OPINI

Rocky Gerung Goyang Logikanya

 Otomatis statement tawaran LBP sebagai Cawapres Anies Baswedan tersebut otomatis akan mental dan tidak berbasis realitas terbaca hanyalah akal-akalan bulus dari akal yang tidak sehat. Oleh: Sutoyo Abadi, Koordinator Kajian Politik Merah Putih ROCKY Gerung (RG) bakal membentuk gerakan Liga Boikot Pemilu (LBP) sebagai bentuk protes atas syarat pencalonan presiden atau presidential threshold berupa kepemilikan 20 persen kursi DPR atau 25 persen suara nasional seperti diatur dalam UU Pemilu. Mulanya, ia meminta partai-partai politik menggugat ambang batas 20 persen ke Mahkamah Konstitusi (MK) demi demokrasi Indonesia. Rocky menganggap seharusnya tidak ada presidential threshold dalam pencalonan presiden pada pilpres. “Kalau kalian masih berupaya koalisi demi merebut tiket, itu artinya kalian enggak paham demokrasi. Kalau kalian enggak paham, saya akan pimpin gerakan untuk boikot pemilu, namanya LBP, Liga Boikot Pemilu,” ujar Rocky mengutip 20Detik, Kamis (23/6/2022). Suara lantang dan penuh keyakinan masih basah mengiang-ngiang di benak masyarakat penuh harap kejutan apa yang akan dilakukan oleh Bung Rocky Gerung tersebut. Namun, lho, lho, lho ada bisikan demit dari mana tiba-tiba mengeluarkan statement Luhut Binsar Panjaitan (LBP) sebagai Cawapres Anies Baswedan. Dengan nada serius lebih lanjut mengatakan: “Cuman satu, Luhut Binsar Panjaitan, saya serius. Kalau kita logika bagus begitu cara berpikirnya,” ucap Rocky Gerung dalam diskusi bertajuk \'Siapa Cocok Dampingi Anies\' yang diselenggarakan FNN, Rabum 2 Oktober lalu. Seolah ada beban dengan tekanan hanya Luhut yang memenuhi kriteria sebagai pendamping Anies Baswedan. Sampai di sini bisa dibaca, ada yang tidak wajar pada Rocky Gerung dan pasti sangat dipahami membicarakan Cawapres ketika Anies sendiri belum menjadi Capres resmi, adalah lelucon yang tidak lucu. Bisa saja seorang Capres akan dideklarasikan dalam satu paket dengan wakilnya. Sekalipun tidak wajar dan terkesan RG sedang menggoyang atau mungkin akal sehatnya mulai goyang, dampak politiknya cukup besar. Tidak penting soal reaksi Partai Nasdem, Partai Demokrat dan PKS yang konon akan mengusungnya, ada indikasi kuat RG telah bermain politik praktis akan melemparkan Anies dari bursa Capres 2024. Apakah RG sudah masuk dengan kekuatan politik besar akan menggangu Anies? Hanya sekedar prediksi bisa salah dan bisa benar. RG mengemas ada tiga poin kriteria pendamping yang dibutuhkan Anies di antaranya: - memiliki elektabilitas yang tinggi, mampu menstabilkan politik parlemen dan bisa membangun Indonesia dengan gaya teknokrat. - orang yang mampu berkontribusi dalam memenangkan Anies adalah yang berasal dari wilayah sekuler bukan dari elektoral Anies. - pendamping yang mampu menertibkan begundal-begundal DPR adalah orang yang pernah menjadi koboi. Ketiga poin tersebut dalam standar akal sehat langsung patah. Bahwa orang yang mampu untuk menertibkan koboi-koboi politik juga harus pernah jadi koboi. Itu kedunguan yang terang benderang. Tidak mungkin: Koordinator Oligarki harus bunuh diri dan sebelumnya harus membunuh geng komplotannya. Ketua Laboratorium Psikologi Politik UI, Hamdi Muluk, menuturkan bahwa kemampuan politik Anies Baswedan mendapat penilaian tertinggi, khususnya kemampuan memenangi negosiasi dalam tarik-menarik di antara berbagai kepentingan. Jangan lupa fenomena pendukung Anies Baswedan muncul spontan, tampak sangat masif, histeris dan lebih kuat dari pendukung Prabowo – Sandi saat itu.  Para pendukung datang karena belive, yaitu bertemunya sebuah keyakinan antara nilai-nilai kejujuran, keadilan, kesederrhanaan dan kesopanan dengan figur Anies. Bagi umat Islam jauh lebih melekat karena faktor ghiroh. Dan, hebatnya Anies memiliki pendukung lintas agama dan golongan yang bersih dari kepentingan-kepentingan kelompoknya. Apakah Rocky Gerung lupa bahwa pendukung Anies tipe believe lebih kuat dari tipe interested. Kalimatnya sederhana: “I have believed with Mr Anies Baswedan: Saya sudah percaya dengan bapak Anies Baswedan”. Tanpa minta imbalan selain imbalan untuk bisa hidup bersama dikemudian hari. Pada tipe believe apapun yang masuk pada dirinya akan terfilter sebagai penguat referensi atau bahkan akan ditolak. Believed untuk dipahami bukan untuk didiskusikan. Otomatis statement tawaran LBP sebagai Cawapres Anies Baswedan tersebut otomatis akan mental dan tidak berbasis realitas terbaca hanyalah akal-akalan bulus dari akal yang tidak sehat. Sebagaimana warga negara sah dan biasa saja ketika seseorang sudah ada kepentingan politik harus siap berkonflik kepentingan demi ambisi dan tujuan politiknya. Kekuatan seseorang membuat pesan politik biasanya karena ada faktor antara lain: - Ada pesanan dari seseorang yang memiliki kedudukan, wewenang dan kekuasaan. - Ada misi dan kepentingan pribadi dan golongannya. - Ada hubungan afiliasi (hubungan agama, darah, perkawinan maupun hubungan pertemanan). - Ada gratifikasi dan fasilitas lainnya. Saya percaya Bung Rocky Gerung dengan kemampuan intelektualnya yang luar biasa sedang menggoyang akal sehatnya atau memang ada gangguan, sehingga akal sehatnya sedang goyah dan goyang. Sampai lupa dengan Liga Boikot Pemilu (LBP)-nya. (*)

