Siap-Siap Tembus Rp 16.000 Per Dolar AS
Apakah keyakinan ini akan menjadi kenyataan? Bagaimana konsekuensinya kalau meleset? Apakah kebijakan BI masih bisa beradaptasi tepat waktu terhadap perubahan ekonomi global yang sangat cepat?
Oleh: Anthony Budiawan, Managing Director Political Economy and Policy Studies (PEPS)
BANK Sentral Amerika atau Federal Reserve (The Fed) menaikkan suku bunga acuannya pada hari Rabu (2/11) sebesar tiga perempat persen untuk keempat kalinya secara berturut-turut, tetapi juga mengisyaratkan bahwa Fed dapat segera mengurangi tingkat kenaikan suku bunganya.
Langkah Fed itu menaikkan suku bunga jangka pendek utamanya ke kisaran 3,75% hingga 4%, level tertinggi dalam 15 tahun. Kenaikan suku bunga itu adalah yang keenam yang dilakukan bank sentral tahun ini – sebuah rentetan yang telah membuat KPR dan pinjaman konsumen dan bisnis lainnya semakin mahal dan meningkatkan risiko resesi. Dengan kurs rupiah sempat tembus Rp 15.820 per dolar AS itu, tidak terlalu mengejutkan.
Karena, sejak Mei 2022 lalu, kebijakan moneter Bank Indonesia terasa sangat spekulatif. Kurs rupiah sudah diperkirakan akan terus melemah, tergantung seberapa kuat intervensi kurs oleh otoritas moneter.
Setelah kebijakan spekulatif, kini BI bermain api, hanya menaikkan suku bunga acuan sebesar 50 basis point pada 22 Oktober lalu, padahal the Fed, FOMC, mengadakan rapat pada 1-2 November 2022, dan diperkirakan akan menaikkan suku bunga acuannya paling sedikit 75 basis point, dan menjadi kenyataan.
Membuat selisih suku bunga acuan BI dengan the Fed sangat kecil sekali, memicu dolar mengalir ke luar negeri dan kurs rupiah terdepresiasi tajam. Siap-siap tembus Rp 16.000 per dolar AS.
Sejauh mana BI masih terus kuat intervensi?
Sebelumnya, Bank Indonesia (BI) pertahankan tingkat suku bunga acuan di 3,5 persen pada Juli lalu. Meski inflasi tahunan (total) sampai dengan Juni 2022 sudah mencapai 4,35 persen. Bahkan, inflasi pangan mencapai 9,1 persen. Namun demikian, tingkat inflasi tersebut tidak membuat BI khawatir.
Karena BI lebih mempertimbangkan tingkat inflasi INTI, yang menurut BI masih sangat rendah. Hanya 2,63 persen. Karena itu, BI tidak menaikkan suku bunga acuan.
Inflasi Inti adalah komponen inflasi dengan pergerakan persisten, artinya tidak termasuk komponen inflasi yang bersifat fluktuatif seperti pangan dan energi (yang bisa tiba-tiba naik dan turun).
Sebelumnya, awal pekan ini, BI menjual SBN (Surat Berharga Negara) di pasar sekunder senilai Rp 390 miliar, untuk mengurangi jumlah uang beredar, dan tentu saja untuk menekan inflasi (Inti).
Artinya, BI berpendapat, inflasi Inti yang merambat naik ke 2,63 persen itu disebabkan jumlah uang beredar meningkat.
Meskipun masih sangat rendah, BI berpendapat inflasi Inti harus ditekan, melalui pengetatan uang beredar. Tetapi, untuk inflasi Non-Inti, yaitu inflasi pangan dan energi, sepertinya BI tidak bisa berbuat banyak, menyerahkan global untuk mengatasinya.
BI sangat paham dampak dan konsekuensi dari bauran kebijakannya ini. BI berpendapat ekonomi Indonesia mampu menghadapi konsekuensi tersebut.
Pertama, kurs rupiah akan menghadapi tekanan cukup serius. Karena perbedaan suku bunga di AS dan Indonesia menjadi sangat kecil, sehingga dapat memicu arus dolar keluar dari Indonesia.
Apalagi kalau suku bunga the FED naik lagi pada awal pekan depan, maka arus dolar bisa lebih deras lagi mengalir ke luar negeri. Rapat dewan gubernur the FED diselenggarakan pada 26-27 Juli lalu.
Kedua, penjualan SBN sebesar Rp 293 miliar sepertinya hanya kebijakan basa-basi saja. Jumlah ini sangat tidak signifikan. Hanya untuk pengaruhi faktor psikologis pasar saja. Kecuali kalau kebijakan ini akan berlanjut terus, dan menjadi signifikan. Maka, dampaknya, pertumbuhan ekonomi akan tertekan.
Kebijakan penjualan SBN ini terlihat tidak konsisten. Kalau BI menganggap inflasi INTI masih rendah, seharusnya BI tidak perlu memperketat uang beredar, yang akan membuat pertumbuhan ekonomi melambat.
Kalau kebijakan ini hanya untuk pengaruhi faktor psikologis pasar saja, maka kebijakan ini tidak berarti sama sekali dalam melawan inflasi (INTI).
Kebijakan moneter BI seperti digambarkan di atas mengandung risiko cukup besar, sulit terukur, dan bisa dikatakan mengandung unsur “spekulatif”?
Sepertinya BI sangat yakin jumlah cadangan devisa cukup besar untuk bisa memenuhi arus dolar keluar dari Indonesia, tanpa mengganggu kurs rupiah. Artinya, BI sangat yakin intervensi kurs rupiah akan efektif, dapat menahan kurs rupiah di sekitar Rp 15.000.
Apakah keyakinan ini akan menjadi kenyataan? Bagaimana konsekuensinya kalau meleset? Apakah kebijakan BI masih bisa beradaptasi tepat waktu terhadap perubahan ekonomi global yang sangat cepat?
Kalau meleset agak jauh, mungkin bisa berakibat fatal bagi perekonomian Indonesia: Kurs rupiah dan cadangan devisa bisa tergelincir. (*)