Bola Panas BBM: Tunggu Sidang Rakyat!

Tamsil Linrung, Wakil Ketua MPR Terpilih/Anggota DPD RI

Jika tidak diredam dengan menarik ulang kebijakan kenaikan harga BBM, implikasinya bisa mengganggu stabilitas nasional. Sesuatu yang tidak bisa dicegah karena menyangkut hak asasi rakyat.

Oleh: Tamsil Linrung, Wakil Ketua MPR Terpilih/Anggota DPD RI

KENAIKAN harga Bahan Bakar Minyak (BBM) yang dipaksakan saat situasi ekonomi rakyat paceklik, lagi-lagi membuktikan betapa lemahnya kapasitas pemerintah mengelola keuangan negara.

Pemerintah tidak memiliki komitmen keberpihakan kepada rakyat. APBN superjumbo yang terus bertambah saban tahun, tak diimbangi dengan kemampuan mendistribusikan kesejahteraan.

Menaikkan harga BBM dengan alasan membenani APBN jelas merupakan argumen fatal. Padahal, rakyat yang menggunakan BBM tersebut terbukti berkontribusi memompa denyut ekonomi dalam skala yang masif.

Data Badan Pusat Statistik (BPS) menyebutkan 52,9% pertumbuhan ekonomi bersumber dari konsumsi rumah tangga. Termasuk terdorong oleh kelompok masyarakat menengah bawah.

Maka keputusan mengerek harga bensin dipastikan berefek ganda. Inflasi gila-gilaan di depan mata. Kenaikan harga BBM sudah disahuti dengan kenaikan biaya logistik, ongkos transportasi, hingga kenaikan harga sembako. Ujungnya bisa ditebak. Angka kemiskinan yang meroket sulit dihindari.

Kita bertanya-tanya, dicampakkan kemana ideologi ekonomi Pancasila yang jelas-jelas memerintahkan agar mengarus-utamakan kepentingan rakyat di atas agenda-agenda politik temporer? Kenaikan harga BBM adalah potret ideologi yang salah arah.

Diperparah lagi pada saat yang sama, alokasi anggaran digelontorkan untuk proyek-proyek yang punya potensi mangkrak dan bermasalah. Seperti kereta cepat Jakarta-Bandung dan Ibu Kota Negara.

Seperti biasa, setiap kali ada kebijakan yang menuai penolakan rakyat, aneka argumen selalu dilontarkan pemerintah. Dijadikan narasi pembenar menopang kenaikan harga BBM. Lantas, buzzer, pengamat dan juga media didikte untuk menguatkan narasi itu.

Namun, apapun argumentasinya, sepanjang kenaikan BBM tidak dibarengi pembukaan lapangan kerja memadai, sepanjang itu pula akan berdampak serius. Kenaikan BBM tidak sebatas harga yang melonjak, tetapi tentang kesejahteraan atau daya beli masyarakat.

Artinya, ini bukan hanya perkara BBM semata. Ini tentang ketahanan ekonomi rakyat melawan serangan melambungnya harga-harga kebutuhan. Pada tahun ini saja, sebelum BBM naik, nilai Pajak Pertambahan Nilai (PPN), harga elpiji dan tarif listrik non subsidi telah mendahului. Itu belum termasuk geliat harga minyak goreng akibat ulah oligarki ekonomi.

Kondisi itu pura-pura tidak disadari oleh pemerintah. Bahkan, Presiden Joko Widodo dengan enteng membandingkan harga BBM Indonesia dengan Jerman, Singapura dan Thailand, tanpa membandingkan daya beli masyarakatnya.

Sekali lagi, problem kenaikan BBM ada pada kesejahteraan dan daya beli dari masyarakat. Alih-alih mengatasi sumber persoalan, Pemerintah mengucurkan Bantuan Langsung Tunai (BLT) seperti yang sudah-sudah. Padahal, BLT yang diambil dari duit subsidi BBM itu tidak menjamin naiknya daya beli mereka. Terlebih lagi, karena sulit menentukan imbas inflasi sebagai efek multiplier kenaikan BBM terhadap produk lainnya.

Kalau pemerintah serius mencari solusi, sebenarnya banyak jalan yang bisa diterabas. Misalnya, hentikan saja mega proyek Ibu Kota Baru berbiaya superjumbo nan ambisius itu. Juga stop proyek-proyek yang berpotensi merugikan negera seperti Kereta Cepat Jakarta Bandung. Hapus gaji pensiun pejabat negara, termasuk anggota parlemen.

Bersamaan dengan itu, harus ada upaya membuat keseimbangan primer hingga nol yang secara otomatis berimplikasi pada pengurangan utang luar negeri.

Setiap tahun pemerintah dipaksa menyisihkan Rp805 triliun duit APBN untuk membayar utang. Rinciannya, Rp400 triliun untuk membayar cicilan dan Rp405 triliun untuk membayar bunga.

Utang inilah yang nyata-nyata membebani APBN, bukan subsidi yang nota bene adalah hak rakyat dan memjadi kewajiban konstitusional yang negara harus tunaikan, bukan pula duit pensiun Pegawai Negeri Sipil.

Gigihnya pemerintah menambah utang dan mempertahankan proyek-proyek kontroversial menunjukkan ketidak-berpihakannya kepada rakyat. Apalagi, dengan narasi Subsidi sebagai beban APBN dan seolah olah menjadi beban negara.

Sinyalemen itu muncul dari sanggahan sejumlah pengamat terhadap harga keekonomian BBM yang dinilai terlalu tinggi. Juga muncul dari para ekonom yang menyatakan, nilai subsidi BBM Rp502 triliun sebagaimana dinyatakan Jokowi adalah tidak benar. Nilai itu adalah akumulasi beberapa subsidi energi. Bukan subsidi BBM saja.

Atas sanggahan itu, ada kecendrungan rakyatlah yang dipaksa memeras keringat membayar gunungan utang itu. Caranya, ya dengan menaikkan harga agar diperoleh margin lebih besar.

Sementara itu, duit utang yang sebagian dipakai membangun infrastruktur, nyatanya ada yang tidak tepat sasaran, ada pula yang berpotensi merugi. Dan kita tidak pernah menagih tanggungjawabnya.

Bagi masyarakat, matematika di atas mungkin terlalu rumit. Urusan mereka sederhana, yakni bagaimana agar dapur tetap mengepul sehingga aktivitas bisa berjalan normal. Kalau urusan perut ini terganggu, arahnya tentu bisa kemana-mana. Apalagi eskalasi gelombang demonstrasi terus membesar.

Di daerah, pengadangan truk-truk tangki BBM dan penutupan jalan telah dilakukan mahasiswa. Demikian pula aksi mogok yang dilakukan oleh kelompok-kelompok buruh.

Jika tidak diredam dengan menarik ulang kebijakan kenaikan harga BBM, implikasinya bisa mengganggu stabilitas nasional. Sesuatu yang tidak bisa dicegah karena menyangkut hak asasi rakyat.

Kini bola panas di tangan Presiden. Apakah membiarkan bara penolakan itu terus membesar, atau menerima tuntutan rakyat dan mahasiswa menurunkan kembali harga BBM?

Kita tunggu “Sidang Rakyat” pada Kamis, 20 Oktober 2022, pekan depan. (*)

435

Related Post