OPINI
Indonesia Sudah Busuk dari Dalam
Oleh: Sutoyo Abadi, Koordinator Kajian Politik Merah Putih Kondisi seperti ini tinggal terpulang pada pemilik kedaulatan negara, yaitu rakyat sendiri. Selamatkan Indonesia, It\'s now or never .. Tomorrow will be to late (sekarang atau tidak pernah – besok atau semua terlambat). FABEL Aesop mengatakan: “mempersiapkan diri setelah bahaya datang adalah sia-sia”. Indonesia kembali ke alam penjajahan ekonomi dan politik, itu bukan omong kosong. Ini terlihat dengan terang benderang kalau dilihat dari tapak-tapak proses historisnya sampai Indonesia tidak bisa lagi berkutik untuk mandiri di bidang ekonomi dan politik, menyerah kepada Oligarki. Semua sudah jatuh dan lumpuh dalam kendali oligarki. Akibat pemimpin negara ini tidak hati-hati dan semua tenggelam dalam alam hedonis dan kering menjaga Nusantara ini sesuai amanah UUD 1945 asli, khususnya tujuan bernegara sebagaimana ada dalam pembukaan UUD 45. Ancaman kebijakan China yang sejak lama ingin menjadikan imperium yang meliputi ekonomi, budaya dan politik dilihat hanya sebelah mata. Semua pintu dibuka oleh Presiden Joko Widodo, bahkan oligarki diberi karpet merah untuk leluasa mengacak-acak Indonesia. Memang tidak semua kejadian mutlak karena ulah Presiden Jokowi, karena ada peristiwa yang mendahuluinya. Pada masa Presiden Soekarno, ketika dikeluarkannya Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 1959, isinya melarang mereka berdagang di daerah-daerah di bawah tingkat kabupaten. Semua pedagang eceran China harus menutup usahanya di pedesaan. Ratusan ribu WNA dipulangkan ke negeri leluhur. Masa Presiden Soeharto, diterapkan kebijakan pokok warga asing dalam proses asimilasi terutama mencegah kemungkinan terjadinya kehidupan China menjadi eksklusif rasial. Masa Presiden BJ Habibie terjadi kejadian fatal dan sangat penyakitkan ketika Pribumi sedang terus terkena gempuran, keluarlah Instruksi Presiden Nomor 26 Tahun 1998 tentang Penghentian Penggunaan Istilah Pribumi dan Non Pribumi. Sebuah Keputusan yang menghilangkan akar sejarah terbentuknya NKRI. Beruntun pada masa Presiden Abdurrahman Wahid alias Gusdur, Megawati Soekarnoputri, dan Susilo Bambang Yudhoyono, lahir beberapa kebijakan, oligarki mulai menemukan bentuk dan tempat pijakan untuk mewujudkan Indonesia sebagai imperium jajahannya. Lahirnya Keputusan Presiden Nomor 6/2000, yang memberikan warga China kebebasan melaksanakan ritual keagamaan, tradisi, dan budaya kepadanya. Lahir keputusan Presiden Nomor 19 Tahun 2002, hari Imlek menjadi hari libur Nasional dan kebijakan yang isinya “kita tidak boleh menyebut China diganti Tionghoa atau komunitas Tionghoa. Sampai pada era ini oligarki masih tertutup masuk untuk intervensi dalam menentukan kebijakan negara. Bunuh diri atau pembusukan dari dalam benar-benar terjadi di era Presiden Jokowi saat ini. Indonesia masuk dalam skenario taktik dan strategi RRC dalam skema program traktat perdagangan yang dikenal dengan CAFTA (China - ASEAN Free Trade Area), untuk menciptakan Indonesia dalam kendali sesuai kepentingan ekonomi, budaya, dan politik China. Saat ini kita kenal dengan strategi dengan nama One Belt One Road (OBOR). China memberi hutang dan menawarkan investasi kepada Indonesia bukan hanya bermotif ekonomi tapi jelas ada motif politik ketergantungan Indonesia kepada China. Kecelakaan ini sudah masuk pada titik nadzir. Pasal 6 (1) UUD 1945 yang semula berbunyi: “Presiden ialah orang Indonesia Asli, diubah. Selangkah lagi target warga China harus bisa jadi Presiden Indonesia. Mereka sudah berhasil mengubah psl 6 (1) UUD 45 adalah prestasi gemilang sebagai pintu masuk China sebagai penguasa di Indonesia. Lengkap sudah instrumen pondasi oligarki (China) untuk mengibarkan bendera sebagai tanda Indonesia sudah jatuh dalam penjajahan baru oleh oligarki (China). Sangat mengejutkan laporan Bank Dunia pada 15 Desember 2015, sebanyak 74 persen tanah di Indonesia dikuasai oleh 0,2 persen penduduk ini pemilikan tanah paling ekstrim di dunia, (berkaca pengalaman di Afrika Selatan, 5 persen penduduk kulit putih menguasai 50 persen tanah, negaranya bubar). Pembusukan dari dalam dan runtuhnya negara Indonesia sudah di depan mata. Terlihat masih normal tetapi sesungguhnya negara ini tinggal menunggu roboh dan kehancurannya. Sun Yat Sen pernah mengatakan; Bangsa Indonesia adalah bangsa yang tidak punya keinginan untuk membebasklan diri dari penindasan ibarat “a sheet of loose sand”. Bagaikan pasir yang meluruk dan rapuh. Tiada keteguhan (sama sekali), sehingga mudah ditiup ke mana-mana. Kondisi seperti ini tinggal terpulang pada pemilik kedaulatan negara, yaitu rakyat sendiri. Selamatkan Indonesia, It\'s now or never .. Tomorrow will be to late (sekarang atau tidak pernah – besok atau semua terlambat). Anomali ini harus diperbaiki: Aut non tentaris, aut perfice (laksanakan hingga tuntas atau jangan mengupayakan sama sekali). Diam tertindas atau bangkit melawan. (*)
Perjuangan AG Pringgodigdo
“Sesungguhnya orang-orang yang beriman itu hanyalah orang-orang yang percaya kepada Allah dan Rasul-Nya, kemudian tidak ragu-ragu, dan mereka berjuang (berjihad) dengan harta dan jiwanya pada jalan Allah. Mereka itulah orang-orang yang benar”. (QS 49:15) Oleh: Prof. Dr. H. Muhammad Chirzin, MAg, Guru Besar UIN Sunan Kalijaga PROFESOR Mr. Abdoel Gaffar Pringgodigdo adalah mantan Menteri Kehakiman Indonesia. Lahir di Bojonegoro, 21 Agustus 1904, dan meninggal dunia pada 1988. Aktivis Partai Masyumi. Pendidikan terakhir Rijksuniversiteit Leiden. Sejarah Kementerian Sekretariat Negara Republik Indonesia jelas tidak bisa dipisahkan dari sosok Abdoel Gaffar Pringgodigdo. Dia adalah putra dari RMAA Koesoemohadiningrat dan RA Windrati Notomidjojo. Setelah dua tahun menuntut ilmu di sekolah rakyat, dia belajar di Europeeche Lagore School dari tahun 1911 hingga 1918, lalu di Hogere Burger School Surabaya. Lulus pada tahun 1923, dia berangkat ke Leiden, Belanda, untuk belajar di Universitas Leiden, dan lulus pada 1927 sebagai sarjana hukum. Saat kembali ke Indonesia, Pringgodigdo mendapat pekerjaan sebagai juru tulis, kemudian menjadi Wedana Karang Kobar di bagian timur Kabupaten Purbalingga. Menjelang akhir pendudukan Indonesia oleh Jepang, Pringgodigdo menjadi anggota Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI), sebagai sekretaris Radjiman Wedyodiningrat, pemimpin BPUPKI yang bertugas merumuskan naskah Undang-Undang Dasar 1945. Dia juga menjadi anggota Panitia Lima yang bertanggung jawab atas perumusan Pancasila. Setelah kemerdekaan Indonesia, Pringgodigdo bertugas sebagai Sekretaris Negara di bawah Presiden Soekarno. Dia menjabat pada 19 Agustus 1945 sampai dengan 14 November 1945. Pringgodigdo di urutan pertama daftar menteri sekretaris negara Indonesia. Sesuai tugasnya membantu presiden, Pringgodigdo menjalankan tugas sebagai penulis dalam sidang-sidang kabinet, menandatangani berbagai undang-undang dan peraturan pemerintah, serta melaksanakan tugas-tugas protokol. Saat menjalankan tugas sebagai Sekretaris Negara, dia dibantu Mr. Ratmoko sebagai Wakil Sekretaris I dan Mr. Iskandar Gondowardoyo sebagai Wakil Sekretaris II. Dia pernah menjalankan tugas di Istana Kepresidenan di Yogyakarta atau Istana Yogyakarta - Gedung Agung. Sebab, ketika Belanda melakukan agresi militer pada 3 Januari 1946 untuk menduduki kembali bekas jajahannya, pemerintahan Republik Indonesia terpaksa mengungsi ke Yogyakarta. Sejak Juni hingga September 1948, Pringgodigdo bertugas sebagai komisaris untuk Sumatera. Ketika Agresi Militer Belanda II pada bulan Desember 1948, Pringgodigdo ditangkap dan diasingkan ke Bangka bersama para pemimpin Indonesia lain. Dia dan para pemimpin Indonesia lainnya ditempatkan di salah satu kamar yang dibuat khusus untuk para tokoh yang diasingkan. Selanjutnya, Januari hingga 6 September 1950, dia bertugas sebagai Menteri Kehakiman, mewakili Masyumi. Dia menjadi menteri kehakiman ke-4 sepanjang sejarah Republik Indonesia. Setelah pensiun dari politik, Pringgodigdo menjadi pengajar. Dia mulai sebagai