Gratifikasi Jokowi Ada di Balik Dinding

Jangan sampai terkecoh dengan penampilan yang mengintimidasi atau menyilaukan, sehingga merancukan penampilan lahiriah dengan apa yang menggerakkannya. Oleh: Sutoyo Abadi, Koordinator Kajian Politik Merah Putih “MANUSIA mengandalkan tenggorokan untuk pernapasan dan (juga) untuk memelihara nyawanya. Ketika tenggorokan dicekik, organ panca indranya akan kehilangan kepekaannya dan tidak lagi berfungsi normal. Ia tidak akan sanggup merentangkan anggota anggota tubuhnya, akan menjadi kebas dan lumpuh. Tak akan sanggup bertahan dan akhirnya mati”. (The Wiles Of War). Ketika pilar kekuasaan dan pilar penopang menghadapi musuh mulai kritis gratifikasi kekuasaannya mulai retak, yang bersangkutan akan kelihatan linglung, nanar, dan gelisah. Gratifikasi Presiden Joko Widodo sudah terlacak oleh rakyatnya, apa yang membuat masih bisa bertahan, siapa yang memandu tindakannya dan sumber yang melandasi kekuatannya. Semua bukan bersumber dari kekuatan dalam dirinya. Gerakan fisik sudah terlihat seringkali penampilan lahiriahnya dilebih-lebihkan. Bahkan sesekali menyesatkan karena kuasa tidak berani menunjukkan kelemahannya. Di balik penampilannya tersebut itulah “pusat gravitasi”. Pusat segala kuasa dan gerakannya tersebut tergantung yang akan mengatur keseluruhannya. Menyerang pusat gratifikasi ini, menetralkan, atau malah menghancurkannya adalah serangan paling hakiki keseluruhan strukturnya akan ambruk. Memukul dan menyerang di sini adalah cara terbaik untuk mengakhiri konflik secara pasti dan ekonomis. Jangan sampai terkecoh dengan penampilan yang mengintimidasi atau menyilaukan, sehingga merancukan penampilan lahiriah dengan apa yang menggerakkannya. Untuk menemukan pusat gratifikasi harus dikenali dan dipahami dengan tepat, psikologi dan budaya ketika yang bersangkutan bergerak. Struktur dan cara berpikir dan prioritas mereka. Sering bersifat abstrak tetapi tetap akan mudah dilacak pada reputasinya, kapasitas yang akan memperdayai hidupnya dan tidak bisa disembunyikan. Jokowi hanya bisa hidup di balik dinding, berlindung dari kekuatan dirinya, kekuatan itu melindunginya. Jangan membentur-benturkan kepala kita ke dinding atau mengepungnya. Temukan pilar dan penopang yang menjadikan dinding tersebut berdiri yang memberikan kekuatan. Gali di bawah dinding tersebut, rusak di fondasinya hingga dinding tersebut ambruk dengan sendirinya. Ambil pilihan tindakan: - runtuhkan sumber ekonomi Oligarki bersamaan dengan momentum krisis ekonomi global - hentikan hutang negara dan hentikan ambisi investasi sebagai jubah andalannya - hentikan syahwat pembangunan infrastruktur untuk semuanya - putus ketergantungan ekonomi dengan China - pulangkan semua TKA China dengan paksa - segera kembali ke Pancasila dan UUD 45 asli Poin di atas adalah tenggorokan rejim saat ini apabila dicekik pasti akan ambruk dan runtuh. Tidak ada pembalikan terhadap dalil atau prinsip ini. (*)

Jika Ijazah Palsu, Jokowi Sakit Jiwa

Oleh M Rizal Fadillah - Pemerhati Politik dan Kebangsaan  DENGAN dicabutnya gugatan perdata soal ijazah palsu Jokowi oleh kuasa hukum Bambang Tri bukan berarti kepalsuan ijazah tidak terbukti. Hikmahnya adalah keabsahan ijazah Jokowi  tetap menjadi gonjang-ganjing. Sepanjang tidak ada upaya Jokowi sendiri untuk mengklarifikasi dan membuktikan, maka tuduhan itu tetap berjalan. Menjadi pertanyaan dan bahan ejekan publik.  Apapun kondisi gonjang ganjing yang bercitra memalukan ini, jika ternyata ke depan terbukti bahwa ijazah Jokowi itu palsu, maka diprediksi Jokowi itu sakit jiwa dalam makna : Pertama, konsekuensi hukum atas palsunya ijazah adalah menyangkut keabsahan status jabatan politik yang diembannya baik Walikota, Gubernur maupun Presiden. Konsekuensi politik berkaitan dari perbuatan tercela dapat berakibat impeachment. Beban berat yang berhubungan dengan kejiwaan.  Kedua, kemampuan bertahan dan tanpa rasa malu atau dosa dalam hal berbuat salah adalah ciri penyakit jiwa. Bagaimana seorang yang berijazah palsu mampu berpidato tentang nilai-nilai moral atau percaya diri bergaul dalam ruang global? Hanya orang tidak sehat yang mampu melakukan hal itu.  Jika terbukti ijazah Jokowi palsu maka itu adalah  kejahatan serius sebagaimana tertuang dalam KUHP Pasal 263 maupun Pasal 69 UU No 20 tahun 2003 tentang Sisdiknas. Meski dalam  UU Omnibus Law sanksi pidana dicoba untuk dihilangkan.  Banyak penguasa bertingkah aneh seperti kaisar Nero yang merasa tak bersalah bahkan dengan santai memainkan harpa setelah membakar Roma. Ingin punya istana baru di tengah krisis ekonomi kerajaan Romawi. Membunuh ibu kandungnya Agrippina serta sering blusukan menyamar sebagai budak. Enteng membunuh orang yang ditemuinya. Anti agama dan membantai aktivis keagamaan. Nero mengalami neurosis.  Stress sering membangun kepura-puraan dan kebohongan. Mengeles atau mencari pembenaran. Semangat menunda Pemilu dengan berbagai alasan adalah tanda stress. Khawatir obsesi yang tidak tercapai termasuk peluang tipis bahwa bonekanya akan berhasil dan sukses. Ada halusinasi, paranoia ataupun delusi.  Pemerintahan Jokowi tidak berjalan normal. Banyak yang menilai sebagai Presiden Indonesia terburuk. Kini desakan mundur kepadanya terus menggema \"rakyat bahagia jika Jokowi mundur\". Ijazah palsu hanya salah satu fenomena. Tapi itupun cukup serius. Sayangnya seperti tak jelas apa langkah untuk menyelesaikannya. Rakyat dibiarkan menuduh dan menduga-duga. Bambang Tri yang mencoba membuka ruang \"yes\" or \"no\" malah ditangkap dan ditahan.  Dalam hubungan keagamaan, sumpah palsu adalah dosa berat begitu juga dengan dagangan palsu, berita palsu, kesaksian palsu dan janji palsu. Ijazah palsu masuk kategori penipuan publik. Berkategori hukum haram.  Kita semua berharap ijazah pak Jokowi itu asli agar rakyat tenang karena memiliki Presiden yang masih sehat. Tidak sakit jiwa. Moga bukan mimpi atau halusinasi. (*)

