Bendera Palsu Demokrasi dan Riba
Tanpa kekuatan ekonomi, umnat tidak mungkin bisa membangun kekuatan politik.
Oleh: Daniel Mohammad Rosyid, Guru Besar ITS Surabaya, @ Rosyid College of Arts
DI tengah skandal Ferdy Sambo yang belum jelas akhirnya, kita dikejutkan dengan kekisruhan stadion Kanjuruhan yang telah menewaskan 131 korban meninggal, serta ratusan lainnya luka dan sakit akibat terinjak-injak sesama penonton, dan hipoksia serta gas air mata yang dilontarkan aparat keamanan.
Di tengah suasana berkabung nasional itu, perhatian kita segera tersedot pada deklarasi bacapres Anies Baswedan oleh Parpol Nasdem.
Dikabarkan bahwa deklarasi ini merupakan upaya pemimpin Nasdem Surya Paloh untuk melindungi Anies dari ancaman penangkapan Anies oleh KPK dalam kasus dugaan korupsi penyelenggaraan Formula-E.
Sementara itu sekelompok ummat Islam yang merindu tokoh nasional untuk memperbaiki nasib mereka dari intimidasi islamophobik rezim ini sedang kesengsem berat oleh sosok Anies Baswedan. Berpuluh kelompok sukarelawan dan penggemar Anies bermunculan untuk mendukungnya maju sebagai bacapres idaman mereka dalam Pilpres 2024.
Menilik rekam jejaknya, serta hasil polling elektabilitas para bacapres selama beberapa bulan terakhir, Anies muncul sebagai tokoh bacapres yang sangat populer mengungguli Ganjar Pranowo dan Prabowo Subianto dan beberapa tokoh lainnya.
Penting dicermati sinyalemen Mulyadi Tadampali dari FISIP UI bahwa sejak UUD 1945 diganti UUD 2002, adopsi ekonomi yang makin liberal kapitalistik membuat demokrasi Indonesia makin dikuasai oleh para bandit politik yang didukung logistiknya oleh para bandar politik, sementara hampir seluruh perangkat polhukam diawaki oleh para badut politik di DPR, MK, KPK dan KPU.
Aparat keamanan semakin menjadi alat kekuasaan yang makin brutal dan mematikan bukan bagi penjahat tapi bagi rakyat sipil biasa yang seharusnya justru dilindungi dan diayomi. Hukum makin tajam ke bawah, namun makin tumpul ke atas menghadapi para bandit, bandar dan badut politik itu.
Gaduh politik itu telah berhasil mengalihkan perhatian dan energi kita pada ancaman yang secara senyap senantiasa merongrong Republik ini yaitu ekonomi kapitalisme yang bertumpu pada ekonomi ribawi, yaitu ekonomi yang mengandalkan transaksi-transaksi pemerolehan laba secara tidak adil dan penuh tipu daya.
Riba bukan cuma soal bunga pinjaman, namun juga penggunaan luas uang kertas atau fiat money yang tidak memiliki nilai intrinsik apapun.
Pelarangan penggunaan dinar emas ataupun dirham perak dalam konstitusi IMF yang disepakati dalam pertemuan Bretton Woods pada 1944 telah mendorong banyak negara yang baru merdeka sejak PD II untuk mencetak uang kertas mereka masing-masing, lalu dipaksa menerima USDollar sebagai alat tukar dalam perdagangan antar-negara.
Kemudian, sebagai negara pemenang perang, melalui keputusan Presiden Nixon, AS pada 1971 secara sepihak melepaskan USDollar dari basis emas sehingga AS boleh mencetak USD out of thin air. Demikian itulah full fledged capitalism merampok kekayaan ummat manusia bagi segelintir elit ekonomi di planet ini.
Begitulah kapitalisme Barat telah menjadi instrumen penjajahan dan dominasi baru oleh Barat terhadap negara-negara yang baru merdeka itu. Baru dalam beberapa tahun terakhir ini saja, baik China maupun Rusia mulai melawan dominasi US Dollar dengan Yuan dan Rubel dalam perdagangan dunia ini.
Keruntuhan USSR pada awal 1990an telah didaku (claimed) sebagai penanda kemenangan kapitalisme melawan komunisme. Oleh Francis Fukuyama ini disebut sebagai The End of History and the Last Man (1992). Namun dunia yang sejak itu makin didominasi kapitalisme berkali-kali mengalami krisis serta peperangan, sementara ketimpangan serta kemiskinan tetap persisten berkepajangan.
Konflik Rusia vs Ukraina, dan AS vs China yang terjadi saat ini adalah bukti yang tak terbantahkan bahwa kapitalisme telah gagal membuktikan janji-janjinya tentang kemakmuran dan keadilan bagi semua.
Fareed Zakarya telah meramalkan akhir dari kejayaan AS dalam the Post-American World (2008). Ini dikonfirmasi kemudian oleh Emanual Macron sesaat setelah kemenangannya dalam Pilpres Perancis 2022 bahwa Barat telah kehilangan imajinasi politiknya.
Ketergantungan Eropa kepada AS dengan memusuhi Rusia tetangga dekatnya sendiri adalah geostrategic blunder. Kini Eropa kelimpungan dihantam krisis energi dan pangan yang serius akibat penghentian pasokan gas Rusia dan gandum Ukraina. Setelah pandemi Covid-19 usai, Dunia kini memasuki krisis eksistensial yang lebih besar akibat keruntuhan lingkungan, ancaman perang nuklir, dan resesi besar ekonomi global.
Sementara itu ummat Islam Indonesia sendiri masih saja ikut tergoda untuk mempertaruhkan nasibnya pada Pilpres 2024 dengan satu kepercayaan bahwa dengan kemenangan politik (berkuasa), ummat Islam boleh berjaya secara ekonomi.
Sejak pemisahan Bank Indonesia dari Pemerintah RI meniru the Fed terpisah dari US Government, fakta sejarah menunjukkan bahwa ritual politik yang disebut Pemilu adalah sebuah operasi bendera palsu sekaligus instrumen legitimasi untuk mempertahankan ekonomi ribawi yang dikuasai para bandar politik yang secara ajeg menggerogoti kekuatan ekonomi ummat dan memperjongoskannya.
Tanpa kekuatan ekonomi, umnat tidak mungkin bisa membangun kekuatan politik.
Menolak riba dengan meninggalkannya adalah aksi politik yang akan menusuk jantung kekuatan oligarki domestik dan global yang tiada henti mencengkram Republik lontong sayur ini.
Gunung Anyar, 11 Oktober 2022. (*)