dosen besar luar biasa di Universitas Gadjah Mada, mengajar ilmu hukum. Lalu pindah ke Surabaya dan mengajar di Universitas Airlangga, hingga akhirnya menjadi dekan pertama Fakultas Hukum Airlangga, dari tahun 1953 hingga 1954. Dia lalu menjabat sebagai Rektor Universitas Airlangga dari November 1954 hingga September 1961. Setelah bertugas sebagai Rektor Universitas Hasanuddin di Ujung Pandang, dia kembali ke Surabaya dan mengajar di IKIP Surabaya. Dia mendirikan Sekolah Tinggi Ilmu Hukum bersama Kho Siok Hie dan Oey Pek. Pada tahun 1971 dia menjadi anggota Dewan Perwakilan Rakyat. Suami dari Nawang Hindarti Joyo Adiningrat ini meninggal dunia pada tahun 1988. AG Pringgodigdo mencurahkan segala kemampuan untuk kemerdekaan Indonesia. Boleh dikata dia rela mengorbankan bandha, bahu, piker, lek perlu sak nyawane pisan. Bagi AG Pringgodigdo ilmu bukan untuk ilmu, tetapi untuk mengabdi kepada Allah swt dan berbakti pada negeri. AG Pringgodigdo adalah cendekiawan yang peduli. Dalam konteks keindonesiaan, sebagai aktivis Partai Masyumi, Pringgodigdo merepresentasikan sosok nasionalis religius yang mengusung nilai-nilai keindonesiaan dan keislaman sekaligus. Nilai kebangsaan dan keindonesiaan berlandaskan firman Allah swt dalam Al-Quran; “Hai manusia, Kami ciptakan kamu dari satu pasang laki-laki dan perempuan, dan Kami jadikan kamu beberapa bangsa dan suku, supaya kamu kenal-mengenal (bukan saling membenci). Sungguh, orang yang paling mulia di antara kamu dalam pandangan Allah ialah yang paling bertakwa. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal”. (QS 49:13) Adapun nilai keislaman berlandaskan firman Allah SWT dalam Al-Quran; “Sungguh agama pada Allah ialah Islam (tunduk pada kehendak-Nya). Mereka yang telah diberi Kitab tidak akan berselisih kecuali karena dengki satu sama lain, sesudah mereka beroleh ilmu. Siapa yang ingkar terhadap ayat-ayat Allah, sesungguhnya Allah sangat cepat dalam perhitungan”. (QS 3:19) Tidak berlebihan jika dikatakan bahwa sepak terjang AG Pringgodigdo adalah pengejawantahan firman-firman Allah SWT dalam Al-Quran, Katakanlah, “Jika bapak-bapakmu, anak-anakmu, saudara-saudaramu, istri-istrimu, kaum keluargamu, harta kekayaan yang kamu usahakan, perniagaan yang kamu khawatiri kerugiannya, dan tempat tinggal yang kamu sukai,- lebih kamu cintai daripada Allah dan Rasul-Nya dan dari berjihad di jalan-Nya, maka tunggulah sampai Allah mendatangkan keputusan-Nya.” Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang fasik”. (QS 9:24) “Sesungguhnya orang-orang yang beriman itu hanyalah orang-orang yang percaya kepada Allah dan Rasul-Nya, kemudian tidak ragu-ragu, dan mereka berjuang (berjihad) dengan harta dan jiwanya pada jalan Allah. Mereka itulah orang-orang yang benar”. (QS 49:15) “Wahai orang-orang beriman, apabila dikatakan kepadamu, “Berlapang-lapanglah dalam majlis,” maka lapangkanlah, niscaya Allah akan memberi kelapangan untukmu. Dan apabila dikatakan, “Berdirilah!” maka berdirilah, niscaya Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman di antara kamu dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat. Dan Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan”. (QS 58:11) Selamat Berjuang! (*)
Menunggu Rekonstruksi Pembunuhan Letkol Mubin
Oleh M Rizal Fadillah - Pemerhati Politik dan Kebangsaan Rencana rekonstruksi pembunuhan sadis Alm. Letkol Purn H Muhammad Mubin hari Jum\'at ini nampaknya ditunda menjadi hari Senin 5 September 2022. Pengacara keluarga korban Muchtar Effendi, SH dan Tim menyatakan kemungkinan tersebut setelah keluarga menerima informasi dari pihak Kepolisian. Rekonstruksi di TKP itu penting mengingat adanya kebohongan pada penyidikan di Polsek Lembang sewaktu awal penangkapan. Berita Acara terjadinya pukul memukul, peludahan oleh korban, pelaku yang sedang memasak, \"tidak ada niat membunuh\" ataupun jumlah tusukan pisau ternyata berubah setelah kasus diambil alih Polda Jabar. Delik Penganiayaan (351 ayat 3 KUHP) pun meningkat menjadi Pembunuhan Berencana (340 KUHP). Kesalahan pemeriksaan di tingkat Polsek dapat menjadi indikasi terjadinya \"obstruction of justice\" oleh karenanya perlu pemeriksaan seksama. Sebagaimana dalam kasus Duren Tiga yang diawali dengan rekayasa cerita namun berubah kemudiannya. 97 aparat Kepolisian diperiksa dan di antaranya ditetapkan sebagai tersangka. Rekostruksi hari Senin di TKP Lembang ini diharapkan dapat menunjukkan dan mengungkap sekurangnya lima hal, yaitu : Pertama, bahwa di samping Henry Hernando pelaku pembunuhan, juga apakah benar ayah tersangka Sutikno berada dekat dengan Henry dan ia tidak mencegah dilakukan penusukan membabi buta itu. Ayah tersangka patut ditarik sebagai tersangka pula berdasarkan Pasal 55 dan 56 KUHP. Kedua, dimana posisi Djamil pegawai toko milik tersangka yang konon terlibat percekcokan dengan korban Alm Letkol Pur Mubin sebelum terjadinya pembunuhan ? Sebagaimana Sutikno maka Djamil semestinya ditarik sebagai tersangka jika keberadaannya masih dekat dengan pelaku pembunuhan, apalagi terbukti turut membantu. Ketiga, penyiapan pisau yang digunakan untuk menusuk jenis apa, pisau dapur, pisau komando, pisau lipat atau lainnya ? Demikian pula bagaimana penusukan dilakukan, hanya lima atau bertubi tubi melebihi 10 tikaman ? Untuk kepastian semestinya dilakukan otopsi pada jenazah almarhum. Tikaman bertubi-tubi itu menjadi petunjuk niat kuat untuk membunuh karena dendam, benci atau ketakutan diketahui sesuatu. Keempat, CCTV yang konon telah dibuka adalah yang ada di luar, belum diketahui CCTV yang ada di dalam toko atau gudang atau rumah. Hal ini penting mengingat Hernando itu saat itu sedang bersama-sama dengan ayahnya Sutikno di dalam. Apakah nampak ada perencanaan di ruang dalam toko atau gudang antara keduanya untuk menyiapkan pisau lalu membunuh Letkol TNI H Muhammad Mubin? Kelima, dalam rekonstruksi semestinya akan terlihat keberadaan anak kecil bernama Muhammad (6 tahun) yang diantar Letkol Mubin ke sekolah. Jika benar ia berada di sebelah korban di dalam mobil, maka betapa tega dan sadisnya Henry Hernando alias Aseng yang ditampilkan di Polsek sebagai \"Muslim\" dan \"Sunda\" itu melakukan pembunuhan berencana di depan seorang anak kecil. Semoga rekonstruksi yang dilakukan Polda Jabar ini dapat berjalan transparan, disaksikan banyak pihak, serta dapat menguak sedikit demi sedikit misteri pembunuhan sadis dan \"aneh\" Henry Hernando atas almarhum seorang TNI mantan Dandim yang dikenal sederhana, baik dan menyayangi putera H Salim majikan tempatnya bekerja. Selalu mengajak bersama untuk shalat di Mushola. (*)
Pemaki dari Istana
Oleh Ady Amar Kolumnis MUNGKIN ini tulisan saya yang ketiga atau keempat berkenaan dengan Ali Mochtar Ngabalin, Tenaga Ahli Utama Kantor Staf Presiden. Apa istimewanya ia kok sampai harus ditulis beberapa kali. Istimewa atau tidak istimewa seseorang, itu bisa jadi ibrah untuk diteladani atau sebaliknya. Ia biasa dipanggil dengan Ali, atau Ngabalin nama yang lebih populer. Maka memanggilnya dengan Ngabalin, orang bisa tahu bahwa itu tentangnya. Cuma ia satu-satunya \"ngabalin\", dan bercirikan selalu memakai sorban di kepala. Ngabalin ngantor di istana negara. Sehari-hari ia berdekatan dengan Presiden Joko Widodo (Jokowi). Berdekatan itu bukan berarti ia orang paling dekat dengan Presiden Jokowi. Ada berpuluh bahkan mungkin beratus orang bekerja di sana. Karenanya, belum tentu sepekan sekali ia bisa jumpa wujud presiden di istana. Apalagi Jokowi termasuk presiden yang lebih suka \"jalan-jalan\" dibanding stay di kantornya. Sedekat apa Ngabalin dengan Presiden Jokowi, tidak ada yang tahu. Tapi keakraban selalu ditampakkan Ngabalin jika berdekatan dengan Presiden Jokowi. Tak segan ia membungkuk-bungkuk, yang dimaksudkan untuk menghormat. Ngabalin seperti tampak ingin selalu menyenangkan Jokowi. Hal wajar, jika ia masih ingin berlama-lama di istana. Ngabalin bisa disebut penghuni istana paling keras menyerang mereka yang mencoba mengkritik kebijakan Presiden Jokowi. Dalam narasi lain bisa disebut, ia tampak paling