Aneh, Polisi Yang Salah, Sepakbola Yang Dihukum

Pasca peristiwa tragis di Kanjuruhan sepakbola dibekukan entah sampai kapan. Padahal semua sepakat pemicu tragedi adalah gas air mata yang ditembakkan polisi.  Oleh: Rahmi Aries Nova, Wartawan Senior FNN KETUA Umum Persatuan Sepakbola Seluruh Indonesia (PSSI) Mochamad Iriawan alias Iwan Bule akan mundur teratur (lewat Kongres Luar Biasa) paling lambat Maret 2023 mendatang. Liga 1 sebagai produk PSSI juga sudah dihentikan lebih dari sebulan. Kegiatan di stadion, bahkan untuk urusan di luar sepakbola seperti Konser Dewa di Jakarta Internasional Stadium juga sudah dilarang. Tapi siapa dan mengapa polisi menembaki Aremania dengan gas air mata belum terungkap. Teror aparat yang mendatangkan mudarat coba ditutup rapat. Kalau sepakbola dan PSSI dibekukan, harusnya hal serupa juga dilakukan pada polisi dan POLRI. Makin aneh Komnas HAM malah mengancam sepakbola, tapi tidak polisi. Bahkan Arema pun tidak bisa disalahkan karena mereka tidak bisa mengantisipasi tembakan gas airmata, terlebih klub-klub lain, peserta Liga 1, Liga 2 juga Liga 3. Sepakbola kita harus dibenahi iya. Tapi dihukum, dihentikan, bahkan dibekukan itu keterlaluan dan pelanggaran HAM juga. Karena ribuan orang menggantungkan hidupnya di sepakbola. Liga juga adalah tujuan jutaan anak-anak yang saat ini berlatih di ribuan sekolah sepakbola di tanah air. Ah tapi kan sepakbola kita tidak maju-maju? Lah memang negara kita negara maju? Untuk ukuran negara yang masuk dalam 100 negara miskin di dunia (peringkat 76) punya liga itu sudah sebuah \'kemewahan\' lho! Kalau liganya nggak \'asyik\' mana mungkin stasiun televisi mau membeli hak siarnya hingga ratusan miliar. Atau bapak-bapak Komnas HAM dan Mahfud MD cs tampaknya memang lebih suka rakyat Indonesia dijejali tayangan sinetron-sinetron kejar tayang yang kadang ceritanya tak masuk akal ketimbang melihat perjuangan riil anak muda menjadi bintang lapangan hijau. Biarlah sepakbola tetap diisi oleh sepak terjang Marcelino Ferdinan dan kawan-kawan, bukan jadi panggung buat pahlawan kesiangan yang mengatasnamakan HAM. (*)

Anies Baswedan, President in Waiting

Oleh Asyari Usman - Jurnalis Senior FNN  MAU disebut presiden de-facto, takut ada yang tersinggung. Tetapi, massa pendukung Anies Baswedan di Sumatera Utara menganggap beliaulah presiden. Itu tampak dari sambutan meriah di kota Medan ketika dia menghadiri acara sapa relawan Anies. Belasan ribu massa berjejer di sepanjang jalan. Puluhan ribu pula hadir di Istana Maimoon ketika Anies menyampaikan orasi di situ. Teriakan “Anies presiden” menggema. Seolah sudah masuk musim kampanye. Kedatangan capres Nasdem itu sudah lama ditunggu-tunggu warga Sumetara Utara.  Kunjungan sapa relawan dan pendukung ke Medan kemarin, Jumat (4 November), merupakan yang pertama sejak Anies meninggalkan Balai Kota Jakarta. Perlu dicatat pula bahwa Balai Kota dan jalan-jalan di sekitarnya penuh dengan massa pendukung ketika Anies keluar dari kantornya pada 16 Oktober2022.  Masyarakat yang menyambut di Medan dipastikan bukan massa bayaran. Mereka datang secara sukarela tanpa pengerahan. Mereka menunggu sejak pagi sekali. Hanya ada satu motif mereka dalam memeriahkan sambutan itu. Yaitu, agar seluruh dunia tahu bahwa rakyat Indonesia mendambakan perubahan. Bahwa rakyat sudah sangat jenuh dan muak dengan rezim yang sedang berkuasa dengan keangkuhannya.  Penyambutan ini mengirimkan beberapa pesan. Pertama, pesan bahwa bagi rakyat, Anies adalah presiden yang hanya menunggu legitimasi pilpres 2024. Dia dianggap sebagai “president in waiting”. Konsekuensi dari anggapan ini adalah bahwa tidak mungkin orang lain yang terpilih selagi Anies ikut pilpres. Yang kedua adalah pesan kepada lembaga-lembaga yang langsung atau tak langsung terlibat dalam penyelenggaraan pilpres 2024 agar mereka jangan coba-coba melakukan kecurangan. Persoalannya bisa sangat fatal kalau mereka curang. Rakyat tidak akan bereaksi “yah, sudahlah” seperti yang terlihat pasca-pilpres curang 2019.  Mengapa kecurangan pilpres 2024 akan berujung fatal, karena Anies bukan Prabowo. Belakangan ini rakyat akhirnya tahu persis bahwa Prabowo memang maju untuk kalah. Begitu banyak begundal-begundal di sekitar Prabowo yang menikmati kekalahan yang disengaja itu. Pesan ketiga adalah bahwa sambutan rakyat yang sangat antusias itu menunjukkan mereka siap membiayai Anies secara ‘saweran’ alias gotongroyong. Sinonim untuk “crowd funding”. Dana publik dalam bentuk donasi terbuka (open donation). Massa pendukung menyadari bahwa Anies harus didukung oleh dana dari semua pendukungnya sesuai kemampuan dan semangat masing-masing. Jadi, dari Medan kita bisa menangkap dengan jelas bahwa Anies akan didukung habis-habisan. Kemarin rakyat keluar untuk melihat wajah Anies. Selanjutnya, rakyat keluar mengirimkan dana saweran untuk mengantarkan Anies ke Istana tanpa Oligarki. Sekali lagi, rakyat melihat Anies sebagai “President in Wainting”. Hanya menanti proses konstitusional yang akan berlangsung pada 14 Februari 2024.[]

Apakah Jokowi (Menginginkan) Ketum PDIP?

