Anies Effect dan Quo Vadis PAN
Oleh Yarifai Mappeaty - Pemerhati Masalah Sosial Politik
JIKA boleh meminjam terminologi politik pembelahan berbasis identitas Ade Armando, maka, sebagai parpol bernuansa religius, mestinya PPP, PKS, dan PAN, menjadi partai pengusung Anies Baswedan pada Pilpres 2024. Sebab kalau tidak, ketiga partai itu boleh jadi akan dihukum oleh konstituennya.
Kisah tragis tentang parpol dihukum konstituennya, sungguh bukan isapan jempol. Setidaknya PPP sudah mengalami di DKI Jakarta pada Pileg 2019. Kala itu, PPP ditinggal oleh konstituennya sehingga hanya menyisakan 1 kursi di DPRD DKI Jakarta. Padahal pada Pileg sebelumnya, 2014, PPP masih anteng dengan 10 kursi.
Tragedi itu menimpa lantaran PPP memilih tak mengusung Anies pada Pilgub DKI Jakarta 2017. Tentu saja pemilih partai berlambang ka’bah itu di DKI Jakarta menyesalkan. Akibatnya sungguh fatal, PPP nyaris tak mendapat kursi.
Sebaliknya dialami PKS dan PAN. Sebagai Parpol pengusung Anies, PKS mendapatkan tambahan 5 kursi menjadi 16 kursi. Lantaran faktor “Anies effect”, Partai Gerindra saja, meski tak tergolong partai religius, pun mendapat tambahan 5 kursi menjadi 19 kursi.
Begitu pulan dengan PAN, bukan lagi beruntung. Tetapi benar-benar mendapatkan durian runtuh dari faktor Anies effect. Padahal, meski baru belakangan bergabung mendukung Anies diputaran kedua, PAN juga mendapat tambahan 5 kursi menjadi 9 kursi, menyalip posisi PKB, Golkar, dan Nasdem.
Apa pelajaran yang dapat dipetik dari pada itu? Adalah jangan sekali-kali mencoba membangkang terhadap keinginan konstituen. Sebab konstituen punya cara terbaik memberi penghargaan. Demikian pula sebaliknya, punya cara paling kejam memberi hukuman.
Tetapi kendati begitu, tampaknya para pemegang otoritas partai tak belajar-belajar juga. Mereka lebih suka sekadar dekat dengan kekuasaan, ketimbang mendengarkan suara batin konstituennya. Sudah tahu kecenderungan di akar rumput, namun tetap saja pura-pura buta dan tuli.
Sebuah survei yang dirilis baru-baru ini mempertegas kecenderungan itu. Di Jakarta, misalnya, Indostrategic menyuguhkan informasi menarik mengenai kecenderungan pemilih Parpol untuk memilih Anies pada Pilpres 2024.
Pemilih Partai Gerindra, 39,2% memilih Anies, lebih besar dari pada yang memilih Prabowo Subianto, yaitu, hanya 31,2%. Meskipun Muhaimin Iskandar telah dideklarasikan sebagai Capres, namun pemilih PKB lebih memilih Anies sebesar 34,8.
Pemilih Parpol terbesar memilih Anies adalah Partai Nasdem 62,3%; Partai Demokrat, 66,3%; dan PKS, 70,2%. Yang menarik di sini adalah pemilih Nasdem. Tentu pada Pilgub DKI 2017, mayoritas tak memilih Anies. Tetapi saat ini terjadi perpindahan secara besar-besaran ke Anies.
Bagaimana dengan konstituen partai yang tergabung dalam Kolaisi Indonesia Bersatu (KIB)? Walaupun Golkar telah mendeklarasikan Airlangga Hartatro sebagai Capres, namun yang memilihnya hanya 1,4%. Sedangkan yang memilih Anies, 35,2%, jauh lebih besar.
Sementara itu, PPP yang meraih 175.935 suara pada Pileg 2019, setengahnya memilih Anies. Artinya, jika PPP kembali tak mengusung Anies kali ini, maka PPP diprediksi akan mengalami kebangkrutan tanpa ada satu pun kursi tersisa di DPRD DKI Jakarta.
PAN yang meraih 375.882 suara, lebih dari setengahnya (55%) memilih Anies. Sekiranya PAN benar-benar tak mengusung Anies, maka sangat mungkin akan mengalami nasib yang sama dengan PPP. Bayangkan kalau 55% itu pergi meninggalkan PAN, maka suara yang tersisa pun tak cukup untuk satu kursi.
Pada gilirannya, temuan Indostrategic di atas dapat pula dimaknai bahwa “Anies Effect” berpengaruh besar terhadap elektabiltas Parpol, terutama yang bernuansa religius. Di mana Parpol yang akan mengusung Anies akan menuai hasil positif. Sebaliknya pun begitu.
Tetapi sebenarnya, faktor Anies effect itu sudah diendus oleh Habil Marati, jauh hari sebelumnya. Itu sebabnya kader senior PPP tersebut mengambil langkah antisipatif, kalau-kalau pada akhirnya PPP benar-benar tak mengusung Anies. Habil Marati telah menyiapkan sekoci penyelamatan dengan membentuk Forum Ka’bah Membangun untuk mendukung Anies.
Di Partai Golkar, kondisinya mungkin sedikit berbeda. Anies effect dapat menaikkan elektabiltas Golkar, tetapi tidak terlalu berpengaruh sebaliknya. Kalaupun terjadi penurunan elektabilitas, paling jauh akan menghuni kelompok Parpol papan tengah. Kendati begitu, namun tetap saja ada kekhawatiran di kalangan tokoh muda Golkar, lalu menginisiasi terbentuknya Go – Anies.
Sedangkan PAN yang diperkirakan tak bakal mengusung Anies, kondisinya kurang lebih sama dengan PPP, di mana Anies effect sangat berpengaruh. Hal ini dirasakan oleh kader-kader PAN yang berpotensi menjadi balal calon legislatif ketika turun ke daerah, yang kemudian membuat mereka merasa gamang.
Bagaimana tidak. Di satu sisi, kondisi elektabilitas PAN terus merosot. Sementara di sisi lain, kepemimpinan Zulkifli Hasan selaku Ketua Umum, terbukti tak cukup kuat untuk mengangkat elektabilitas PAN.
Beberapa dari mereka terang-terangan menyebut bahwa PAN membutuhkan Anies effect. Jika tidak, maka besar kemungkinan PAN tak lolos parliament threshold, seperti yang diprediksi oleh hampir semua Lembaga survei.
Tentu sangat disayangkan kalau parpol yang lahir dari rahim reformasi itu sampai terlempar dari Senayan. So, seperti orang Makassar bilang, “Lakekomae PAN?”
Quo vadis?
Depok, 17 November 2022