OPINI
Bendera Palsu Demokrasi dan Riba
Tanpa kekuatan ekonomi, umnat tidak mungkin bisa membangun kekuatan politik. Oleh: Daniel Mohammad Rosyid, Guru Besar ITS Surabaya, @ Rosyid College of Arts DI tengah skandal Ferdy Sambo yang belum jelas akhirnya, kita dikejutkan dengan kekisruhan stadion Kanjuruhan yang telah menewaskan 131 korban meninggal, serta ratusan lainnya luka dan sakit akibat terinjak-injak sesama penonton, dan hipoksia serta gas air mata yang dilontarkan aparat keamanan. Di tengah suasana berkabung nasional itu, perhatian kita segera tersedot pada deklarasi bacapres Anies Baswedan oleh Parpol Nasdem. Dikabarkan bahwa deklarasi ini merupakan upaya pemimpin Nasdem Surya Paloh untuk melindungi Anies dari ancaman penangkapan Anies oleh KPK dalam kasus dugaan korupsi penyelenggaraan Formula-E. Sementara itu sekelompok ummat Islam yang merindu tokoh nasional untuk memperbaiki nasib mereka dari intimidasi islamophobik rezim ini sedang kesengsem berat oleh sosok Anies Baswedan. Berpuluh kelompok sukarelawan dan penggemar Anies bermunculan untuk mendukungnya maju sebagai bacapres idaman mereka dalam Pilpres 2024. Menilik rekam jejaknya, serta hasil polling elektabilitas para bacapres selama beberapa bulan terakhir, Anies muncul sebagai tokoh bacapres yang sangat populer mengungguli Ganjar Pranowo dan Prabowo Subianto dan beberapa tokoh lainnya. Penting dicermati sinyalemen Mulyadi Tadampali dari FISIP UI bahwa sejak UUD 1945 diganti UUD 2002, adopsi ekonomi yang makin liberal kapitalistik membuat demokrasi Indonesia makin dikuasai oleh para bandit politik yang didukung logistiknya oleh para bandar politik, sementara hampir seluruh perangkat polhukam diawaki oleh para badut politik di DPR, MK, KPK dan KPU. Aparat keamanan semakin menjadi alat kekuasaan yang makin brutal dan mematikan bukan bagi penjahat tapi bagi rakyat sipil biasa yang seharusnya justru dilindungi dan diayomi. Hukum makin tajam ke bawah, namun makin tumpul ke atas menghadapi para bandit, bandar dan badut politik itu. Gaduh politik itu telah berhasil mengalihkan perhatian dan energi kita pada ancaman yang secara senyap senantiasa merongrong Republik ini yaitu ekonomi kapitalisme yang bertumpu pada ekonomi ribawi, yaitu ekonomi yang mengandalkan transaksi-transaksi pemerolehan laba secara tidak adil dan penuh tipu daya. Riba bukan cuma soal bunga pinjaman, namun juga penggunaan luas uang kertas atau fiat money yang tidak memiliki nilai intrinsik apapun. Pelarangan penggunaan dinar emas ataupun dirham perak dalam konstitusi IMF yang disepakati dalam pertemuan Bretton Woods pada 1944 telah mendorong banyak negara yang baru merdeka sejak PD II untuk mencetak uang kertas mereka masing-masing, lalu dipaksa menerima USDollar sebagai alat tukar dalam perdagangan antar-negara. Kemudian, sebagai negara pemenang perang, melalui keputusan Presiden Nixon, AS pada 1971 secara sepihak melepaskan USDollar dari basis emas sehingga AS boleh mencetak USD out of thin air. Demikian itulah full fledged capitalism merampok kekayaan ummat manusia bagi segelintir elit ekonomi di planet ini. Begitulah kapitalisme Barat telah menjadi instrumen penjajahan dan dominasi baru oleh Barat terhadap negara-negara yang baru merdeka itu. Baru dalam beberapa tahun terakhir ini saja, baik China maupun Rusia mulai melawan dominasi US Dollar dengan Yuan dan Rubel dalam perdagangan dunia ini. Keruntuhan USSR pada awal 1990an telah didaku (claimed) sebagai penanda kemenangan kapitalisme melawan komunisme. Oleh Francis Fukuyama ini disebut sebagai The End of History and the Last Man (1992). Namun dunia yang sejak itu makin didominasi kapitalisme berkali-kali mengalami krisis serta peperangan, sementara ketimpangan serta kemiskinan tetap persisten berkepajangan. Konflik Rusia vs Ukraina, dan AS vs China yang terjadi saat ini adalah bukti yang tak terbantahkan bahwa kapitalisme telah gagal membuktikan janji-janjinya tentang kemakmuran dan keadilan bagi semua. Fareed Zakarya telah meramalkan akhir dari kejayaan AS dalam the Post-American World (2008). Ini dikonfirmasi kemudian oleh Emanual Macron sesaat setelah kemenangannya dalam Pilpres Perancis 2022 bahwa Barat telah kehilangan imajinasi politiknya. Ketergantungan Eropa kepada AS dengan memusuhi Rusia tetangga dekatnya sendiri adalah geostrategic blunder. Kini Eropa kelimpungan dihantam krisis energi dan pangan yang serius akibat penghentian pasokan gas Rusia dan gandum Ukraina. Setelah pandemi Covid-19 usai, Dunia kini memasuki krisis eksistensial yang lebih besar akibat keruntuhan lingkungan, ancaman perang nuklir, dan resesi besar ekonomi global. Sementara itu ummat Islam Indonesia sendiri masih saja ikut tergoda untuk mempertaruhkan nasibnya pada Pilpres 2024 dengan satu kepercayaan bahwa dengan kemenangan politik (berkuasa), ummat Islam boleh berjaya secara ekonomi. Sejak pemisahan Bank Indonesia dari Pemerintah RI meniru the Fed terpisah dari US Government, fakta sejarah menunjukkan bahwa ritual politik yang disebut Pemilu adalah sebuah operasi bendera palsu sekaligus instrumen legitimasi untuk mempertahankan ekonomi ribawi yang dikuasai para bandar politik yang secara ajeg menggerogoti kekuatan ekonomi ummat dan memperjongoskannya. Tanpa kekuatan ekonomi, umnat tidak mungkin bisa membangun kekuatan politik. Menolak riba dengan meninggalkannya adalah aksi politik yang akan menusuk jantung kekuatan oligarki domestik dan global yang tiada henti mencengkram Republik lontong sayur ini. Gunung Anyar, 11 Oktober 2022. (*)
Pancasila dan Politik Berkeadaban