Jokowi memiliki Putra dan Mantu yang bersinar terang sebagai Walikota. Tentu ini jabatan Eksekutif yang mirip dengan keluarga George Bush saat jadi Presiden AS ke-41 kelak digantikan Geroge Bush Jr yang waktu itu Gubernur Texas. Oleh: Andrianto, Aktivis dan Pengamat Kebangsaan ADA yang menghebohkan di jagad kandang banteng saat doa agar Joko Widodo Ketum PDIP. Sontak tensi makin meninggi berpacu seiring belum jelasnya tiket Capres dari PDIP. Apakah salah jika ada yang mendo\'akan Jokowi menjadi Ketum PDIP setelah Megawati Soekarnoputri. (Jabatan yang sudah disandang Megawati sejak 1993 Kongres Luar Biasa di Surabaya). Apakah itu doa yang baik? Bukankah doa justifikasinya selalu baik. Apalagi Do\'a dari elemen relawan Ganjar Pranowo yakni KAMI Ganjar (Koalisi Aktivis dan Milineal Indonesia) yang dipimpin eks petinggi KNPI Joko Priyoski. Yang bikin dahi berkerut reaksi dari pendukung militan Ganjar Pranowo, yakni para BuzerRP yang menyatakan KAMI Ganjar abal-abal. Bukankah doa itu harapan, lagipula disebutkan bila Ganjar Presiden maka untuk memperkuat pemerintahan, PDIP yang diprediksi semua lembaga survei akan mendapat pemilih suara terbesar di Parlemen. Agar selaras dengan Ganjar di eksekutif, maka Jokowi Ketum PDIP. Tentu ini harapan dari KAMI Ganjar. Publik menilau endorsmen Jokowi ke Ganjar tentu bukan tanpa reserve. Jokowi butuh pengganti yang bisa diandalkan loyalitasnya, mengingat banyaknya kasus dan peristiwa poitik berupa pelanggaran HAM (tragedi Bawaslu, KM 50 dll) dan surutnya demokrasi dengan penangkapan aktivis yang dosisnya melebihi era Orba, bahkan Yusril Ihza Mahendra menyakini otoriterisme terhadap Bambang Tri dan Gus Nur perihal isu ijasah palsu. Belum lagi banyaknya project mercusuar sifatnya seperti IKN dan pemihakan ke para Oligarki Ekonomi seperti dinyatakan Faisal Basri yang mengecam keras soal tata kelola Sumber Daya Alam Nikel yang untungkan elit terdalam Jokowi yang berkongsi dengan negara Asing/RRC. Selama ini terlihat gesture Jokowi berupaya keras menjajakan Ganjar, meski PDIP lewat Rakernas ke-2-nya yang dibacakan Ganjar sendiri bahwa domain Capres itu Ketum PDIP yakni Megawati. Namun, tidak berlangsung lama Jokowi justru menggelar MUSRA (Musyawarah Rakyat) elemen relawan militan Jokowi untuk Pencapresan. Nah reaksi Ganjar sendiri sangat keras perihal doa ini. Padahal Relawan KAMI Ganjar bukankah sifatnya non struktural? Memangnya sudah ada relawan resmi Ganjar? Akhirnya kita jadi teringat ujaran terkenal Ketua Mao Zedong, memancing ular keluar dari tanah. Sebuah ungkapan era Revolusi Kebudayaan China, terjadinya penyingkiran tokoh yang kritis terhadap Mao. Akhirnya publik memang menangkap adanya benih-benih keretakan yang parah di kandang banteng. Apalagi dengan makin menuanya usia Megawati. Selain Jokowi memang tidak ada kader yang menonjol lagi. Meski ada Puan Ketua DPR. Puan tentu lebih banteng ketimbang Jokowi. Puan kader yang alami proses natural dan berjenjang sampai akhirnya jadi Petinggi di PDIP. Hal pengkaderan ini tidak dialami Jokowi yang blum pernah jadi pengurus PDIP bahkan saat inipun, bukan pengurus. Pasca Presiden dengan usia yang relatif fresh tentu Jokowi tidak ingin ulangi kesalahan Suharto dan SBY. Keduanya dengan sikond berbeda abai terhadap keluarganya. Bahkan yang tragis Suharto yang besarkan Golkar, Keluarga Cendana tersingkir dari Golkar. SBY pun nyaris terguling dari Partai yang didirikannya akan dibegal oleh orang lingkaran dalam Istana. Jokowi memiliki Putra dan Mantu yang bersinar terang sebagai Walikota. Tentu ini jabatan Eksekutif yang mirip dengan keluarga George Bush saat jadi Presiden AS ke-41 kelak digantikan Geroge Bush Jr yang waktu itu Gubernur Texas. Jokowi pastinya akan mengawal proses Sang Putra ke jenjang tertinggi seperti dirinya. Dan ini bisa terjadi bila Ganjar yang didukungnya bisa menggantikannya. Maka logis do\'a jadi manifest Jokowi Ketum PDIP. Bagaimana menurut anda? (*)

