Hentikanlah Membodohi Masyarakat!

Electric Multiple Unit (EMU) Kereta Cepat Jakarta-Bandung(Dok. PT KCIC)

Namun, yang terjadi kemudian, menurut Luhut, kalau tidak ada suntikan dari APBN, proyek kereta cepat terancam mangkrak. Maka, melalui Perpres Nomor 93 Tahun 2021, pemerintah membolehkan APBN membiayai KCJB.

Oleh: Anthony Budiawan, Managing Director Political Economic and Policy Studies-PEPS)

JUDUL berita @kompascom menarik, dapat diartikan “hentikanlah membodohi masyarakat: Kalau B to B, artinya tidak pakai duit APBN. Kalau pakai duit APBN, maka jangan ngotot klaim B to B”.

Ironi Kereta Cepat: Ngotot Diklaim B to B, Tapi Pakai Duit APBN Kompas.com – (26/05/2022, 10:41 WIB). Semakin membodohi masyarakat, semakin terlihat diri sendirilah yang bodoh.

Sebelumnya, Menko Kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan telah berkali-kali menegaskan bahwa proyek Kereta Cepat Jakarta-Bandung adalah murni bisnis alias business to business (B to B).

Disebutkan, proyek kereta cepat yang menghubungkan Padalarang dan Halim ini digarap oleh konsorsium terdiri dari beberapa perusahaan milik negara dan perusahaan dari China, untuk kemudian membentuk perusahaan patungan PT Kereta Cepat Indonesia China (KCIC). 

Hal ini sekaligus menepis tudingan adanya jebakan utang China dalam mega proyek tersebut.

Luhut mengatakan, Kereta Cepat Jakarta-Bandung adalah investasi jangka panjang. “Itu adalah utang produktif. Ada yang bilang hidden debt. Itu yang bilang hidden debt saya text, kau datang kemari tunjukin hidden debt-nya di mana,” tegas Luhut dalam keterangannya, dikutip pada Kamis (26/5/2022).

“Wong saya yang nangani kok. Hidden debt kalau dibilang G to G, ini tidak ada. Itu B to B,” tambahnya.

Meski menuai banjir kritik dan dinilai melanggar janji, pemerintah bergeming dan tetap mengucurkan duit APBN untuk menambal pembengkakan biaya investasi Kereta Cepat Jakarta Bandung (KCKB).

Namun demikian sampai saat ini, baik pemerintah maupun pihak KCIC masih kukuh menganggap proyek ini B to B. 

Mengutip Antara, proyek pembangunan KCJB) tersebut sudah mendapatkan persetujuan dari pemerintah terkait Penyertaan Modal Negara (PMN) dan komitmen pendanaan dari China Development Bank (CBD).

“Masuknya investasi pemerintah melalui PMN kepada PT Kereta Api Indonesia (Persero) selaku pemimpin konsorsium (leading consortium) KCJB tersebut bisa mempercepat penyelesaian pengerjaan proyek setelah sempat tersendat akibat pandemi Covid-19,” ungkap Direktur Utama PT KCIC Dwiyana Slamet Riyadi dalam keterangannya.

Menurutnya, struktur pembiayaan KCJB adalah 75 persen dari nilai proyek dibiayai oleh CDB dan 25 persen dibiayai dari ekuitas konsorsium. Dari 25 persen ekuitas dari ekuitas itu, sebesar 60 persen berasal dari konsorsium Indonesia karena menjadi pemegang saham mayoritas.

Dengan demikian, pendanaan dari konsorsium Indonesia ini sekitar 15 persen dari proyek, sedangkan sisanya sebesar 85 persen dibiayai dari ekuitas dan pinjaman pihak China, tanpa jaminan dari Pemerintah Indonesia.

PMN yang akan dialokasikan pemerintah sebesar Rp 3,4 triliun, digunakan untuk pembayaran base equity capital atau kewajiban modal dasar dari konsorsium. Sedangkan pinjaman CBD diperkirakan mencapai 4,55 miliar dolar AS atau setara Rp 64,9 triliun.

Dalam beberapa kesempatan, baik Presiden Joko Widodo maupun para pembantunya, berungkali menegaskan bahwa proyek KCJB adalah murni dilakukan BUMN. Menggunakan skema business to business.

Biaya investasi sepenuhnya berasal dari modal anggota konsorsium dan pinjaman dari China. Dana juga bisa berasal dari penerbitan obligasi perusahaan.

“Kereta cepat tidak gunakan APBN. Kita serahkan BUMN untuk business to business. Pesan yang saya sampaikan kereta itu dihitung lagi," kata Jokowi dikutip dari laman Sekretariat Kabinet pada 15 September 2015.

“Kita tidak ingin beri beban pada APBN. Jadi, sudah saya putuskan bahwa kereta cepat itu tidak gunakan APBN,” ucap Jokowi menegaskan.

Jokowi menegaskan, jangankan menggunakan uang rakyat, pemerintah bahkan sama-sekali tidak memberikan jaminan apa pun pada proyek tersebut apabila di kemudian hari bermasalah.

Hal ini karena proyek kereta cepat penghubung dua kota berjarak sekitar 150 kilometer tersebut seluruhnya dikerjakan konsorsium BUMN dan perusahaan China dengan perhitungan bisnis.

“Tidak ada penjaminan dari pemerintah. Oleh sebab itu, saya serahkan kepada BUMN untuk melakukan yang namanya b to b, bisnis," tegas Jokowi kala itu.

Namun, yang terjadi kemudian, menurut Luhut, kalau tidak ada suntikan dari APBN, proyek kereta cepat terancam mangkrak. Maka, melalui Perpres Nomor 93 Tahun 2021, pemerintah membolehkan APBN membiayai KCJB.

Apakah ini berarti penyimpangan dari skema business-to-business menjadi business-to-goverment?

Bagaimana kalau nantinya proyek kereta cepat ini rugi? Apakah akan pakai dana APBN lagi, untuk menambal kerugian tersebut?

Perlu diingat, banyak proyek kereta cepat di China mengalami rugi operasional sangat besar, dan proyek KCJB itu diperkirakan juga akan mengalalami rugi operasional yang cukup besar. (*)

341

Related Post