menonjol membela presiden. Media televisi acap mengundangnya sebagai nara sumber mewakili istana. Dihadapkan pada para pengkritik kebijakan istana. Bahkan media televisi tertentu, seperti wajib mengundang Ngabalin untuk meramaikan talk show-nya. Konon, rating televisi naik kalau salah satu nara sumbernya itu Ngabalin. Padahal apa yang disampaikan Ngabalin dalam pembelaannya amat berlebihan. Ia sulit bisa mendengar lawan bicara mengemukakan pendapatnya. Ngabalin main potong saja dan cenderung menafikan penjelasan lawan debatnya. Sulit bisa melihat Ngabalin bicara dengan intonasi landai apalagi sejuk. Jika itu yang terjadi, maka seperti bukan Ngabalin saja yang sedang berbicara. Ngabalin seakan dihadirkan memang untuk meledak-ledak. Jika berbicara wajib ngegas. Intonasi terus dibuat menaik meninggi, bahkan keluar dari keadaban dalam ruang diskusi. Maka orang bisa membuat definisi tentang Ngabalin: keras dan cenderung ngotot dengan mata melotot dan jari telunjuk seolah \"ditembakkan\" pada lawan debatnya dalam berargumen. Ngabalin sulit bisa dikendalikan moderator. Maka, gaya Ngabalin boleh juga disebut Ngabalinisme. Itu istilah yang bisa dipakai untuk menyebut tipe manusia, yang jika beradu argumen memakai atau menyerupai gaya Ngabalin. Maka, sebutan ngabalinisme pantas disematkan padanya. Tapi ada pula yang menjuluki Ngabalin dengan \"Pemaki dari Istana\". Adalah Bung Said Didu yang menarasikan pemaki dari istana itu. Sebuah narasi yang pas untuk menggambarkan seorang Ngabalin. Karena hanya Ngabalin-lah satu-satunya orang istana yang punya sikap temperamental di atas rata-rata. Sikap yang jauh berkebalikan dari Presiden Jokowi, yang terbilang santai dan murah senyum. Maka jika lalu orang bertanya, mana mungkin sikap bertolak belakang itu bisa disatukan hidup dalam harmoni \"rumah\" yang sama. Pertanyaan itu tidak salah diajukan, yang pasti penuh keheranan. Tapi nyatanya bisa tuh. Setidaknya sikap kontradiktif bisa bersatu, dan itu ditampakkan oleh perangai Ngabalin dan Jokowi. Dalam ilmu kepentingan, memang tidak ada yang tidak bisa disatukan. Apalagi menjelang Pilpres 2024, adegan tidak biasa pun ditampilkan tanpa merasa jengah. Tiba-tiba muncul mereka yang menggadang-gadang diri sendiri--bukan digadang oleh kelompok atau partai yang punya kans mencalonkan pasangan capres/cawapres--nekat ingin maju di Pilpres 2024. Semata karena punya cuan atau modal yang cukup, dan dukungan oligarki. Tapi sudahlah, mari fokus saja pada Ngabalin. Sikap temperamental seorang Ngabalin, bisa jadi itu memang dibutuhkan istana. Dibuat seakan saling melengkapi. Tak salah jika Said Didu menyebutnya dengan pemaki dari istana. Istilah yang diilhami oleh dialog Catatan Demokrasi tvOne, dengan topik \"Perombakan Polisi\". Ngabalin tampil secara daring, atau tidak hadir di studio. Ia hanya muncul wajah dan suaranya. Meski demikian, suara dan lagaknya tetap Ngabalin yang meledak-ledak. Lawan debatnya adalah eks pengacara Bharada Richard Eliezer, Deolipa Yumar. Juga di situ ada Panda Nababan, mantan anggota Komisi III DPR-RI, dan Benny Mamoto, Kompolnas. Jalannya perdebatan, bukan lagi seru, tapi keluar dari norma kepatutan. Itu antara Deolipa vs Ngabalin. Silahkan jika ingin mencari jejak digitalnya. Menjadi tidaklah penting jalannya perdebatan itu diurai di sini. Perdebatan yang lalu memunculkan narasi dari Said Didu, yang dituliskan dalam Twitter pribadinya, Rabu (31Agustus). \"Hindari berdebat dengan pemaki dari istana.\" Menghindar untuk tidak berdebat dengan pemaki dari istana, itu bisa jadi cara ampuh untuk menyudahi tingkah polah seorang Ali Mochtar Ngabalin. Itu agar tontonan perdebatan di televisi bisa hadir sebagaimana yang lalu-lalu. Perdebatan yang saling menghormati lawan dalam berargumentasi. Dan, Ngabalinisme biarlah berhenti pada tulisan sederhana ini. (*)
Tiga Periode Solusi Kepanikan dan Ketakutan
Oleh Syafril Sjofyan - Pemerhati Kebijakan Publik, Sekjen FKP2B, Aktivis Pergerakan 77-78 Orkestrasi 3 Periode timbul tenggelam. Seiring dengan sikap Presiden Jokowi. Sebelumnya Jokowi berkata, bahwa mereka ingin menjilat dan menampar muka saya. Padam sebentar. Muncul lagi setelah Barisan Ketua-Ketua Partai Golkar, PAN dan PKB berorketrasi untuk memperpanjang masa jabatan Jokowi. Sepertinya dibiarkan. Mereka para petinggi partai “menjilat” dan “menampar” muka. Netijen heboh dan “menyerang” para petinggi tersebut. Akhirnya mereka lempar handuk. Menyerah. Melemparkan ke muka Luhut Binsar Panjaitan, sang Menteri yang serba bisa dengan bejibun jabatan dari sang Presiden. Untung LBP demikian beliau dipanggil, sportif mengakui dia yang “merancang”. Sunyi kembali. Jokowi hanya tersenyum tanpa kata. Tidak berhenti isu tersebut. Mungkin karena Jokowi “tidak marah” terhadap ketiga petinggi partai yang “menjilat” dan “menampar” mukanya. Malah semakin mesra. Salah satunya diangkat jadi Menteri. Jadilah PAN berbahagia. Jabatan mentereng didapat pula. Paling tidak untuk sekadar dapat hadiah persentase naik pada pileg 2024. Berharap tidak seperti hasil survei. Terlempar dari Senayan. Tidak mencapai ambang batas parlemen. Secara liar isu 3 periode dan perpanjangan masa jabatan bisa diartikan lain oleh masyarakat. Berasal dari perintah atau keinginan Jokowi lewat Menteri “orang dekatnya” Presiden. Menko Maritim LPB, Menteri Investasi Bahlil, Wakil Menteri Kemendes Arie Setiadi, yang juga adalah petinggi relawan Jokowi (Projo) Heh kalian para pongawa, mari kita bermain sinetron kalian terus mainkan isu tersebut, saya akan katakan itu sekadar wacana dialam demokrasi, dan saya tetap akan menyatakan menolak 3 periode. Sehingga saya tetap bercitra bagus, seakan 2 periode sukses dan saya tetap dibutuhkan serta dianggap hebat oleh rakyat yang tidak paham. Oke. Persatuan kepala desa bisa dimainkan. Relawan pasti bisa. Ojo kesusu mendukung yang lain. Berubahlah jadi seolah rakyat yang bersuara. Musyawarah Rakyat. Kesannya kekuatan rakyat yang mendukung. Jika memang skenario tersebut dimainkan. Tujuannya apa. Mari dibedah. Secara Konsitusi 3 periode tersebut sangat terlarang. Merubahnya butuh kekuatan politik. Presiden Jokowi sendiri cuma petugas partai. Tidak punya kekuatan untuk menjalankan mesin partai secara langsung. Periode kekuasaan akan berakhir tidak lama lagi. Sangat manusiawi keinginan untuk tetap tegak dan tetap terpandang untuk bisa punya nilai tawar (bargaining) dengan Presiden berikutnya. Untuk nanti tidak diganggu dan digugat ataupun dihentikan proyek impian. Juga tetap diperhitungkan oleh petinggi-tinggi partai. Walau kekuatan sebenarnya masih kabur tidak lagi riil dan militan. Bisa berubah. Baik “asosiasi Kepala Desa” maupun Relawan akan berpindah cepat ke majikan baru. Kepanikan dan ketakutan juga manusiawi, untuk tetap selamat ketika kekuasaan sudah berakhir. Banyak hal yang mungkin bisa menjadi sandungan. Ada kasus anak yang masih terpending oleh KPK. Aib tentang Lumbung Pangan. BUMN Karya yang punya utang akibat proyek infrastruktur yang jor-joran. Bisa Mangkrak. IKN walau sudah berupa UU. Tapi untuk tercipta tidaklah gampang. Jika Skenario Liar tetap dijalankan. Berakhir tidaklah husnul khotimah. (*)
Islamofobia