Siap-Siap Tembus Rp 16.000 Per Dolar AS

Apakah keyakinan ini akan menjadi kenyataan? Bagaimana konsekuensinya kalau meleset? Apakah kebijakan BI masih bisa beradaptasi tepat waktu terhadap perubahan ekonomi global yang sangat cepat? Oleh: Anthony Budiawan, Managing Director Political Economy and Policy Studies (PEPS) BANK Sentral Amerika atau Federal Reserve (The Fed) menaikkan suku bunga acuannya pada hari Rabu (2/11) sebesar tiga perempat persen untuk keempat kalinya secara berturut-turut, tetapi juga mengisyaratkan bahwa Fed dapat segera mengurangi tingkat kenaikan suku bunganya. Langkah Fed itu menaikkan suku bunga jangka pendek utamanya ke kisaran 3,75% hingga 4%, level tertinggi dalam 15 tahun. Kenaikan suku bunga itu adalah yang keenam yang dilakukan bank sentral tahun ini – sebuah rentetan yang telah membuat KPR dan pinjaman konsumen dan bisnis lainnya semakin mahal dan meningkatkan risiko resesi. Dengan kurs rupiah sempat tembus Rp 15.820 per dolar AS itu, tidak terlalu mengejutkan. Karena, sejak Mei 2022 lalu, kebijakan moneter Bank Indonesia terasa sangat spekulatif. Kurs rupiah sudah diperkirakan akan terus melemah, tergantung seberapa kuat intervensi kurs oleh otoritas moneter. Setelah kebijakan spekulatif, kini BI bermain api, hanya menaikkan suku bunga acuan sebesar 50 basis point pada 22 Oktober lalu, padahal the Fed, FOMC, mengadakan rapat pada 1-2 November 2022, dan diperkirakan akan menaikkan suku bunga acuannya paling sedikit 75 basis point, dan menjadi kenyataan. Membuat selisih suku bunga acuan BI dengan the Fed sangat kecil sekali, memicu dolar mengalir ke luar negeri dan kurs rupiah terdepresiasi tajam. Siap-siap tembus Rp 16.000 per dolar AS. Sejauh mana BI masih terus kuat intervensi? Sebelumnya, Bank Indonesia (BI) pertahankan tingkat suku bunga acuan di 3,5 persen pada Juli lalu. Meski inflasi tahunan (total) sampai dengan Juni 2022 sudah mencapai 4,35 persen. Bahkan, inflasi pangan mencapai 9,1 persen. Namun demikian, tingkat inflasi tersebut tidak membuat BI khawatir. Karena BI lebih mempertimbangkan tingkat inflasi INTI, yang menurut BI masih sangat rendah. Hanya 2,63 persen. Karena itu, BI tidak menaikkan suku bunga acuan. Inflasi Inti adalah komponen inflasi dengan pergerakan persisten, artinya tidak termasuk komponen inflasi yang bersifat fluktuatif seperti pangan dan energi (yang bisa tiba-tiba naik dan turun).Sebelumnya, awal pekan ini, BI menjual SBN (Surat Berharga Negara) di pasar sekunder senilai Rp 390 miliar, untuk mengurangi jumlah uang beredar, dan tentu saja untuk menekan inflasi (Inti). Artinya, BI berpendapat, inflasi Inti yang merambat naik ke 2,63 persen itu disebabkan jumlah uang beredar meningkat.Meskipun masih sangat rendah, BI berpendapat inflasi Inti harus ditekan, melalui pengetatan uang beredar. Tetapi, untuk inflasi Non-Inti, yaitu inflasi pangan dan energi, sepertinya BI tidak bisa berbuat banyak, menyerahkan global untuk mengatasinya.BI sangat paham dampak dan konsekuensi dari bauran kebijakannya ini. BI berpendapat ekonomi Indonesia mampu menghadapi konsekuensi tersebut.Pertama, kurs rupiah akan menghadapi tekanan cukup serius. Karena perbedaan suku bunga di AS dan Indonesia menjadi sangat kecil, sehingga dapat memicu arus dolar keluar dari Indonesia. Apalagi kalau suku bunga the FED naik lagi pada awal pekan depan, maka arus dolar bisa lebih deras lagi mengalir ke luar negeri. Rapat dewan gubernur the FED diselenggarakan pada 26-27 Juli lalu.Kedua, penjualan SBN sebesar Rp 293 miliar sepertinya hanya kebijakan basa-basi saja. Jumlah ini sangat tidak signifikan. Hanya untuk pengaruhi faktor psikologis pasar saja. Kecuali kalau kebijakan ini akan berlanjut terus, dan menjadi signifikan. Maka, dampaknya, pertumbuhan ekonomi akan tertekan.Kebijakan penjualan SBN ini terlihat tidak konsisten. Kalau BI menganggap inflasi INTI masih rendah, seharusnya BI tidak perlu memperketat uang beredar, yang akan membuat pertumbuhan ekonomi melambat. Kalau kebijakan ini hanya untuk pengaruhi faktor psikologis pasar saja, maka kebijakan ini tidak berarti sama sekali dalam melawan inflasi (INTI).Kebijakan moneter BI seperti digambarkan di atas mengandung risiko cukup besar, sulit terukur, dan bisa dikatakan mengandung unsur “spekulatif”?Sepertinya BI sangat yakin jumlah cadangan devisa cukup besar untuk bisa memenuhi arus dolar keluar dari Indonesia, tanpa mengganggu kurs rupiah. Artinya, BI sangat yakin intervensi kurs rupiah akan efektif, dapat menahan kurs rupiah di sekitar Rp 15.000.Apakah keyakinan ini akan menjadi kenyataan? Bagaimana konsekuensinya kalau meleset? Apakah kebijakan BI masih bisa beradaptasi tepat waktu terhadap perubahan ekonomi global yang sangat cepat? Kalau meleset agak jauh, mungkin bisa berakibat fatal bagi perekonomian Indonesia: Kurs rupiah dan cadangan devisa bisa tergelincir. (*)

