriansyah Yoshua Hutabarat atau Brigadir Joshua. Hal itu ia sampaikan saat diperiksa penyidik Timsus Polri sebagai tersangka pembunuhan berencana. Pelecehan oleh Brigadir J, disebut Putri Candrawathi terjadi di Magelang, Jawa Tengah. Demikian disampaikan, Kuasa Hukum istri Ferdy Sambo itu, Arman Haris. Arman menyampaikan, keterangan sebagai korban pelecehan yang terjadi di Magelang itu pun telah tertuang dalam Berita Acara Pemeriksaan (BAP), usai menjalani pemeriksaan sebagai tersangka sejak Jumat (26/8/2022) kemarin. PC yang terkesan mengubah-ubah keterangannya ada pertanda dan sinyal kekuatan Sambo masih eksis akan melakukan perlawanan. Bukan mustahil PC harus menjalankan skenario pembohongan lebih lanjut sesuai skenario yang harus dijalaninya. Wajar Timsus merasa perlu melakukan pemeriksaan lebih lanjut pada PC atas keterangan dan pengakuan tersebut, dan konon akan dilakukan pada tanggal 31 Agustus mendatang. Bung Anton Permana, mengatakan: Alat Cyber polisi sekarang canggih Pak. Alat View Coupter Analisis Digital and Fusion mereka bisa mendeteksi, memprofiling mana berita yang viral, digemari, dan mapping isu. Namanya netizen Indonesia, pasti yang dominan disukai isu perselingkuhan, seksual, maka isu ini yang didominasikan dan digiring jadi trend isue. Atau istilahnya “digital distraction”, membangun isu baru yang kecil-kecil untuk mengaburkan atau menjauhkan dari isu utama yang besar.., katanya lebih lanjut. Alasan seksual yang seolah-olah menjadi alasan yang mudah diterima masyarakat muncul kembali. Dugaan kuat sebagai upaya untuk melawan resiko hukum yang cukup berat. Melawan cara ini memang repot sekali, masyarakat luas bisa terbawa arus zeitgeist. Zeitgeist (bahasa Jerman: Zeit yang berarti waktu atau zaman dan Geist yang berarti jiwa) merupakan pemikiran dominan pada suatu masa yang menggambarkan dan mempengaruhi sebuah budaya dalam masa itu sendiri. Prediksi ke depan geng Sambo akan melakukan perlawanan. Mereka merasa memiliki kekuatan dengan keyakinan perang ini harus berahir tiji tibeh (mati satu harus mati semua). Senjata yang paling mutakhir adalah aliran dana Sambo yang diduga kuat sudah mengalir kemana mana. Bukan saja di internal Polri tetapi meluas ke instansi dan oknum pejabat di luar institusi Polri. Maknanya bukan hanya akan terjadi perang bintang bisa saja berakhir dengan perang bubat. Kondisi seperti ini hanya akan bisa diselesaikan oleh pimpinan Polri yang muncul tanpa beban karena memang dirinya bersih, terbebas dari virus amunisi Sambo. Dalam proses pemeriksaan masih berlangsung oleh Timsus Mabes Polri, akan menguak keadaan yang sebenarnya. FS dan geng mafianya, akan menghadapi resiko hukum yang lebih berat kalau justru terus bertahan dalam rekayasa kebohongannya. Dan semua anggota yang terlibat harus menanggung resiko hukumnya masing masing, makin berat. Peran Presiden Joko Widodo (Jokowi) mutlak harus terus turun tangan, hanya pengaruhnya yang selama ini terkesan diabaikan karena rumitnya masalah itu adalah akibat dari peredaran uang hitam Sambo yang sudah menggurita dan merambah ke mana mana, saling menggigit dan mengikat diantara mereka yang terlibat. Bisa terjadi Presiden juga ketakutan jika kasus Sambo sampai menyeret para pejabat anak buah Presiden. Dan, kasusnya akan merembet ke kasus lainnya, termasuk kasus KM 50 dan lainnya. Suka atau tidak Rezim kekuasaan ini harus