Doa Muslim pada shalat tahajud, “Tuhanku, masukkanlah aku ke jalan masuk yang benar, dan keluarkanlah aku dari jalan keluar yang benar, dan berilah aku dari pihak-Mu kekuasaan yang menolongku.” (QS 17:79-80) Oleh: Muhammad Chirzin, Guru Besar UIN Sunan Kalijaga Jogjakarta PANCASILA adalah pandangan hidup bangsa dan dasar Negara Kesatuan Republik Indonesia. Bangsa Indonesia menghayati dan meyakini bahwa kemerdekaan Indonesia dari tangan penjajah adalah berkat rahmat Allah Yang Maha Kuasa, melalui perjuangan yang penuh pengorbanan pikiran, jiwa, dan raga, serta nyawa. Dalam perjalanannya Pancasila mengalami pengayaan redaksional dan semantik hingga menjadi rumusan final pada Pembukaan UUD Negara Republik Indonesia tahun 1945 yang disahkan pada 18 Agustus 1945. Para pendiri bangsa mampu menyelami pandangan masyarakat Nusantara masa lalu dan membangun tatanan baru untuk Indonesia modern. Pancasila pemersatu bangsa Indonesia dari Sabang sampai Merauke. Pancasila menyerap, menerima, dan menumbuhkan segala budaya, serta ideologi positif yang dapat berkembang berkelanjutan. Nusantara menjadi pusat persemaian dan penyerbukan silang budaya yang mengembangkan berbagai corak kebudayaan. Pancasila merupakan satu kesatuan dari lima sila, yakni Ketuhanan Yang Maha Esa; Kemanusiaan yang adil dan beradab; Persatuan Indonesia; Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan; Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Pancasila memberi kekuatan hidup bangsa dan membimbingnya dalam mengejar kehidupan lahir dan batin dalam masyarakat Indonesia yang adil dan makmur. Pancasila penuntun sikap dan tingkah laku setiap manusia Indonesia dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Pancasila cerminan suara hati nurani manusia Indonesia yang menggelorakan semangat dan harapan akan hari depan yang lebih baik. Kebahagiaan hidup akan tercapai apabila didasarkan atas keselarasan dan keseimbangan hidup, baik dalam kehidupan sebagai pribadi, masyarakat, maupun bangsa. Pancasila menempatkan manusia pada keluhuran harkat dan martabatnya sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Esa, dengan kesadaran untuk mengembangkan kodratnya sebagai makhluk pribadi maupun sosial. Kemajuan seseorang ditentukan oleh kemauan dan kemampuannya dalam mengendalikan diri dan kepentingannya dalam rangka melaksanakan kewajiban sebagai warga masyarakat dan negara. Dengan sila pertama manusia Indonesia menyatakan percaya dan takwa kepada Tuhan Yang Maha Esa. Sila pertama menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk Indonesia untuk memeluk agama dan beridabah menurut ajaran agamanya. Manusia Indonesia saling menghormati dan bekerja sama membina kerukunan hidup sesama umat beragama. Kebebasan beragama diakui sebagai salah satu hak paling asasi di antara hak-hak asasi manusia. Dengan sila kedua, manusia Indonesia diakui dan diperlakukan sesuai dengan harkat dan martabatnya sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Esa. Sama hak, derajat, dan kewajibannya, tanpa pembeda-bedaan suku, keturunan, agama, jenis kelamin, serta kedudukan sosial, dan sebagainya. Sila kedua menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan dan mendorong kegiatan kemanusiaan, membela kebenaran, dan keadilan, serta mengembangkan sikap saling menghormati, dan bekerja sama dengan bangsa-bangsa lain di dunia. Dengan sila ketiga manusia Indonesia menempatkan persatuan, kesatuan, serta kepentingan bangsa, dan negara di atas kepentingan pribadi, kelompok, dan golongan. Persatuan dikembangkan atas dasar kebinekaan, dan kerelaan berkorban untuk kepentingan bangsa dan negara. Dengan sila keempat manusia Indonesia sebagai warga masyarakat dan negara mempunyai kedudukan, hak, dan kewajiban yang sama. Keputusan menyangkut kepentingan bersama dilakukan dengan musyawarah dan mufakat menggunakan akal sehat, sesuai dengan hati nurani yang luhur, menjunjung tinggi harkat dan martabat manusia, nilai-nilai kebenaran dan keadilan, serta mengutamakan persatuan dan kesatuan demi kepentingan bersama. Permusyawaratan dalam demokrasi didasarkan atas asas raionalitas dan keadilan, bukan subjektivitas ideologis dan kepentingan, didedikasikan bagi kepentingan banyak orang, berorientasi jauh ke depan, melibatkan dan mempertimbangkan pendapat semua pihak yang dapat menangkal dikte minoritas elit penguasa dan klaim mayoritas. Praktik Pemilihan Presiden secara langsung oleh semua warga negara Republik Indonesia dengan prinsip one man one vote (satu orang satu suara) tidak sejalan dengan sila keempat Pancasila: Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan. Dengan sila kelima manusia Indonesia menyadari hak dan kewajiban yang sama untuk menciptakan keadilan sosial dalam kehidupan masyarakat Indonesia. Untuk itu dikembangkan sikap adil terhadap sesama, menjaga keseimbangan antara hak dan kewajiban, serta menghormati hak-hak orang lain. Pancasila merupakan satu kesatuan utuh yang terpadu dan tak boleh dipisahkan yang satu dari yang lain. Ketuhanan Yang Maha Esa menjiwai sila kemanusiaan yang adil dan beradab, persatuan Indonesia, kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan, dan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Demikian seterusnya. Sebagai dasar negara Pancasila niscaya menjadi landasan Undang-Undang Dasar dan Undang-undangan lain serta peraturan-peraturan turunannya. Segala Undang-Undang dan peraturan yang tidak sejalan dengan Pancasila, sejak hari proklamasi, Jumat 17 Agustus 1945 hingga hari ini, harus ditinjau ulang, diperbaiki, dan/atau dibatalkan. Politik adalah usaha untuk mencapai masyarakat yang terbaik yang akan hidup bahagia, karena memiliki peluang untuk mengembangkan bakat, bergaul dengan rasa kemasyarakatan yang akrab, dan hidup dalam suasana moralitas yang tinggi. Politik mengandung unsur interaksi antara pemerintah dengan masyarakat dalam rangka proses pembuatan dan pelaksanaan keputusan yang mengikat tentang kebaikan bersama masyarakat yang tinggal dalam suatu wilayah tertentu. Politik adalah usaha untuk menentuan peraturan-peraturan yang dapat diterima dengan baik oleh sebagian besar warga, untuk membawa masyarakat ke arah kehidupan bersama yang harmonis. Untuk melaksanakan kebijakan-kebijakan umum menyangkut peraturan dan alokasi sumber daya alam, perlu dimiliki kekuasaan dan wewenang, guna membina kerja sama maupun menyelesaikan konflik yang mungkin timbul dalam proses ini. Kegiatan politik menyangkut cara bagaimana kelompok mencapai keputusan kolektif dan mengikat melalui pendamaian perbedaan-perbedaan di antara anggotanya. Kegiatan politik suatu bangsa bertujuan untuk membuat, mempertahankan, dan mengamandemen peraturan-peraturan umum yang mengatur kehidupannya yang tidak dapat terlepas dari gejala konflik dan kerja sama. Politik dalam bentuk paling baik adalah usaha mencapai suatu tatanan sosial yang berkeadilan. Persepsi adil itu dipengaruhi