Popularitas Dr. Craig Considine dan Komunitas Muslim Amerika

Di luar dugaan saya, tidak berselang lama setelah saya mengirim DM (direct message) beliau merespon di kedua platform itu. Tidak sekedar menjawab. Tapi mengenalkan diri sebagai pengagum (entah apa yang dikagumi). Oleh: Imam Shamsi Ali, Presiden Nusantara Foundation BANYAK kalangan yang bertanya sejak kapan dan dari mana saya mengenal Dr. Craig Considine, seorang professor yang saat ini sangat populer di kalangan Komunitas Muslim, tidak saja di US, tapi juga di berbagai belahan dunia Islam. Beliau menjadi populer karena kwalitas kecendekiawanan (Scholarship) dan kegigihan mencari ilmu (tholabul ‘ilm). Terlepas dari kesimpulan yang dia telah capai hingga saat ini, Dr. Considine telah memecahkan es (breaking the ice) dalam dunia keilmuan ketika sampai kepada kebenaran tentang “the other” (orang lain). Hal ini yang membawanya kepada kesimpulan bahwa Muhammad (SAW) adalah Nabi dan utusan Tuhan.  Dia mencintainya sebagai role model (tauladan) khususnya dalam aspek-aspek kemanusiaan (humanity) dan sosial. Bahkan dia memposisikan diri sebagai “Muslim apologist” (seorang pembela Rasulullah dan ajarannya). Kata-kata “mengimani, mencintai, dan membela” bagi saya adalah pengakuan  yang perlu diapresiasi dari seseorang yang terbuka mengaku Kristen. Hati manusia tidak diketahui dan tidak terukur. Allahlah yang mengarahkan dan menentukan kemudian apa dan bagaimana seseorang dalam keimanan. Kali ini bukan itu yang akan saya bahas lagi. Tapi sedikit latar belakang dari mana, di mana, dan bagaimana saya mulai mengenal Dr. Craig Considine yang ahli di bidang sociologi ini. Kenapa tiba-tiba saja saya dekat, bahkan saling mendukung dalam upaya membangun jembatan kesepahaman (bridge of understanding) untuk dunia yang lebih damai. Awal dari semua itu telah cukup lama. Pada sekitar tahun 2006 lalu, ketika saya masih seorang Imam di Islamic Cultural Center of New York (96th Street Mosque), saya mendapat kunjungan kehormatan dari Professional Akbar Ahmed. Beliau adalah mantan Dubes Pakistan di Inggris yang belakangan menjadi Chair Ibnu Khaldun Institute dan professor ilmu-ilmu Islam dan sosiologi di Washington University. Kehadiran beliau ketika itu untuk mewawancarai saya tentang “American Muslim” untuk proyek buku yang beliau tulis: A Journey to America. Beliau saat itu hadir di kota New York, selain mewawancarai saya juga hadir di Muslim Day Parade atau Parade Islam yang saya ketuai. Beliau juga ditemani oleh dua orang mahasiswanya. Salah satunya adalah mahasiswa muda yang bertugas mengambil gambar atau video. Mahasiswa itulah yang di kemudian hari menjadi Prof. Craig Considine, PhD. Sebagai seorang mahasiswa saat itu yang sedang bertugas menemani professornya tentu saya tidak terlalu peduli. Fokus saya adalah memberikan perhatian kepada Prof. Akbar Ahmed yang saya anggap sangat populer dan honorable (dihormati). Considine muda hanya seorang mahasiswa yang bertugas memegang kamera milik sang professor. Sejak itu kami tidak pernah lagi berkomunikasi apalagi bertemu. Hampir 10 tahun kemudian, sekitar tahun 2016, saya membaca sebuah artikel tentang Rasulullah (SAW) yang ditulis oleh seorang Professor non Muslim. Artikel itu begitu indah dan jujur, mendorong saya untuk mencari tahu siapa gerangan sang penulis; Craig Considine. Saya pun mulai mencari tahu. Pihak pertama yang saya tanya adalah Prof. Google. Ketika saya tanya Google, dengan semangatnya si Google memberikan jawaban yang banyak. Termasuk bio data, afiliasi, hingga ke media sosialnya. Awalnya saya tidak yakin Craig akan merespon. Siapalah saya. Hanya seorang aktivis jalanan yang tidak dikenal. Bukan seorang cendekiawan (ilmuwan). Bukan juga akademisi. Karenanya saya coba saja menghubungi lewat media sosialnya. Kalau tidak salah menelusuri twitter dan FB miliknya. Saya semakin kagum karena keberanian dan kejujurannya sebagai non Muslim. Di luar dugaan saya, tidak berselang lama setelah saya mengirim DM (direct message) beliau merespon di kedua platform itu. Tidak sekedar menjawab. Tapi mengenalkan diri sebagai pengagum (entah apa yang dikagumi). Dalam respon ketika itu beliau sampaikan: “Imam Ali, thank you for reaching out to me. I am one of your fans. I know you, but you don’t know me. I am the student who came to meet you along Dr. Akbar Ahmed some years ago…etc”. Singkat cerita lagi, beliau mengenalkan diri bahwa beliau sedang mendalami tentang kehidupan Muhammad (the life of Muhammad) dari aspek sosiologi. Dan beliau sedang menyelesaikan penulisan sebuah buku tentang Nabi Muhammad (SAW). Bahkan meminta saya menjadi salah seorang yang menuliskan testimoni bagi buku beliau jika nantinya diterbitkan. Dan saya lakukan itu. Pada tahun 2018 lalu saya undang Dr. Conside menjadi pembicara utama di acara tahunan Nusantara. Beliau bahkan sangat senang dan bahagia dengan undangan itu. Lalu pada 2022 ini, setelah dua tahun absen karena Covid-19, beliau hadir tidak sekedar jadi narasumber. Tapi beliau menjadi recipient (penerima) Nusantara Award 2022. Saya hanya ingin mengatakan bahwa hidup manusia itu seringkali tidak diprediksi. Hari ini tidak dikenal, bahkan tidak ada yang mau mengenalnya. Di esok hari menjadi terkenal dan banyak yang ingin mengenalnya. Dr. Considine dikenal dan terkenal karena karya-karya dan inovasi di bidang keilmuan. He deserves it. For that, congratulations my friend! NYC Subway, 3 Nopember 2022. (*)

Ubah Saja BNPT Menjadi BNPO Atau BNP-PKI!