Marilah kita letakkan ego kita masing-masing. Karena kita semua tidak akan abadi hidup di dunia ini. Semua akan meninggalkan dunia ini. Semua akan dimintai pertanggungjawaban. Oleh: AA LaNyalla Mahmud Mattalitti, Ketua Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia PekAn lalu saya diundang di Kongres ke-2 Umat Islam Sumatera Utara, untuk menyampaikan pandangan terkait Islamofobia di Indonesia. Saya membuka paparan saya dengan melihat sejarah dan kontribusi Umat Islam dalam kemerdekaan Indonesia. Dimana tercatat dalam sejarah; Sangat besar. Bahkan saya katakan, umat Islam sejatinya adalah pemegang saham terbesar republik ini. Pada tahun 1916, jauh sebelum proklamasi kemerdekaan Indonesia, Haji Omar Said Tjokroaminoto, pendiri Syarikat Islam, secara terbuka di ruang publik menyampaikan perlunya Hindia Belanda (sebutan Indonesia saat itu, red) merdeka dan memiliki pemerintahan sendiri. Begitu pula para pendiri bangsa kita yang lain. Ada nama-nama ulama besar di dalamnya. Bahkan mereka juga yang terlibat aktif dalam perumusan Norma Hukum Tertinggi negara ini, yaitu Pancasila. Mereka juga terlibat aktif dalam BPUPKI dan Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia, hingga Menyusun Naskah Asli Undang-Undang Dasar 1945 dan Penjelasannya. Ada banyak nama. Sebut saja di antaranya; Ki Bagus Hadikusumo, Kasman Singodimedjo, Abdul Kahar Muzakir, KH Wahid Hasyim, Haji Agus Salim, Muhammad Yamin, dan lain-lain. Bahkan, dalam peristiwa mempertahankan Kemerdekaan, sejarah Indonesia tak terlepas dari Resolusi Jihad yang dikeluarkan Rois Akbar PBNU, Hadratus Syeikh Kiai Haji Hasyim Asy’ari di Surabaya pada 22 Oktober 1945. Sehingga meletuslah peristiwa 10 November 1945 yang dikenal sebagai hari Pahlawan di Kota Surabaya. Dimana teriakan atau pekik dari Bung Tomo, yaitu kalimat; Allahu Akbar, menjadi bahan bakar semangat para pejuang saat itu. Sehingga dapat disimpulkan, hampir semua aktor-aktor peristiwa pembebasan bangsa Indonesia dari penjajahan adalah mayoritas beragama Islam. Tentu, tanpa mengurangi peran besar dari tokoh-tokoh non-muslim yang juga tercatat dalam sejarah. Sehingga sangat tidak masuk akal bila belakangan ini Indonesia dilanda gejala terjadinya Islamophobia. Jadi pertanyaannya? Mengapa fenomena Islamophobia ini belakangan malah semakin menguat terjadi di Indonesia? Selain faktor Geopolitik Internasional, saya akan mencoba membedah faktor di dalam negeri. Menurut saya ada tiga persoalan mendasar di dalam negeri yang memicu meningkatnya Islamophobia di Indonesia. Pertama; karena kita sebagai bangsa telah terpolarisasi. Potensi konflik antar kelompok masyarakat sebenarnya terjadi sejak era kontestasi pemilihan Presiden dan Kepala Daerah secara langsung yang disertai dengan Ambang Batas pencalonan. Kita semua pasti mengenal istilah Presidential Threshold. Di sinilah akar masalahnya. Karena akibat aturan ambang batas inilah, pasangan calon yang dihasilkan terbukti sangat terbatas. Celakanya, dari dua kali Pemilihan Presiden, negara ini hanya mampu menghasilkan dua pasang calon, yang head to head. Sehingga dampaknya terjadi polarisasi masyarakat yang cukup tajam. Hal itu diperparah dengan semangat antar kelompok untuk selalu melakukan Anti-Thesa. Apakah itu dalam bentuk kalimat verbal, maupun simbol dan aksi. Ditambah lagi dengan pola komunikasi sebagian elit politik yang juga mengedepankan kegaduhan. Sehingga semakin lengkap pembelahan yang terjadi di masyarakat. Hingga puncaknya, anak bangsa ini secara tidak sadar membenturkan vis-à-vis Pancasila dengan Islam. Hanya karena semangat melakukan apapun yang bersifat Anti-Thesa. Padahal tidak satupun tesis yang bisa menjelaskan pertentangan antara Pancasila dengan Islam. Seolah tidak ada lagi ruang dialog dan tukar pikiran. Dan semakin menjadi lebih parah, ketika ruang-ruang dialog yang ada juga semakin dibatasi dan dipersekusi. Baik secara frontal oleh pressure group, maupun dibatasi secara resmi oleh institusi negara. Kita menyaksikan sweeping bendera, sweeping kaos, sweeping forum diskusi, pembubaran pengajian dan lain sebagainya. Sama sekali tidak mencerminkan kehidupan di negara demokrasi. Sehingga tidak heran, bila sejumlah lembaga internasional menyatakan bahwa indeks demokrasi di Indonesia mengalami kemunduran. Lalu muncul istilah kampret, cebong, kadrun, radikal dan lain sebagainya. Sungguh sangat tidak sehat untuk sebuah proses perjalanan politik sebuah bangsa. Faktor kedua adalah semangat membangun kebhinekaan dilakukan dengan kampanye Moderasi Agama yang kurang tepat sasaran. Seolah Agama harus secara massif dan dipaksa untuk dimoderatkan. Tetapi yang menjadi sasaran pembahasan selalu Islam. Islam seolah menjadi tertuduh sebagai penyebab kemunduran dalam hal kemampuan mengelola perbedaan dan keberagaman. Islam menjadi tertuduh dihuni oleh orang-orang yang memahami agama secara tekstual dan ekslusif. Narasi-narasi seperti ini secara tidak langsung justru memicu menguatnya Politik Identitas, sebagai reaksi alami dari bentuk ketidaksetujuan terhadap konsep Moderasi Agama yang dirasakan menyudutkan Islam. Faktor ketiga adalah Perubahan atas Naskah Asli Undang-Undang Dasar 1945 pada tahun 1999 hingga 2002 silam, yang telah mengubah 95 persen isi Pasal-Pasal di dalamnya, sehingga tidak nyambung lagi dengan Pancasila. Bahkan Penjelasan Undang-Undang Dasar 1945 naskah asli dihapus total. Sehingga Pasal-Pasal dalam Konstitusi baru tersebut justru menjabarkan Ideologi lain; yaitu Ideologi Individualisme dan Liberalisme. Karena itu tidak mengherankan jika belakangan ini Kapitalisme dan Sekulerisme semakin menguat di Indonesia. Inilah pangkal dari semua persoalan yang semakin membuat Indonesia karut marut karena penghilangan Pancasila sebagai Identitas Konstitusi dilakukan secara “malu-malu tapi mau”, atau “malu-malu kucing”. Termasuk perubahan Pasal 6 UUD 1945 naskah asli yang menyebutkan: Presiden ialah Orang Indonesia Asli telah diganti dengan menghapus kata ‘Asli’. Sehingga kita membuka peluang bagi para pendatang asing untuk menguasai tiga sektor strategis; yaitu kuasai perekonomiannya. Kuasai politiknya, dan terakhir, kuasai Presiden atau Wakil Presidennya. Dan Indonesia akan mengulang sejarah yang terjadi di Singapura di masa lalu. Karena itu, saat pertemuan Ketua Lembaga Negara dengan Presiden Joko Widodo pada hari Jumat 12 Agustus lalu, saya minta Presiden, selaku Kepala Negara untuk meratifikasi keputusan Perserikatan Bangsa-Bangsa yang menetapkan tanggal 15 Maret sebagai Hari Melawan Islamophobia. Saya minta Indonesia juga secara resmi menetapkan tanggal 15 Maret sebagai hari melawan Islamophobia. Karena jelas, Negara ini berdasar atas Ketuhanan Yang Maha Esa. Seperti tertulis di Pasal 29 Ayat 1 Konstitusi kita. Bahkan di Ayat 2 tertulis dengan sangat jelas; ‘Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu’. Makna dari kalimat Ayat 2 itu jelas, bahwa beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu dijamin negara. Artinya, kalau ada umat Islam yang menjalankan Sunnah Nabinya dengan memelihara jenggot, itu wajib dijamin oleh negara sebagai kemerdekaan atas pilihannya. Bukan malah distigma Teroris atau belakangan ini malah disebut Kadrun dan Radikal. Ini salah satu dari sekian banyak fenomena Islamofobia di Indonesia. Dan harus diingat, bahwa Pancasila menempatkan kalimat ‘Ketuhanan Yang Maha Esa’ di dalam Sila Pertama, sebagai payung hukum spirit teologis dan kosmologis dalam menjalankan negara ini. Sehingga sudah seharusnya dalam mengatur kehidupan rakyatnya, negara harus berpegang pada spirit Ketuhanan. Sehingga kebijakan apapun yang dibuat dan diputuskan, wajib diletakkan dalam kerangka etis dan moral serta spirit agama. Sehingga bila ada kebijakan yang hanya menguntungkan kelompok tertentu, dan merugikan kebanyakan rakyat. Apalagi membuat rakyat sengsara dan menderita, maka jelas, kebijakan tersebut telah melanggar kerangka etis dan moral serta spirit agama. Yang artinya kebijakan tersebut telah melanggar norma hukum tertinggi yaitu Pancasila. Jadi, bila disimpulkan, para pendiri bangsa ini sebenarnya sudah berpikir jauh ke depan. Dengan pikiran luhurnya, untuk menyiapkan negara ini sebagai negara yang berketuhanan. Sehingga mampu menjaga marwah rakyat Indonesia yang juga berketuhanan. Sehingga propaganda Islamofobia sudah seharusnya tidak bisa tumbuh subur di negeri ini. Sebagai umat yang memiliki andil besar lahirnya bangsa dan negara ini, maka sudah seharusnya Umat Islam kritis melihat dan mengamati arah perjalanan bangsa ini. Untuk itu, Umat Islam harus kritis terhadap sejumlah fenomena paradoksal yang terjadi di tengah-tengah kita. Baik itu soal pembangunan, hingga ketidakadilan ekonomi dan kemiskinan struktural akibat ketidakadilan tersebut. Pembangunan haruslah menjadi Pembangunan Indonesia. Bukan sekedar Pembangunan “di” Indonesia. Begitu pula Daulat Rakyat, tidak boleh digantikan menjadi Daulat Pasar. Karena Ekonomi harus disusun untuk kepentingan