oleh nilai-nilai serta ideologi dan zaman yang bersangkutan. Politik dalam bentuk paling buruk adalah perebutan kekuasaan, kedudukan, dan kekayaan untuk kepentingan sendiri. Politik adalah perebutan kuasa, tahta, dan harta. Pengelolaan kebinekaan merupakan aspek penting dalam kehidupan berbangsa untuk mewujudkan kohesivitas sosial yang akan membuat penduduk lintas agama dan lintas etnis nyaman. Setiap warga negara harus mempercayai sesama warga dan pemerintah untuk merancang dan menerapkan kebijakan yang bermanfaat secara inklusif. Politik identitas merupakan penjabaran dari identitas politik yang dianut oleh warga negara berkaitan dengan arah politik yang kerap dikerucutkan menjadi dua kelompok, yaitu nasionalis dan agamis. Antara nasionalisme dan agama sesungguhnya tidak bisa dibenturkan. Agama dan nasionalisme adalah dua kutub yang tidak berseberangan. Nasionalisme adalah bagian dari agama, dan keduanya saling menguatkan. Konsep politik Islam termuat dalam kosakata kunci mulk, imam, khalifah, ulul amri, dan sulthan dalam Al-Quran. Allah swt Pemilik kekuasaan. Dia berikan kekuasaan kepada siapa saja yang Dia kehendaki, dan sekaligus mencabutnya dari siapa saja yang dikehendaki-Nya. Boleh jadi kekuasaan itu memuliakan seseorang, dan bisa jadi menghinakannya. Kebaikan adalah sejalan dengan kehendak Allah swt, dan kejahatan berarti pengingkaran terhadap kehendak-Nya. Terang dan gelap secara simbolis berarti ilmu dan kebodohan, kesenangan dan kesedihan, kesadaran rohani dan kebutaan rohani. Takdir dan kehendak Allah swt juga berlaku seperti dalam dunia lahir. Di tangan-Nya segala kesempurnaan. (QS 3:26-27). Dalam pengertian rohani “kalimat” bermakna kehendak, keputusan, atau rencana Allah swt. Dalam segala hal Nabi Ibrahim saw memenuhi kehendak Allah swt. Ia membangun tempat suci Ka’bah, dan menyerahkan segala keinginan kepada kehendak-Nya. Maka Allah swt menjanjikan kepemimpinan dunia. Nabi Ibrahim pun bermohon untuk keturunannya juga, tetapi janji Allah swt tidak akan sampai kepada orang-orang yang terbukti berdusta. (QS 2:124) Khalifah yang sempurna ialah yang mempunyai kemampuan inisiatif sendiri, tetapi kebebasan kehendaknya memantulkan adanya kehendak penciptanya. Kekuasaan Nabi Daud sebagai raja, dan bakat kearifan, keadilan, serta kerasulannya dianugerahkan Allah swt kepadanya sebagai amanat. Bakat-bakat besar yang diberikan ini, yang diberikan kepada siapa saja, tentu bukan untuk dibangga-banggakan. (QS 38:26). Ulul amri ialah pihak yang memegang kekuasaan atau bertanggung jawab yang dapat mengambil keputusan –mereka yang menangani berbagai macam persoalan. Sungguhpun begitu, keputusan terakhir di tangan Tuhan. Dari Dialah para nabi mendapat wewenang. Oleh karena itu di dalam Islam tidak ada pemisahan secara tajam antara soal-soal yang sakral dan sekular. Adanya suatu pemerintah biasa diharapkan berjalan di atas kebenaran, dan dapat bertindak sebagai pemimpin yang saleh, benar, dan bersih pula. Kita harus menghormati dan mematuhi pemegang kekuasaan yang demikian. (QS 4:59). Doa Muslim pada shalat tahajud, “Tuhanku, masukkanlah aku ke jalan masuk yang benar, dan keluarkanlah aku dari jalan keluar yang benar, dan berilah aku dari pihak-Mu kekuasaan yang menolongku.” (QS 17:79-80) Masuk dan keluar mengandung berlapis makna. Pertama, secara umum, masuk dan keluar dalam segala tingkat kehidupan. Kedua, masuk dalam kematian, dan keluar pada waktu kebangkitan. Ketiga, bagi Nabi Muhammad saw, memasuki kehidupan baru di Medinah yang masih merupakan peristiwa-peristiwa masa depan, dan keluar dari kehidupan di kota Mekah yang penuh dengan segala penindasan, di samping lingkungan yang penuh kebohongan. Keempat, dihubungkan dengan hijrah yang akan terjadi, “Biarlah itu timbul dari niat karena kebenaran dan kehormatan rohani belaka, dan bukan dari niat karena rasa dendam terhadap kota Mekah atau para penindasnya, atau karena ambisi pribadi maupun kekuasaan duniawi dari kota Medinah, yang dalam segalanya sudah siap berada di bawah telapak kaki Rasulullah saw. Rasulullah saw bersabda, “Setiap kamu adalah seorang pemimpin, dan setiap kamu akan dimintai pertanggungjawaban atas kepemimpinannya…” Sumpah Presiden Republik Indonesia “Demi Allah, saya bersumpah akan memenuhi kewajiban Presiden Republik Indonesia dengan sebaik-baiknya dan seadil-adilnya, memegang teguh Undang-Undang Dasar, dan menjalankan segala undang-undang dan peraturannya dengan selurus-lurusnya, serta berbakti kepada Nusa dan Bangsa.” (*)
Kanjuruhan Tanggung Jawab Pemerintah
Oleh M Rizal Fadillah - Pemerhati Politik dan Kebangsaan TUGAS dan tanggung jawab penyelenggara negara khususnya Pemerintah adalah untuk melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia (Mukadimah UUD 1945). Menghormati, melindungi, menegakkan dan memajukan HAM (Pasal 71 UU HAM). Peristiwa Kanjuruhan adalah bukti bahwa Pemerintah gagal menunaikan amanah dan tanggungjawab ini. Pertanggugjawaban hukum telah menetapkan dua personal Panitia Penyelenggara Abdul Haris dan Dirut PT LIB Akhmad Hadian Lukita sebagai tersangka. 4 lainnya adalah Kasat Samapta Polres Malang AKP Bambang Shidik, Kabag Ops Polres Malang Kompol Wahyu S Pranoto, Security Officer Suko Sutrisno, dan Danki III Brimob Polda JatimJatim AKP Hasdarman. Kasus besar kerusuhan atau lebih pas pembunuhan Kanjuruhan ini tidak bisa dilokalisir hanya pada persoalan hukum di lapangan semata, tetapi juga harus dihubungkan dengan pertanggungjawaban hierarkhis (by commission) dan politis (by ommission). Adanya dua anggota Polres Malang tersangka maka Kapolres Malang AKBP Ferli Hidayat telah dipecat. Mengingat anggota Brimob Polda Jatim sebagai tersangka maka sudah semestinya Irjen Pol Nico Afinta juga dipecat. Ini adalah tanggung jawab hierarkhis. Begitu juga dengan penetapan Panpel hingga Security Officer bahkan Dirut LIB yang dinyatakan sebagai tersangka maka Ketum PSSI Iwan Bule harus mundur atau dimundurkan. Penyebab banyak jatuh korban adalah penembakan gas air mata, maka tanggungjawab ada pada pelaku, penginstruksi, dan penyedia sarana. Ditengarai peluru gas air mata telah kadaluwarsa. Menurut Komnas HAM daluwarsa sampai tahun 2019, sedangkan menurut Mabes Polri hingga 2021. Menurut Mabes Polri dari 