menjauh ikut intervensi proses pengadilan yang tidak jujur, objektif dan transparan. Apabila ada rekayasa ikut intervensi keputusan pada akhir putusan pengadilan, dipastikan rezim ini akan masuk pada masalah yang lebih berat dan bisa berakibat fatal. Situasinya sangat rawan jika tanpa proses penyelesaian di pengadilan berjalan secara transparan, akan berpengaruh langsung terhadap stabilitas pemerintah saat ini. Bahkan, kalau keadaan berlarut larut, keadaan berubah menjadi masalah negara yang lebih besar sampai pada adanya indikasi ketahanan negara sampai goyah, bisa terjadi TNI tidak tinggal diam. Akhirnya akan bertindak, sesuai keadaan perkembangan strategis stabilitas negara yang terjadi. Kasus Sambo tidak bisa dianggap remeh. Tidak berlebihan TNI tetap harus waspada dari segala kemungkinan harus ambil alih keadaan kalau keadaan memaksa karena tiba-tiba keadaan negara dalam keadaan genting. (*)
Anomali dan Pembodohan Istilah Subsidi BBM
Oleh Anthony Budiawan - Managing Director Political Economy and Policy Studies RI, Republik Impian, sebuah negara subur dan kaya minyak bumi. Presiden RI saat itu sangat bijak dan pro rakyat, namanya Presiden Bijak. Semua kekayaan alam RI adalah milik rakyat, karena itu wajib digunakan sebesar-besar untuk kemakmuran rakyat. Biaya untuk menghasilkan minyak bumi (biaya lifting), ditambah biaya proses untuk menjadi BBM (biaya refinery) hanya 10 dolar AS per barel. Sedangkan biaya distribusi dan lain-lain sekitar satu dolar AS per barel. Sehingga biaya perolehan (harga pokok) BBM sampai ke SPBU hanya 11 dolar AS per barel, atau sekitar Ri1.037 per liter (kurs Ri15.000 per dolar AS, 1 barel = 159 liter). Presiden Bijak memutuskan menjual BBM di dalam negeri dengan harga Ri1.200 per liter, untung hampir 20%, sangat memuaskan. Untuk distribusi BBM ke masyarakat, pemerintah menugaskan perusahaan negara, Pertabumi. Harga jual BBM ditetapkan oleh pemerintah, dan Pertabumi wajib mentaatinya. Semua uang hasil penjualan BBM kemudian harus di setor ke rekening keuangan negara. Dalam hal ini, Pertabumi tidak memperoleh laba. Jumlah produksi BBM Ri stabil di 100 miliar liter, sehingga Pendapatan Negara dari BBM mencapai Ri120 triliun (Ri1.200 dikali 100 miliar liter). Entah mendapat bisikan dari mana, Bendahara Umum Ri mengatakan kepada Presiden Bijak bahwa harga BBM internasional adalah Ri5.000 per liter. Kalau Ri bisa menjual BBM dengan harga internasional ini, maka Pendapatan Negara dari BBM mencapai Ri500 triliun (Ri5.000 x 100 miliar liter). Presiden Bijak bingung, planga-plongo, kemudian mengatakan: “bagaimana bisa?” Pertabumi wajib menjual BBM kepada masyarakat dengan harga Ri1.200 per liter, sesuai janji Presiden bahwa BBM digunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat. Bendahara Umum Ri mengatakan tidak masalah, Pemerintah akan mengganti kerugian Pertabumi yang mencapai Ri3.800 per liter, atau total Ri380 triliun. Presiden Bijak kemudian bisa tampil sebagai super hero di mata publik, mengumumkan bahwa nilai subsidi BBM mencapai Ri380 triliun: secara kesuruhan, Pendapatan Negara sama saja, yaitu Ri120 triliun: Pendapatan dari hasil jual BBM oleh Pertabumi sebesar Rp500 triliun dikurangi subsidi kepada Pertabumi Rp380 triliun. Presiden Bijak menolak usulan tersebut. Presiden mengatakan, apa yang diusulkan Bendahara Umum Ri adalah manipulasi informasi yang membodohi