bersama. Bukan dibiarkan tersusun oleh mekanisme pasar. Oligarki Ekonomi yang semakin membesar, pasti menimbulkan ketidakadilan. Dan ketidakadilan menyumbang kemiskinan struktural. Dan ketidakadilan yang melampaui batas, adalah awal dari datangnya musibah dan bencana. Umat Islam juga harus kritis terhadap konsep dan kebijakan Pendidikan Nasional bangsa ini. Di mana mencerdaskan kehidupan bangsa, sesuai cita-cita negara ini, bukanlah sekedar mencerdaskan otak, tetapi mencerdaskan kehidupan. Yang artinya mencerdaskan kemanusiaan secara utuh. Termasuk moral dan akhlak. Jasmani dan rohani. Tanpa budi pekerti, tanpa nasionalisme, tanpa patriotisme dan tanpa ideologi serta ilmu agama, kita hanya akan menghasilkan generasi yang akan menjadi lawan kita di masa depan. Untuk itu kita harus kembali membuka sejarah. Membaca pemikiran-pemikiran luhur para pendiri bangsa. Membaca ulang Pancasila yang hari ini sudah ditinggalkan. Kita harus membaca kembali watak dasar dan DNA Asli Sistem Demokrasi bangsa ini. Dimana para pendiri bangsa telah sepakat menggunakan Sistem Syuro. Sistem yang sebenarnya diadopsi dari sistem yang sudah sangat dikenal dalam ajaran Islam. Yaitu kedaulatan rakyat yang diberikan kepada para hikmat yang duduk di Lembaga Tertinggi Negara sebagai penjelmaan dari seleruh elemen rakyat sebagai pemilik sah bangsa dan negara. Dimana di dalamnya bukan saja diisi oleh politisi dari Partai Politik. Tetapi juga ada Utusan dari seluruh Daerah dan Utusan Golongan-Golongan yang lengkap. Sehingga sistem ini adalah sistem yang berkecukupan. Tanpa ada yang ditinggalkan. Dan sistem yang paling sesuai untuk negara kepulauan dan negara yang super majemuk ini. Oleh karena itu saya sekarang berkampanye untuk menata ulang Indonesia demi menghadapi tantangan masa depan yang akan semakin berat. Kita harus kembali menjadi bangsa yang berdaulat, mandiri dan berdikari. Untuk itu kita harus kembali kepada Pancasila. Agar kita tidak menjadi bangsa yang durhaka kepada para pendiri bangsa. Agar kita tidak menjadi bangsa yang tercerabut dari akar bangsanya. Agar kita tidak menjadi bangsa yang tidak memiliki jati diri dan karakter. Saya mengajak semua elemen bangsa ini untuk berpikir dalam kerangka Negarawan. Marilah kita ingat pengorbanan para pejuang kemerdekaan yang darahnya meresap di bumi ini. Di tanah yang kita injak ini. Marilah kita satukan tekad untuk kembali kepada Undang-Undang Dasar 1945 naskah asli yang disusun oleh para pendiri bangsa. Untuk kemudian kita sempurnakan dengan cara yang benar, dengan cara adendum, sehingga tidak menghilangkan Pancasila sebagai staats fundamental norm. Undang-Undang Dasar 1945 naskah asli mutlak harus kita sempurnakan. Agar kita tidak mengulang penyimpangan praktek yang terjadi di era Orde Lama dan Orde Baru. Karena kita harus selalu belajar dari sejarah. Marilah kita letakkan ego kita masing-masing. Karena kita semua tidak akan abadi hidup di dunia ini. Semua akan meninggalkan dunia ini. Semua akan dimintai pertanggungjawaban. Marilah kita hentikan kerusakan yang terjadi. Marilah kita hentikan ketidakadilan yang melampaui batas. Karena ketidakadilan yang melampaui batas itu telah nyata-nyata membuat jutaan rakyat, sebagai pemilik sah kedaulatan negara ini menjadi sengsara. Dan Allah SWT tidak suka terhadap hamba-Nya yang melampaui batas. Semoga sifat Rahman dan Rahim Allah SWT menjadikan bangsa ini terhindar dari azab seperti yang ditimpakan kepada bangsa atau kaum terdahulu. (*)
Serba-Serbi Demokrasi
Atas dasar itu sebagian dari warga negara Indonesia yang peduli konstitusi menyerukan untuk kembali ke UUD 1945 yang disahkan pada 18 Agustus 1945 dengan beberapa catatan. Oleh: Muhammad Chirzin, Guru Besar UIN Sunan Kalijaga Jogjakarta DEMOKRASI adalah bentuk pemerintahan di mana keputusan-keputusan pemerintah yang penting secara langsung atau tidak langsung didasarkan pada kesepakatan mayoritas yang diberikan secara bebas dari masyarakat dewasa. Kata demokrasi berasal dari bahasa Yunani Kuno dēmokratía, “kekuasaan rakyat”, yang terbentuk dari dêmos “rakyat” dan kratos “kekuatan” atau “kekuasaan”. Kata ini merupakan antonim dari aristocratie, “kekuasaan elit”. Secara teoretis, kedua definisi itu saling bertentangan, tapi kenyataannya sudah tidak jelas lagi. Sistem politik Athena Klasik, misalnya, memberikan kewarganegaraan demokratis kepada pria elit yang bebas dan tidak menyertakan budak dan wanita dalam partisipasi politik. Menurut salah satu sumber, kata demokrasi (democracy) sendiri di Indonesia sudah ada sejak Abad ke-16 sezaman dengan Sultan Banten Abdul Mahasin Muhammad Zainal Abidin. Democracy berasal dari bahasa Prancis pertengahan dan bahasa Latin pertengahan lama. Konsep demokrasi lahir dari Yunani kuno yang dipraktikkan dalam hidup bernegara antara Abad ke-4 Sebelum Masehi sampai dengan Abad ke-6 SM. Demokrasi yang dipraktikkan pada waktu itu adalah demokrasi langsung, artinya hak rakyat untuk membuat keputusan-keputusan politik dijalankan secara langsung oleh seluruh rakyat atau warga negara. Demokrasi dalam bentuk pemerintahan semua warga negaranya memiliki hak yang sama untuk pengambilan keputusan yang dapat mengubah hidup mereka. Demokrasi mengizinkan warga negara ikut serta, baik secara langsung atau melalui perwakilan, dalam perumusan, pengembangan, dan pembuatan hukum. Demokrasi mencakup kondisi sosial, ekonomi, adat dan budaya yang memungkinkan adanya praktik politik secara bebas dan setara. Demokrasi juga merupakan seperangkat gagasan dan prinsip tentang kebebasan beserta praktik dan prosedurnya. Demokrasi mengandung makna penghargaan terhadap harkat dan martabat manusia. Landasan demokrasi mencakup kebebasan berkumpul, kebebasan berserikat dan kebebasan berbicara, inklusivitas dan kesetaraan politik, kewarganegaraan, persetujuan dari yang terperintah, hak suara, kebebasan dari perampasan pemerintah yang tidak beralasan atas hak untuk hidup, kebebasan, dan kaum minoritas. Di semua pemerintahan demokrasi sepanjang sejarah modern, kewarganegaraan demokratis tetap ditempati kaum elit sampai semua penduduk dewasa di sebagian besar negara demokrasi modern benar-benar bebas setelah perjuangan gerakan hak suara di mulai pada abad ke-19 hingga kini. Suatu pemerintahan demokratis berbeda dengan bentuk pemerintahan yang kekuasaannya dipegang satu orang, seperti monarki. Konsep yang berasal dari filosofi Yunani ini sekarang tampak ambigu, karena beberapa pemerintahan kontemporer mencampur aduk elemen-elemen demokrasi, oligarki, dan monarki. Karl Popper mendefinisikan demokrasi sebagai sesuatu yang berbeda dengan kediktatoran atau tirani, sehingga berfokus pada kesempatan bagi masyarakat untuk mengendalikan para pemimpinnya yang tidak jujur atau tidak dapat dipercaya, dan memberhentikan mereka tanpa perlu melakukan revolusi. Ada beberapa jenis demokrasi dengan dua bentuk dasar. Keduanya menjelaskan cara seluruh rakyat menjalankan keinginannya. Bentuk demokrasi yang pertama adalah demokrasi langsung, yaitu semua warga negara berperan langsung dan aktif dalam pengambilan keputusan pemerintahan. Di kebanyakan negara demokrasi modern, seluruh rakyat masih merupakan satu kekuasaan berdaulat, namun kekuasaan politiknya dijalankan secara tidak langsung melalui perwakilan yang disebut demokrasi tidak langsung. Demokrasi yang dilaksanakan dengan sistem perwakilan, masyarakat menyalurkan kehendak dengan memilih wakil-wakilnya untuk duduk dalam dewan perwakilan rakyat. Termasuk dalam demokrasi ini, demokrasi perwakilan dengan sistem referendum, yaitu gabungan antara demokrasi langsung dan demokrasi perwakilan. Masyarakat memilih wakil-wakilnya untuk duduk dalam perwakilan rakyat, namun dewan itu dikontrol oleh pengaruh masyarakat dengan sistem referendum dan inisiatif masyarakat. Demokrasi langsung merupakan suatu bentuk demokrasi di mana setiap masyarakat memberikan suara atau pendapat dalam menentukan suatu keputusan politik. Dalam sistem ini setiap masyarakat mewakili dirinya sendiri dalam memilih suatu kebijakan, sehingga mereka memiliki pengaruh