11 peluru yang ditembakan 7 di tribun Selatan, 1 di tribun utara dan 3 di lapangan. Informasi lain juga di tribun timur. Artinya terbanyak bukan untuk mengatasi kerusuhan akan tetapi justru menjadi penyebab kepanikan dan kematian. Tewasnya 125 orang atau konon 2OO orang lebih disebabkan oleh pelanggaran aturan FIFA Stadium Safety and Security Regulation yang melarang penggunaan gas air mata. Dua institusi bertanggungjawab atas pelanggaran ini yaitu PSSI dan Polri, karenanya ini menjadi dasar dan menguatkan bahwa Komjen Purn. Mochamad Iriawan dan Irjen Pol Nico Afinta harus diberhentikan. Presiden juga harus bertanggung jawab disebabkan oleh terjadinya pelanggaran HAM berulang sejak petugas Pemilu (894 orang), 21-22 Mei (10 orang), Km 50 (6 orang) dan Kanjuruhan (200 orang). Apalagi baru keluar Kepres 17 tahun 2022 yang dimaksudkan agar pelanggaran HAM berat tidak berulang. Kepres itu diterbitkan 26 Agustus 2022. Kanjuruhan meledak 1 Oktober 2022. Peristiwa 1 Oktober menarik secara politik. Ini Hari Kesaktian Pancasila setelah G 30 S PKI. 1 Oktober ini dirusak citranya oleh \"kerusuhan\" aneh dan brutal gas air mata. Pidato Nadiem 30 September konten gotong royong, value free, dan amanat Soekarno 1Juni 1945 mengindikasikan PKI mengantar 1 Oktober. Dengan sebagian besar gas air mata ke tribun menjadi bukti adanya motif \"kesengajaan\" untuk mengacaukan dan membunuh. Membuat panik puluhan ribu penonton. Mengingat peristiwa Stadion Kanjuruhan ini bersifat multi dimensional, maka Tim Independen harus dibentuk, bukan \"Tim Gabungan Independen\" buatan Mahfud MD. Tim yang dipimpin oleh Menkopolhukam ini jelas bukan Tim Independen. Ini adalah Tim Pemerintah yang memeriksa atau mengusut peristiwa yang menjadi tanggung jawab Pemerintah sendiri. Sangat tidak pas. Peristiwa Kanjuruhan adalah bencana yang diduga ada unsur kesengajaan, bermotif besar yang berdimensi politik dan merupakan kejahatan atas kemanusiaan (crime against humanity). Bandung, 11 Oktober 2022
Bunuh Saja Lalu Minta Maaf
0leh Yusuf Blegur - Mantan Presidium GMNI Ini kisah tentang suatu negeri yang manusianya tak lagi diperlakukan manusiawi. Saat binatang liar dan buas sekalipun, dididik untuk bertingkah jinak dan bersahabat layaknya mahkluk berakal dan berbudi pekerti, sementara manusia diintai, terancam, diterkam dan dianiaya tak ubahnya binatang buruan. Pembunuhan begitu mudah dipertontonkan oleh bahasa dan perilaku kekuasaan, kalaupun tetap hidup manusia kehilangan kehormatan dan harga dirinya. Terampas haknya, menjadi tak berarti dan sia-sia sebagai korban dari eksploitasi kebinatangan manusia. Ada sebuah negara bangsa yang sering mengaku berasal dari peradaban besar dan kebudayaan adi luhung. Terkenal dengan tradisi ketimuran, religius dan berahlak mulia. Selain patriotisme dan nasionalisme yang menyejarah, nenek moyangnya mewarisi keberanian menegakkan kebenaran dan keadilan. Tepo seliro dan toleransi yang tinggi menjadi urat nadi dari karakteristik sifat gotong royong yang mengokohkan kebhinnekaan dan kemajemukan populasinya. Itulah corak dan ornamen yang pernah ada pada sebuah negara bangsa, yang sepertinya telah menjadi fosil dan berangsur-angsur punah dan mulai menjadi dongeng. Cerita sebuah bangsa yang berubah dari nilai-nilai hakiki menjadi ironi, dari kekuatan Ilahi menjadi kekuasaan oligarki. Dasar negara dan falsafah bangsa begitu indahnya disusun sebagai konsensus nasional. Konstitusi tersusun rapi dan sistemik, sebagai sebuah pijakan bercengkeramanya anak bangsa. Simbol-simbol dan jargon sungguh memesona rakyat yang telah peluh dan berdarah berhimpun dalam kesatuan semangat mempejuangkan, memelihara dan mengisi kemerdekaan. Tapi semua itu hanya sebuah awal dari cita-cita meraih sebuah negara kesejahteraan, yang terus meredup, terasa seperti mimpi dan berujung uthopis. Nilai-nilai kaya spiritualitas itu, pada akhirnya tercerabut dari jiwa dan sanubari manusianya. Bagai zombi yang mengerikan, penduduk negeri yang diklaim gemah ripah loh jinawi menjadi rakus dan ganas berebut makanan. Bagai separuh manusia dan separuh monster atau iblis, pada akhirnya sesama warga negara itu saling memangsa. Kapitalisme dan komunisme berkolaborasi menjadi panduan dan gaya hidup sebagian besar rakyatnya. Agama sebatas status sosial dan keyakinan kepada Tuhan sekedar basa-basi. Negara dikuasai bromocorah, menjadi sarang penyamun dan menjadi habitatnya kumpulan kebiadaban. Negara ketika pemahaman spiritualnya rakyatnya hanya nenghasilkan bangsa yang beragama tapi tak bertuhan. Harta, tahta dan wanita telah menjadi tujuan hidup yang begitu diagung-agungkan dan dimuliakan. Kemunafikan terbungkus ambisi, penghianatan menghiasi siasat. Keduanya menjadi standar memenuhi kepuasan batinnya. Tak peduli bagaimapun dan dengan cara apapun dilakukan untuk meraihnya. Meneteskan air mata, menumpahkan darah dan menghilangkan nyawa, seakan menjadi cara yang biasa dan lumrah untuk mengejar nafsu dunia. Meskipun harus dengan menghilangkan kemanusiaan dalam dirinya dan membiarkan determinasi setan begitu dominan mengendalikan syahwatnya. Tragedi demi tragedi, pembunuhan demi pembunuhan terus berjaya menampilkan karakter kekuasaan. Darah rakyat tak pernah berhenti tumpah dan mengalir di bumi pertiwi. Membasahi panggung-panggung politik, menyirami kantor-kantor insitusi negara, tampias ke pemukiman kumuh rakyat, hingga menyeruak ke stadion sepak bola. Selalu saja ada kekejian dan kebengisan di setiap pelosok dan sudut-sudut sempit sekalipun dalam ruang publik. Selalu ada kesempatan dan momentum rakyat meregang nyawa kapan dan di mana saja. Nusantara memang telah menjadi tempat yang penuh mistik, horor dan mengerikan karena politik dan hukum telah bersekutu dengan iblis. Sifat-sifat iblis yang mewujud perangai manusia dalam peran dan aksi aparatur penyelenggara negara. Seperti Dolores O\'Riordan seorang musisi kenamaan asal Irlandia dan vokalis The Cranberries yang melantunkan lagu Zombie. Seakan mengesankan negara telah menjadi penjara paling brutal bagi rakyat yang lemah dan tertindas. Seiring itu, aparatnya berfungsi sebagai mesin pembunuh yang paling efisien dan efektif. Kini, rakyat hanya bisa pasrah menerima kenyataan bahwa kemanusiaannya telah disingkirkan. Berjibaku menuntut sekedar kelayakan hidup, atau bermimpi yang lebih tinggi lagi tentang kemakmuran dan keadilan. Tak lagi dapat berharap pada manusia, hanya keyakinan pada kebesaran kekuasan Tuhan yang mutlak menjadi solusinya. Sembari menunggu kebenaran itu akhirnya dapat memenangkan pertarungan melawan kejahatan. Rakyat hanya bisa menyaksikan dan merasakan penderitaan berkepanjangan. Terlebih ketika korban jiwa rakyat begitu marak dan menggejala, saat dimana-mana terdapat kematian baik secara personal maupun massal. Pembunuhan karena motif politik dan semata-mata demi kepentingan merebut dan mempertahankan kekuasaan. Setelah rakyat jatuh berserakan dan mayatnya bergelimpangan. Cukup dengan kata-kata maaf dan pemberian hadiah dan kompensasi, semua maslah selesai. Begitulah praktek-praktek kekuasan mengemuka dan jadilah negeri ini dipenuhi drama dengan lakon, bunuh saja lalu minta maaf. (*)