Tentu semuanya memang hanya sekadar dugaan belaka tapi bisa jadi benar adanya. Kenyataan dan realitas yang terjadi saat ini negara dalam ancaman Oligarki dan indikasi kuat akan bangkitnya kembali PKI. Oleh: Sutoyo Abadi, Koordinator Kajian Politik Merah Putih TOKOH Muhammadiyah Din Syamsuddin mengaku sudah menduga bakal terjadi sesuatu saat Kepala Staf Kepresidenan (KSP) Moeldoko bicara tentang radikalisme dan politik identitas jelang Pemilu 2024, kata Din Syamsuddin dalam keterangan, Rabu, 26 Oktober 2022. Sebaiknya Badan Nasional Pencegahan Terorisme (BNPT) diubah menjadi Badan Nasional Penanggulangan Oligarki (BNPO)  atau Badan Nasional Penanggulangan Kebangkitan Partai Komunis Indonesia (BNPK-PKI). Cabut dan ubah UU Nomor 5 Tahun 2018 tanggal 21 Juni 2018, tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang Undang Nomor 1 Tahun 2002 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme, sesuai kondisi aktual negara dalam ancaman Oligarki dan kebangkitan PKI. Pada masa perkembangan virus Covid dengan program PPKM dan macam- macam aturan untuk pencerahan virus Covid, BNPT seperti pensiun dari kerjanya, sunyi senyap tenang dalam posisinya. Akhir-akhir ini menjelang tahun politik 2023, narasi radikalisme dan terorisme kembali digulirkan bak gorengan lama yang berusaha dipanaskan kembali keberadaannya. Bahkan sudah beranak lahirnya narasi Politik Identitas di aduk dengan khilafah. Di balik getolnya pemerintah untuk memerangi paham radikalisme-terorisme ini muncul opini, sebenarnya persoalan radikalisme-terorisme itu diduga kuat hanya merupakan sebuah proyek yang berbahaya karena bisa memecah-belah persatuan umat dan bangsa Indonesia. Sangat mungkin ini hanya untuk menutup beberapa situasi negara dalam kondisi gawat akibat ulah Oligarki yang telah memporak-porandakan tata kelola negara dan bersamaan sangat kuat diduga akan munculnya kembali kebangkitan PKI. - Apa itu radikalisme begitu penting untuk diwaspadai? - Apakah radikalisme ini sebenarnya hanya sebuah proyek belaka? - Siapa sebenarnya yang menjadi korban terbesarnya? - Apa agenda terselubung di balik getolnya kampanye anti radikalisme-terorisme di Indonesia? Sampai detik ini, narasi radikalisme belum mendapatkan pengertian dan makna yang jelas di tengah-tengah masyarakat kita. Sebab tudingan yang didengungkan mengenai radikalisme acapkali sarat dengan kepentingan politik tertentu yang menyertainya. Bahkan, seringkali tudingan-tudingan tersebut dialamatkan kepada pihak-pihak yang dianggap telah mengancam eksistensi penguasa atau ditujukan kepada mereka yang katanya bermaksud mengganti Pancasila dan UUD 1945 dengan arah tembakan lurus kepada umat Islam. Ancaman terhadap penggantian Pancasila dan UUD 1945 itu sangat jelas dan terang benderang bukan datang dari umat Islam. Ancaman tersebut justru datang dari rezim bersama kekuatan Dewan Perwakilan Rakyat atas remot kaum kapitalis Oligarki yang telah berkali-kali mengamandemen UUD 1945 menjadi UUD 2002.  Kekuatan itulah yang saat ini riil telah mengganti UUD 1945 menjadi UUD 2002. Tiba-tiba urusannya melesat jauh ke soal radikalisme, teroris, khilafah dan politik identitas. Secara yuridis dalam UU Nomor 5 Tahun 2018 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme, memang berulangkali digunakan diksi “radikalisasi”. Tidak dijelaskan definisi dari radikalisme itu sendiri sendiri sehingga tidak jelas makna yang dimaksudkannya. Selain itu hingga saat ini belum ada lembaga negara yang secara sah dapat menentukan siapa saja yang bisa disebut radikal dan tindakan apa yang bisa dilakukan kepadanya. Karena radikalisme tidaklah sama dengan terorisme, bahkan BNPT pun sebenarnya tak punya legitimasi untuk menentukan kriteria radikal maupun ekstrem dan siapa saja yang harus diwaspadainya. Terlalu banyak analisa kalau persoalan radikalisme – terorisme hanya merupakan sebuah proyek, antara lain oleh mantan Komisioner Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM), Hafidz Abbas dikutip beberapa media menyebut bahwa kasus terorisme di Indonesia selama ini terkesan seperti proyek belaka. Jauh sebelumnya, sinyalemen radikalisme-terorisme telah dijadikan proyek juga disampaikan oleh Mantan Ketua Umum PBNU dua periode (1999-2009), KH Hasyim Muzadi (sebelum beliau meninggal dunia). Secara tersirat menilai bahwa permanenisasi isu radikalisme-terorisme di Indonesia ini sepertinya sudah dijadikan proyek-proyek yang permanen sifatnya. Laksamana TNI Purnawirawan Mulyo Wibisono, mantan Komandan Satgas Intel Badan Intelijen Strategis (BAIS) ini bahkan tanpa tedeng aling-aling menyebut ada kemungkinan kemunculan teroris Solo beberapa waktu yang lalu sebagai rekayasa pihak BNPT untuk mendapatkan kucuran dana, dana dari si polisi dunia, seperti dikutip itoday, Sabtu (8/9/2012). Membaca narasi soal radikalisme-terorisme di atas memang memunculkan sebuah tanda tanya benarkah persoalan radikalisme-terorisme di Indonesia itu hanya sekadar proyek belaka? Terlepas dari benar atau tidaknya sinyalemen yang menyatakan program pemberantasan radikalisme dan terorisme sebagai proyek semata, yang jelas program ini sasaran dan korbannya kepada umat Islam. Wajar Muhammadiyah yang secara tegas menolak ajakan BNPT untuk bersama-sama memerangi radikalisme dan terorisme di Indonesia atau menolak untuk bergabung dalam program deradikalisasi di Indonesia. “Muhammadiyah berdiri sejak 1912, jauh sebelum Republik ini berdiri, apalagi BNPT. Kami sudah berpengalaman menangani soal radikalisme,” papar Pak Din. Benar apa yang dikatakan oleh Jhon Pilgers, seorang jurnalis Australia bahwa korban terbesar terorisme adalah umat Islam. Hakikatnya tak ada perang terhadap radikalisme-terorisme, yang ada adalah perang menggunakan alasan terorisme sebagai kedoknya. Untuk umat Islam, mereka membaginya menjadi 4 golongan:1) Muslim Fundamentalis; 2) Muslim Tradisionalis; 3) Muslim moderat (liberal); Dan, 4) Muslim Sekuler. Dengan adanya penggolongan ini dimaksudkan untuk lebih memudahkan pihak yang berkepentingan dalam memecah-belah umat islam atau politik devide et empera. Melalui skema pembagian ini dengan mudah akan diperuncing perbedaannya dan saling dibenturkan satu dengan lainnya. Sehingga, tidak perlu susah payah menyerang kaum muslimin, cukup memakai politik devide et empera. Selain mengandung nuansa proyek yang merugikan kepentingan umat Islam, isu radikalisme dan terorisme juga dicurigai mengandung misi terselubung yang merugikan bukan hanya umat Islam tapi bangsa Indonesia pada umumnya. Agenda terselubung itu diantaranya: - Mendangkalkan keyakinan umat Islam yang menjalankan syariat agamanya. - Patut dicurigai bahwa narasi radikalisme hanya alat untuk memukul pihak-pihak yang dinilai tidak sejalan dengan penguasa. - Stigmatisasi radikal sengaja disematkan kepada ulama (ustadz) dan tokoh masyarakat yang lantang menyuarakan kebenaran dan berani menantang kebijakan rezim yang tidak menjalankan amanah yang diberikan rakyat kepadanya. - Kampanyekan kalau syariat dan khilafah Islam dianggap sebagai sistem yang tidak toleran terhadap non muslim atau yang berbeda agama. - Narasi radikalisme yang dikembangkan saat ini bisa jadi merupakan upaya untuk menutupi kebobrokan sistem neoliberal kapitalisme yang telah menggurita di Indonesia yang merugikan rakyat, bangsa dan negara. Digaungkan untuk Pengalihan Isu? Menayangkan drama radikalisme seolah menjadi ‘end game’ dari pemerintah untuk menutupi masalah-masalah yang ada dan ketidakmampuannya dalam menangani permasalahan yang menjadi kewajibannya. Tentu semuanya memang hanya sekadar dugaan belaka tapi bisa jadi benar adanya. Kenyataan dan realitas yang terjadi saat ini negara dalam ancaman Oligarki dan indikasi kuat akan bangkitnya kembali PKI. Ini waktunya UU terkait Badan Nasional Pencegahan Terorisme (BNPT) diubah menjadi Badan Nasional Penanggulangan Oligarki (BNPO) atau Badan Nasional Penanggulangan Kebangkitan Partai Komunis Indonesia (BNPK-PKI). BNPT yang tidak jelas maksud dan tujuannya. Kita harus melihat dengan jernih persoalan radikal-radikul ini, sehingga nantinya tidak terjebak pada konflik horizontal yang panjang dan melelahkan diantara anak-anak bangsa. Karena akan sangat merugikan integritas, persatuan dan kesatuan bangsa. Banyak permasalahan bangsa dan negara ini yang perlu ditangani segera, sehingga isu radikalisme, terorisme, khilafah dan politik indentitas sangat berbahaya kalau direkaya hanya untuk menutupi masalah negara dari bahaya Oligargi dan perkembangan PKI saat ini. (*)