langsung terhadap keadaan politik jabatan yang terjadi. Sistem demokrasi digunakan pada jaman awal terbentuknya demokrasi di mana ketika terdapat suatu permasalahan yang harus diselesaikan, seluruh masyarakat berkumpul untuk membahasnya. Di jaman modern sistem ini menjadi tidak praktis, karena umumnya populasi suatu negara cukup besar dan mengumpulkan seluruh masyarakat dalam satu forum merupakan hal yang sulit. Selain itu, sistem ini menuntut partisipasi yang tinggi dari masyarakat, sedangkan masyarakat modern cenderung tidak memiliki waktu untuk mempelajari semua permasalahan politik tingkat negara, wilayah, daerah hingga jenjang yang terbawah. Jenis-jenis demokrasi berdasarkan penyaluran kehendak rakyat, prinsip ideologi, dan titik perhatian atau tujuan ada delapan macam. Pertama, berdasarkan Penyaluran Kehendak Rakyat: (a) Demokrasi yang mengikutsertakan setiap warga negaranya untuk bermusyawarah dalam menentukan kebijakan umum negara; (b) Demokrasi yang dilaksanakan melalui sistem perwakilan. Demokrasi jenis ini diterapkan atas pertimbangan kenyataan suatu negara dengan jumlah penduduk yang besar, wilayah yang luas, dan permasalahan yang semakin kompleks. Kedua, berdasarkan Prinsip Ideologi: (a) Demokrasi Konstitusional. Demokrasi konstitusional adalah demokrasi yang berlandaskan pada kebebasan atau individualisme. Demokrasi ini dicirikan dengan kekuasaan pemerintah yang terbatas dan tidak diperkenankan banyak campur tangan dan bertindak sewenang-wenang terhadap warganya. Dalam hal ini, kekuasaan pemerintah dibatasi oleh konstitusi; (b) Demokrasi Rakyat. Demokrasi rakyat atau demokrasi proletar merupakan salah satu jenis demokrasi yang berhaluan Marxisme-Komunisme. Demokrasi ini menginginkan kehidupan tanpa adanya kelas sosial. Contohnya, negara Korea Utara dan bekas negara Uni Soviet; (c) Demokrasi Pancasila. Demokrasi Pancasila merupakan demokrasi yang berlaku di Indonesia. Demokrasi ini bersumber dari tatanan nilai sosial dan budaya dengan berasaskan musyawarah untuk mufakat. Demokrasi ini juga mengutamakan kepentingan yang berimbang. Ketiga, berdasarkan Tujuan: (a) Demokrasi Formal. Demokrasi formal adalah demokrasi yang menjunjung tinggi persamaan dalam bidang politik tanpa adanya pengurangan kesenjangan dalam bidang ekonomi. Demokrasi formal dianut oleh negara-negara liberal; (b) Demokrasi Material. Demokrasi material adalah demokrasi yang fokus pada upaya untuk menghilangkan perbedaan dalam bidang ekonomi, di mana persamaan dalam bidang politik kurang diperhatikan. Demokrasi jenis ini dianut oleh negara-negara komunis; (c) Demokrasi Gabungan. Macam-macam demokrasi selanjutnya adalah demokrasi gabungan yang dianut oleh negara-negara non-blok. Demokrasi gabungan berada pada jalur tengah, yakni mengambil kebaikan dan membuang keburukan dari pelaksanaan demokrasi formal dan material. Bangsa Indonesia telah menyelenggarakan beberapa kali Pemilihan Umum untuk Pemilihan Presiden dengan sistem banyak partai politik dalam dua bentuk. Pertama, Pemilihan Presiden oleh perwakilan rakyat. Hal ini sejalan dengan sila keempat Pancasila: Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan. Sungguhpun Pemilihan Presiden di era Orde Baru telah dilaksanakan sesuai dengan Pancasila, tetapi di sisi lain telah terjadi penyimpangan dari Undang-Undang Dasar 1945 perihal masa jabatannya. Oleh sebab itu Gerakan Reformasi 1998 menuntut amandemen salah satu pasal dari UUD 1945 tentang masa jabatan presiden tersebut dengan batasan boleh dipilih satu kali lagi, alias masa jabatan Presiden maksimal dua periode. Amandemen UUD 1945 juga membuahkan sistem pemilihan presiden secara langsung, yakni presiden dipilih oleh semua rakyat yang berhak bersuara. Menjelang perhelatan Pemilihan Presiden 2024 muncul kembali wacana jabatan Presiden RI tiga periode. Naifnya, Jokowi berkata bahwa ia akan taat konstitusi, tetapi ia berpendapat bahwa adalah hak rakyat untuk mewacanakan Presiden boleh menjabat tiga kali. Pemilihan Presiden secara langsung oleh semua rakyat telah menyimpang dari Sila keempat Pancasila. Di samping itu Pemilihan Presiden secara langsung oleh semua rakyat juga telah menimbulkan beberapa dampak negatif, antara lain terkoyaknya kohesi masyarakat yang berkelanjutan. Atas dasar itu sebagian dari warga negara Indonesia yang peduli konstitusi menyerukan untuk kembali ke UUD 1945 yang disahkan pada 18 Agustus 1945 dengan beberapa catatan. Semoga Demokrasi bangsa Indonesia semakin dewasa, berpihak kepada rakyat dan bermartabat. (*)
Siasat Menjegal, Kaum Begundal dan Binal
Oleh: Yusuf Blegur - Mantan Presidium GMNI Tak bisa dipungkiri, semakin banyak prestasi Anies semakin banyak usaha mengkandaskan pencapresannya. Kekuatan oligarki dalam manifestasi cukong, partai politik dan mesin birokrasi hingga para buzzer, gigih memungut dan mendandani capres abal-abal yang terkesan dipaksakan. Anies memang tak pernah berhenti menghadapi upaya menjegalnya menduduki kursi presiden, terutama dari kaum begundal dan binal yang menggunakan politik kekuasaan dan sokongan dana haram. Perspektif politik Indonesia terkait Pilpres 2024, pada akhirnya bermuara pada dua mainstream. Pertama, kontestasi para capres yang didukung pengusaha hitam dan keniscayaan partai politik yang cenderung mewujud oligarki. Kedua, fenomena capres yang mewakili suasana batin dan kerinduan rakyat pada figur pemimpin yang jujur dan adil. Capres oligarki yang notabene didukung sokongan dana dari pemilik modal besar dalam representasi korporasi maupun elit partai politik. Secara praktis menjadi dominan kampanyenya, meski mendapat respon skeptis dan apriori sebag8an besar rakyat. Sementara ada capres yang lahir dan berproses dari kinerja dan prestasi serta banjir simpati, empati dan euforia rakyat. Ada beberapa capres yang dibesarkan oleh konspirasi jahat dengan hanya mengandalkan kekuatan kapitalistik dan transaksional, menutupi moral bejad dengan pencitraan serta menjadi badut para mafia. Sementara hanya ada satu capres berkarakter yang dibanjiri dukungan rakyat. Seorang capres yang sudah terbukti dan teruji dengan prestasi bukan dengan janji-janji. Saking kalapnya para capres imitasi itu memenuhi hasrat dan nafsu kekuasaannya, mereka melakukan segala cara namun tak mengukur kemampuan untuk menjadi orang nomer satu di republik ini. Sama halnya dengan Jokowi presiden Indonesia 2 periode, saat ini berkuasa tapi tak berdaya karena tak punya jiwa kepemimpinan dan cenderung menjadi boneka oligarki. Begitupun capres-capres yang berasal dari irisan kekuasaan rezim itu, selain tak becus kerja juga tak ada prestasi yang membanggakan kecuali banyak gaya, banyak omong dan banyak berbohong. Mirisnya, mereka tak malu dan tak bermartabat karena menggunakan uang dan fasilitas negara untuk kampanye capresnya. Lebih parah lagi dan sangat menjijikkan, para capres yang digadang-gadang karena memiliki hubungan struktural dengan partai politik itu, banyak terlibat skandal korupsi dan perilaku menyimpang, termasuk memanfaatkan politik untuk bisnis, gaya hidup hedon, hobi nonton film bokep dan masih banyak lagi kemiskinan ahlaknya. Bagai kurcaci politik yang menjadi kacung dari majikannya yang berstatus oligarki. Para capres yang tak dikehendaki rakyat karena kebobrokan mentalnya itu, semakin ambisius dan menjadi penganut Machiavellis. Dengan segala sarana dan prasarana serta infra struktur politik yang ada, capres-capres busuk itu melakukan upaya \"up greeding\" bagi dirinya dan \"mendown greed\" lawan politiknya. Bukan hanya memanipulasi dan kamuflase terhadap diri sendiri dalam pencapresannya, mereka juga secara terorganisir, terstruktur dan sistematik terus menjegal kompetitor capres potensialnya. Dalam hal ini yang paling menonjol adalah figur Anies Rasyid Baswedan, yang sering menjadi korban dari politik primitif dan barbar capres-capres biadab dan dalang di belakangnya. Upaya menjegal Anies menjadi presiden yang dilakukan capres-capres dan sindikatnya, seperti orang-orang kesurupan dan layaknya manusia yang telah bersekutu dengan iblis. Capres-capres