Anies dan Beban Perubahan
Jika bangsa ini ingin selamat, tidak ada jalan lain selain kembali ke UUD 1945 dan Pancasila. Oleh: Prihandoyo Kuswanto, Ketua Pusat Studi Kajian Rumah Pancasila PILPRES 2024 pertarungan sudah dimulai, berbagai strategi mulai dirancang untuk menjegal Anies Baswedan. Pilpres 2024 bisa jadi akan terjadi banyak korban yang membuka terjadinya goro-goro sebab nafsu Angkara murka telah membelit penguasa yang ingin mempertahankan kekuasaannya. Sekenario-skenario mulai dirancang dan dijalankan seakan negara ini hanya milik sekelompok tertentu yang tidak lagi mempertimbangkan kepentingan bangsa dan negara. Inkamben inginnya 3 periode ini dan terbentur konstitusi kemudian membuat trik lagi lewat Mahkamah Konstitusi (MK) yang seharusnya lembaga ini tidak boleh membuat pernyataan kalau tidak menjadi gugatan masyarakat. Bak petir di siang bolong juru bicara MK itu mengatakan Inkamben Presiden boleh mencalonkan menjadi wakil presiden dalam pilpres 2024. Mulai terjadi perdebatan kalau Inkamben terpilih menjadi wakil presiden kemudian di tengah perjalanan presiden berhalangan tetap maka presidennya siapa? Sebab konstitusi sudah membatasi 2 periode maka terjadi kekosongan ini yang harusnya dipikir oleh MK sebelum membuat pernyataan. Strategi-strategi berikut adalah mengganti Kepala Daerah seperti Gubernur, Bupati, Walikota dengan Penjabat (Pj) yang ditunjuk langsung oleh Mendagri ini merupakan penyalahgunaan wewenang, sebab Pj itu tidak lebih dari tiga bulan dan tidak boleh membuat kebijakan yang strategi. Masa jabatan Pj ada yang lebih dari dua tahun jelas merupakan kekuasaan yang tidak berdasar legimitasi rakyat. Merusak tatanan demokrasi dan ini adalah strategi yang menghalalkan segala cara. Cara-cara menjegal lawan dengan menggunakan KPK guna mengkriminalisasi Anies, dan ini bisa terjadi sebab ada lembaga yang tak ingin terjadi perubahan karena hari-hari ini mereka itu berada di zona aman dan tidak ada yang bisa mengkontrol sangking kuatnya lembaga ini. Bahkan, water tes yang telah dilakukan dengan pembantaian ratusan jiwa di Stadion Kanjuruan, Kabupaten Malang, tidak bergeming dan tak ada jenderal yang bertanggung jawab dan akhirnya tragedi ini cukup kambing hitamnya pintu stadion dan bangunan yang tidak tersertifikasi, artinya lembaga, ini super-super kuat dan tidak ada yang bisa melawan. Jika pilpres tidak membuat perubahan yang mendasar, maka tidak perlu lagi pilpres, sebab akhirnya hanya untuk kepentingan oligarki semata. Anies ini sosok yang menjadi tumpuan banyak rakyat yang mempunyai akal sehat untuk melakukan perubahan. Beban berat siapapun yang terpilih mendapat warisan utang yang sudah menggunung. Membersihkan tubuh Polri dengan reformasi polri meletakan pada tempatnya tidak lagi menjadi negara di dalam negara, sebab UU mengatur tidak boleh merangkap jabatan tetapi ya UU ditabrak. Anies selalu dalam pidatonya ingin mewujudkan cita-cita negara Keadilan Sosial Bagi Seluruh rakyat Indonesia. Tentu saja hal ini menjadi pertanyaan besar bagaimana mungkin mewujudkan Keadilan Sosial Bagi seluruh Rakyat Indonesia terwujud kalau UUD 1945 sudah diganti dengan UUD 2002 yang basisnya Individualisme, Liberalisme, Kapitalisme dengan sistem presidensil negara sudah tidak berdasarkan Pancasila. Dengan digantinya UUD 1945 maka sesungguhnya yang diamandemen itu ideologi Pancasila. Dengan digantinya sistem MPR dengan Presidensil maka visi misi Negara dengan tujuan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia sudah tidak ada lagi. Sebab visi misi negara diganti dengan puluhan visi misi Presiden, visi misi Gubernur, dan Visi misi Bupati/Walikota. Bukannya setiap pemilu dilakukan perdebadan dan antar calon yang di perdebadan visi misi bahkan disiarkan langsung di TV-TV. Jika bangsa ini ingin selamat, tidak ada jalan lain selain kembali ke UUD 1945 dan Pancasila. Jadi, kalau Anies ingin mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia ya mengembalikan UUD 1945 dan Pancasila. (*)
Mewaspadai Skenario Jahat Penundaan Pemilu
Jika penundaan Pemilu dipaksakan, bisa ditebak akar rumput akan bergejolak. Pada titik inilah peran 272 Pj kepala daerah cukup signifikan. Sembari menenangkan gejolak di wilayah masing-masing, para penjabat itu dapat saja mendukung penundaan Pemilu atas nama rakyat daerah yang dipimpinnya. Oleh: Tamsil Linrung, Wakil Ketua MPR Terpilih/Anggota DPD RI MENJELANG Pemilu 2024, akan ada 272 Penjabat (Pj) kepala daerah yang menggantikan kepala daerah yang masa jabatannya berakhir pada 2022 dan 2023. Situasi ini dapat menjadi amunisi dahsyat mendorong agenda busuk penundaan Pemilu. Jumlah 272 jelas signifikan. Angka ini adalah separuh dari total kepala daerah seluruh tanah air. Indonesia memiliki 416 kabupaten, 98 kota dan 34 provinsi. Totalnya, 548 pemerintah daerah. Tak seperti kepala daerah yang dihasilkan melalui pemungutan suara pemilu, penjabat bupati dan wali kota diajukan oleh gubernur dan dipilih oleh Menteri Dalam Negeri (Mendagri) Tito Karnavian. Sedangkat pejabat gubernur diajukan oleh Mendagri dan kemudian ditunjuk oleh Presiden Joko Widodo. Penunjukan itu rentan dieksploitasi untuk kepentingan politik pada Pemilu (Pemilihan Umum). Indikasi Pemilu akan berlangsung tidak jujur dan tidak adil bukan isu baru. Isu ini telah diteriakkan beberapa pihak, seperti