rakyat. Karena, substansinya sama saja, Pendapatan Negara dari BBM Tetap Ri120 triliun. Bendahara Umum Ri yang masih penasaran kemudian menghadap Presiden, dan mengatakan bahwa sebenarnya Presiden bisa menaikkan harga BBM menjadi Ri2.500 per liter. Dengan alasan subsidi BBM di dalam keuangan negara sangat besar, mencapai Ri380 triliun, sehingga bisa bikin APBN jebol. Kalau ini dijalankan, maka Pendapatan negara dari BBM menjadi Ri250 triliun, bukan Ri120 triliun. Karena ‘subsidi’ berkurang dari Ri380 triliun menjadi Ri250 triliun, atau berkurang Ri130 triliun, senilai kenaikan harga BBM dari Ri1.200 per liter menjadi Ri2.500 per liter (dikali 100 miliar liter). Bendahara Umum semakin antusias. Mengusulkan, pada akhirnya harga BBM domestik harus disesuaikan dengan harga internasional, yaitu Ri5.000 per liter. Dalam hal ini, Pendapatan Negara naik tajam menjadi Ri500 triliun, dari yang awalnya hanya Ri120 triliun, karena ‘subsidi’ menjadi nol. Presiden Bijak sangat marah. Karena, Pendapatan Negara naik akibat negara membebani rakyat dengan harga BBM yang sangat mahal. Artinya, kekayaan alam bukan digunakan sebesar-besar untuk kemakmuran rakyat. Melainkan, sebesar-besar untuk merampas uang rakyat! Begitu marahnya, Bendahara Umum Ri langsung dipecat! (*)
BBM Naik, Jokowi Turun
Oleh Ahmad Khozinudin | Sastrawan Politik Sepertinya pemerintah akan tetap \'ngotot\' menaikkan harga BBM jenis pertalite dan solar. Mereka, tidak peduli dengan beban rakyat. Tidak peduli dengan dampak inflasi, harga harga naik, pengangguran naik, kemiskinan naik, dan dampak negatif lainnya dari kenaikan BBM. Pemerintah hanya fokus memikirkan kantong APBN, tidak peduli kantong rakyat. Pemerintah sibuk berbusa beban subsidi rakyat, tapi tidak pernah mikir APBN dibiayai dari pajak rakyat. Pemerintah hanya sibuk menghitung kenaikan harga minyak dunia, dan beban subsidi BBM. Pemerintah tidak jujur, kenaikan harga komoditi lain seperti sektor pertambangan batu bara, nikel, menyumbang APBN dan bisa menambal subsidi BBM. Begitu juga DPR. Bukannya membela rakyat yang diwakili, malah asyik nimbrung mengikuti irama pemerintah. Malah beri angka kenaikan 30 %, atau harga pertalite Rp 10.000/liter. DPR bukannya mewakili rakyat, malah menjadi corong eksekutif. Bukan membela rakyat, DPR justru menyerahkan leher rakyat. Pemerintah dan DPR modal ngotot. Maunya, naikan BBM, tak mau tahu rakyat menderita karena kebijakan ini. Kalau sudah begini, nampaknya rakyat juga harus ngotot. Ga perlu lagi berdebat dengan pemerintah dan DPR. Sudah begini saja, BBM naik Jokowi turun. Itu baru seimbang. Karena, beban dipimpin Jokowi jauh lebih berat ketimbang beban kenaikan BBM. Kalau BBM jadi naik, kompensasinya Jokowi turun. Tidak usah menunggu 2024, pokoknya seketika BBM naik Jokowi turun. Kalau tidak mau turun, rakyat akan turun ke jalan menuntut Jokowi turun. Kalau tidak mau turun, terpaksa diturunkan. Habisnya, kalau diajak adu argumentasi tidak mau mendengar rakyat. Ditanya biaya produksi BBM yang ngebor di bumi Indonesia, jawabnya selalu pakai harga minyak dunia. Diajak harga seperti di Malaysia, mintanya disamakan dengan Singapura, Thailand dan Jerman. Angel, angel, angel tuturane. Sudah kepala batu, kuping budeg, tidak lagi ada empati kepada rakyat. Kalau penguasa tidak berempati kepada rakyat, untuk apa rakyat mempertahankan penguasa seperti ini ? [].