bermuka tembok dan tak pernah bercermin diri itu, layaknya robot atau monster yang dikendalikan kekuatan para mafia. Mereka seperti gerombolan penikmat kekuasaan yang berlaku kriminal, sadis dan keji. Hanya kepada Anies, mereka berjibaku dengan cara apapun untuk menghentikan langkah pencapresan Anies dan kontestasinya dalam pilpres 2024. Tak kurang isu, intrik dan fitnah disebarkan, mereka juga melakukan framing jahat dan stereotif terhadap Anies. Dengan semua uang dan jabatannya, mereka mengeliminasi prestasi Anies sekaligus berupaya menghancurkan reputasi dan kredibilitas Anies. Pasukan buzzer baik yang ada di partai politik maupun pemerintahan baik secara personal maupun institusional intens menggerus Anies. Kekuasaan jahat di negeri ini memang benar-benar tak menginginkan Anies sebagai presiden dan pemimpin yang teguh memperjuangkan kemakmuran dan keadilan rakyatnya. Namun, emas tetaplah emas betapapun berkaratnya, dan mutiara tetaplah berkilau meski dibenamkan dalam lumpur. Demikian juga dengan Anies, kejujurannya, kerja keras dan ketulusannya serta komitmen dan konsistensinya sebagai pemimpin yang amanah. Membuatnya tak akan terpuruk walau diserbu perlakuan buruk oleh lawan-lawan politiknya dan anasir jahat di sekelilingnya. Anies yang cerdas, santun dan terbuka, bukan hanya pemimpin berlimpah prestasi, ia juga telah memberi keteladanan bagaimana pikiran, ucapan dan tindakan itu menyatu pada seorang pemimpin. Terlebih dalam memberikan jiwa dan raganya untuk negara dan bangsa ini. In syaa Allah, Anies tidak hanya sekedar capres pilihan dan mendapat dukungan rakyat. Anies, karena kesolehan sosialnya senantiasa mendapat rahmat dan ridho Allah Subhanallahu wa ta\' ala. Betapapun kekuatan jahat menyerangnya, ada Allah yang menjaganya dan cukuplah Allah sebagai penolongnya. Begitupun terhadap siasat menjegal dari para begundal dan binal dalam atmosfer politik di republik ini. Akankah sifat Ketuhanan dan kemanusiaan merasuki partai politik yang sejatinya berasal dari rahim rakyat?. Sehingga partai politik dapat bersinergi dan melakukan elaborasi dengan rakyat, guna memilih, mengusung dan memenangkan Anies Baswedan dalam pilpres 2024. (*)
Rekonstruksi Kasus Sambo dan Supra-Power Kewenangan di Kepolisian
Oleh Gde Siriana Yusuf: Direktur Eksekutif Indonesia Future Studies (INFUS) dan Penulis Buku Keserakahan di Tengah Pandemi REKONSTRUKSI kasus pembunuhan Brigadir Polisi Nofriansyah Yosua Hutabarat alias Brigadir J pada Selasa, 30 Agustus lalu telah menyedot perhatian publik. Rekonstruksi adegan per adegan itu mengingatkan kita pada kisah polisi korup yang banyak digambarkan di berbagai film layar lebar di berbagai negara. Hollywood, misalnya, memproduksi film The Departed (2006) yang dibintangi Leonardo DiCaprio dan Matt Damon. Bollywood punya film terkenal Zanjeer (1973) yang dibintangi Amitabh Bachchan. Hingga drama Korea Taxi Driver yang viral pada 2021 yang menceritakan korban salah tangkap oleh polisi berdasarkan kisah nyata. Dunia film Indonesia tampaknya masih terlarang untuk mengangkat kisah-kisah nyata yang terkait dengan institusi negara yang korup, meskipun itu nyata ada dalam keseharian kita. Tetapi, dalam hampir dua bulan terakhir kita disuguhi reality show yang menjadi tontonan menarik di seluruh pelosok negeri. Drama pembunuhan Brigadir Yosua berpusat pada mantan Kepala Divisi Profesi dan Pengamanan Kepolisian RI (Polri) Inspektur Jenderal Polisi Ferdy Sambo dan istrinya, Putri Candrawathi, beserta ajudannya. Mereka bagaikan pemain utama dan pemain pendukung dalam sebuah film genre _drama-thriller_, kisah pembunuhan yang disertai bumbu-bumbu asmara. Episode awal yang menampilkan adegan tembak-menembak mampu mengecoh pikiran penonton tentang kematian seorang ajudan bernama Brigadir Yosua. Di episode berikutnya penonton akhirnya mengetahui bahwa Brigadir Yosua mati terbunuh dieksekusi atasannya beserta para ajudan lainnya. Rekonstruksi adegannya memikat publik, meskipun dari 78 adegan yang ditampilkan tidaklah memperjelas apa motivasi sesungguhnya yang mengakhiri hidup Brigadir Yosua. Ini seperti halnya plot hole dalam film-film horor yang seringkali ada adegan yang hilang sehingga penonton menjadi penasaran dan menunggu hingga akhir film. Drama-thriller kasus Sambo dapat dikatakan ingin memindahkan apa yang dikatakan Anthony Giddens dalam teori \"strukturasi\" ke dalam format audio-vizual dengan obyeknya institusi kepolisian. Kemampuan Sambo dalam mengorganisasi polisi-polisi di berbagai divisi untuk mendukung skenario kejahatan menjadikan perannya sebagai tokoh antagonis yang sentral. Teori strukturasi menekankan pentingnya aktor atau agen (Giddens, 1984). Aktor bukan semata menjadi mesin yang dikendalikan struktur tetapi juga memiliki dorongan besar dari motivasi si aktor. Dengan demikian, aktor memiliki kemampuan untuk mempengaruhi atau bahkan menentukan struktur untuk diri mereka sendiri. Misalnya, ungkapan \"mabes di dalam mabes\", seperti yang disinggung Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan Mahfud MD soal kasus Sambo, barangkali cocok dengan penjelasan Giddens tersebut. Adanya Satuan Tugas Khusus Merah Putih, yang memiliki keistimewaan di antara subsistem Polri lain, merupakan akibat dari campur tangan agen atau aktor dalam proses produksi dan reproduksi sistem. Agen tidak saja menafsirkan perilaku aktor lainnya tetapi juga menyesuaian diri terhadap situasi tertentu serta melakukan rasionalisasi dan memberikan alasan atas tingkah lakunya. Dalam hal ini, seorang polisi, dan juga pejabat negara lain, dapat disebut memiliki \"supra-power\". Istilah ini saya gunakan dalam disertasi yang sedang saya susun untuk menggambarkan kemampuan aktor yang melampaui batas kewenangan dalam posisi strukturalnya. Dalam praktik birokrasi di Indonesia hari ini, kemampuan supra-power juga ditunjukkan oleh beberapa pejabat teras yang sangat dikenal oleh masyarakat. Aktor atau agen yang dibesarkan oleh sistem yang korup akan memiliki kemampuan supra-power dan cenderung akan mengkoptasi sistem, ibarat memelihara anak macan di dalam kandang sapi. Giddens (1984) juga menjelaskan bahwa agen atau aktor diproduksi dan terus menerus direproduksi setiap hari dalam ruang dan waktu. Proses reproduksi tersebut dapat dilihat dari perilaku oknum dalam aktivitas sehari-hari, mulai dari menerima suap tilang di jalan raya hingga merekayasa kasus kriminal. Hal itu telah menjadi pengetahuan umum masyarakat dan diinternalisasi ke dalam suatu sistem sosial. Masyarakat juga memandang perilaku tersebut telah tersebar di semua struktur organisasi kepolisian. Persepsi dan pengetahuan publik terhadap sisi negatif polisi barangkali sudah mengalami internalisasi di masyarakat. Ini tidak saja terjadi di Indonesia tapi juga di banyak negara, terutama negara-negara yang penegakan hukum dan masyarakat sipilnya masih lemah. Dalam ruang dan waktu, kekuatan struktur dalam sistem kemudian diteguhkan dan dijalankan dalam praktik yang mengukuhkan sistem tersebut. Misalnya, polisi muda, yang di masa pendidikan diajari tentang nilai-nilai pelayanan masyarakat, barangkali akan mengalami kebingungan jika sejak perekrutan telah menempuh cara-cara tidak jujur seperti menyuap agar diterima di pendidikan kepolisian. Lalu, dalam perjalanan karirnya, dia mungkin akan mencontoh perilaku buruk para senior dan atasannya. Drama-thriller Sambo ini masih menanti episode berikutnya. Penonton menunggu pengungkapan berbagai hal yang masih menjadi misteri. Barangkali misteri dari adegan yang hilang itu pun tidak akan terungkap di dalam persidangan pengadilan. Atau, cerita hanya berhenti pada pergantian aktor dalam sistem, seperti pergantian god father dalam organisasi mafia Sisilia. Aktor berganti tetapi sistem dan struktur tidak berubah. Jika demikian halnya, maka cerita drama pembunuhan ini layak diberi judul Turn Back Cops, yang hanya menyisakan kesedihan panjang bagi keluarga korban dan pelaku tanpa perbaikan total institusi Polri. *) Tulisan ini juga dimuat di Koran Tempo edisi, Kamis, 01 September 2022.