Mantan Presiden Indonesia Soesilo Bambang Yudhoyono. SBY menduga Pilpres 2024 akan direkayasa hanya diikuti oleh dua pasang calon presiden dari kalangan “mereka”. Namun, mereka kecele. Partai Nasdem mendadak mendeklarasikan Anies Baswedan. Saya menduga, deklarasi lebih awal ini ada kaitannya dengan isu kriminalisasi Anies Baswedan sebagaimana laporan utama Koran Tempo, 1 Oktober 2022. Meski perolehan suara Nasdem masih jauh dari ambang batas (Presidential Threshold) 20 % pencalonan presiden, namun deklarasi dilakukan agaknya dengan keyakinan penuh, PKS dan Demokrat bakal menyusul. Deklarasi Anies telah memecah kebuntuan dan apatisme berpolitik rakyat. Deklarasi itu sekaligus merontokkan skenario jahat mendesain Pemilihan Presiden (Pilpres) hanya dua kandidat. Ada kegelisahan besar. Ada ketakutan Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) DKI Jakarta 2017 silam terulang di Pilpres 2024. Ambisi Menunda Pemilu Kini, tersisa dua kemungkinan skenario busuk lainnya. Yaitu: Pertama, tetap memaksakan kasus Formula E yang ditangani Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) untuk menjerat Anies. Kemungkinan ini telah saya urai dalam tulisan yang lain (Baca: Anis Dijegal, Rakyat Berontak). Kedua, memaksakan penundaan Pemilu. Gagasan untuk membatalkan atau menunda Pemilu seperti bara dalam sekam. Begitu angin bertiup, ada energi, bara ini akan berubah menjadi angin yang bisa meluluhlantakkan bangunan demokrasi kita. Potensi energi ini salah satunya ada pada 272 penjabat (Pj) kepala daerah. Dengan menguasai mereka ini berarti menguasai separuh wilayah Indonesia secara politik. Tidak heran, saat memilih salah satu dari tiga nama calon Pj Gubernur DKI Jakarta yang diusulkan DPRD Provinsi Jakarta, Presiden Joko Widodo menunjuk Heru Budi Hartono, yang juga Kepala Sekretariat Presiden (Kasetpres). Sebagai Kasetpres, Heru adalah orang dekat jokowi. Dengan situasi kebatinan seperti itu, pj kepala daerah sulit bertindak netral terkait Pemilu 2024. Alih-alih menjaga independensi, sang penjabat sementara malah bisa berperan aktif mengegolkan misi penundaan Pemilu. Agenda penundaan Pemilu tersebut punya banyak varian. Tempo hari, Menteri Koordinator Maritim dan Investasi, Luhut Binsar Pandjaitan, mengklaim 110 juta big data menginginkan Pemilu ditunda. Dalam kesempatan lainnya, tiga ketua umum (Ketum) partai menggelontorkan ide Pemilu ditunda. Dan, konon, mereka mendengar kemauan itu dari kalangan pengusaha dan petani. Opini yang ingin dibangun itu adalah penundaan Pemilu lahir dari keinginan masyarakat. Namun, hal ini tidak mudah karena yang dirasakan masyarakat berbeda dengan yang diopinikan para pejabat itu. Rakyat menolak. Penolakan tersebut tercermin dari hasil penelitian beberapa lembaga survei, selain terjadi gelombang kritik di media sosial. Artinya, bahwa penundaan Pemilu mustahil dilakukan atas nama kehendak masyarakat. Maka, harus ada cara lain menuju perpanjangan masa jabatan. Salah satu yang dicurigai adalah menunda Pemilu dengan alasan keterbatasan anggaran. Ketimbang variabel sebelumnya, variabel ini lebih memungkinkan sehingga harus diwaspadai dengan saksama. Pasalnya, penundaan Pemilu dimungkinkan oleh UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu. Disebutkan, penundaan pemilu dapat dilakukan atas empat variabel, yaitu bencana alam, gangguan keamanan nasional, kondisi ketertiban sosial, dan hal lain yang mengganggu tahapan Pemilu. Variabel terakhir terasa begitu longgar, sehingga bisa menjadi pintu masuk kesulitan anggaran. Anggaran Pemilu sebesar Rp 76,6 triliun bukan duit sedikit bagi negeri yang sedang paceklik ini. Terlebih, untuk pencairan kebutuhan tahapan Komisi Pemilihan Umum tahun 2022 saja, Pemerintah sudah ngos-ngosan. Atau, jangan-jangan kesan ngos-ngosan sengaja dicitrakan. Soalnya, krisis keuangan itu tidak terlihat saat pemerintah begitu bersemangat membangun Ibu Kota Baru berbiaya super jumbo, Rp 466 triliun. Jika penundaan Pemilu dipaksakan, bisa ditebak apa yang bakal terjadi di akar rumput: bergejolak. Pada titik inilah peran 272 Pj kepala daerah cukup signifikan. Sembari menenangkan gejolak di wilayah masing-masing, para penjabat itu dapat saja mendukung penundaan Pemilu atas nama rakyat daerah yang dipimpinnya. Pemerintah bisa merayu Anggota Dewan Perwakilan Rayat (DPR), Anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD), dan anggota lembaga negara lainnya untuk juga menikmati kue perpanjangan masa jabatan. Saya meyakini, mayoritas teman-teman di DPD akan menolak. Entah dengan DPR dan lembaga lain. Lalu, rakyat dapat apa? Bisik-bisik di kalangan teman-teman oposisi yang mengatakan, anggaran Pemilu 2024 boleh jadi dialokasikan ke masyarakat dalam bentuk Bantuan Langsung Tunai (BLT). Alasannya apa, dasarnya hukumnya apa, itu soal yang mudah saja dirumuskan. BLT terbukti mampu meredakan gejolak. Ini adalah cara lain “menyogok” rakyat. (*)
Program Mobil Dinas Listrik Bisa Memperburuk Perubahan Iklim, Patut Ditunda
Dengan komposisi bauran pembangkit listrik di Indonesia seperti ini, maka mobil BBM sepertinya jauh lebih bersih dari mobil listrik. Oleh: Anthony Budiawan, Managing Director PEPS (Political Economy and Policy Studies) PEMERINTAH akan mengganti mobil dinas pemerintah menjadi mobil listrik. Sesuai dengan Instruksi Presiden Nomor 7 Tahun 2022 tentang Penggunaan Kendaraan Bermotor Listrik Berbasis Baterai (Battery Electric Vehicle) sebagai Kendaraan Dinas Operasional dan/atau Kendaraan Perorangan Dinas Instansi Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah. Namun, alasan atau tujuan mengganti kendaraan dinas menjadi mobil listrik tersebut tidak dijelaskan. Apakah karena total biaya operasional selama kepemilikan, atau yang dikenal dengan total cost of ownership, untuk mobil listrik lebih murah dibandingkan dengan mobil BBM (berbahan bakar minyak)? Atau apakah mobil listrik lebih bersih dari mobil BBM, artinya emisi karbon mobil listrik lebih rendah dibandingkan mobil BBM? Alasan yang mana, yang menjadi dasar keputusan pemerintah mengganti mobil dinas menjadi mobil listrik tersebut? Atau keduanya? Menurut beberapa kajian di Amerika Serikat bahwa biaya operasional dan kepemilikan mobil listrik tidak selalu lebih murah dari mobil