Kasihan Kapolri, Dipuja-Puji Anggota Komisi III DPR RI
Komisi III seakan menutup mata dalam RDP kemarin. Ini bukan semata soal Sambo melainkan soal kultur kekuasaan yang amat mengerikan. Kasus Duren Tiga hanya dampak atau “by product” dari kultur kekuasaan itu. Sebab, sudah mengakar lama. Oleh: Ilham Bintang, Ketua Dewan Kehormatan PWI (Persatuan Wartawan Indonesia) Pusat KASIHAN Kapolri! Wajah Jenderal Listyo Sigit Prabowo kelihatan tirus dan pucat. Matanya tampak lelah seperti kurang tidur ketika menghadiri Rapat Dengar Pendapat (RDP) dengan Komisi III DPR RI, di Senayan, Rabu, 24 Agustus 2022. Rapat itu berlangsung sekitar 10 jam. Dari pagi hingga lepas waktu Isya’. Puja dan puji hampir seluruh anggota Komisi III tentu tidak bisa menghiburnya. Saya khawatir malah semakin membebaninya. Seakan pujian itu “pesanan dia” seperti ramai disinyalir netizen di media sosial. Hari itu sudah lebih 40 hari kasus “Polisi Tembak Polisi” menjadi sorotan rakyat. Kasus itu menyeret Irjen Pol Ferdy Sambo dan istri, Putri Candrawathi sebagai tersangka pembunuhan berencana Brigadir Yoshua, 8 Juli lalu. Tempat kejadian perkara itu pun di rumah dinas mantan Kadiv Propam (Kepala Divisi Profesi dan Penhamanan) Polri tersebut. Semula mau disesatkan seolah kejadian biasa. Dengan skenario tembak-menembak antar ajudan lantaran salah satunya melecehkan Putri Candrawathi. Seluruhnya 97 perwira Polri terperiksa. Perwira pertama, menengah, dan tinggi, bintang satu dan dua. Mungkin itu peristiwa kolosal pertama dalam sejarah Polri, dalam hal jumlah yang terlibat maupun bobot. Menjadi tersangka dengan ancaman hukuman mati lima orang. Termasuk Sambo dan Putri. Tiga lainnya, dua ajudan dan satu supir merangkap pembantu rumah tangga. Sambo sendiri sudah ditahan sejak 9 Agustus lalu, dan 25 Agustus kemarin hasil sidang Kode Etik Polri telah memberhentikan dengan tidak hormat ayah empat anak itu. Adapun tersangka Putri Candrawati hari ini diperiksa dan diramalkan bakal dikenakan penahanan pula. Masih ada 35 perwira menghadapi pemeriksaan etik, 16 di antaranya sudah \"ditempatkan khusus\" menunggu pemeriksaan lanjutan. Kasus Duren Tiga, disebut juga begitu, jelas sudah puluhan hari menguras tenaga, pikiran dan batin Kapolri dan jajarannya. Korban dan pelaku itu seluruhnya keluarga besar Polri. Tidak ada pihak lain. Listyo Sigit Prabowo adalah pucuk pimpinan, penanggung jawab tertinggi di lingkungan penegak hukum itu. Dalam dunia militer dan polisi kita tahu ada konvensi tak tertulis, \'Tidak ada prajurit yang buruk, melainkan komandan.\' Dengan Sambo, Listyo hanya berjarak dua tingkat di atasnya. Prajurit yang bersalah dua tingkat di atasnya lazim ikut bertanggung jawab. Sambo tidak hanya tersangkut kasus Duren Tiga. Dalam kedudukannya sebagai Ketua Satgassus (Satuan Tugas Khusus) \'Merah Putih\' Polri (diangkat Kapolri Listyo, 1 Juli lalu), Sambo juga ditengarai berkelindan di banyak pusaran kasus yang disorot rakyat. Seperti judi konvensional maupun online, narkoba, peristiwa KM 50, illegal logging, mafia tanah, dan banyak kasus lainnya yang kini \"ditagihkan\" kepadanya dan Kapolri tanggung jawabnya. Penagihnya terbesar adalah rakyat yang di media sosial dinamai Netizen. Yang 24 jam bergemuruh menggunjing itu. Khusus kasus judi, Kapolri sudah menginstruksikan seluruh jajarannya agar kegiatan haram itu ditumpas sampai ke akar-akarnya. Kasus-kasus lain pun dijanjikan akan dia selesaikan. Termasuk pengusutan kembali kasus KM 50 jika (tewasnya anggota FPI) ada novum (bukti) baru. Kasus KM 50 adalah peristiwa tewasnya enam anggota Laskar Front Pembela Islam (FPI) yang mengawal Habib Riziieq Syihab menuju Karawang, Jawa Barat. Peristiwa itu terjadi di Jalan Tol Jakarta-Cikampek KM 50. Puja dan Puji RDP dengan Komisi III DPR RI niscaya merupakan beban baru bagi Kapolri. Isinya lebih banyak puja dan puji kepada Kapolri yang disampaikan oleh hampir seluruh anggota komisi itu. Kita mencoba menanti pendapat dari anggota gender wanita. Akan tetapi, ya ampun, tidak bermutu. Buang-buang kwota saja gender ini. Tak pelak pemandangan itu menjadi santapan olok-olok Netizen dan kritik media pers. Sindiran yang pernah dilontarkan Menteri Koordinator Politik Hukum dan Keamanan (Menkopolhukam), Mahfud MD dua pekan lalu seakan terkonfirmasi. Anggota Komisi III DPR RI dikritik Mahfud karena sekian lama bungkam tak berkomentar apa-apa merespons kasus Duren Tiga. Padahal, peristiwa itu terjadi di lingkungan pengawasannya. Alasan reses sulit diterima. Di era teknologi digital di mana pun anggota berada dapat dijangkau dengan mudah. Begitu RDP para anggota terhormat itu memang tampak seperti bangun tidur. Isunya ketinggalan kereta. Semua bicara, namun bicaranya mengawang-awang, jauh dari ekspektasi rakyat. Banyak yang kedengaran baru belajar bicara, sebagian kesulitan menyusun pikiran. Makanya pengucapannya bertele-tele. Namun, dalam hal garang, berbanding B sangat terbalik ketika menghadapi Mahfud, dua hari sebelumnya di tempat sama. Ahli Hukum Tata Negara Bivitri Susanti pun menilai kejanggalan itu. RDP dengan Kapolri sangat berbeda tune-nya dengan saat Komisi III DPR RI berhadapan dengan Mahfud MD. Sangat boleh jadi, sambung Bivitri, seperti dikutip banyak media pers, sebab 82 persen anggota DPR merupakan bagian dari koalisi pemerintah. Sehingga, tidak dapat dielakkan ‘rumor’ yang menyebutkan adanya simbiosis mutualisme atau relasi saling menguntungkan antara Komisi III DPR dan institusi-institusi penegak hukum. “Kita yang harus punya wawasan di belakang kepala untuk membaca apa yang terjadi hari ini maupun kemarin,” tambah Bivitri. Komisi III seakan menutup mata dalam RDP kemarin. Ini bukan semata soal Sambo melainkan soal kultur kekuasaan yang amat mengerikan. Kasus Duren Tiga hanya dampak atau by product dari kultur kekuasaan itu. Sebab, sudah mengakar lama. Di masa Kapolri Hoegeng di awal 70 an yang terkenal jujur pun, polisi korup sudah merajalela. Sudah terang-terangan melindungi penyelundupan mobil mewah oleh Robby Tjahjadi. Ingat, masa itu lebih setengah abad lalu, Hoegeng dicopot sebagai Kapolri. Hoegeng jatuh karena kasus itu. Dia tidak terlibat, tetapi kejahatan itu terjadi di masa dia berkuasa sebagai Kapolri. Presiden menganggap dia itu bertanggung jawab. Hoegeng tentu saja sedih memikul risiko akibat perbuatan yang tidak dilakukannya. Maka saat ditawari menadi Dubes (Duta Besar) sebagai pelipur lara, Hoegeng menolak. Masa itu, pejabat-pejabat yang bersalah memang kebanyakan “dibuang”, dijadikan Dubes. Kalau dia menerima jabatan Dubes berarti dia posisi orang bersalah, padahal dia tidak bersalah. Masalah yang dihadapi Polri perlu penanganan mendasar dan konseptual. Kebutuhannya reformasi total. Tidak bisa cara-cara biasa seperti dalam pikiran dan pandangan yang muncul dalam RDP kemarin. Kapolri pun mungkin jengah sendiri dipuja-puji sedemikian rupa. Memangnya Kapolri melawan musuh asing? Kapolri perlu bekal penting untuk melawan dirinya dan orang-orang di lingkungannya sendiri. Mengikuti pandangan-pandangan di RDP sampai kapan pun masalah Polri tidak akan selesai. Pikiran-pikiran yang terlontar hanya mendorong Kapolri mengusung batu ke gunung, seperti perjuangan Sisyphus dalam mitologi Yunani. Kasihan Kapolri! (*)