Melawan Oligarki
Musnahkan peran oligarki yang sudah merusak negara mengganti UUD ‘45 asli dengan UUD palsu yaitu UUD 2002 dengan segala dampak dan akibat kerusakan yang terjadi. Oleh: Sutoyo Abadi, Koordinator Kajian Politik Merah Putih dan Sekjen KAMI Lintas Provinsi (Disampaikan dalam Forum Seminar Membedah Sikap dan Perilaku Oligaki di Indonesia – Jakarta, 1 September 2022) SEJALAN dengan rencana Khubilai Khan sejak abad ke-13 yang memang RRC sudah lama tanpa henti strategi menguasai Nusantara sudah terjadi, dan saat ini telah bisa kita rasakan bersama. Pertengahan abad ke-19, jumlah imigran Tionghoa masuk sudah mencapai seperempat juta orang. Jumlah ini terus meningkat, tinggal berkelompok di satu wilayah yang berada di bawah kontrol pemerintah Hindia-Belanda. Biasa disebut Pecinan. Kebijakan China perantauan abad 21 meliputi: ekonomi, budaya, dan politik. China sudah masuk untuk tujuan imperium di Indonesia. Sifat ekspansionisme dan semangatnya dalam geopolitik adalah bagian dari konsep China Raya, mereka butuh tanah baru. Pengamat politik mengendarai bahwa warga China dalam strategi tidak akan kembali ke China setelah masuk di Indonesia. Bahwa etnis China yang tersebar di seluruh dunia dan menjadikannya warga negara di mana mereka bertempat tinggal, tetap diakui dan harus menganggap bahwa dirinya adalah orang China. Kebijakan ini dikunci dengan doktrin One China. Mao Zedong mengatakan bahwa semua orang China di seluruh dunia tersebut, termasuk Indonesia adalah warga negara RRC. Pada masa penjajahan Belanda, China sudah melakukan penyuapan kepada pegawai kompeni sudah dipraktikkan. Dengan minum minuman keras hingga memberikan regognitiegeld (uang-uang dibayar setiap tahun yang dibayarkan sebagai pengakuan atas hak). Belanda tidak akan mampu menguasai Nusantara selama 350 tahun tanpa bantuan opsir China itulah sebenarnya yang melakukan dan melaksanakan order penindasan. Berabad-abad Belanda mewariskan struktur ekonomi yang didominasi ke pedagang China: Menjadi kaki tangan Belanda dalam menjajah Nusantara dan mendzalimi warga pribumi dengan sebutan Inlander dan digolongkan dalam kelas terbawah. Mereka memegang teguh ajaran dan filsafat Sun Tsu, Seni Perang, dipelajari dengan tekun dan sungguh-sungguh. Politik bisnis, bisnis itu perang. Kalau pasar adalah medan perang maka diperlukan strategi dan taktik. Sun Tsu menulis: “Serang mereka di saat mereka tak menduganya, di saat mereka lengah. Haruslah agar kau tak terlihat. Misteriuslah Agar kau tak teraba. Maka kau akan kuasai nasib lawanmu. Gunakan mata-mata dan pengelabuhan dalam setiap usaha. Segenap hidup ini dilandaskan pada tipuan”. Satu dari 36 teori Sun Tsu (jie dao sha ren) (“Bunuh dengan pisau pinjaman. Pinjam tangan orang-orang lain untuk membunuh musuhnya”). Dalam strategi dagang, baik berupa investasi, operasi bisnis ini, juga diperlukan penyamaran. Semua harus dilakukan secara halus dan terduga. Tujuannya bisa cengkerama ekonomi dan merambah ke ranah politik. Paska tragedi G 30 S PKI/1065 tersebut muncullah Instruksi Presiden Nomor 14 tahun 1967 berisi antara lain pembatasan dan perayaan China. Disusul Surat Edaran Nomor 06/Preskab/6/67 tentang penggunaan nama China dan istilah Tionghoa/Tiongkok ditinggalkan. Muncullah Keputusan Presiden Kabinet Nomor 127/U/KEP/12/1966 tentang nama bagi masyarakat China. Beruntun keputusan Presiden Kabinet Nomor 37/U/IV/6/1967 tentang Kebijakan Pokok Penyelesaian masalah China. Pada tahun yang sama muncul Surat Edaran Presidium Kabinet RI Nomor SE.06/PresKab/6/1967 tentang kebijakan pokok WNI asing dalam proses asimilasi terutama mencegah kemungkinan terjadinya kehidupan eksklusif rasial. WNI yang masih menggunakan nama China diganti dengan nama Indonesia. Keadaan yang sangat penyakitkan ketika Pribumi sedang terus terkena gempuran, keluarlah Instruksi Presiden Nomor 27 Tahun 1998 tentang Penghentian Penggunaan Istilah Pribumi dan Non Pribumi. Sebuah Keputusan yang menghilangkan akar sejarah terbentuknya NKRI. Sementara PBB justru melindungi eksistensi warga Pribumi. Melalui Sidang Umum PBB 13 September 2007, mengakui bahwa setiap belahan bumi itu ada penduduk asli (Indigenous People = Pribumi) yang harus dijaga. Pada pendiri bangsa ini sudah berfikir untuk melindungi anak cucu dari kejahatan yang akan memusnahkannya. Di situlah lahir Pancasila dan UUD 1945. Pada masa Presiden Abdurrahman Wahid alias Gus Dur mencabut Instruksi Presiden Nomor 14/1967 yang melarang etnis China merayakan pesta agama dan penggunaan huruf China dicabut, dengan lahirnya Keputusan Presiden Nomor 6/2000, yang memberikan warga China kebebasan melaksanakan ritual keagamaan, tradisi, dan budaya kepadanya. Pada masa Presiden Megawati Soekarnoputri juga mengeluarkan Keputusan Presiden Nomor 19 Tahun 2002, hari Imlek menjadi hari libur Nasional. Pada masa Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, lahir Keputusan Presiden Nomor 12 Tahun 2014 tentang pencabutan Surat Edaran Presidium Kabinet Ampera Nomor SE - 06/Pred.Kab/6/1967, isinya “kita tidak boleh menyebut CHINA diganti TIONGHOA atau komunitas TIONGHOA. Sebelumnya pada 1991 Lee Kuan Yew kerja sama dengan RRC di Singapura mengumpulkan China perantauan (Overseas Chinese) 800 penguasaan besar dari 30 negara, termasuk penguasaan China dari Indonesia. China berhasil melahirkan budaya kapitalisme sendiri. Dalam perkembangannya, China dengan cerdik menawarkan pada ASEAN satu traktat perdagangan yang dikenal dengan CAFTA (China - ASEAN Free Trade Area), untuk menciptakan Sinosentrismo sesuai kepentingan ekonomi dan politiknya. Ini adalah permainan jangka panjang China yang cerdik berlindung ingin ASEAN secara otomatis memperhitungkan kepentingan dan ketergantungan kepada China, termasuk Indonesia. Dan, saat ini kita kenal dengan strategi dengan nama One Belt One Road (OBOR). China memberi hutang dan menawarkan investasi kepada Indonesia bukan hanya bermotif ekonomi tetapi jelas ada motif politik ketergantungan Indonesia kepada China. Pada masa Presiden Joko Widodo, Oligarki telah sampai ada pintu gerbang kemerdekaannya. Rezim saat ini tak paham sejarah Karpet Merah disediakan oleh Oligarki dan RRC. Tawaran manis Xi Jinping dari China diterima dengan suka cita, tanpa mau menyadari semua resiko yang akan terjadi. Tawaran utang dilahap. China ini sangat mengerti dan paham sekali bahwa Indonesia akan kesulitan saat harus mengembalikan hutang hutangnya, dengan segala resikonya. Tawaran manis Xi Jinping dari China diterima dengan suka cita, tanpa mau menyadari semua resiko yang akan terjadi nanti. Bahkan, di beberapa media Menlu Retno Marsudi meminta rakyat Indonesia bertepuk tangan. Semua nota kesepahaman dari China ada beberapa implikasi strategis dan membahayakan keselamatan anak cucu, khususnya tentang kedatangan jutaan warga China dengan alasan untuk kerja di proyek yang didanainya. Saat ini China di Indonesia sudah sudah mulai masuk dalam pertarungan politik praktis dengan mendirikan partai politik dan menguasai partai politik serta sudah menguasai pada penguasa pengambil kebijakan negara. Selangkah lagi target warga China harus bisa jadi Presiden Indonesia. Mereka sudah berhasil mengubah psl 6 (1) UUD 45 adalah prestasi gemilang sebagai pintu masuk China sebagai penguasa di Indonesia. Pasal 6 (1) UUD 1945 yang semula berbunyi: \"Presiden ialah orang Indonesia ASLI .. diganti menjadi: “Presiden dan Wakil Presiden harus warga negara Indonesia sejak kelahirannya dan tidak pernah menerima kewarganegaraan lain karena kehendaknya sendiri, tidak pernah mengkhianati negara, serta mampu secara rohani dan jasmani untuk melaksanakan tugas dan kewajibannya sebagai Presiden dan Wakil Presiden”. Mereka terus mencoba dan berusaha keras menggeser posisi politik kaum Pribumi Nusantara dan terus bergerak untuk menguasai Jakarta sebagai Center of Gravity Indonesia untuk dikuasai. Bahkan, telah ikut merekayasa pemindahan Ibu Kota Negara ke Kalimantan, langsung atau tidak langsung ada dalam pengaruh dan kendalinya. Geliat Naga Melilit Garuda telah terjadi. Kecepatan China menguasai Indonesia berperan besar karena kelemahan Presiden kita yang minim kapasitas dan minim pemahaman sejarah dan lemah dalam pengetahuan geopolitik yang sedang dimainkan China. Parahnya, indikasi kuat semua kebijakan negara sudah dalam kendali oligarki. Pada awal sambutannya Presiden Jokowi juga mengatakan bahwa Indonesia merupakan negara yang senasib dan sepenanggungan saat bertemu dengan Presiden Xi Jinping di Beijing, Selasa (26/7). Juga mengatakan bahwa China merupakan mitra komprehensif strategis Indonesia. Saat ini bahwa Indonesia sudah dikuasi RRC Oligarki dan sudah menguasai semua lembaga negara. Menguasai semua sektor ekonomi dan arah politik negara Indonesia. Markus Ghiroth (gembong komunis 1965): Dalam strategi komunis, ada namanya istilah “teori guna tolol”. Yaitu: orang-orang tolol yang berguna. Maksudnya: menempatkan orang-orang “tolol” bodoh, manut, mata duitan, rakus jabatan, di posisi strategis agar kemudian bisa dan mudah diatur dan dikendalikan. Keadaan makin parah akibat The wrong man in the wrong place with the wrong idea and idealism (Orang yang salah di tempat yang salah dengan ide dan cita-cita yang salah). Dalam kondisi Negara sudah lumpuh dalam kendali Oligargi - Perlawanan yang harus dilakukan terhadap oligarki: 1. Tidak mungkin dilakukan dengan jalur Konstitusi. 2. Oligarki justru sudah memiliki kuasa membuat perangkat konstitusi ( UU ) dan peraturan negara lainnya melalui Pengelengara Negara dan Lembaga Negara yang sudah dalam Remot kendalinya. 3. Tersisa perlawanan rakyat melalui People Power atau Revolusi. 4. Musnahkan peran oligarki yang sudah merusak negara mengganti UUD ‘45 asli dengan UUD palsu yaitu UUD 2002 dengan segala dampak dan akibat kerusakan yang terjadi. 5. Hanya dengan jalan Revolusi untuk menata ulang negara, rakyat harus dicerahkan memilih kepala negara yang memiliki akal sehat, negarawan dan kembali ke UUD 45 asli. (*)