BBM. Bahkan menurut caranddriver.com, https://www.caranddriver.com/shopping-advice/a32494027/ev-vs-gas-cheaper-to-own/, yang membandingkan mobil listrik dengan mobil BBM, untuk merek dan jenis mobil yang sama, total cost of ownership (TOC) mobil BBM ternyata lebih irit dari mobil listrik. Caranddriver.com membandingkan total biaya kepemilikan Mini Cooper Hardtop BBM dengan Mini (Cooper) Electric. Hasilnya, Mini Cooper BBM lebih irit $7.858 untuk total biaya kepemilikan selama 3 tahun. Belum termasuk insentif tax credit untuk mobil listrik, apabila ada. Total biaya kepemilikan tiga tahun Mini Cooper Hardtop BBM sebesar $41.454 versus Mini Cooper Electric sebesar $49.312. Sedangkan selisih biaya kepemilikan selama tiga tahun untuk Hyundai Kona BBM (sebesar $39.817) versus Hyundai Kona Electric (sebesar $55.311) lebih besar lagi. Hyundai Kona BBM lebih irit $15.494. Bagaimana di Indonesia? Apakah mobil listrik lebih irit? Jangan sampai keputusan mengganti mobil dinas dengan mobil listrik malah akan membebani APBN. Belum lagi memperhitungkan devisa yang terkuras, karena mobil listrik harus diimpor dari luar negeri. Sedangkan mobil BBM diproduksi di dalam negeri. Bukankah Presiden Jokowi sering mengatakan, betapa bodohnya kita harus impor terus, padahal ada produksi dalam negeri? Atau, apakah mungkin keputusan mengganti mobil dinas pemerintah dengan mobil listrik karena emisi karbon mobil listrik lebih rendah, alias lebih baik, dari mobil BBM? Pendapat ini juga tidak sepenuhnya benar, tergantung bagaimana listrik tersebut diproduksi, apakah menggunakan energi baru dan terbarukan (EBT) atau energi fosil seperti batubara, gas, solar? Kalau porsi EBT dalam pembangkit listrik sangat besar, seperti di Selandia Baru yang mencapai 80 persen, maka emisi karbon mobil listrik pasti jauh lebih baik, atau lebih rendah. Tetapi di Indonesia sangat beda. Indonesia bukan Selandia Baru. Bauran pembangkit listrik di Indonesia masih dikuasai energi fosil, khususnya batubara yang merupakan energi yang sangat kotor. Pada tahun 2020, porsi EBT hanya 6,13 persen, dan tenaga air 8,04 persen. Sedangkan energi fosil batubara mencapai 64,27 persen, gas mencapai 17,81 persen dan BBM (solar) mencapai 3,01 persen. Dengan komposisi bauran pembangkit listrik di Indonesia seperti ini, maka mobil BBM sepertinya jauh lebih bersih dari mobil listrik. Maka itu, pemerintah seharusnya berupaya memperbesar porsi EBT di dalam bauran pembangkit listrik terlebih dahulu, sebelum memutuskan mengganti mobil dinas dengan mobil listrik, agar emisi karbon pembangkit listrik menjadi lebih rendah, dan emisi karbon mobil listrik lebih bersih dari mobil BBM. Jangan sampai keputusan mengganti mobil dinas dengan mobil listrik seperti yang terjadi pada wacana konversi kompor gas ke kompor listrik, yaitu untuk menyerap surplus listrik PLN, dan sekaligus menciptakan proyek APBN? (*)
Jangan Khawatir, Menteri Keuangan Indonesia Tidak Ada Komitmen Sama Sekali Terhadap Transisi Energi
Hal yang paling kasar dan kesannya ngecengi seluruh Menteri Keuangan Dunia adalah APBN Indonesia terus menggenjot program penjaminan negara bagi pembangunan pembangkit fosil batubara. Oleh: Salamuddin Daeng, Pengamat Ekonomi Politik Asosiasi Ekonomi Politik Indonesia (AEPI) APA buktinya? Silakan periksa APBN Indonesia dari waktu ke waktu, apakah ada agenda transisi energi yang dibiayai besar-besaran. Tidak ada, seupil pun kurang. Bahkan hingga RAPBN 2023 pun agenda transisi energi tidak tampak dalam RAPBN. Padahal, Menteri Keuangan adalah orang yang paling berkuasa atas APBN. Apalagi dengan UU Nomor Tahun 2020 semua kekuasaan atas keuangan negara berada di tangan Menteri Keuangan. Yang perlu diingat, agenda transisi energi adalah agenda utama G20 dan merupakan agenda yang saling melengkapi dengan COP 26. Indonesia pun telah meratifikasinya kesepakatan iklim COP 26 tersebut dan Indonesia sekarang adalah ketua G20. Penentu segala kesepakatan dalam G20 adalah pertemuan Menteri Keuangan bersama Gubernur Bank Indonesia dan gubernur bank sentral seluruh negara anggota. Dalam pertemuan inilah semua agenda utama G20 disepakati lalu ditandatangani oleh presiden dan dibawa pulang ke negara masing masing. Sekarang tiga agenda utama G20, yakni pemulihan ekonomi pasca Covid, digitalisasi dan transisi energi. Agenda ini adalah agenda yang merupakan program lanjutan dari kesepakatan sebelumnya, yang urut dari sejak pertemuan awal G20. Menteri Keuangan RI Sri Mulyani yang menjabat sekarang sudah mengikuti pertemuan G20 sejak organisasi ini didirikan pertama di AS, lalu di London dan seterusnya. Semua kesepakatannya menteri keuangan Indonesia terlibat dalam menentukannya. Lalu, apa yang dilakukan oleh Menteri Keuangan Indonesia? Semua agenda dibawa pulang, lalu kemudian disimpan di dalam laci, lalu Menteri Keuangan tidak mengerjakannya dan kembali ke agenda yang lain, jauh dari semua yang disepakati di internasional. Sebenarnya agenda siapa yang dikerjakan Menteri Keuangan Indonesia? Ini patut kita pertanyakkan. Kalau agenda rakyat tampaknya bukan, tapi kalau agenda internasional juga tampaknya bukan. Apakah dia bekerja untuk sekelompok orang di dalam negeri? Mengabdi pada sekelompok orang kuat dan super kaya. Kelompok 1 persen orang? Bayangkan, sebentar lagi Indonesia akan menggelar pertemuan puncak G20 di Bali, dan Menteri Keuangan Indonesia Sri Mulyani sangat bangga karena dia berada di meja utama dalam seluruh rangkaian pertemuan G20 Indonesia Presidency. Sri Mulyani duduk di meja paling terhormat, bukan saja sebagai tuan rumah, namun lebih dari itu. Tapi, di belakang para pemimpin dunia, Menteri Keuangan Indonesia malah merencanakan RAPBN 2023 untuk tetap terus menggenjot eksploitasi SDA fosil, terutama batubara melalui deforestasi untuk menopang keuangan pemerintah. Hal yang paling kasar dan kesannya ngecengi seluruh Menteri Keuangan Dunia adalah APBN Indonesia terus menggenjot program penjaminan negara bagi pembangunan pembangkit fosil batubara. Ini demi agar pengusaha batubara terus bisa mengakses uang perbankan BUMN. Lah gunanya Menkeu memimpin pertemuan menteri keuangan dan bank sentral dunia itu untuk apa? Meok aja? (*)
Pasca Deklarasi, Serangan ke Anies Makin Masif: Waspadalah!