Empat Fitnah kepada Umat Islam

Oleh M Rizal Fadillah - Pemerhati Politik dan Kebangsaan  MESKI menjadi umat mayoritas di negara Indonesia, akan tetapi umat Islam secara politik tidak dalam posisi sentral. Alih-alih ikut menentukan dan mengatur arah bangsa justru yang terjadi saat ini menjadi entitas yang selalu dibuat resah oleh perilaku pengambil kebijakan politik.  Elemen demokrasi yang realitanya tidak berdaya menghadapi oligarki.  Lebih jauh umat Islam pun menjadi sasaran fitnah yang sebenarnya tidak perlu. Fitnah yang tidak bagus dalam rangka membangun persatuan dan kesatuan bangsa.  Empat fitnah yang meski tidak  pernah diungkap secara eksplisit namun dapat dirasakan sasaran akhirnya.  Pertama, terorisme. Berawal dari isu global konflik peradaban. Kelompok Islam yang ditarget adalah Al Qaida pimpinan Osama bin Laden. Afganistan, Irak, Suriah dan Yaman diobrak abrik. Dunia Islam termasuk Indonesia dipenuhi rekayasa kemunculan teroris-teroris \"amatir\". Terakhir perempuan berjilbab berhijab berpistol FN di depan Istana. Seperti ada disain baku bahwa teroris itu harus beratribut Islam.  Kedua, radikalisme. Fitnah berbiaya lebih murah dibanding proyek terorisme. Dihembuskan akan bahaya sikap radikal yang mengarah pada terorisme. BNPT yang seharusnya khusus mengurus terorisme kini sibuk ribut soal radikalisme. Proyek deradikalisasi dicanangkan dengan terma moderasi beragama. Sayangnya yang diwaspadai hanya kelompok Islam atau bagian dari umat Islam. Kemendikbud dan Kemenag menjadi garda depan program moderasi beragama. Hantu itu dibuat untuk menakut-nakuti.  Ketiga, intoleransi. Satu paket dengan radikalisme. Sikap tidak dapat menerima perbedaan. Konon anti kemajemukan. Satu dua orang yang berprisip demikian digeneralisasi sebagai sikap umum. Tentu tidak adil. Umat Islam yang meyakini hanya agamanya yang benar dimasukkan ke dalam sikap intoleran. Racunnya adalah semua agama itu  mengajarkan kebenaran. Semua agama benar.  Keempat, politik identitas. Ini yang aktual dijadikan semburan fitnah baru. Serangannya tetap kepada atribut keagamaan. Jika figur, Capres misalnya, mendapat dukungan dari umat Islam, maka itu disebut sebagai politik identitas. Pelekatan Islam pada kehidupan sosial, budaya, ekonomi dan politik merupakan politik identitas. Sementara tempelan untuk agama lain tidak. Presiden yang tidak nempat memakai pakaian adat bukan politik identitas. Tidak ada politik identitas pada sekularisme, nasionalisme sempit, nativisme bahkan atheisme. Berjuang untuk LGBT juga bukan.  Fitnah kepada umat Islam itu sebenarnya bagian dari apa yang disebut dengan Islamophobia. Jika Mahfud MD menyatakan bahwa Pemerintah tidak memiliki sikap Islamophobia yang ada hanya di masyarakat, maka pernyataan itu bohong dan mengaburkan.  Sepanjang isu terorisme, radikalisme, intoleransi dan politik identitas terus digaungkan oleh Pemerintah dengan sasaran bagian dari umat Islam, maka Pemerintahan dimana Mahfud MD itu ada di dalamnya adalah Pemerintahan Islamophobia.  Rezim Jokowi nyata-nyata Islamophobist.  Stop fitnah umat Islam, hentikan isu terorisme, radikalisme, intoleransi dan politik identitas yang semata diarahkan kepada umat Islam. Indonesia adalah negara Pancasila. Kontribusi umat Islam sangat besar. Indonesia bukan negara sekuler, atheis atau komunis.  Atau mungkin negara ini memang sudah dikuasai oleh pemimpin negara yang berwatak komunis ? Benci dan takut pada agama Islam . Lalu menjadi tukang fitnah.  Bandung, 4 Nopember 2022