Jika Kasus KM 50 Tetap Ditutup, Islamopobia atau "Perang Salib"
Oleh M Rizal Fadillah | Pemerhati Politik dan Kebangsaan TIDAK ada alasan rasional berbasis ideologi Pancasila untuk tidak membuka seterang-terangnya kasus pembunuhan sadis 6 laskar FPI di Km 50. Proses peradilan saat ini tercium hanya sandiwara. Ada upaya menutup-nutupi yang dikira dapat menghilangkan jejak lalu dilupakan. Mimpi dari pemegang kekuasaan otoriter. Rakyat khususnya umat Islam menilai Kepolisian dan Pemerintahan Jokowi masih berhutang nyawa atas 6 warga negara. Aktivis Islam. Sasaran tokoh Islam dan ulama Habib Rizieq Shihab dengan penguntitan dan pembuntutan bukan berkualifikasi penegakan hukum tetapi pola kerja mafia seperti dalam film. Asyik dan menarik aksi kejar-kejaran penjahat yang berniat mencelakakan jagoan pemeran utama. Ada kebencian berbaur ketakutan pada Habib Rizieq Shihab yang kedatangannya disambut meriah oleh umat Islam. Ketakutan khas kaum Islamophobist. Menurut pejabat negara atau cendikiawan atau squad buzzer di Indonesia yang mayoritas muslim itu tidak ada Islamophobia. Adanya hanya di negara minoritas muslim. Benarkah ? Faktanya pembunuhan sadis 6 anggota Laskar FPI jelas merupakan wujud dari Islamophobia. Nah, untuk mendukung dan membuktikan benar atau tidak pernyataan di atas, maka perlu dibuka dan usut kembali kejahatan kemanusiaan dari kasus Km 50 tersebut. Dari terkuaknya kasus Duren Tiga yaitu pembunuhan Brigadir Joshua oleh Irjen Fredy Sambo dan ajudannya, maka peran Satgassus yang dipimpin oleh Kadiv Propam Irjen Ferdy Sambo turut terbuka pula. Untunglah Kapolri Jenderal Listyo Sigit dengan cepat membubarkan Satgassus yang bekerja bagai organisasi mafia tersebut. Diduga operasi Km 50 menjadi bagian dari kerja Satgassus. Ini artinya peran komando Irjen Ferdy Sambo dengan bantuan Kapolda Metro Jaya Irjen Fadil Imran menjadi sangat besar. Perlu penelusuran dan pembuktian. Pembuktian dan mungkin ketidakbenaran dugaan tersebut harus dilakukan dengan membuka sejelas-jelasnya kasus pelanggaran HAM berat pembunuhan 6 anggota Laskar pengawal HRS. Jawaban mesti diberikan atas banyaknya pertanyaan. Jika tetap ditutup, maka pertanyaan terberat yang mungkin muncul dalam benak umat Islam yakni adakah di dalamnya terdapat spirit \"perang salib\" yang berbasis kebencian dan upaya untuk melumpuhkan umat Islam ? Berat untuk menyebut konflik agama, tetapi dengan posisi strategis beberapa aparat dalam struktur Kepolisian dan operasi adalah non muslim maka wajar muncul anggapan demikian. Sungguh sadis pula perlakuan kepada korban dengan cerita karangan yang dibuat kemudiannya. Kasus Km 50 telah menjadi tragedi hukum dan politik dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Aktivis Islam yang dibantai. Di era kepemimpinan akhir Jokowi sebaiknya segera ada \"goodwill\" untuk menuntaskan dan membongkar kasus Km 50 sebab jika dilewati masa Pemerintahan Jokowi, bukan mustahil persoalan pelanggaran HAM berat ini akan memfokuskan pada peran kepemimpinan politik Jokowi sendiri. Kejahatan politik yang harus dipertanggungjawabkan. Pak Jokowi berpotensi untuk menjadi pesakitan. Semoga fikiran jernih masih melekat pada para pemangku kebijakan politik di negeri bermoral NKRI yang berideologi Pancasila ini. Jauh dari praktek politik \"menghalalkan segala cara\" khas kepemimpinan di negara Komunis. Akan tetapi jika Indonesia ternyata menjalankan politik menghalalkan segala cara, maka secara sadar atau tidak sebenarnya faham Komunis sudah memasuki ruang strategis pemerintahan dan kenegaraan. Lampu merah telah menyala.