Tetap para relawan dan pendukung Anies harus waspada. Waspada, waspada dan waspada. Antisipasi segala kemungkinan. Kan masyarakat semua sudah pada tahu kelakuan mereka. Siapa mereka? Ah, lagak pilon aja lu. Oleh: Alex Wibisono, Aktivis Tinggal di Kota Depok KAGAK ada cara lain kalahkan Anies Rasyid Baswedan. Serang, serang, dan serang terus. Fitnah, fitnah, dan fitnah terus. Jegal, jegal, dan jegal terus. Kalau masyarakat dijejali fitnah terus-menerus, lama-lama bisa percaya juga. Banyak yang sudah percaya. Sekali dua kali kagak percaya. Tapi, kalau sudah 100x akan percaya. Ini yang dilakukan para buzzer itu. Pesaing Anies kagak diunggulkan. Kagak siap untuk beradu gagasan, beradu prestasi, beradu rekam jejak. Kagak siap. Panik. Maka, satu-satunya cara ya serang Anies. Serangannya berupa fitnah. Ini lebih efektif. Juga, serangan SARA. Kadrun, itu SARA bro. Pasca deklarasi Nasdem yang diikuti silaturahmi dengan lautan massa dari kader Demokrat, ini akan membuat para pesaing semakin panik. Mereka akan tingkatkan serangan. Semua peluru sudah mulai dimuntahkan. Waspada bro! Semua hasil kerja di DKI Jakarta akan dibongkar-bongkar. Ratusan kilometer jalur sepeda, satu lubang aspal saja ditemukan, akan jadi viral. Akan diulas berulangkali. Apalagi kalau ada yang pura-pura jatuh di dekat lubang. Wow. Akan digoreng sampai kering. Jakarta International Stadium (JIS), ada satu pengemis di pintu gerbangnya, akan jadi framming berita. Seoleh JIS kotor dan kumuh. Padahal, boleh jadi pengemis dikirim oleh oknum. Namanya juga drama. Begitulah polanya selama ini. Akan terus begitu. Lu pasti paham. Masyarakat perlu lu kasih tahu juga. Biar paham. Yang ada di otak mereka adalah menyerang. Hari ke hari cari obyek yang bisa jadi bahan menyerang. Cari terus. Ubek-ubek sampai ketemu. Karena, hanya itu yang mereka punya. Kagak punya yang lain. Adu cakep, kalah. Adu gagah, kalah. Adu otak, kalah. Adu kesantunan, kalah. Adu prestasi, apalagi. Adu elektabilitas, ya berkompetisi aja dengan fair. Kagak usah main serang dan main fitnah. Cemen lu. Makin lu banyak fitnah, itu tandanya calon lu kagak punya prestasi. Kagak punya yang bisa dibanggain. Kalau kagak punya, kenape maksain nyapres. Pensiun aje dah... husnul khatimah bro. Serahkan Indonesia kepada ahlinya. Aman dan damai negeri ini. Adil dan sejahtera bro. Rumornya, pada tanggal 16 Oktober nanti, ada ratusan karangan bunga yang dikirim ke Balaikota DKI. Isinya hujat Anies. Waduh, ngeri kali. Semoga aja ini hoaks. Semoga ya. Hoaks, hoaks, hoaks. Semoga. Biar kagak bikin gaduh. Kagak pantes. Kagak elok. Bisa kualat pada rakyat. Namanya juga rumor. Desas desus. Kalau ternyata nanti bener, siapa kira-kira yang kirim ya? Tetap para relawan dan pendukung Anies harus waspada. Waspada, waspada dan waspada. Antisipasi segala kemungkinan. Kan masyarakat semua sudah pada tahu kelakuan mereka. Siapa mereka? Ah, lagak pilon aja lu. Bro, atu yang gue mau kasih tahu lu. Dengan segala cara Anies mau dijegal. Itu intinya. Selama ini, mereka halalkan segala cara. Lu dan para pendukung Anies mesti siap-siap hadapi mereka. Jangan pakai emosi. Tetap taat hukum dan santun. Itu ajaran Anies Baswedan. Depok, 8/10/2022. (*)
Mengapa Kembali ke UUD 1945?
Contoh mutakhir maladministrasi publik adalah bagaimana pemerintah ini memberikan HGB 160 tahun untuk menarik investor IKN. Oleh: Daniel Mohammad Rosyid, Guru Besar ITS Surabaya, @Rosyid College of Arts SAAT komitmen bacapres Anies Rasyid Baswedan untuk kembali ke UUD 1945 dipertanyakan, pakar Hukum Tata Negara Refly Harun mengatakan, gagasan untuk kembali kepada UUD 1945 naskah asli adalah keinginan besar tentara. Selanjutnya dia mengatakan bahwa persoalan Republik ini bukan hanya soal rancangan UUD, tetapi praktik nyata politik. Baik Orde Lama ataupun Orde Baru adalah bukti nyata bagaimama UUD 1945 ditafsirkan dan dipraktikkan sesuai agenda sesat Soekarno dan Soeharto. Ini pernyataan yang sulit dibantah, tapi menyembunyikan kesalahan yang berbahaya. Seperti MPR hasil reformasi bisa seenaknya menggganti UUD 1945, restu Refly seperti mengatakan anak-anak boleh mempertanyakan status akad nikah ayah ibunya sendiri. Pembentukan negara seperti dinyatakan dalam keseluruhan UUD ‘45 adalah hasil kesepakatan agung para pendiri bangsa. Oleh Al Qur\'an, negara itu disebut sebagai mitsaaqan ghaalithan, setara dengan aqad nikah. Kita boleh saja tidak suka dengan siapa ayah ibu kita, tapi kita sebagai anak hasil aqad nikah itu tidak punya pilihan kecuali menerima aqad nikah itu apa adanya. Perubahan aqad bisa dilakukan dengan addendum untuk merespons dinamika disruptif global, regional dan nasional. Fitrah negara kepulauan bercirikan Nusantara dengan keragaman hayati dan budaya yang luar biasa, serta dengan bentang alam seluas Eropa ini meniscayakan pemerintahan maritim yang kuat serta desentralisasi. Jika Prof. Kaelan UGM saja mengatakan bahwa sejak penggantian UUD ‘45 menjadi UUD 2002 bangsa ini telah murtad, maka bisa dikatakan juga bahwa kita telah menjadi bastard yang lahir di luar nikah. Penting segera untuk disadari bahwa kehidupan kita bukan soal infrastruktur dan gedung-gedung megah pencakar langit serta pabrik-pabrik saja, tapi juga serangkaian jalinan janji-janji dan kesepakatan-kesepakatan. Begitulah kesetiaan pada janji dan kesepakatan para pendiri bangsa tersebut merupakan nilai penting dalam kehidupan bersama ini yang ditandai dengan kemajemukan. Bhinneka Tunggal Ika bukan sekedar slogan kosong, tetapi amanah yang mensyaratkan kesetiaan. Praktik politik tidak bisa menjadi alasan mengapa UUD 1945 bisa diganti dengan UUD 2002. Jika UUD bisa diganti oleh MPR hasil Pemilu, maka kesesatan praktik politik akan selalu memperoleh pembenaran UUD melalui penggantian tersebut. Kita akan kehilangan norma-norma dasar negara. Ini berbahaya karena kita kehilangan pedoman. Jika setiap generasi boleh mengganti kesepakatan awal pendirian negara, maka kita seperti membangun rumah pasir yang tidak kunjung selesai. UUD ‘45 bukan sekedar dokumen akademik, tapi ia adalah dokumen sejarah yang menjadi pondasi negara ini. Sinyalemen bahwa kembali ke UUD ‘45 itu keinginan tentara adalah tidak benar. Dwi Fungsi ABRI adalah praktik politik Orba seperti dwi fungsi (atau malah multi fungsi) polisi adalah praktik politik rezim Jokowi. Jika dwi fungsi ABRI itu adalah hasil tafsir Soeharto, banyak maladministrasi publik seperti dwi fungsi polisi adalah buah dari kesalahan tata kelola yang lahir dari UUD 2002. Benar sinyalemen Prof. Sri Edi Swasono bahwa deformasi besar-besaran kehidupan berbangsa dan bernegara adalah fitur orde reformasi yang paling nyata. Contoh mutakhir maladministrasi publik adalah bagaimana pemerintah ini memberikan HGB 160 tahun untuk menarik investor IKN. Kembali ke UUD 1945 adalah pertobatan dari kemurtadan dan kebastardan bangsa ini. Hingga itu terjadi, maka semua kehidupan berbangsa dan bernegara yang tercengkram bandit, bandar dan badut politik saat ini adalah ekspresi para munyuk yang terkutuk. Ngawi, 8 Oktober 2022. (*)